Jumat, 28 September 2012

Kelelawar Tanpa Ekor Ditemukan di Sulawesi


KOMPAS.com — Pakar kelelawar dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ibnu Maryanto, menemukan spesies baru kelelawar tanpa ekor di Sulawesi yang dinamai Thoopterus suhaniae.

"Kelelawar ini berbeda karena memiliki rahang yang lebih besar, lengan lebih panjang, dan ekornya tidak ada atau mengalami reduksi menjadi rudiment. Punya ekor, tetapi tidak tampak," ungkap Ibnu saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/7/2012).

Ciri yang lain, bagian uropatagium (area di antara dua kaki depan) sangat minim bulu. Selain itu, bukaan uretra atau saluran kecil pada penis tak terlalu tampak.

Ibnu mengatakan bahwa semula, Thoopterus suhaniae diduga merupakan spesies Thoopterus nigrescens. Namun, karena ada ciri berbeda pada kelelawar itu, Ibnu dan rekan melakukan penelitian lebih lanjut dan membuktikan bahwa fauna itu memang spesies baru.

Untuk mengonfirmasi bahwa Thoopterus suhaniae merupakan spesies baru, Ibnu dan rekan melakukan analisis pada 102 spesimen yang diambil dari wilayah Sulawesi Tengah, Buton, Sula, Talaud, dan Kepulauan Wowoni.

Ibnu menuturkan, spesies baru ini merupakan persembahan bagi istri rekan kerjanya yang meninggal saat melakukan penelitian di Taman Nasional Lore Lindu tahun 2000 silam.

"Nama suhaniae diambil dari nama istri teman penelitian saya, Mohammad Yani, yang meninggal saat kami penelitian. Nama istrinya Suhaniah, meninggal pada 31 Maret 2000 lalu," ungkap Ibnu.

Thoopterus suhaniae merupakan jenis kelelawar ukuran sedang yang memakan buah. Jenis kelelawar ini terdistribusi di daratan 60-2.100 meter di atas permukaan laut. Habitatnya bisa berupa hutan primer, sekunder, maupun kebun kopi. Meski demikian, fauna ini lebih banyak terdapat di hutan primer dataran rendah dan menengah.

Thoopterus suhaniae adalah spesies kedua dari genus Thoopterus yang ditemukan di Sulawesi. Penemuan ini menunjukkan bahwa Sulawesi merupakan hot spot evolusi Pteropodidae.

Pteropodidae merupakan golongan kelelawar yang memiliki mata besar, memakan buah atau bunga, serta tersebar di Afrika, Asia Tenggara, dan Australia. Beberapa spesies kelelawar golongan ini termasuk soliter, mendiami pohon atau gua.

Ibnu menjelaskan, perusakan hutan primer dan perburuan kelelawar di utara dan tengah Sulawesi mengancam populasi kelelawar spesies baru ini. Karenanya, upaya konservasi diperlukan.

Hasil riset ini dipublikasikan di Records of the Western Australian Museum bulan Juni 2012 lalu.

Anoa, Kerbau atau Sapi?


KOMPAS.com - Sebagaimana babirusa, pengelompokan anoa dalam dunia binatang juga mengundang debat di kalangan ilmuwan. Binatang ini memiliki ciri tubuh seperti kerbau dan sapi. Berat tubuhnya 150-300 kilogram.

Secara umum, anoa sulawesi dibagi menjadi dua spesies, yaitu anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis).

Kedua jenis ini dibedakan berdasarkan bentuk tanduk dan ukuran tubuh. Groves dalam Systematics of the Anoa (1969) menyebutkan, anoa dataran rendah relatif lebih kecil, ekor lebih pendek dan lembut, serta tanduk melingkar. Sementara anoa dataran tinggi lebih besar, ekor panjang, berkaki putih, dan tanduk kasar dengan penampang segitiga.

Namun, pengelompokan anoa berdasarkan wilayah habitatnya ini sering dianggap tidak tepat. Menurut Thornback dalam Red Data Book Vol.1. Mammalia (1978), anoa pegunungan juga sering ditemukan di pantai. Demikian sebaliknya, anoa dataran rendah sering ditemukan di pegunungan.

Kedua spesies yang merupakan binatang endemis Sulawesi itu berstatus E (endangered) atau terancam punah menurut IUCN. Populasinya di hutan saat ini diperkirakan tinggal 3.000 ekor dan jumlahnya terus menurun. Anoa sering diburu untuk diambil kulit, tanduk, dan dagingnya. Hingga saat ini, perburuan anoa masih marak dan daging anoa kerap ditemukan di pasar-pasar tradisional di Sulawesi Utara dan Gorontalo.(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)

Sulawesi, Jantung Nusantara yang Terkoyak


KOMPAS.com - Sulawesi adalah jantung Nusantara yang mewakili kompleksitas geologi hasil tumbukan tiga lempeng benua: Eurasia, Australia, dan Pasifik. Pergerakan geologi itu menciptakan Sulawesi sebagai rumah beragam satwa endemis yang tak ada padanannya di dunia.


Pada masa lalu, pulau ini telah menginspirasi naturalis Alfred Russel Wallace untuk meletakkan dasar ilmu Biogeografi dan melahirkan konsep seleksi alam yang mendasari Teori Evolusi. Namun, keberlimpahan tanah Sulawesi yang melegenda itu terancam menjadi dongeng karena dahsyatnya tingkat perusakan

Matahari tepat di atas kepala. Teriknya membakar. Belantara menyisakan tong gak-tong gak kayu raksasa sisa tebangan yang menyembul di antara ladang jagung. Namun, begitu menyeberangi Sungai Paguyaman dan memasuki lebat Hutan Nantu di pinggiran Provinsi Gorontalo, kami pun tersedot ke dunia lain.

Pepohonan tumbuh meraksasa. Tajuknya membentuk lorong yang menghalangi sinar matahari. Onak menyulur di lantai hutan yang lembab dan gelap. Riuh burung bersahutan. Siang serasa malam karena derit serangga tanpa jeda.

Dari balik pepohonan, James Komolontang (46) dan Jack Komolontang (37) menyambut dengan sikap penuh selidik. Suasana mencair saat kami menyerahkan surat izin memasuki kawasan Suaka Margasatwa Nantu. James dan Jack adalah staf Yayasan Adudu Nantu Internasional (YANI) yang bertanggung jawab menjaga Hutan Nantu, dibantu beberapa anggota Brimob Gorontalo.

"Kalau tidak dijaga, hutan ini sudah habis dijarah," kata James. Lelaki dari Minahasa, Sulawesi Utara, itu berperawakan gempal, tetapi gerakannya gesit. Dia mantan pemburu binatang yang kemudian direkrut YANI untuk menjaga Hutan Nantu. Sudah 10 tahun dia bertugas sebagai jaga wana di Nantu, hutan yang mendapatkan namanya dari banyaknya pohon nantu (Palaquium sp) di sana.

Hari hampir tiba di ujung ketika James mengajak beranjak untuk mencari penghuni Hutan Nantu. Kami berjalan pelan, menyusuri jalan setapak berlumpur. Pohon rao (Dracontomelom dao) tumbuh hingga 40 meter tingginya, terlihat menjulang di antara lebat pohon nantu.

Sesekali kami mesti merunduk, menghindari belitan rotan dan akar gantung yang berjuluran. Jejak kaki binatang tercetak di lantai hutan, menyamarkan jutaan lintah penghisap darah. Rapat tajuk pepohonan mempercepat kelam. Dedaunan yang beradu, diembus angin, mencipta bunyi gemerisik.

Di pinggir kubangan air panas bersumber dari panas bumi, yang disebut masyarakat setempat sebagai adudu, James tiba-tiba memberi isyarat dengan telunjuknya. ”Ssst jangan bersuara,” bisiknya sambil menunjuk kawanan binatang yang asyik mandi sauna.

Lidah binatang itu terjulur, menjilati lumpur kaya mineral. Dua pasang taring menyembul keluar dari mulut sang jantan. Sepasang taring di rahang bawah sangat panjang dan sepasang taring lainnya, yang tumbuh dari rahang atas, keluar lewat hidung lalu melengkung ke atas seperti tanduk hingga mendekati kedua mata. Sepintas, wajah binatang itu mirip babi, tetapi tubuh dan kaki mereka seramping rusa. Paduan ciri babi dengan rusa inilah yang membuat binatang ini disebut babirusa (Babyrousa babyrussa).

Taring babirusa menciptakan sosok yang tak ada padanannya dengan binatang di belahan dunia lain. Naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, yang menjelajah hutan Sulawesi 150 tahun lalu dibuat bingung olehnya. ”Pengelompokan babirusa sulit dilakukan karena tidak mempunyai persamaan dengan babi dari mana pun di dunia ini,” tulis Wallace dalam bukunya, The Malay Archipelago (1869).

Jika tubuhnya adalah paduan babi dan rusa, taring binatang ini, menurut Wallace, mengingatkan pada warthog afrika (Phacochoerus africanus).

”Tidak diketahui pasti kegunaan taring luar biasa yang menyerupai tanduk ini. Beberapa penulis mengemukakan bahwa taring itu berfungsi sebagai pengait agar dapat mengistirahatkan kepala di dahan. Akan tetapi, taring tersebut sepertinya lebih mungkin untuk melindungi mata dari onak dan duri saat mencari buah-buahan di antara rotan dan tumbuhan berduri lainnya,” tulis Wallace.

Namun, Wallace buru-buru menyanggah dugaannya. ”Ini juga tidak memuaskan karena babirusa betina yang mencari makan dengan cara yang sama tidak memiliki taring seperti itu.”

Tiba-tiba, belasan babirusa itu kocar-kacir. Adudu itu pun sepi. Dari balik belukar, muncul tiga ekor binatang mirip sapi atau kerbau—tetapi jelas bukan keduanya. Kulit dua binatang yang telah dewasa berwarna coklat kehitaman, sementara sang anak coklat kekuningan. Tanduk kecil dan runcing tegak di atas kepala. Walaupun terlihat asyik menjilati lumpur, sesekali mereka mendongak memperlihatkan sepasang mata yang awas. Cuping telinga selalu bergerak-gerak menandakan kesiapsiagaan.

”Itu anoa, jarang sekali dia muncul, apalagi sampai tiga ekor,” kata James.

Sebagaimana babirusa, anoa (Anoa depressicornis) hanya ditemui di Sulawesi. ”Hewan ini masih belum jelas masuk kelompok sapi liar, kerbau, atau antelop. Tubuhnya yang lebih kecil daripada sapi membuatnya terlihat seperti antelop afrika,” tulis Wallace.

Wallace menyebutkan, binatang ini hanya ditemukan di gunung-gunung dan tidak ditemukan di habitat rusa. Dia tak menyebutkan tentang kebiasaan anoa yang juga suka menjilati air belerang dari mata air panas.

Selang satu menit kemudian, kawanan babirusa yang sebelumnya kabur kembali ke adudu. Kedua kelompok binatang bersama-sama menikmati adudu di senja itu. Di antara kaki-kaki mereka, seekor biawak (Varanus indicus) berjalan pelan, melintasi kubangan. Kicauan burung srigunting sulawesi (Dicrurus montanus) dan lengkingan suara kera (Macaca hecki) riuh bersahutan dari atas pohon. Di pucuk pepohonan, seekor julang sulawesi (Rhyticeros cassidix) mengepakkan sayap besarnya, meninggalkan suara menderu seperti baling-baling helikopter.

Burung jenis rangkong itu sebesar ayam jantan, warna bulunya sebagian besar hitam. Hanya bagian leher yang berwarna kuning dengan semburat warna biru di dekat paruh besarnya yang juga berwarna kuning. Di atas paruh, terdapat tanduk merah menyala.

Seiring kembalinya burung julang ke sarang, kegelapan menyelimuti Hutan Nantu. Rombongan babi hutan menghampiri pondok, mengais sampah dapur. Kucing hutan mencuri roti di atas meja, mengoyak plastik pembungkus dan meninggalkan remah-remah.

Malam hari di Hutan Nantu adalah keriuhan derit serangga. Beberapa kali burung betet yang berpesta di tengah malam menjatuhkan biji buah-buahan sejenis duku ke atap seng, menimbulkan bunyi keras memekakkan telinga. Menjelang terbitnya Matahari, gaduh jerit tangkasi (Tarsius spectrum) membuat mata tak bisa lagi terpejam.(Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas)

Inilah Sulawesi yang Memikat Wallace


KOMPAS.com - Inilah Sulawesi yang melegenda, yang memikat Alfred Russel Wallace saat menjelajah pulau ini pada tahun 1856, 1857, dan 1859. Ilmuwan alam dari Inggris itu begitu terpesona, sekaligus kebingungan, saat melihat banyaknya spesies endemis di pulau ini yang tak ditemui di belahan Bumi lainnya, bahkan di kepulauan lain di Nusantara yang berdekatan dengan Sulawesi.

Sebagian besar orang di Indonesia barangkali masih asing dengan Wallace dan lebih mengenal Charles Darwin sebagai penemu teori evolusi yang dipicu seleksi alam. Padahal, Wallace lebih dulu merumuskan teori seleksi alam, atau setidaknya berbarengan dengan seniornya, Darwin. Keduanya merumuskan teori ini setelah mengamati keberagaman sekaligus kekhasan flora serta fauna saat menjelajah dunia. Darwin meneliti di Galapagos dan Wallace di Nusantara.

Kepulauan Galapagos terletak di bagian timur Samudra Pasifik, 970 kilometer dari Amerika Selatan. Jaraknya sekitar 19.000 kilometer dari Indonesia dan membutuhkan waktu tempuh hampir 25 jam menggunakan penerbangan zaman ini. Terasing di lautan, Galapagos telah dikolonisasi oleh spesies dari daratan sejak jutaan tahun lampau, menciptakan berbagai jenis spesies yang khas. Darwin adalah geolog pertama yang mengunjungi Galapagos tahun 1835. Pada akhirnya, dia justru mendalami keunikan satwa Galapagos.

Seperti Darwin, Wallace sangat terpukau dengan satwa endemis yang ditemuinya di Sulawesi. Sesaat setelah kepulangannya dari Manado, Sulawesi Utara, Februari 1858, Wallace tergeletak di kamar tidurnya di Ternate, Maluku Utara. Ia terserang demam, kemungkinan karena malaria. Dari kamar itulah dia menulis surat kepada Darwin yang dihormatinya. Wallace melampirkan makalah pendek di surat itu, yang diberinya judul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type”.

Makalah yang ditulis tangan dengan tergesa-gesa selama dua malam itu merangkum lebih dari sepuluh tahun penelitian. Wallace menggabungkan berbagai petunjuk dari penyebaran satwa di bentang alam yang beragam dengan fenomena keragaman di dalam spesies itu sendiri. ”... mengapa ada spesies yang mati dan sebagian sanggup bertahan?” gugat Wallace.

Jawabannya, menurut Wallace, bahwa di antara sesama satwa liar itu mereka bersaing untuk bertahan hidup. Hanya varian yang paling cocok dengan keadaan lingkunganlah yang sanggup bertahan.

Makalah yang dikirim Wallace memberi jawaban bagi Darwin tentang fenomena seleksi alam yang hingga tahun itu belum dirumuskannya: the fittest would survive (individu inferior akan mati dan individu superior akan bertahan).

Lebih lanjut, ”persaingan untuk bertahan hidup” ini pasti menghasilkan perubahan arah yang adaptif dalam spesies itu. Perubahan kondisi fisik itu mungkin akan mengaburkan, bahkan menyebabkan kepunahan, ras lama dan membentuk ras baru yang lebih unggul.

”Kijang dengan kaki lebih pendek atau lebih lemah tentu akan lebih mudah diserang harimau,” kata Wallace. Karena itu, kijang yang mampu bertahan hidup adalah yang memiliki kaki yang kuat. Dengan proses yang sama, hal ini menjawab mengapa jerapah berleher panjang; karena yang berleher pendek tidak sukses mewariskan keturunan yang sanggup bertahan hidup.

Tulisan Wallace itu ditutup dengan sebuah kesimpulan yang menggedor Darwin, yaitu bahwa ada kecenderungan di alam untuk terus mengembangkan tipe tertentu yang semakin jauh dari aslinya—perkembangan yang tampaknya tidak terbatas.

Surat dan makalah Wallace dari Ternate menjadi tonggak penting bagi Darwin. Ia segera teringat dengan makalah yang ditulisnya pada 1842-1844, tetapi belum diterbitkan. Darwin kemudian mengirim makalahnya dan makalah Wallace ke sahabatnya, Charles Lyell.

Wallace masih di Papua, terjebak hujan, didera kelaparan dan demam, pada Juli 1858 saat makalahnya bersama tulisan Darwin—yang belum pernah diterbitkan—ditulis ulang dan dibacakan di hadapan Linnean Society. Makalah itu diberi judul On the Tendency of Species to Form Varieties; and on the Perpetuation of Varieties and Species by Means of Selection dan disebutkan ditulis oleh Charles Darwin, Alfred Wallace; dikomunikasikan oleh Sir Charles Lyell dan Joseph Hooker, anggota Linnean Society. Wallace sama sekali tidak dimintai pendapat soal penggabungan tulisan itu.

Pada 1859, saat Wallace masih menjelajah hutan di Nusantara, Darwin menerbitkan bukunya, Origin of Species. Buku berisi uraian lebih rinci tentang proses seleksi alam yang memicu evolusi itu kian memopulerkan Darwin sebagai ”Bapak Evolusi”, sementara Wallace cenderung dilupakan. Belakangan, dunia pengetahuan mendudukkan kembali posisi Wallace sebagai penemu teori evolusi bersama dengan Darwin. Sebelumnya, hanya Darwin yang menikmati popularitas sebagai penemu teori evolusi.

Pada waktu bersamaan, Wallace juga mengirim makalah untuk diterbitkan di Linnean Society berjudul On the Zoological Geography of the Malay Archipelago (1859). Dalam makalahnya, ia menuliskan bahwa Nusantara terbagi menjadi dua wilayah penyebaran fauna, satu di timur, dan lainnya di barat. Jika ditarik garis melalui Selat Makassar dan Selat Lombok, maka di sebelah barat garis itu akan kita temukan satwa khas Asia; di sebelah timur akan didapati satwa khas Australia. Padahal, kedua wilayah ini memiliki kondisi iklim dan habitat yang mirip. Delapan tahun kemudian, ahli anatomi, Thomas H Huxley, menyebut batas demarkasi penyebaran fauna di Nusantara ini sebagai garis Wallace.

Namun, Wallace tidak puas dengan kesimpulannya soal Sulawesi. Hal itu terus menghantui hingga menjelang akhir hayatnya. Dalam tulisan-tulisannya yang diterbitkan tahun 1859 dan 1863-1876, dia menempatkan Sulawesi di bagian timur garis Wallace. Namun, dalam bukunya The World of Life yang diterbitkan tahun 1910 atau tiga tahun sebelum kematiannya, Wallace merevisi posisi Sulawesi menjadi kelompok pulau-pulau di barat garis itu.

Posisi Sulawesi secara khusus dibicarakannya dalam buku Island Life sebagai ”Anomalous Island” atau Pulau Anomali. ”Fauna Sulawesi sangat berbeda dengan dua bagian Nusantara sehingga sangat sulit memutuskan di mana posisi pulau ini,” tulis Wallace.

Terletak tepat di tengah-tengah hamparan kepulauan Nusantara dan dikepung dari berbagai sisi oleh pulau-pulau dengan ragam kehidupan bervariasi, karakteristik fauna Sulawesi menunjukkan sejumlah ciri khas yang mengejutkan. Posisi Sulawesi harusnya membuat pulau ini kaya fauna yang bermigrasi dari segala penjuru, lebih dari yang bisa diterima Jawa.

Di Sulawesi memang ada sebagian satwa yang memiliki ciri Australia dan Asia. Hal itu yang membuat Wallace berpikir bahwa sebagian Sulawesi kelihatannya pernah bersatu dengan Asia dan sebagian lagi pernah bersatu dengan Australia.

Namun, kenyataannya hanya ada sedikit spesies fauna pendatang di Sulawesi dibandingkan dengan pulau lain di Nusantara. Misalnya, jumlah mamalia dan burung di Sulawesi kurang dari separuh di Pulau Jawa. Padahal, Sulawesi jauh lebih luas dibandingkan dengan Jawa.

Sebaliknya, fauna khas Sulawesi justru sangat berlimpah. ”Sulawesi memiliki jumlah spesies endemis yang mengagumkan,” tulis Wallace.

Pengamatan Wallace soal kekhasan satwa Sulawesi lebih banyak didasarkan pada pengamatannya terhadap burung. Dia mencatat, dari 128 burung yang ditemukannya di Sulawesi, 80 spesies di antaranya adalah endemis. Di antara burung endemis itu, terdapat beberapa keanehan struktur yang mengejutkan dan tidak memiliki kerabat dekat dengan spesies di pulau-pulau sekitarnya. ”Spesies itu cukup terisolasi, mengindikasikan ada hubungan dengan tempat-tempat yang jauh letaknya, seperti Papua, Australia, India, atau Afrika,” ungkap Wallace.

Selain itu, Wallace juga banyak meneliti keragaman kupu-kupu Sulawesi. Dia mendata, dari 48 spesies kupu-kupu yang ditemukan di Sulawesi, 35 jenis di antaranya adalah endemis. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa yang hanya memiliki 23 spesies endemis dari 70 kupu-kupu yang ditemukan di sana.

Wallace tidak membuat data rinci mamalia endemis. Namun, dia menyebutkan beberapa satwa Sulawesi yang menurut dia ajaib, di antaranya adalah babirusa, anoa, dan monyet hitam (yaki).

Penelitian terbaru tentang satwa endemis Sulawesi yang dirangkum Anthony J Whitten, Muslimin Mustafa, dan Gregory S Henderson dalam buku The Ecology of Sulawesi (1987) menyebutkan, dari 127 jenis mamalia Sulawesi, 79 di antaranya (62 persen) merupakan spesies endemis. Persentase ini bisa meningkat hingga 98 persen apabila kelelawar dimasukkan dalam penghitungan. Jumlah mamalia endemis Sulawesi merupakan yang tertinggi di Indonesia, disusul Papua (58 persen), Kalimantan (18 persen), dan Maluku (17 persen).

Pulau seluas 174.600 kilometer persegi itu juga menjadi daerah burung dan reptil endemis terbanyak nomor dua di Indonesia setelah Papua. Dari 328 jenis burung di Sulawesi, 88 spesies (27 persen) di antaranya adalah endemis. Dari 104 jenis reptilia, 29 jenis (27 persen) adalah endemis Sulawesi.

Anomali Sulawesi membuat Wallace mencari jawabannya pada proses geologi yang membentuk pulau ini. ”Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan penyelidikan geologi yang mendalam,” kata Wallace. Dia menduga keunikan satwa Sulawesi terkait dengan perubahan permukaan Bumi pada masa lalu, konsep yang waktu itu terdengar aneh, tetapi belakangan terbukti betul.

Ada Ikan Penipu di Laut Sulawesi


KOMPAS.com - Laut Indonesia maha kaya. Sampai-sampai, ada spesies ikan penipu yang ditemukan di Laut Sulawesi. Ikan penipu ini sungguh hebat sehingga bisa mengelabuhi gurita "master penipu".

Penipu di sini perlu diklarifikasi dulu. Penipu berkaitan dengan kemampuan komuflase hewan laut. Beberapa hewan laut punya kemampuan berakting layaknya spesies lain sehingga terhindar dari predator.

Ikan penipu tersebut ditemukan oleh penyelam Godehard Kopp ketika sedang menyelam di Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Ikan penipu tersebut diperkirakan merupakan black-marble jawfish (Stalix cf. histrio).

Kopp merekam perilaku ikan penipu tersebut. Dalam rekamannya, ikan penipu itu sedang berada di dekat Gurita Penyamar (Thaumoctopus mimicus), salah satu master komunflase alias penipu spesies lain.

Ikan penipu tampak mengikuti ke mana pun gurita pergi. Ikan itu bahkan tampak bagai tentakel gurita penyamar. Ia bergerak mengikuti ke mana pun sang gurita penyamar pergi. Alhasil, ikan penipu itu sukses mengelabuhi gurita penyamar yang tak menyadari bahwa di dekatnya ada spesies berbeda yang mungkin saja bisa dijadikan mangsa.

Hasil rekaman tersebut dikirimkan ke Luiz Rocha dan Rich Ross, biolog dari California Academy of Sciences. Hasil analisis kemudian dipublikasikan di jurnal Coral Reefs.

Rocha dan Ross terkejut dengan penemuan ini. Seperti dikutip National Geographic, Kamis (5/1/2012), Rocha mengatakan, "Kita tidak pernah melihat yang seperti itu sebelumnya."

Penemuan jawfish di lautan terbuka juga tak biasa sebab biasanya ikan jenis itu mengubur diri di pasir. Rocha dan Ross juga masih bingung apakah ikan tersebut selalu melakukan komuflase yang sama ketika berada di dekat gurita.

Sejauh ini, jenis ikan masih merupakan perkiraan sebab perilakunya baru dijumpai kali ini. "Ikan yang dijumpai di Indonesia ini mungkin saja merupakan spesies baru," kata Rocha.

Black-marble jawfish merupakan spesies yang tersebar dari perairan selatan Jepang hingga Indonesia. Rocha yakin bahwa dalam cakupan wilayah yang begitu jauh, tak mungkin jawfish yang ada merupakan satu spesies.

Penemuan ini menegaskan bahwa laut Indonesia kaya akan beragam jenis spesies. Namun demikian, laut Sulawesi yang masuk dalam kawasan Segitiga Karang Dunia juga menyisakan persoalan sebab perusakan masih terus berlanjut. Banyak spesies yang ditemukan, tetapi banyak juga yang hilang tanpa diketahui.

Dari Hutan Pakuli untuk Kelestarian Maleo


Hampir sepanjang usianya, Ali Kamisi Raja Pasu berkutat dengan maleo (”Macrocephalon maleo”), hewan endemik Pulau Sulawesi yang terancam punah. Lebih dari sepuluh tahun terakhir ia melakukan penangkaran sebagai upaya menyelamatkan maleo dari kepunahan. Nyaris seorang diri ia melakukan upaya itu, tanpa pamrih.

Ia tak hirau kendati pemerintah hampir tak membantu, bahkan sekadar memperbaiki jembatan kayu yang harus dilaluinya untuk masuk hutan, tempat maleo dan penangkarannya. Ia ikhlas dan diam, kendati kerap bertaruh nyawa melewati sungai berair deras dengan berpegang tali yang diikatnya di salah satu sisi sungai.

Ia tak mengeluh walau harus memutar jalan hingga empat kilometer, karena luapan sungai tak bisa dilaluinya dengan membentang tali. Padahal jarak jika melewati sungai, hanya sekitar 400 meter.

Upaya yang dilakukan Ali tak mudah dan murah. Untuk urusan maleo, dia harus menjadi pengawas, perawat, bapak sekaligus ibu, satpam, hingga pendana. Kalau bukan karena cinta dan kesadaran betapa populasi burung ini kian berkurang, mustahil dia bertahan.

Usahanya tak sia-sia. Memulai dengan 50 pasang burung maleo pada 2001, kini lebih dari 400 maleo sudah dikembangbiakkan dan dilepas di habitatnya, kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu.

”Bahagia sekaligus sedih jika anak-anak maleo yang saya urus mulai dari telur, menetas, lalu hidup, dan besar, saya lepaskan ke hutan sebagai burung dewasa. Kadang saya menangis melepas mereka, seperti melepas anak sendiri,” kata kakek 20 cucu ini saat ditemui di pondok kebunnya di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Kecintaannya pada maleo, burung yang telurnya seukuran tiga kali telur itik atau lima kali telur ayam ini, membuat dia tak berhitung soal tenaga, waktu, dan uang. Di tengah kesibukan mengurus kebun kakao dan tanaman jagungnya, Ali menyempatkan diri masuk ke hutan mengawasi maleo.

Pada musim bertelur, ia lebih banyak menghabiskan waktu menunggui maleo bertelur, mengambil telurnya, dan dipindahkan ke tempat pengeraman yang dia buat.

Tempat pengeraman atau penangkaran itu berupa lubang-lubang dalam tanah berpasir bersuhu 35-40 derajat celsius. Tanah seperti ini tersedia di dekat sumber air panas di hutan Pakuli, berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu. Lubang ini diberi pembatas pagar pengamanan, untuk mencegah pemburu telur maleo yang kerap berkeliaran di hutan.

Butuh 60 hari hingga telur maleo menetas, dan selama itu pula Ali menengok dan menjaganya. Jika sudah menetas, anak maleo dirawatnya sebulan, baru dilepaskan.

Kesibukan Ali bertambah dalam rentang waktu antara telur menetas dan anak burung berusia sebulan. Setiap hari ia memecah kemiri, mengambil dan menghancurkan isinya untuk makanan anak maleo. Untuk 20 ekor anak maleo dibutuhkan biaya Rp 20.000-Rp 30.000 per minggu guna membeli kemiri. Bagi Ali, uang sejumlah itu cukup besar.

”Kalau tak ada uang, saya pinjam tetangga atau keluarga. Kadang saya ambil kemiri ke kebun kemiri, dan bayar kepada pemiliknya waktu ada uang,” katanya.

Sebenarnya, Ali bisa menjual telur maleo yang harganya mencapai Rp 20.000 per butir. Tetapi itu tidak dia lakukan.

Warisan leluhur

Ketertarikan Ali pada burung berbulu hitam dengan warna kuning di dadanya ini dimulai saat ia kanak-kanak. Saat itu, populasi maleo di sekitar Pakuli masih banyak. Kalau di daerah lain di Sulteng maleo umumnya hidup di sekitar pantai. Di Pakuli habitat maleo adalah hutan.

Ini tak lepas dari legenda sejarah tentang anak raja di Pakuli yang dilamar, dan salah satu barang antarannya adalah dua pasang maleo. Satu pasang maleo disimpan di Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa, Sigi, dan satu lainnya disimpan di Pakuli. Kedua pasang maleo ini lalu beranak pinak.

Hingga dewasa, Ali hampir tak lepas dari maleo karena ia sering masuk-keluar hutan. Awalnya ia tertarik pada kehidupan maleo yang antipoligami dan selalu berpasangan. Acapkali ia mengamati bagaimana maleo yang tubuhnya seukuran ayam mengeluarkan telur besar. Maleo betina kerap pingsan, usai bertelur.

Ia melihat bagaimana maleo jantan dengan setia menggali lubang yang akan dipakai betina bertelur dan menungguinya. Usai betina bertelur, maleo jantan menutupi lubang itu dengan mengais dan menginjak tanah menggunakan cakarnya.

Lama-kelamaan Ali sadar, ia kian jarang bertemu maleo. Burung itu terancam punah karena telurnya diburu dan habitatnya rusak. Ia lalu tak sekadar tertarik, tetapi berupaya melestarikannya. Pertemuan dengan sejumlah anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Jambata pada 2001 membuat Ali mendapat masukan dan lebih serius melakukan pelestarian maleo.

Tak hanya di Sigi, Ali kerap diundang ke kabupaten lain terkait pelestarian maleo. Ia antara lain diundang ke wilayah pegunungan Pinjan, perbatasan Kabupaten Tolitoli dan Buol.


Menjaga hutan

Kesadaran Ali tak sebatas mengurusi telur dan anak maleo, tetapi hingga menjaga hutan yang vital untuk kembang biak maleo. Setiap kali mendengar suara gergaji di hutan, ia segera masuk dan mengusir perambah hutan.

Ia membuka tujuh hektar areal untuk habitat maleo yang separuh di antaranya tanah milik Ali. Kawasan ini ditanaminya kemiri dan beragam tanaman sumber makanan maleo, sekaligus tempat hidup burung itu.

Lahan tersebut masuk kawasan Taman Nasional Lore Lindu, dan tak sekalipun pengelola taman nasional mengapresiasi apa yang dilakukan Ali. Di luar habitat maleo, ia menjaga kawasan luar taman nasional yang juga menjadi tempat berkembang biak maleo.

”Kalau urusan hutan, bukan hanya untuk maleo, tapi untuk manusia. Kalau hutan rusak, bukan hanya maleo yang habis, tapi kita semua habis. Kalau kini bukan kami yang kena bencananya, besok atau lusa anak cucu yang akan kena,” tegasnya.

Sampai kapan Ali mau mengurusi maleo? ”Saya menganggap mereka seperti anak sendiri. Kalau populasinya bertambah banyak, anak cucu saya masih bisa melihat maleo, burung langka peninggalan leluhur mereka. Syukur-syukur suatu saat nanti maleo tak lagi menjadi burung langka,” katanya.

Keseriusan Ali melestarikan maleo dan harapannya agar burung ini tak punah, membuat dia mempersiapkan anaknya, Fahmi, sebagai penerus. Setiap kali ia ke hutan, Fahmi dibawa serta. Ali mengajari Fahmi cara melestarikan maleo.

”Mudah-mudahan dia tertarik dan kelak mau menjadi penerus, biar maleo tak jadi hewan langka,” kata Ali.

Jantung Sulawesi : Keindahan dan Kekayaan Alam yang Terancam


Keindahan dan kaya akan sumberdaya alam menjadi sebuah kebanggaan bagi masyarakat adat yang tinggal di beberapa desa di Kecamatan Seko dan Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Namun, itu semua akan menjadi sebuah ancaman bagi masyarakatnya sendiri. Terlebih jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap berpikir dengan pola lama, membuat keputusan dan kebijakan yang tidak memperhatikan kearifan masyarakat adat dan kesejahteraan masyarakatnya dalam peningkatan sisi ekonomi ataupun pendapatan asli daerah.

Adanya ancaman-ancaman terhadap kawasan inilah yang membuat aku dan teman-teman datang ke Seko-Rampi. Mendokumentasikan, berdialog langsung dan saling berbagi pengalaman dengan masyarakat lokal. Rencana akan masuknya investasi perusahaan-perusahaan tambang, izin HPH dan HGU untuk perkebunan membuat masyarakat adat Seko-Rampi bertanya-tanya, seperti apakah dampak negatifnya jika semua itu terjadi di wilayah adatnya.

Inilah sedikit catatan perjalananku selama dua puluh lima hari disana, mengunjungi beberapa Desa/Kampung yang ada di Kecamatan Seko dan Kecamatan Rampi.

Tanggal 24 Juli 2006 pukul 13.00 waktu Makassar aku tiba di Bandara Hasanudin, Makassar. Aku dan seorang temanku Yudi N. berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 10.00. Lama perjalanan dengan pesawat antara Jakarta-Makassar adalah dua jam. Karena ada perbedaan waktu satu jam antara Jakarta dengan Makassar maka kami tiba pukul 13.00, Makassar lebih cepat satu jam.

Setiba di Makassar kami langsung menuju kantor Jurnal Celebes di daerah Panakukang. Kami sudah janjian untuk ketemu dengan seorang teman dari JC Makassar yang juga akan ikut ke Seko-Rampi.

Setelah cukup beristirahat dan jalan-jalan sebentar mengunjungi pusat perbelanjaan di Kota Makassar, pukul 22.00 kami langsung menuju Palopo dengan menggunakan bus. Lama perjalanan dari Makassar ke Palopo sekitar tujuh jam dengan ongkos tujuh puluh lima ribu rupiah per kepala.

Sekitar pukul 06.00 kami tiba di Palopo. Setiba disana kami sempat beristirahat beberapa jam sambil berdiskusi dengan teman-teman dari Yayasan Bumi Sawerigading (YBS Palopo) mengenai masalah teknis perjalanan kami nanti. Dari YBS Palopo juga akan ikut satu orang untuk bergabung dengan kami. Kebetulan beliau juga merupakan pendamping masyarakat disana. Pukul 11.00 kami melanjutkan perjalanan ke Seko, yaitu daerah yang memang tujuan awal perjalanan kami. Untuk menuju Seko kami harus ke Sabbang terlebih dahulu untuk mencari ojek yang menuju Seko, tepatnya Desa Lodang. Perjalanan dari Palopo ke Sabbang diperkirakan sekitar satu jam dengan menggunakan angkutan kota.

Setelah belanja kebutuhan perjalanan kami untuk satu bulan, kami langsung berangkat menuju Seko dengan menggunakan ojek. Kami memesan tiga buah sepeda motor untuk menuju ke Seko. Sedangkan seorang teman dari Palopo membawa motornya sendiri yaitu motor honda wins. Aku kira ojek disini adalah motor-motor besar, mengingat kondisi jalan yang jelek dan berbukit. Tapi ternyata rata-rata motor yang mereka pakai adalah motor-motor jenis bebek, yang memang kebanyakan sudah dimodifikasi.

Untuk menuju Seko memang membutuhkan biaya yang cukup mahal, karena kita harus mengeluarkan uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu motornya. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju Sabbang sekitar delapan jam. Cukup lama memang kita harus duduk diatas motor. Sedangkan jika berjalan kaki atau memakai kuda, membutuhkan waktu selama tiga hari dua malam.

Perjalanan menuju Seko sangatlah melelahkan, karena kondisi jalan yang sangat jelek, berbatu, tanah liat dan lumpur. Selain kondisi jalan yang jelek kami juga harus naik turun bukit, menyeberangi sungai serta melewati jalan-jalan setapak yang terkadang sangat curam. “Jalanan ini diluar akal sehat manusia untuk dilalui” ujarku kepada sang pengendara motor, sementara si pengendara hanya tertawa dan berkata “yaa.. inilah Seko, sudah puluhan tahun lebih kami tinggal disini, sampai sekarang belum juga dibangun jalannya. Ini sebenarnya jalan kuda”.

Perasaanku saat berada diatas motor sangat was-was, karena aku sepertinya merasakan perjalanan ini sangat beresiko tinggi. Bisa-bisa suatu ketika akan jatuh. Selain berat dengan dua orang yang berada diatas motor, motor kami juga berat dengan barang-barang yang kami bawa.
Tapi, untunglah para tukang ojek ini sudah terbiasa bolak-balik antara Sabbang-Seko. Jadi mereka sudah berpengalaman membawa motor menuju Seko. Perjalanan menuju Seko sangatlah indah, apalagi disaat kami sudah berada di ketinggian 1500 mdpl. Masyarakatnya menyebut daerah ini km 41. Dari sana sampai menuju Desa Lodang kami bisa menikmati sejuknya udara disore hari yang berkabut, melihat tutupan hutan yang masih lebat, melewati punggungan-punggungan dan terakhir melewati hamparan savana yang dibelah oleh sungai besar. Udaranyapun sudah mulai menusuk tulang-tulang kami. Begitu dingin...

Seko
Kecamatan Seko terdapat dua belas desa dan sembilan wilayah adat. Seko sendiri terbagi dalam tiga wilayah besar yaitu; Seko Padang, Seko Tengah dan Seko Lemo. Setiap desa ditiga wilayah besar ini jika secara adatnya dipimpin oleh Tubara, Tobara dan Tomokaka. Keberadaan masyarakat adat Seko juga telah diakui oleh pemerintah daerah Kabupaten Luwu Utara dengan adanya PP Kabupatan Luwu Utara No. 12 Tahun 2004 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dan SK Bupati No. 300 Tahun 2004 Tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko.

Di Seko, kami hanya bisa mengunjungi wilayah Seko Padang, karena Seko Tengah dan Seko Lemo lokasinya sangat jauh dari Seko Padang.
Desa Lodang. Hamparan padang savana yang luas, berbukit dan sawah yang membentang ditengah lembah. Inilah pemandangan yang sangat mengesankan jika berada di desa ini. Apalagi jika kita berada diatas bukit yang berada disekitar kampung dipagi ataupun sore hari. Selama enam hari di Lodang, banyak pemandangan-pemandangan indah, aktivitas masyarakat, adat istiadat yang kami temui.

Oleh karena perubahan suhu udara yang sangat cepat, setelah dua hari disana aku sempat terserang flu berat. Disaat siang hari suhunya sangat panas menyengat. Sedangkan pada malam harinya berubah menjadi sangat dingin. Apalagi kami datang disaat musim kemarau.

Selama berada di kampung, kami sempat mendokumentasikan pembuatan kain/selimut dari kulit kayu (sumasa), dimana masyarakat setempat menyebut nama kayunya adalah kayu ani. Sebelum ada pakaian yang seperti sekarang, orang-orang tua dulu membuat pakaian, sarung atau selimut dari kulit kayu ini. Pembuatan kain dari kulit kayu ini cukup memakan waktu yang lama, karena mereka harus memukul kulit kayu tersebut sampai tipis dan halus dengan alat-alat yang berbagai macam ukuran yang terbuat dari batu dan diikat rapi disebatang rotan.

Kami juga ikut menangkap ikan di sungai yang jernih dan dingin yang mengalir disepanjang desa mereka. Berburu di padang savana dan berbukit dibawah teriknya matahari membuat kulit kami terbakar. Tidak heran jika pada esok harinya kulit dimuka dan tangan sudah mulai mengelupas satu persatu.

Selain kaya akan hasil-hasil pertanian, masyarakat Desa Lodang juga kaya akan hewan ternak seperti kerbau, sapi dan kuda. Salah satunya adalah Pak Murruna. Beliau dan dua saudaranya memiliki kurang lebih dua ratus ekor kerbau. Sore hari yang cerah kami mengikuti Pak Murruna mengembala kerbaunya di padang savana. Hewan-hewan ternak disini begitu sehat dan gemuk karena dilepas disana. Kerbau-kerbau di Seko maupun Rampi banyak dibeli oleh orang-orang Toraja untuk upacara adat di Toraja.

Masyarakat Desa Lodang dan juga masyarakat Seko pada umumnya jika dimalam hari selepas maghrib berkumpul bersama keluarga di dapur. Ini dilakukan karena Seko pada malam hari suhunya memang sangat dingin. Di dapur mereka mengelilingi tungku perapian sambil berdiskusi maupun bersenda gurau, sementara sang ibu maupun anak perempuannya ikut bergabung sambil memasak. Begitupun nasehat dan petuah-petuah orang tua, mereka sampaikan kepada anak-anaknya di dapur.

Keunikan di Seko, jika kita bertamu dan tidak ke dapur, maka kita dianggap tidak menghargai tuan rumah. Jadi, jika kita bertamu ataupun bertandang ke rumah masyarakat Seko, kita harus langsung menuju dapur. Budaya ini turun-temurun selalu dilakukan. Sesuai dengan arti “seko” itu sendiri memang. Bersahabat...

Eno, Desa Padang Balua. Tanggal 30 Juli 2006 kami melanjutkan perjalanan ke Desa Eno, yang juga merupakan ibukota Kecamatan Seko. Jarak antara Desa Lodang-Eno sekitar 7 km. Jika memakai ojek membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit.

Suasana di Eno memang berbeda dengan desa-desa yang lainya, lebih ramai dan sudah banyak warung-warung. Di Eno sekarang juga sudah ada bandara untuk pesawat kecil yang kapasitas penumpang enam orang. Masyarakat Seko jika ingin membeli kebutuhan rumah tangga, jika tidak turun ke Sabbang, mereka membelinya di Eno.

Fasilitas umum dan kantor pemerintahan di Eno juga sudah ada, seperti Kantor Camat, Puskesmas, dan Polsek . Ketika kami datang, sebuah bangunan sekolah SMU Negeri hampir selesai dibangun.

Disini kami diajak salah satu masyarakat Eno untuk melihat situs budaya yang ada di desa mereka. Situs budaya yang ada disana adalah tungku raksasa, lesung dan alu raksasa. Diceritakan, dulu memang pernah ada manusia raksasa yang tinggal dan menjaga kampung mereka. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan tungku dan lesung raksasa yang terbuat dari batu di desa mereka. Untuk tungku, ada empat buah batu yang membentuk tungku dengan tinggi kira-kira satu meter yang tertanam ditanah. Jarak antara batu satu dengan batu lainnya diperkirakan 2 meter. Sedangkan lesung itu sendiri diameternya sekitar 2 meter dan kedalam 2,75 meter. Sayangnya lesung ini sudah pecah dibakar oleh Masyarakat Bada’ di Sulawesi Tengah. Masyarakat Bada’ iri dengan kesuburan tanah dan kaya akan ternak di Seko. Mereka percaya yang menyebabkan semua ini adalah lesung yang ada di Seko. Maka mereka secara diam-diam mengumpulkan kayu diatas lesung tersebut dan membakarnya. Setelah api meyala dan memanaskan lesung, mereka langsung menyiramnya dengan air. Sementara alu-nya mereka bawa kekampung dengan dipikul oleh delapan orang. Niat mereka membawa alu ke kampung mereka, agar tanah dan ternak mereka bisa subur seperti di Seko. Tapi karena alu tersebut terlalu berat dan mereka juga sudah tidak kuat lagi memikulnya, ditengah perjalanan mereka membuang alu tersebut ke sungai mabubu. Sampai sekarang alu itu terendam di sungai mabubu.

Ketika kami berada di Eno, masyarakat Eno sedang bergotong royong untuk pembersihan kampung, mengecat pagar dan membersihkan lapangan. Ini dilakukan untuk menyambut perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke 62. Setiap tahun dalam perayaan hari kemerdekaan di kampung ini memang selalu ramai. Berbagai perlombaan diadakan, seperti sepak bola dan bola volly. Masyarakat dari kampung-kampung yang ada di Seko berdatangan untuk bertanding. Para pendatang ini akan tinggal di Desa Eno sampai perayaan tujuh-belasan selesai.

Olah raga yang paling favorit bagi para pemuda di Seko adalah sepak bola. Jadi tidak heran jika disetiap desa/kampung di Seko terdapat lapangan besar.

Desa Wono. Tanggal 1 Agustus 2006 kami berangkat ke Desa Wono tepatnya ke Dusun Tanete. Tujuan kami ke Tanete adalah untuk melihat musik bambu. Musik bambu merupakan musik tradisional yang ada disana. Semua peralatan musiknya terbuat dari bambu. Ada berbagai macam alam musik, berbagai macam ukuran dan berbagai macam pula bunyinya.

Karena masyarakat kampung Tanete masih banyak yang berkerja di ladang pada siang harinya, maka siang itu kami jalan-jalan ke Kampung Bana. Ada informasi dikampung ini masyarakatnya memelihara madu dan membuat gula dari tanaman tebu.

Ketika memasuki perkampungan Bana hatiku seakan terenyuh karena melihat perkampungan ini. Disini hanya ada beberapa rumah yang mengelilingi lapangan. Lokasi kampung ini juga berpisah jauh sekali dari kampung-kampung lainnya.

Karena masih penasaran kenapa masyarakat dikampung ini sedikit sekali dan lokasinya jauh dari kampung lainnya, aku bertanya kepada teman yang mengantarkan ku. “Mengapa masyarakat di kampung ini sedikit sekali penduduknya” ucapku. “Dulu jumlah penduduk di kampung ini lebih banyak daripada sekarang, tetapi sudah banyak yang mengungsi ke Mamuju Sulawesi Barat. Masyarakat Bana awalnya dari orang-orang yang mengungsi ke hutan karena kerusuhan DI/TII. Tahun 1983 masyarakat di Bana banyak yang keluar dari Bana karena susahnya akses untuk mengeluarkan hasil-hasil pertanian dan juga akses antar kampung yang masih sulit” kisah temanku itu. Terkadang hatiku masih tidak percaya ada masyarakat yang tinggal dengan keadaan seperti ini. Tapi inilah kenyataannya.....

Setelah melihat masyarakat Bana mengambil madu dikebunnya. Kami menyaksikan proses pembuatan gula dari tanaman tebu yang dilakukan secara tradisional. Masyarakat Seko hampir disetiap ladangnya memiliki tanaman tebu. Bisa dikatakan mereka tidak pernah membeli gula pasir yang dijual di warung-warung ataupun di pasar.

Pembuatan gula tebu memakan waktu yang cukup lama, mulai dari menebang tebu, mencuci, memeras tebu dan terakhir memanaskan air tebu hinggga menjadi gula. Masyarakat seko memeras tebu dengan menggunakan dua buah pohon yang diinjak oleh seseorang. Lamanya proses memasak air tebu hingga menjadi gula memakan waktu 5-6 jam. Setelah air tebu menjadi gula/kental, kemudian dimasukkan kedalam bambu dan didinginkan.

Malamnya kami kembali ke Tanete karena kami sudah janji dengan masyarakat tanete untuk shooting permainan musik bambu. Pukul sepuluh malam di gereja yang terdapat dikampung, orang-orang yang saat itu berada di dalam gereja mulai bermain musik dari bambu. Kebanyakan yang bermain musik ini adalah orang-orang tua. Suara dari musik bambu ini sangat khas, tapi sayang musik bambu ini sudah sangat jarang sekali dimainkan oleh masyarakat Seko. Tidak menutup kemungkinan musik-musik bambu ini akan ditinggalkan oleh masyarakat dengan masuknya alat-alat modern dan pengaruh budaya luar lainnya.

Desa Marante. Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan ke Desa Marante. Tujuan kami ke desa ini adalah ingin mengunjungi masyarakat Kampung Parahaleang untuk ikut memasang jerat anoa (Bubalus quarlesi) di hutan parahaleang. Dari Tanete kami berjalan kaki ke Paraheleang yang jaraknya sekitar 14 km.

Desa Marante tepatnya di Parahaleang merupakan desa yang berada dipaling ujung. Di Parahaleang inilah, kampung yang berbatasan langsung dengan hutan, dan merupakan kampung penyuplai kayu-kayu untuk wilayah seko padang. Masih banyak jenis-jenis kayu di kampung ini yang besar-besar diantaranya; huru, bitau, damar, polio dan jenis lainnya yang kesemuanya bebahasa lokal.

Setelah beristirahat di Desa Parahaleang dan berdiskusi mengenai teknis berburu dihutan, tanggal 3 Agustus 2006 kami berangkat menuju hutan parahaleang. Dalam berburu ini kami ditemani oleh tiga orang dari kampung parahaleang.

Sebelum berangkat kehutan saya sempat bertanya “berapa jam dari kampung kita akan berjalan?”, “hanya tiga jam berjalan kaki” ucap Pak Takohu yang ikut menemani kami.
Kami mulai berangkat dari rumah pukul sembilan pagi. Saat awal perjalanan dengan semangatnya aku berjalan sambil menggendong ranselku. Dua, tiga jam telah terlewati, tapi lokasi yang dituju belum juga sampai-sampai. “Masih jauh pak” ujarku kepada pak Takohu untuk meyakinkan kembali berapa lama lagi kita akan berjalan. Sambil berjalan santai pak Takohu menjawab “yaa.. lumayan jauh sih, nanti setelah ada persimpangan yang menuju ke Palu kita kekanan. Dari situ sudah dekat” ucapnya. Dalam hati aku menggerutu, “wah... kalo begini mah, mendingan deket-deket aja masang jeratnya pak...”

Stamina tubuhku sudah hampir menurun karena harus naik turun punggungan hutan parahaleang. Pak Takohu yang kelahiran tahun 42 itu tetap santai berjalan walaupun tanpa beralas kaki. Padahal hutan yang kami lewati banyak duri-duri rotan yang menghadang jalan. Walaupun tanpa kompas Pak Takohu dengan pasti melangkahkan kakinya.

Pukul 15.40 kami baru tiba dilokasi yang kami tuju. Tujuh jam lebih kami berjalan kaki, barulah kami tiba di sebuah pondok didekat sungai. Diareal yang sedikit terbuka dan datar ini akhirnya aku meletakkan ransel dan bisa bernafas dengan tenang. “Huhh... betapa jauhnya pak, lokasi memasang jerat anoa ini. Kalo aku, lebih baik nggak makan anoa daripada harus berjalan kaki sejauh ini” keluhku kepada bapak-bapak yang menemani kami. Seorang teman Pak Takohu yang mendengarkan keluhku langsung menjawab “kami biasanya bolak-balik dari sini ke kampung jika tidak dapat hasil jeratan”.

Sore pada saat hari pertama kami sampai, di pondok kami, singgah satu keluarga yang mau menuju Dusun Singkalong. Mereka berjalan sudah lima hari dari Palu, Sulawesi Selatan. Ikut juga dirombongan itu seorang ibu muda yang selalu menggendong anaknya. “Bener-bener seorang ibu yang tangguh” gumamku dalam hati. Diwajahnya terpancar ketabahan dan selalu tersenyum. Tidak pernah mengeluh walaupun sudah berjalan selama lima hari. Kami saja yang baru berjalan tujuh jam sudah memaki-maki hehehe...

Disaat kami beristirahat, Pak Takohu dan temannya langsung memasang pancing di sungai yang berada didekat pondok kami. Ada puluhan pancing yang dibawa Pak Takohu. Pancing itu baru akan dilihat pada pagi harinya. Selama tiga hari dua malam dihutan, ikan belut sungai hasil pancingan inilah yang menjadi lauk kami ditemani dengan sayur pakis yang tumbuh subur disepanjang sungai.

Desa Taloto. Tanggal 7 Agustus 2006 kami kembali melanjutkan perjalanan ke Desa Taloto yaitu Singkalong, desa perbatasan antara Seko dengan Rampi. Singkalong walapun secara administratif tergabung kedalam Kecamatan Seko namun adat dan bahasanya sudah menggunakan adat dan bahasa rampi.

Keesokan harinya kami diajak olah Pak Gerson untuk melihat kondisi kampung dan melihat lokasi ex HPH PT Kendari Tunggal Timber (KTT) serta lokasi tambang. Setelah sampai dilokasi ex KTT Pak Gerson menjelaskan semua permasalahan yang ada dikampung ini. Mulai dari kehancuran hutan yang dieksploitasi oleh KTT yang mengakibatkan erosi, banjir dan rencana masuknya perusahaan tambang emas ke kampung mereka. Pak Gerson juga menjelaskan ada beberapa hulu sungai yang terdapat dikampungnya diantaranya; sungai tadoyang, sungai lore’, dan sungai lengkong. Sungai-sungai ini mengalir ke beberapa desa di Seko dan Desa Mamuju, Sulawesi Barat.

Aku sendiri sampai geleng-geleng kepala disaat Pak Gerson menunjukkan lokasi hutan yang pernah dijarah oleh KTT. Hampir semua puncak gunung yang mengelilingi seko merupakan areal konsesi KTT. “Untung KTT berhenti karena didemo masyarakat, kalo tidak, habis sudah seko” ucap Pak Gerson kepadaku.

Setelah banyak mendapatkan penjelasan dari Pak Gerson dan melihat semua lokasi-lokasi camp yang digunakan oleh KTT kami melanjutkan perjalanan ke lokasi tambang emas. Tak lama berjalan dan menyusuri sungai kami sudah masuk ke wilayah tambang emas. Disaat aku menyusuri sungai kecil yaitu sungai ..... (aku lupa nama sungainya) aku dikejutkan oleh Pak Gerson “ lihatlah pasir disungai ini, ada butiran-butiran emasnya, kuning mengkilap”. Spontan aku langsung melihat dasar sungai yang aku injak, dan, waw... butiran-butiran emas berkilap-kilap karena terkena sinar matahari. Seolah tak terpacaya aku langsung mengambil pasir dengan genggaman tanganku dan melihatnya. Sekali lagi aku meyakinkan diriku dengan bertanya kepada Pak Gerson, “ini bener emas pak?” ucapku. “Iya.. itulah butiran-butiran emas, Cuma belum tahu apakah masih muda atau memang bukan emas” sambil tertawa Pak Gerson menggodaku. Pak Gerson juga bercerita bahwa beberapa minggu yang lalu ada orang Korea yang survey kesini dan bilang kepada masyarakat kalo disini tidak ada emas.

Hampir dua jam kami berjalan menyusuri sungai ini. Sepanjang sungai pula kami melihat butiran-butiran emas yang bersinar diantara pasir-pasir yang ada di sungai. Pak Gerson bercerita kepadaku bahwa Seko ini kaya akan sumberdaya alam, kayu dan juga bahan-bahan tambang. “Semua ada disini, kayu, emas, tembaga, uranium, nikel. Kami bangga dengan kekayaan alam yang kami punya. Tapi, ini juga yang akan menjadi ancaman bagi masyarakat Seko jikalau memang nanti perusahaan-perusahaan besar masuk ke kampung kami” keluh Pak Gerson kepadaku.

Disaat akan kembali ke kampung, Pak Gerson menunjukkan kepada kami letaknya Rampi. “Rampi ada dibalik gunung itu, jadi besok kalian harus melewati lembah-lembah itu, terus naik ke puncak gunung dan baru turun. Disanalah Rampi. Desa yang pertama yang akan kalian temui adalah Desa Tedeboe” jelasnya sambil menunjuk sebuah puncak gunung. Setelah mendengar penjelasan dari Pak Gerson, kami hanya memandang kosong puncak gunung yang sedikit tertutup kabut itu. “Kira-kira berapa lama kami akan berjalan kaki pak?” tanyaku kepada Pak Gerson. Dengan santai Pak Gerson menjawab “ya... mungkin dua tiga hari kalian tiba disana”.

MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN


Potensi pulau-pulau kecil (PPK) terbesar Indonesia terdapat di Kawasan Timur Indonesia, dengan salah satu daerah otonomnya adalah Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah. Daerah ini memiliki potensi sumber daya PPK yang cukup besar, umumnya berada di Kepulauan Togean (221 pulau). Kepulauan Togean merupakan salah satu taman nasional yang relatif baru di Indonesia, terbentuk melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 418/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi yang dapat dikonversi dan wilayah perairan laut Kepulauan Togean di Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah seluas ±362.605 hektar. Sesuai dengan daya tarik obyek wisata, kegiatan pariwisata di wilayah ini mengandalkan pariwisata bahari, yakni dengan wisata kategori selam dan snorkling, pancing, serta jelajah hutan alam dan hutan mangrove (trekking).

Hutan mangrove merupakan salah satu potensi sumber daya di Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT), luas hutan mangrove Kepulauan Togean ±4.800 ha yang tersebar di beberapa pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian pulau Walea Bahi. Keberadaan hutan mangrove di Kepulauan Togean selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean. Meskipun memiliki luasan yang tidak terlalu besar, hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi Kepulauan Togean yang merupakan kawasan pulau-pulau kecil. Kepulauan Togean memiliki 12 jenis mangrove (sejati dan ikutan) dengan jenis mangrove yang memiliki kerapatan tertinggi dari jenis Rhizophora apiculata, diikuti jenis Rhizophora mucronata. Wilayah pesisir yang paling banyak memiliki ekosistem mangrove berturut-turut adalah sepanjang garis pantai Pulau Togean (hutan mangrove yang terluas)

Selasa, 25 September 2012

Randa Nu Tajio

Dahulu Kasimbar dikenal dengan nama Tanainolo yang artinya tanah terpotong, masyarakat hidup secara berkelompok-kelompok yang dikuasi oleh seorang Kepala Suku Gelar Toi Bagis dalam satu wilayah yang disebut dengan Boya. Daratan Kasimbar dahulu terbagi atas 7 Boya, yaitu ; Boya Mayapo, Boya Vintonung, Boya Liovung, Boya Sambali, Boya Tagali, Boya Apes dan Boya Ranang dan atas kondisi seperti itulah secara pelan-pelan tercipta nilai-nilai adat istiadat Kasimbar yang dikenal dengan sebutan Pitu Pole (artinya 7 bagian) atau sebutan lain yaitu Sanja Pitu.
                   Suasana seperti diatas berjalan hingga akhir abad 16, ditandai dengan datangnya rombongan pelayar Orang-orang Mandar yang dipimpin oleh Puang Tomessu Gelar Arajang Taunai. Tujuan kedatangan orang-orang Mandar semula berdagang dan siar agama Islam, namun perlahan-lahan terjadi perkawinan dengan penduduk setempat hingga berhasil melahirkan keturunan bernama Datu Ranang. Disamping Puang Tomessu dikenal sebagai saudagar santun juga dikenal sebagai sosok pemberani, hal ini dapat buktikan dengan kegigihannya melawan Bajak Laut atau perampok asal Maluku Utara dengan Bayo Kubang dari Mindannao Philipina hingga akhirnya Bajak Laut tersebut mundur, atas kegigihan dan keberanian itulah hingga Puang Tomessu diakui sebagai Pemimpin Daratan Kasimbar.
                   Beberapa Pemimpin besar yang dikenal berkuasa di wilayah Kerajaan Kasimbar yaitu :
1.    Puang Tomessu Gelar Arajang Taunai (1711-1762).
2.    Puataikacci Gelar Puang Logas (1762-1778).   
3.    Magalattu Gelar Pua Datu Mula (1778-1822), memegang kekuasaan sebagai Raja pertama di Moutong yang berkedudukan di Pulau Matoro.
4.    Buralangi Gelar Puang Lei (1895), dibantu oleh seorang Olongian yang bernama Sariani Gelar Olongian Gurang berkedudukan di Kasimbar dan Olongian Daeng Malindu yang berkedudukan di Toribut.
5.    Pawajoi Gelar Matoa, dibantu oleh seorang Olongian bernama To’eng.
6.    Suppu (1899-1901), dibatu oleh seorang Olongian yang bernama Tanggudi, Malafai sebagai Jogugu dan Lahia sebagai Kapitalau.
7.    Lamangkona Gelar Pue Sanjata (1902-1906).
8.    Pue Masaile Gelar Paduka Raja Muda (1907-1913), dibantu oleh seorang pabicara adat bernama Akas Bin Kadang Malingka, Anteng Palimbui sebagai Jogugu dan Bambalang sebagai Olongian.

            Dalam kekuasaan Raja Pue Masaile Yusuf sekitar tahun 1912 kerajaan Kasimbar di aklamasikan ke kerajaan Parigi sebagai wilayah yang berstatus Lanschap atau Distrik dibawah Onder Afdeeling Parigi, tawaran tersebut ditolak oleh orang tua-tua Kasimbar. Akhirnya pada tahun 1913 kedudukan Distrik ditempatkan di Toribut dengan Kepala Distrik pertama adalah Daeng Palewa (1913-1915) dan pada tahun 1915-1918 oleh Pemerintahan Belanda mengangkat Raja Muda Masaile menjadi Kepala Distrik kedua yang berkedudukan di Toribut, maka Kerajaan Kasimbar tinggallah sebuah kenangan. Dan karena tuntutan zaman atas perubahan sistim Pemerintahan di Negara RI, Eks wilayah Kerajaan Kasimbar menjadi sebuah Kampung/Desa dibawah Pemerintahan Kecamatan Ampibabo hingga akhir tahun 2004.

Keindahan Kota LUWUK - Sulawesi Tengah

Luwuk terletak di ujung peninsula dari provinsi Sulawesi Tengah merupakan ibukota dari kabupaten Kepulauan Banggai. Kota yang  diapit oleh pantai dan perbukitan ini sangat indah dengan pantainya yang jernih dan tak berombak karena di kelilingi oleh kepulauan Banggai. Kota dengan populasi yang tidak terlalu padat ini dihuni berbagai suku yang datang dari berbagai daerah seperti Bugis, Padang dan warga keturunan Tionghoa yang banyak berprofesi sebagai pedagang. Penduduk asli daerah sekitar adalah suku Ta. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan dialek Bugis campur.

Luwuk dapat ditempuh dengan melalui jalan darat dari ibukota provinsi Sulawesi Tengah Palu melalui jalur Poso, Tentena, Morowali, Pagimana dan Luwuk. Sepanjang perjalanan anda akan melalui tempat tempat yang indah yang belum banyak dikenal seperti lokasi penyelaman di Pulau Tikus dan Tanjung api.

Melalui udara dapat di tempuh dari Manado atau Palu dengan Merpati CN 235   yang ditempuh sekitar lebih kurang dua jam. Atau yang saya gunakan adalah melalui Makassar, pesawat boeing yang berani mendarat di luwuk untuk saat ini hanyalah dari Batavia Airlines sekitar 1 jam perjalanan, Anda akan mendarat di pelabuhan udara Bubung, Luwuk. Bandara yang terletak tiga kilometer di luar kota Luwuk. Dari bandara dapat menggunakan taxi atau angkutan desa menuju Luwuk.

Beberapa penginapan yang berada di kota Luwuk, seperti Hotel Igora, Ramayana, Dynasti dan Hotel Rosalina dengan fasilitas yang lumayan bagus. Ramayana dan Rosalina terletak di pinggir pantai sedangkan Dynasti berada didekat pusat pertokoan.  Yang saya gunakan pada saat itu adalah hotel igora, Sedangkan Maleo Cottage dibuat untuk mengakomodir keperluan para wisatawan yang ingin berkunjung ke Luwuk dan daerah sekitarnya, kebanyakan turis mancanegara yang datang ke Luwuk adalah para penyelam yang mengetahui keberadaan beberapa spot lokasi penyelaman yang sangat indah di daerah Luwuk seperti di Tanjung Api. Dengan beberapa spesies ikan endemik daerah Banggai.

Beberapa tempat menarik yang dapat anda kunjungi di kota Luwuk sendiri adalaha Kilo Lima sebuah tempat rekreasi keluarga berupa pantai yang landai. Banyak dikunjungi masyarakat setempat pada hari libur dan hari Raya.  Disekitar pantai yang jernih dan tenang ini banyak cafe yang menjual makanan khas penduduk setempat seperti pisang goreng plus dengan sambal gorengnya dan saraba, minuman seperti susu dengan rasa jahe yang kuat. Anda juga dapat mengunjungi air terjun yang terdapat di bukit sekitar kota Luwuk, air terjun Hanga hanga dengan debit air yang tinggi ketika musim hujan dan air yang jernih.

Di Luwuk banyak terdapat restoran ikan bakar dengan ikan segar tangkapan di pulau sekitar. Anda dapat mengunjungi rumah makan Maros, menyediakan ikan bakar dengan sambal dabu-dabu. Jika anda seorang penyuka seafood sejati datanglah ke Luwuk. Ikan Kwe, Kakap Merah, Bobara, Kerapu dan Sotong tersedia segar disini.

Kesan lain yang saya dapat di kota ini adalah keramahan warga Luwuk, tidak lama setelah saya mendarat di bandara, saya dijemput oleh beberapa rekan kerja yang bertugas di Luwuk dan saya langsung merasakan kehangatan sambutan yang sangat luar biasa, tidak seperti biasanya baru kali ini saya datang ke kota yang belum pernah saya datangi sebelumnya namun penuh dengan suasana akrab dan kekeluargaan.  Bukan hanya itu, sesampainya di hotel pun para pegawai hotel memberikan sambutan yang sangat baik.  Hingga tiba saatnya saya hendak pulang, rekan-rekan di Luwuk pun mengadakan jamuan makan bersama.

Sulteng, Negeri yang Kaya Megalith

Sulawesi Tengah, sebuah provinsi yang jika kita lihat di peta dunia, letaknya berada di tengah-tengah dunia ini, memiliki sedikitnya 1.451 buah arca dari situs megalith dari zaman batu. Lokasinya tersebar di hampir seluruh wilayah ini. Tapi, yang paling banyak berada di Lembah Napu, Lembah Bada dan Lembah Besoa, Kabupaten Poso. Dari hasil penelitian, megalith Sulteng ini adalah situs megalitikum terluas di Indonesia.

Di dunia, arca megalith yang berupa arca, menhir atau dolmen ini hanya ada di Napu, Besoa, Bada serta di Marquies Island, Amerika Latin.

Berdasarkan hasil penelitian The Nature Concervancy (TNC) Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Yayasan Katopasa Palu tahun 2001 lalu, terdapat 432 objek situs megalith di Sulawesi Tengah, tersebar di Kecamatan Lore Utara sebanyak 349 situs, di Lore Selatan sebanyak 55 situs dan di Kecamatan Kulawi Kabupaten Donggala sebanyak 27 situs.

Tapi pihak Museum Sulawesi Tengah menyebutkan, situs megalith itu tidak hanya ada di tiga wilayah itu, tapi juga tersebar di Doda, Kecamatan Lore Tengah, di Desa Tulo, Kecamatan Dolo Kabupaten Donggala, Desa Watunonju, Kecamatan Sigi Biromaru, Kecamatan Pipikiro, dan Desa Bangga di Kabupaten Donggala. Hanya saja, pihak Museum mengaku tidak punya data soal jumlah situs menhir tersebut.

Iskam Lasarika, petugas Museum Sulawesi Tengah mengatakan, pihaknya hanya memberi nama terhadap patung-patung megalith ini. Salah satu patung megalith yang berdiri sendiri misalnya, dinamai Tadulako yang berarti pemimpin. Tingginya sekitar 170 centimeter. Patung itu berukiran orang. Mungkin saja pembuatnya hendak menggambarkan bahwa begitulah pemimpin di masa zaman pra sejarah itu.

Untuk menuju patung Tadulako itu, kita harus berjalan kaki dari jalan utama sekitar 2 kilometer dengan melewati persawahan. Sekitar 30 meter dari patung Tadulako ditemukan lagi beberapa situs megalith lain yang diberi nama Kalamba atau perahu, batu yang tengahnya bolong. Tidak hanya di situ, sekitar 5 kilometer dari kalamba, masih banyak ditemukan situs-situs megalith serupa.

Situs ini disebut juga dengan menhir, yakni bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak.

Saat ini, terdapat 60 ribu artefak asal Sulawesi termasuk Sulawesi Tengah yang disimpan di Museum Leiden Belanda. Sedangkan di Museum Sulawesi Tengah sendiri hanya menyimpan sekitar 10 ribu artefak.

Berasal dari Cina

Data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah menyebutkan, pra sejarahnya, disebutkan bahwa nenek moyang orang Indonesia berasal dari daratan Cina Selatan yang bermigrasi dengan perahu ke arah selatan ribuan tahun yang lalu. Gelombang migrasi ini masuk pula ke Sulawesi dan mereka menetap di pulau ini hingga ke Sulawesi Tengah.

Para pengembara ini masuk dalam rumpun ras austronesia yang menyebar dari Madagaskar sampai Pasifik. Pada saat itu, gelombang kedua orang austronesia datang ke Sulawesi dengan membawa kebudayaan zaman besi. Dengan alat-alat dari besi ini mereka bisa membuat berbagai model peningglalan dari batu atau dikenal dengan Megalith.

Dalam catatan J. Kruytt—sejarawan Belanda yang menulis tentang Sulawesi Tengah, sebelum kedatangan Belanda tahun 1908 di Lore, masih berlaku orang membuat kubur dari batu. Dan masih ada tempat pembuatan kalamba untuk penguburan. Jadi prasati batu ini tidak hanya dari masa prasejarah saja, namun ada yang berasal dari masa yang dekat ratusan tahun saja atau megalith muda. “Kadang orang melihat semua peninggalan batu ini berasal dari masa ribuan tahun yang lalu saja. Padahal ada juga di masa Belanda masih menjajah Indonesia,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah, Syuaib Djafar.

Beberapa waktu lalu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah pernah dihebohkan dengan adanya pencurian patung-patung megalith di Poso. Ada sekitar 100 patung yang dicuri dan dijual ke sejumlah galery barang antik di Bali. (Kompas, Selasa (11/12/2009).

Tapi celakanya, pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulteng mengaku tidak tahu menahu soal itu. Untung saja, pihak DPRD Poso ketika itu mengirim dua orang anggotanya untuk mengecek kebenaran informasi itu di Denpasar. Dan setelah dicek, ternyata informasi itu benar adanya.

Pihak DPRD Poso menemukan ada patung megaltih yang bernama Batu Nongko asal Lore Utara, dijual dengan harga Rp 5 miliar kepada pembeli asal Amerika. Sedangkan 20 situs lainnya yang sudah laku terjual, masih dipajang sambil menunggu proses pengiriman kepada pembelinya ketika itu.

SUKU LAUJE : Bercocok Tanam Sambil Menyanyikan Pujian

SUKU-SUKU asli di Indonesia mempunyai beragam tradisi bercocok tanam sampai memanen hasil buminya. Ada yang diiringi nyanyian dan musik tradisional. Ada pula yang didahului dengan ritual adat khusus.Suku Lauje, suku asli  di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah mempunyai tradisi memulai musim bercocok tanam hingga memanen hasil buminya dengan ritual adat yang unik dan menarik. Saat menanam, biasanya menanam benih padi ladang, mereka melakukannya secara berkelompok dengan diiringi nyanyian.

Sebelumnya didahului dengan menanam tanaman penanda lahan yang akan di tanami. Tanaman yang dipakai biasanya pohon jarak atau mereka menyebutnya balacai.

Tradisi itu dinamai mangetek. Para tetua kampong terlebih dahulu menanam balacai sebagai patokan  para anggota suku untuk menanam. Lalu para lelaki dengan menggunakan tugal menggali tanah untuk menanam benih padi ladang. Itu dilakukan sambil menyanyi dengan riang. Isinya berupa pujian kepada Tuhan dan ucapan syukur bahwa tanah mereka subur. Lalu, para perempuan kemudian menebar benih di belakang para lelaki itu.

Tradisi Suku Lauje ini sudah hidup sejak ratusan tahun lalu. Salah satu suku asli di Sulawesi Tengah ini dulunya begitu tertutup. Namun, kini mereka sudah mulai membuka diri dan bergaul dengan kelompok masyarakat lainnya.

Nah, kembali ke cara bercocok tanam tadi. Keunikan tradisinya tidak berhenti sampai di situ saja. Pada saat hendak memanen , lalu menumbuk padi  hasil panen mereka  ada lagi upacara yang mereka namakan Mengalu. Yaitu menumbuk padi hingga menjadi beras di dalam lesung  kayu. Menumbuknya harus berirama. Seringkali juga ditingkahi dengan sorak-sorai.

Meski lubang lesungnya kecil  tapi alunya tidak bertumbukkan satu sama lain. Menarik bukan?!

Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi Tengah, Mohammad Rahmatu,  tradisi ini terwariskan secara turun-temurun melalui penuturan lisan dan laku.

“Suku Lauje kaya dengan tradisi yang menarik. Coba kita lihat tradisi mangetek dan mengalu yang mereka lakukan, sungguh luar biasa. Puji-pujian yang mereka panjatkan ketika bercocok tanam bisa jadi tidak lagi dilakukan oleh masyarakat kebanyakan, tapi Suku Lauje masih melestarikanny,” jelas Mohammad.

Suku Lauje di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah merupakan salah satu anak suku Kaili, suku terbesar di daerah ini. Mereka bermukim di lereng-lereng dan lembah di pedalaman, di daerah lumbung padi ini. Anggota komunitas mereka sekitar 1.000 jiwa lebih. Ada yang masih terus bertahan di pedalaman. Ada pula yang sudah membaur dengan masyarakat setempat. Mereka mempunyai banyak tradisi unik dalam bercocok tanam yang hingga kini masih mereka lestarikan.**

SUKU LAUJE

Kearifan budaya Suku Lauje terlihat dalam memperlakukan hutan adat yang disakralkan orang asing seperti, melakukan ritual dengan memberikan nama kepada pohon yang akan ditebang.
Demikian juga dengan pohon di luar hutan adat harus diupacarakan sebelum ditebang, masyarakat Lauje meyakininya akan terhindar dari marabahaya dan gangguan hama pemakan tanaman.
Masyarakat Suku Lauje Atas (to bela) yang bermukim di lereng Gunung Sojol, akan meninggalkan rumahnya jika ada anggota keluarga yang meninggal, hal tersebut mereka lakukan untuk menolak bala yang akan terjadi seperti tertular penyakit.

Sistem pemerintahan di Suku Lauje telah ada sejak saman penjajahan Belanda, terdiri atas, Kepala Desa (Olongian), Kepala Pemerintahan Adat (Kapitaraja), Lembaga Hubungan Masyarakat (Madinu), Lembaga Hukum Adat (Wukum), Lembaga Sekretariat Pemerintahan Adat (Wala’apulu).
Struktur berikutnya, Lembaga Urusan Kesenian (Ojo Udae), Kepala Urusan Ketertiban dan Keamanan (Tadulako), Kurir (Pengata), Kepala Urusan Burung (Talenga) dan Kepala Urusan Pertanian (Pasabo).
Talenga berfungsi mendengarkan suara burung yang menentukan musim tanam, sedang Pasabo berfungsi menentukan kapan musim tanam dimulai.

suku lauje Sivu : Suku Kabut yang Tak Terlihat


ditulis oleh: Toni 

Siavu berarti samar-samar. Ini karena puncak pegunungan ini selalu diliputi awan sepanjang waktu, sulit terlihat. Pada akhirnya Siavu identik dengan mereka yang masih mendiami dataran tinggi, tak terlihat, terasing, dan terbelakang. Lauje Siavu masih menjalankan kehidupan suku-suku kuno melintasi masa kini.

Dulu sekali, pernah ada orang asing yang datang ke sini, ia menyuruh Orang Lauje untuk mendirikan sebuah rumah besar untuk ia akan mengajar. Tapi orang asing itu kemudian pergi dan tak kunjung kembali. Namun Pakombe tetap setia menanti, meski waktu jua yang akhirnya mengubur rumah itu rata dengan tanah.
      << Pakombe dan calon penerusnya

Pakombe adalah generasi ke sekian yang telah bersabar menanti, seperti generasi sebelumnya ia pun tetap setia dan menolak beberapa kebudayaan dan pengajaran yang dibawa orang luar yang datang ke desa mereka. “Pada waktunya nanti kamu akan tahu sendiri saat bertemu dengan orang yang tepat,” ulang Pakombe menuturkan pesan leluhurnya.

Wajah Pakombe menyiratkan suatu kebanggaan yang amat sangat. Hal yang telah dinubuatkan oleh para tua-tua Suku Lauje di masa silam dan yang telah diceritakan secara turun-temurun, akhirnya terwujud pada zamannya. Ia sangat merasa bangga bisa mengantarkan suku yang dipimpinnya kepada keselamatan dan peradaban baru yang sangat jauh lebih maju.

Pakombe adalah Kepala Suku Lauje Siavu yang berdiam di pegunungan di sepanjang Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, ia memimpin tiga kelompok klan, seluruhnya empat puluh empat keluarga terdiri dari dua ratus enam orang dewasa dan anak-anak yang masih berjalan dengan peradaban kuno menyusuri masa kini.

Kini setiap pagi sekitar 40 Anak Lauje usia sekolah berlari beriringan menuruni puncak-puncak gunung untuk tiba di sekolah yang didirikan Doni dan Rani.  Wajah mereka Nampak ceria dengan selembar buku dan sebuah pena di dalam kantong plastik yang dirangkul di dada. Sekolah darurat Doni dan Rani berdiri sendirian di lereng gunung di bibir lembah yang dalam.

Sekolah itu mengajar banyak hal secara informal, ada pelajaran pola hidup sehat yang mengajarkan bagaimana menggosok gigi, mandi dengan sabun, mencuci pakaian, hingga menggunting rambut dan kuku, lalu belajar membaca dan menulis, latihan memegang pensil, kemudian meningkat dengan pelajaran matematika dasar dan ilmu pengetahuan alam. “Tidak mudah mengajar mereka secara formal pada awalnya, selain tidak berbahasa Indonesia mereka pun belum mengenal budaya tulis-menulis, bayangkan memegang pensil saja mereka tidak bisa, apalagi menulis,” Doni mengisahkan.

Mereka sangat antusias dengan sekolah, ketika awal dibuka anak-anak sampai orang tua ikut serta. Mereka ingin sekolah seprti orang-orang di dataran rendah.

“Semasa kecil saya, dimana semua orang masih memakai pakaian yang dibuat dari kulit kayu, orang tua saya bercerita bahwa suatu saat nanti akan datang orang-orang dari tempat yang sangat jauh yang akan membawa perubahan dan keselamatan kepada kita,” “Saya senang, karena akhirnya ada sekolah di sini, dan anak-anak bisa belajar banyak hal, begitu juga dengan semua orang Lauje di gunung ini,” kepala suku dengan terbata berbicara dalam Bahasa Indonesia bercampur Lauje.
Pakombe sudah cukup tua, dan baginya ia sudah melihat segala hal yang ingin dilihat generasi-generasi sebelumnya, ia pun telah menyiapkan seorang pengganti dirinya yang akan melanjutkan memimpin Suku Lauje melintasi waktu di antara kabut di puncak-puncak gunung. (toni)

Selasa, 18 September 2012

PROFIL KPHP MODEL RANO PATANU (PROVINSI SULAWESI TENGAH)



I.1   Penetapan Wilayah KPHL dan KPHP tingkat Provinsi Sulawesi Tengah
Penetapan wilayah KPHL dan KPHP Provinsi Sulawesi Tengah sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.79/Menhut-II/2010 tanggal 10 Februari 2010 terdiri dari KPHL 5 unit dengan luas ± 717.427 ha dan KPHP 16 unit dengan luas ± 2.481.659 ha sehingga total KPHL dan KPHP adalah 21 unit dan luas ± 3.199.086 ha.
I.2 Penetapan wilayah KPHP Rano Patanu
Penetapan KPHP Model Rano Patanu, Kabupaten Poso sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 639/Menhut-II/2011 tanggal 7 November 2011 dengan luas ± 137.420 ha yang terdiri dari :
PETA WILAYAH KPHP MODEL RANO PATANU & FUNGSI KAWASAN HUTAN BERDASARKAN SK PENETAPAN NOMOR SK.639/MENHUT-II/2011
TANGGAL 7 NOVEMBER 2011
   I.3 Kondisi batas kawasan hutan
Letak geografis :            120° 00’ - 121° 00’ BT
                                      1° 00’ - 2° 00’ LS
Batas-batas       :           Utara    : Tel. Poso
Selatan : Tel. Bone
Barat    : Pegunungan Fenema
Timur   : Prov. Sulawesi Selatan

I.4 Kondisi Penutupan Lahan
No
Penutupan Lahan
Luas (Ha)
1
Hutan Lahan Kering Primer
20.578,33
2
Hutan Lahan Kering Sekunder
110.005,47
3
Semak/Belukar
1.877,39
4
Pemukiman
15,63
5
Tanah Terbuka
839,05
6
Danau
98,52
7
Pertanian Lahan Kering
1.907,46
8
Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak
2.108,54
Jumlah
137.430,38
          Sumber : Citra Landsat tahun 2009
I.5 Kondisi Geofisik Wilayah KPH – Belum ada
I.6 Kondisi Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan                               
I.6.1     IUPHHK-HA– Belum ada
I.6.2     IUPHHK-HT     – Belum ada
I.6.3     IPHHK– Belum ada
I.6.4     IPHHBK– Belum ada
I.6.5     IUPHJL– Belum ada
I.6.6     Lain-lain– Belum ada
I.7 Rencana Tata Ruang Wilayah
I.7.1     Rencana Tata Ruang Provinsi– Belum ada
I.7.2     Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota– Belum ada
I.8 Rencana Kehutanan– Belum ada
I.8.1 Rencana Kehutanan Tingkat Nasional– Belum ada
I.8.2 Rencana Kehutanan Tingkat Propinsi– Belum ada
I.8.3 Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten Kota
I.8.4 RAN – GRK– Belum ada
I.8.5 Strategi Nasional REDD+– Belum ada    

Belum ada kelembagaan
II.1 Bentuk organisasi KPH Model– Belum ada
II.2 Landasan pembentukan organisasi– Belum ada
II.3 Struktur organisasi– Belum ada
II.4 Personil pengelola KPH Model– Belum ada
II.5 Rencana menuju SKPD– Belum ada
II.6 Rencana pengembangan SDM– Belum ada
II.7 Kelengkapan Sarpras– Belum ada
II.8 Lain-lain– Belum ada

III.1 Tata Hutan
III.1.1 Citra Satelit– Belum ada
III.1.2 Inventarisasi desk analisis– Belum ada
III.1.3 Inventarisasi Sosekbud– Belum ada
III.1.4 Inventarisasi Hutan– Belum ada
III.2 Penyusunan Rencana Pengelolaan HUtan– Belum ada
III.3 Penggunaan Kawasan Hutan– Belum ada
III.4 Pemanfaatan Hutan– Belum ada
III.5 Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan– Belum ada
III.6 Perlindungan Hutan dan Konservasi– Belum ada
III.7 Pengolahan Hasil Hutan– Belum ada
III.8 Pemberdayaan Masyarakat– Belum ada
III.9 Peta Operasional– Belum ada
III.10 Alokasi Dana Bantuan Pembangunan/Operasional– Belum ada
III.11 Konvergensi Kegiatan– Belum ada
III.12 Kegiatan Pengelolan Hutan Lainnya– Belum ada