Senin, 03 September 2012

Tentena Menyimpan Potensi Wisata Bersepeda


Desiran angin yang menderakkan dedaunan menemani kami menapak jalan kecil melipir sisi barat Danau Poso. Kami tinggalkan Pendolo menuju Tentena yang berjarak 80 km, Sabtu (10/3/2012). Kedua kota kecamatan itu sama-sama terletak di tepian Danau Poso. Pendolo, ibu kota Kecamatan Pamona Selatan dan Tentena di Pamona Utara. Namun kondisi kedua kota yang sama penting dari segi kepariwisataan, sangat jauh berbeda. Mengapa, jawabannya samar-samar saya temukan setelah sampai di Tentena. Belum jauh kami jalan, baru 8 km, pinggiran danau yang berair bening begitu menggoda. Dasarnya berupa batuan bulat dan pasir putih. Tak tahan, saya langsung menepi dan nyemplung ke danau. Di siang terik, air danau amat menyegarkan. Ini spot yang bagus untuk berkemah dalam perjalanan bersepeda. Sayangnya kami masuk Pendolo semalam saat hari sudah gelap dan kondisi tidak memungkinkan kami berkemah diluar. Namun bagi mereka yang hendak berkemah dalam perjalanan ke Danau Poso, cobalah tempat ini.

Dari pertigaan di pusat Pendolo berbelok kiri dan berjalan sejauh 8 kilometer, ada beberapa jalan setapak yang mengarah ke tepi danau. Kita bisa masuk ke danau lewat jalan setapak seperti itu. Tapi perhatikan juga lokasi sekitar karena dekat perkampungan juga ada tempat pemakaman umum. Sekitar 15 menit berenang, kami lalu melanjutkan perjalanan menyusuri jalan kecil yang hanya muat satu mobil. Kami melalui beberapa desa, persawahan, kebun coklat, dan palawija, lalu masuk hutan. Begitu seterusnya. Jalan sebelah barat Danau Poso ini sangat cocok menjadi jalur touring bersepeda. Meski disebut jalur wisata, kondisi jalan sebenarnya cukup mengenaskan. Di beberapa titik aspalnya terkelupas dan amblas, sekalipun tetap masih bisa dilalui kendaraan. Jalan rolling mengikuti kontur perbukitan yang mengitari danau. Jembatan yang ada berupa tumpukan balok yang disusun pas untuk dua jalur roda mobil. Situasi jalan sepi kendaraan, melintasi hutan yang asri, dan sejumlah perkampungan.

Orang berkendaraan bermotor lebih banyak lewat jalur timur yang kondisi jalannya lebih mulus. Jalur timur itu melintas perbukitan yang lebih tinggi. Perkampungan di sekitar danau didiami masyarakat mayoritas suku Pamona dan Toraja. Ada juga beberapa desa yang didiami warga dari Bali seperti di Desa Sukakaia dan Toinasa. Sekitar 30 km dari Pendolo kami tiba di Taman Wisata Bancea. Pintu sekaligus loket karcis taman terletak di ujung punggungan. Ada tangga yang mengarah ke tepi danau berujung pada taman anggrek yang kondisinya terbengkalai. Taman itu sudah lama mati. "Dulu waktu zamannya Pak Harto, taman anggrek itu terpelihara rapi. Ibu Tien sering kesitu," tutur Berta, warga asli desa Sangiran, Kecamatan Pamona Utara. Tak banyak yang dapat dilihat di Bancea sehingga kami teruskan perjalanan ke Desa Taipa untuk mencari makan. Tak ada warung nasi di desa ini. Para pesepeda sebaiknya membawa bahan makanan sendiri saat menyusuri danau. Sebab, di desa-desa kecil sekitar danau tidak ada yang membuka usaha warung makan. Warung makan baru ada di Meko, sekitar sembilan kilometer dari Taipa. Sekurangnya ada empat tanjakan terjal yang harus kami hadapi. Yang paling berat adalah pendakian ke Gunung Padamarari. Dari ketinggian 550 meter kami harus mendaki ke ketinggian 770 meter sepanjang 1,2 km. Gradien tanjakan lebih dari 70 derajat membuat ban depan sepeda yang membawa pannier terangkat.

Di beberapa kelokan kami terpaksa mendorong. Saat beristirahat di puncak bukit, sekawanan burung rangkong Sulawesi (Buceros cassidix) terbang melintas. Kepakan sayapnya bagai baling-baling helikopter. Paruhnya yang besar berwarna putih gading dengan pangkal kuning. Tubuhnya lebih kecil dibanding burung sejenis yang pernah saya temui di TN Ujung Kulon. Beberapa kera makaka yang tubuhnya berbulu hitam mendengus di atas pohon. Serangga hutan dan desau angin menerpa daun terus mengiringi perjalanan. Selepas dari hutan di kawasan puncak Padamarari, kami mengitari punggungan besar yang berujung ke arah danau. Jalanan menurun. Setelah beberapa kelokan, di depan kami tiba-tiba membentang pemandangan Danau Poso yang luar biasa indah. Kami semua ternganga, langsung menekan tuas rem, dan berteriak kegirangan seperti anak kecil. Ocat melepas kaos dan melompat sambil tertawa-tawa lepas. Danau amat luas dikelilingi perbukitan hijau membiru dilihat dari ketinggian benar-benar jadi lukisan alam yang fantastis. Dan kami menyukai keberadaan kami disini dengan perjalanan bersepeda. Lama kami beristirahat sambil menikmati alam Poso yang permai. Saat meluncur turun ada perasaan bahagia yang menelusup, membuat saya tak habis bersyukur menggelar perjalanan ini.

Tentena Kami tiba di Tentena saat mentari sudah terbenam. Kota itu masih ramai di malam minggu. Ketimbang Pendolo yang sama-sama kota kecamatan Tentena lebih ramai karena lebih dulu dibangun menjadi kota wisata. Di sekitar Tentena terdapat obyek wisata menarik seperti gua prasejarah dan air terjun Saluopa. Setiap bulan Agustus, Pemprov Sulteng menggelar Festival Poso dan Pekan Budaya pada Oktober. Kota ini juga memiliki dua perguruan tinggi dan menjadi pusat Gereja Kristen Sulawesi Tengah. "Sekitar 70 kilometer dari pusat kota ke arah barat terdapat Bada. Kota itu merupakan pintu masuk ke Taman Nasional Lore Lindu yang populer di turis asing," tutur Sony Tabe, guru sekolah di Bada yang saya temui di Tentena. Akses menuju kabupaten dan ibukota provinsi (Palu) juga lebih dekat. Itulah sekelumit fakta dan alasan yang dikemukakan warga soal mengapa Tentena lebih hidup ketimbang Pendolo. Secara geografis Pendolo seperti terkepung gunung dan danau. Namun apakah sederet fakta dan alasan itu menjadi pembenaran untuk menelantarkan Pendolo? Seharusnya tidak. Kota kecil itu menjadi basis transit wisatawan setelah lelah menempuh perjalanan menembus Pegunungan Fennemon di perbatasan Provinsi Sulsel-Sulteng. Gugatan kecil itu ternyata juga dipertanyakan Devin, teman seperjalanan. Pertanyaan yang terus menggelayut di benak kami sampai meninggalkan Tentena, Minggu (11/3/2012) pagi menuju Tagolu, Kecamatan Lage. Sampai sejauh ini penjelajahan di pedalaman Sulsel-Sulteng menyadarkan kami akan besarnya potensi wisata alam Celebes, termasuk bagi pengembangan wisata bersepeda jarak jauh. Potensi yang terkadang tak disadari sekali pun sudah di depan mata. (Max Agung Pribadi)

1 komentar: