Senin, 13 Agustus 2012

Asal Usul Tau Taa Wana



Jika merujuk pada asumsi para sejarawan 1), leluhur Tau Taa Wana diduga berasal dari suatu tempat di bagian Selatan Tenggara Pulau Sulawesi, tepatnya pada bagian Barat Daya atau Barat Laut Malili, di sebelah Tenggara Teluk Bone. Mereka berada di wilayah pemukiman sekarang, melalui fase migrasi gelombang kedua pada masa pra-sejarah.

Dari ciri-ciri fisik, kebudayaan material maupun dialek bahasa, Tau Taa Wana digolongkan dalam kelompok suku besar ‘Koro Toraja’ dengan rute migrasi awal dari muara antara Kalaena dan Malili kemudian menyusuri Sungai Kalaena dan terus menuju bagian Utara melewati barisan Pengunungan “Tokolekaju” hingga akhirnya sampai di bagian Tenggara Pesisir Danau Poso. Selanjutnya leluhur Tau Taa Wana bergerak ke arah Timur Laut menyisir lereng Gunung Kadata menuju dataran Walati (Lembah Masewa) yang dialiri Sungai La, dan terus bergerak menyusuri Sungai Kuse sampai akhirnya tiba di daerah hulu Sungai Bau. Dari sini mereka terus bergerak bermigrasi ke arah Timur hingga akhirnya sampai di hulu Sungai Bongka, tepatnya di wilayah Kaju Marangka 2).

Di wilayah Kaju Marangka ini, sebagian kelompok migran menetap dan berkembang menjadi kelompok etnik Tau Taa Wana. Dalam perkembangan selanjutnya, etnik Tau Taa Wana kemudian menyebar dan mengelompok menjadi 4 suku sebagaimana disimpulkan oleh A.C. Kruyt 3). Menurut Kruyt, dari segi dialek bahasa, Tau Taa Wana terbagi atas 4 suku, sebagai berikut: 4)
Suku Burangas, berasal dari Luwuk dan bermukim di Lijo, Parangisi, Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro;
Suku Kasiala, berasal dari Tojo Pantai Teluk Tomini dan kemudian berdiam di Manyoe, Sea, serta sebagian di Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro;
Suku Posangke, berasal dari Poso dan berdiam di wilayah Kajupoli, Taronggo, Opo, Uemasi, Lemo dan Salubiro;
Suku Untunue, mendiami Ue Waju, Kajumarangka, Salubiro, dan Rompi. Kelompok suku ini tergolong masih tertutup dan liar.

Keempat dialek bahasa yang membagi etnik Tau Taa Wana menjadi 4 suku tersebut diatas, sesungguhnya menurut Jane Monnig Atkinson, adalah varian dialek dalam bahasa Pamona. Oleh karenanya, Atkinson menyimpulkan bahwa Tau Taa Wana merupakan sub-etnis dari kelompok etnolinguistik Pamona, yang kebanyakan mendiami wilayah-wilayah di sekitar Sungai Bongka, Ulu Bongka, Bungku Utara dan Barong 5).

Asumsi sejarah asal-usul yang digambarkan di atas, relatif mendapat pembenaran dari para tetua-tetua Tau Taa Wana pada lipu-lipu yang menjadi lokasi studi 6) Mereka meyakini bahwa leluhur pertama mereka merupakan titisan dari langit yang diturunkan di suatu tempat di Kaju Marangka, yaitu Tundantana. Mereka juga mengatakan, ada enam tempat utama yang menjadi cikal bakal penyebaran komunitas Tau Taa Wana sampai sekarang, yaitu Kaju Marangka, Tongku Tua, Vatumoana, Salubiro, Kaju Kelei, dan Sarambe. Lima tempat berada di wilayah Cagar Alam Morowali dan satu tempat masuk dalam wilayah adat Lipu Mpoa yaitu Sarambe, yang dalam keyakinan tetua adat Tau Taa Wana di kawasan sepanjang kawasan aliran Sungai Bulang, dipercaya sebagai tempat makam leluhur Tau Taa Wana 7).

Tetua-tetua adat Tau Taa Wana percaya, bahwa silsilah leluhur mereka yang pertama adalah seorang perempuan bernama Ngga yang diturunkan ke bumi oleh Pue (Tuhan) dan seorang laki-laki bernama Mbakale yang menitis dari sebatang kayu besar, Kaju Paramba’a 8). Keduanya kemudian kimpoi dan melahirkan dua orang anak. Anak pertama bernama Manyamrame (perempuan), dan yang kedua bernama Manyangkareo (laki-laki).

Setelah dewasa, Manyamrame dan Manyangkareo dikimpoikan. Dari hasil perkimpoian tersebut, lahir tujuh orang anak, masing-masing: Jambalawa (perempuan), Sansambalawa (laki-laki), Lapabisa (perempuan), Vuampuangka (lakilaki), Pini (perempuan), Animasa (laki-laki), dan Adimaniyu (perempuan).

Selain Pini yang tetap melajang di Kaju Marangka hingga membatu menjadi Watumoana (batu beranak) 9), keenam saudaranya saling dikimpoikan-mawinkan, masing-masing: Jambalawa dengan Animasa (merantau ke tanah Gowa dengan menggunakan bintang tiga); Sansambalawa dengan Adimaniyu (merantau ke tanah Cina dengan menumpang bintang tujuh), serta Lapabisa dengan Vumpuangka (merantau ke tanah Jawa dengan menggunakan kapal).

Perkimpoian antara Jambalawa dengan Animasa, membuahkan sejumlah keturunan. Tiga diantara anak keturunan itu datang kembali ke Burangas (tanah asal orang tuanya), yakni: Pue Loloisong di Kaju Marangka dan Pue Rorat di Sarambe, Janggu Wawu di Kaju Marangka. Sedangkan Sansambalawa dengan Adimaniyu mendapatkan anak bernama Pue Dungola yang sempat datang ke Tongku Tua tetapi kembali lagi ke Cina.

Pue Loloisong, Pue Rorat dan Janggu Wawu inilah yang diyakini sebagai leluhur langsung Tau Taa Wana 10). Pue Loloisong, menurut keyakinan umum Tau Taa Wana dimakamkan di Kayu Marangka, sementara Janggu Wawu menghilang ke alam lain ketika berada di Gunung Tongku Tua. Sedangkan makam Pue Rorat diyakini berada dalam gua di puncak gunung Sarambe.

Dalam cerita tetua adat Tau Taa Wana, pada masa perang antar suku, komunitas Tau Taa Wana hidup berkelompok dan mengorganisir diri dalam sebuah bente (benteng). Masing-masing bente terdiri paling sedikit 50 Kepala Keluarga yang dipimpin oleh seorang Talenga 11). Suku-suku yang menjadi ancaman dan sekaligus sering berperang melawan Tau Taa Wana adalah Suku Lage, Kahumamaun, dan Besoa. Sementara bente-bente yang masih terekam dalam ingatan tetua adat Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, yaitu Bente Padao, Bungkulas, Rapang Kadang, Tomungku Rembe, Rapambalo, dan Tondo Kaja 12).

Dalam perkembangan selanjutnya, Tau Taa Wana tunduk pada kesultanan atau raja-raja lokal yang berkuasa di daerah pantai, yakni Raja Bungku di Selatan, Raja Banggai di Timur, Raja Tojo di Utara, dan Raja Mori di Barat 13). Keempat raja lokal tersebut dalam masa kekuasaannya sejak abad XVII, juga takluk pada Kerajaan Ternate. Sebagai taklukan, pemimpin-pemimpin Tau Taa Wana melalui perantaraan bazal, diwajibkan mengirim upeti baik pada raja lokal maupun pada raja Ternate.

Memasuki pertengahan abad XIX hingga pertengahan abad XX, Kerajaan Ternate maupun Kerajaan Lokal (Bungku, Banggai, Mori dan Tojo), satu persatu ditaklukkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, termasuk bente-bente Tau Taa Wana dipedalaman hutan dan pegunungan 14). Dalam catatan Kepala Distrik Wana, Yori Sida Bone, tahun 1907 adalah tahun untuk pertama kalinya Belanda menyerang Tau Taa Wana di Pendolo. Belanda berhasil menguasai bente tersebut dan memaksa Tau Taa Wana turun dan membangun perkampungan di tanah datar di Tambale, Manyoe, Bino dan Ue Pakati. Mokole Taomi (nama pimpinan Tau Taa Wana kala itu) terpaksa memerintahkan rakyatnya untuk berkampung disana. Namun karena tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, seperti keharusan untuk membayar pajak ditambah keadaan pemukiman baru yang asing buat Tau Taa Wana, maka mereka pun kembali lari masuk hutan ke tempat asal, diantaranya Posangke, Uewaju dan Kaju Marangka 15).

Kerajaan-kerajaan lokal yang telah ditaklukkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda selanjutnya dijadikan Zelfbesturende Landschap (Pemerintahan Swapraja), yang dalam stuktur pemerintahan negara jajahan Belanda dimasukkan dalam wilayah administratif Onderafdeling Poso untuk Kerajaan Tojo, Onderafdeling Kolonodale untuk kerajaan Mori dan Bungku dan Onderafdeling Banggai (Luwuk) untuk Kerajaan Banggai.

Dalam masa Pemerintahan Nasional Indonesia, wilayah bekas kerajaankerajaan lokal itu, pada tahun 1949 dimasukkan sebagai wilayah kekuasaan Pemerintahan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah yang berkedudukan di Poso. Kemudian ketika Sulawesi Tengah dibagi menjadi 2 wilayah administratif kabupaten tahun 1951, wilayah kekuasaan keempat kerajaan lokal tersebut dimasukkan ke dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah Poso.

Tetapi pada tahun 1959, bekas wilayah Kerajaan Banggai masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Dati II Banggai, sementara wilayah kekuasaan Kerajaan Tojo, Bungku dan Mori dimasukkan dalam wilayah administratif Kabupaten Dati II Poso. Selanjutnya, ketika reformasi mulai bergulir dan trend pemekaran wilayah atas nama otonomi daerah semakin menguat, maka Kabupaten Dati II Poso, dimekarkan menjadi 3 kabupaten, yakni Kabupaten Poso sebagai kabupaten induk dengan wilayah adminitratif meliputi bekas kerajaan Mori; Kabupaten Morowali (terbentuk 1999) dengan wilayah adminitratif meliputi wilayah bekas Kerajaan Bungku; serta Kabupaten Tojo Una-Una (terbentuk 2003) yang sebagian wilayah adminitratifnya meliputi bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Tojo.
(Tambahan - Saya tidak tahu pembagian yg benarnya seperti apa tapi sepengetahuan saya sekarang ini Kabupaten Poso wilayah adminitratifnya Kerajaan Poso dan Pamona, untuk Kabupaten Morowali meliputi wilayah Kerajaan Mori dan Bungku)

Sejarah penaklukan terhadap Tau Taa Wana, membuahkan sikap yang unik. Sebahagian besar komunitas Tau Taa Wana, sampai saat ini masih merasa terjajah, bahkan oleh Pemerintah Indonesia. Dasar penilaian tersebut berangkat pada 3 logika sederhana:

Pertama, keharusan membayar pajak. Karena pada masa Raja-raja Lokal, Raja Ternate dan Pemerintah Hindia Belanda Tau Taa Wana diharuskan membayar upeti atau pajak, maka ketika mereka mengetahui bahwa Pemerintah Indonesia juga mewajibkan hal serupa, mereka pun merasa sebagai jajahan Pemerintah Indonesia. 16)

Kedua, cara-cara resettlement paksa dengan menggunakan polisi dan tentara yang acapkali dilakukan oleh Pemerintah Indonesia masa Orde Baru, semakin memperkuat sikap rasa terjajah mereka. Sebab cara-cara yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Hinda Belanda. Maka menjadi tak heran jika mereka umumnya menolak dan membangkang, dengan cara meninggalkan lokasi resettlement tersebut dan masuk kembali ke dalam hutan melanjutkan kebiasaan berladang secara rotatif 17).

Ketiga, cara-cara pendudukan wilayah kelola mereka oleh Perusahaan Perkebunan Besar (Sawit), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan Transmigrasi, merupakan faktor yang paling memperkuat rasa trauma mereka sebagai komunitas terjajah 18).

Komunitas di Pedalaman Sulawesi Tengah

TAU TAA WANA



Secara etnografis, Tau (orang) Taa atau To Wana merupakan sub etnis dari kelompok etnolinguistik Pamona yang mendiami wilayah-wilayah sekitar sungai Bongka, Ulubongka, Bungku Utara dan Barong. Orang Wana memakai dialek Wana yang termasuk di dalam rumpun bahasa Pamona sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Dialek Wana juga disebut dialek Taa, sebuah varian dalam bahasa Pamona (Atkinson, 1992).


Catatan hasil ekspedisi yang dilakukan oleh Walter Kaudern pada tahun 1917-1920, menjumpai sebuah komunitas rumpun Poso-Toradja dengan sebutan To Ampana (Taa) di wilayah pesisir pantai sekitar Tanjung Api sebagaimana layaknya yang terdapat di kawasan aliran sungai Bongka. Di kawasan pedalaman di lengan timur laut Sulawesi, tinggallah sekelompok komunitas asli dari To Ampana (Taa). Juga dijumpai keberadaan mereka di sekitar dan sepanjang DAS Bongka dengan sebutan To Wana, yang berarti “orang yang memiliki hutan/ tinggal di hutan”. Mereka ini bukanlah komunitas yang berbeda, namun merupakan komunitas yang sama dengan To Ampana, hanya saja mereka tinggal di kawasan pedalaman hutan. Selanjutnya menurut Kaudern dengan mengutip catatan Kruyt, To Wana ini tinggal di kawasan berlembah sepanjang aliran sungai Bongka, dimana tempat-tempat yang masih terekam dalam catatan tersebut antara lain : Bongka Soa, Bintori, Karato, ngKananga, Karoepa, dan Bone Bae.
Berdasarkan asal usul orang Taa-Wana, Kruyt (1930) membagi orang Wana dalam empat suku besar, yakni pertama suku Burangas (dari Luwuk mendiami desa Lijo, Parangisi, Winanga Bino, Uepakatu dan Salubiro); kedua suku Kasiala berasal dari Tojo pantai (Teluk Tomini) yang mendiami desa Manyoe, Sea, juga sebagian desa Winanga Bino, Uepakatu dan Parangisi; ketiga suku Posangke yang berasal dari Poso, menempati wilayah Kajupoli, desa Toronggo, Opo, Uemasi, Lemo dan Salubiro; dan keempat suku Untunu Ue (hulu sungai) mendiami lokasi Ue Waju, Kajumarangka, Salubiro dan Rompi.


Secara linguistik, menurut Alvard (1999) orang Wana bertutur dalam bahasa Taa yaitu sebuah bahasa yang banyak digunakan disekitar kawasan pesisir dan dataran rendah di sekitar Cagar Alam Morowali. Orang Wana Posangke mendiami daerah dataran tinggi yang berlembah di sebelah barat Cagar Alam Morowali, yang lokasi mukimnya tersebar di sepanjang sungai Salato, sungai Sumi’i, sungai Uwe Kiumo dan Uwe Waju. Sumber mata air sungai Salato berhulu di Gunung Tokala dan bermuara di sebelah barat (Teluk Tolo).

Wilayah sebaran utama “Tau Taa Wana”, pada umumnya membentang dari bagian timur dan dan timur laut Cagar Alam Morowali (Kabupaten Morowali) sampai di bagian barat Pegunungan Batui (Kabupaten Banggai) dan Pegunungan Balingara (Kabupaten Poso – sekarang Tojo Una-Una) dalam wilayah tersebut konsentrasi terbesar pemukiman komunal (lipu) mereka, berada di sekitar gunung Tokala, Ponggawa, Katopasa dan lumut.

Masyarakat Adat Taa Wana yang dimaksud adalah kelompok “Wana” yang bermukim di pedalaman hutan dan pegunungan, dengan alasan bahwa kosa kata tersebut tidak menghilangkan cara mereka mengidentifikasi diri dan untuk membedakan mereka dengan komunitas “Topa Taa” yang tidak lagi memenuhi unsur-unsur sebagai masyarakat hukum adat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar