Senin, 03 September 2012

Lore Lindu, Eksotisme Jantung Sulawesi


Berpadu dengan danau, lembah, gunung, dan hutan belantara di jantung Pulau Sulawesi, Taman Nasional Lore Lindu menjadi habitat belasan spesies satwa endemik Sulawesi. Perlu nyali dan stamina prima untuk bercengkerama dengan satwa tersebut. Namun, itu dijamin sebanding dengan panoramanya. Taman nasional ini terletak di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, sekitar 60 kilometer selatan Kota Palu. Awali kunjungan Anda ke Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dengan mereguk panorama Danau Lindu. Danau yang terletak di Kecamatan Lindu ini bisa diibaratkan sebagai roh bagi ekosistem TNLL, termasuk penduduk setempat. Letak Danau Lindu hampir di tengah-tengah TNLL yang luasnya lebih dari 200 hektar.

Danau yang terbentuk dari proses tektonik ini mirip mangkuk yang terletak sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Dengan luas sekitar 3.600 hektar dan kedalaman lebih dari 200 meter, Lindu menjadi danau kedua terbesar dan terdalam di Sulawesi Tengah setelah Danau Poso di Kabupaten Poso. Keindahan Danau Lindu bukan hanya pada Matahari terbit dan gugusan pegunungan yang seolah membingkai danau, tetapi juga pada hutan di sekitarnya. Terdapat sedikitnya delapan gunung yang ”membingkai” Danau Lindu, yakni Nokilalaki, Adale, Kona’a, Tumaru, Gimba, Jala, Rindi, dan Toningkolue. Umumnya, pegunungan ini tertutup hutan lebat yang terdiri dari hutan tropis, hutan pegunungan bawah, dan hutan lain dengan ekosistem berbeda. Dari belantara lebat ini berhulu dan mengalir anak-anak sungai yang bermuara ke Danau Lindu. Sungai-sungai itu adalah Tokorano, Katibpli, Tinele, Lambsa, Ma’a, Salusuo, Sagali, Vantorongo, Bose, Kati, Ovo, Kolovo, Masame, Tosake, Kongko, Kalambio, dan Lempendengi. Air dari Danau Lindu kemudian mengalir melalui sejumlah sungai besar dan kecil di Kabupaten Sigi, hingga Sungai Palu yang membelah Kota Palu sebelum bermuara di Teluk Palu. Satwa endemik Di sinilah habitat sejumlah satwa endemik. Berbagai catatan menyebutkan, sedikitnya 117 jenis mamalia, 88 jenis burung, 29 jenis reptilia, dan 19 jenis amfibi ada di hutan ini. Satwa itu di kawasan ini umumnya merupakan endemik Sulawesi, di antaranya monyet tonkean (Macaca tonkeana), babi rusa (Babyrousa celebensis), tangkasi (Tarsius diannae dan T pumilus), kuskus (Ailurops ursinus furvus dan Strigocuscus celebensis callenfelsi), burung maleo (Macrocephalon maleo), katak sulawesi (Bufo celebensis), musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii musschenbroekii), tikus sulawesi (Rattus celebensis), kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), ular emas (Elaphe erythrura), dan ikan air tawar (Xenopoecilus sarasinorum) yang hanya bisa ditemukan di Danau Lindu.

Berkunjung ke Lindu memang tak sekadar menikmati danau dengan Matahari pagi dari balik gunung, berperahu menyusuri danau, menyantap ikan segar tangkapan nelayan, atau menikmati suasana kehidupan alami di desa-desa sekitarnya. Lebih dari itu, Lindu bisa dinikmati dengan menjelajah hutan sembari bercanda dengan satwa tersebut. Karena letaknya berada di dalam kawasan taman nasional, jangan berharap bisa masuk ke Lindu berkendara roda empat dengan jalan mulus. Area ini hanya bisa dijelajahi dengan kendaraan roda dua. Bisa membawa kendaraan sendiri atau bila tak mau susah tinggal menyewa ojek. Perjalanan menuju Lindu dimulai dari Kota Palu, dengan menggunakan kendaraan umum bertarif Rp 25.000. Kendaraan roda empat hanya sampai di Desa Sadaunta, Kecamatan Kulawi, tetangga Kecamatan Lindu, dan selanjutnya menggunakan ojek. Desa Sadaunta memang menjadi satu-satunya akses paling dekat yang bisa ditempuh ke Lindu. Dibutuhkan nyali berkendara bagi pembonceng dan yang dibonceng. Di beberapa bagian, jalan hanya cukup untuk satu kendaraan roda dua, bersisian langsung dengan jurang dan tebing di sisi lainnya. Di titik-titik seperti ini, pengendara kerap bersisian dengan ujung pohon besar setinggi lebih dari 20 meter.

Bagi yang suka tantangan dan uji nyali, perjalanan di belantara rimba ini menjadi perjalanan penuh kenangan dan pastinya kelelahan fisik terbayar saat tiba di Danau Lindu. ”Melihat danau mungkin biasa, tapi berkeliling danau sembari melihat hutan adalah luar biasa,” ujar Hendrik (30), warga Palu yang baru saja berkunjung ke Lindu. Dengan segala keterbatasan infrastruktur, Dinas Pariwisata Kabupaten Sigi menjadikan Lindu sebagai salah satu jualan utama wisata. Salah satu nilai lebih dari berwisata ke Lindu adalah menyaksikan menyatunya kehidupan warga setempat dengan alam. Untuk menentukan kapan mulai musim tanam dan panen padi, digelar acara morego. Acara ini menjadi wahana komunikasi dengan alam dan wahana komunikasi sosial. Di tepi danau, warga menggelar tarian dan lagu-lagu ritual adat yang pada intinya merupakan puji-pujian kepada Sang Pencipta Alam sekaligus seruan untuk memelihara alam. ”Dengan keunikan itu, kami tetap menjual Lindu. Kami membuat program paket wisata, seperti trekking, wisata alam, menjelajah hutan, dan kegiatan lain yang lebih ke petualangan alam bebas,” kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sigi M Muchlis Yodjodolo. Soal akses, pemerintah setempat berkoordinasi dengan Balai TNLL agar jalan yang ada bisa diperbaiki. ”Untuk promosi, kami juga bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kota Palu,” ujar Muchlis. Tampaknya Lindu sebagai tujuan tempat rekreasi memang masih perlu serius berbenah. Paling tidak, ketersediaan penginapan dan rumah makan. Khusus penginapan, Pemerintah Kabupaten Sigi sudah membangun cottage di tepi danau. Saat ini bangunan sudah jadi, tinggal pembenahan, termasuk listrik. Saat ini, belum ada listrik di Kecamatan Lindu. Warga biasanya menggunakan pelita dan genset untuk penerangan. Selama ini, wisatawan atau peneliti yang datang lebih memilih menginap di rumah penduduk. Sadar sebagai daerah tujuan wisata, penduduk sangat terbuka dan siap setiap saat jika rumahnya didatangi pengunjung. Memilih rumah penduduk menjadi salah satu alternatif untuk urusan makan. Tinggal membicarakan berapa biaya kamar sekaligus meminta disiapkan makanan yang tentu saja beraroma khas Lindu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar