Senin, 03 September 2012

Schistosomiasis, Penyakit Kuno di Lore Lindu

Oleh Ahmad Arif dan Amir Sodikin

Matahari memanggang di Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah, Sulawesi Tengah. Padang sabana di tengah Taman Nasional Lore Lindu itu terasa gerah. Air bening di selokan kecil, yang dinaungi pepohonan, begitu menggoda. Namun, Idris Tinulele, warga setempat yang memandu perjalanan, mengingatkan agar tidak sembarangan menyentuh air. Air memang menjadi teror di kawasan yang dikenal kaya akan peninggalan situs megalitik itu. Begitu memasuki desa-desa di sekitar kawasan itu, beberapa papan pengumuman terpasang di pinggir jalan dengan gambar tengkorak dan tulisan yang membuat ngeri: ”Awas! Berbahaya! Daerah fokus keong”.

Bagi pendatang, peringatan itu akan menjadi tanda tanya. Namun, bagi warga setempat, fokus keong berarti sumber penyakit schistosomiasis, yang bisa menyebabkan kelainan hati dan jika terlambat diketahui bisa menyebabkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh cacing pipih trematoda dari spesies Schistosoma japonicum. Lewat perantara keong dari genus Oncomelania, penyakit schistosomiasis atau dikenal sebagai bilharziasis, merujuk pada nama dokter dari Jerman, Theodore Bilharz, yang menemukan penyakit ini tahun 1851, berkembang ke manusia. ”Satu tetes air yang sudah tercemar cacing ini bisa menyebabkan sakit schistosomiasis,” kata Ronald Abe (31), pegawai honorer di Puskesmas Lore Utara, yang bertugas mengendalikan penyakit ini. Di daerah ini ada sembilan warga yang dipekerjakan untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini. Triwibowo Ambar Garjito, biolog dari Universitas Gadjah Mada yang meneliti schistosomiasis sejak 2004, mengatakan, penyebaran cacing ini melalui perantara siput Oncomelania hupensis lindoensis. ”Karena itu, penyakit ini juga dikenal oleh warga lokal sebagai demam keong,” katanya. Masuk ke pori-pori Telur cacing menetas di dalam air, yang disebut mirasidium. Mirasidium inilah yang masuk ke tubuh keong, kemudian berkembang menjadi sporakista I dan sporakista II, yang berkembang menjadi serkaria.

Serkaria berada di genangan air dan mampu hidup 2 x 24 jam, berenang-renang untuk mencari inangnya. Dalam catatan para peneliti, serkaria mampu menginfeksi 13 mamalia, termasuk manusia, rusa, kucing, babirusa, sapi, kuda, dan kerbau. ”Ketika kaki manusia yang tak terlindungi menginjak genangan air, serkaria akan masuk ke pori-pori, mengikuti peredaran darah, dan singgah di paru-paru untuk sementara,” ungkap Triwibowo. Serkaria sudah berada di paru-paru biasanya ditandai dengan korban yang mulai batuk-batuk. Dari hati kemudian menuju pembuluh balik hati. Di sanalah berkembang menjadi cacing dewasa. Saat bertelur, dia akan melubangi dinding usus untuk membuang telurnya. ”Inilah yang biasanya menghasilkan berak darah,” katanya. Sebagian telur justru menuju ke hati dan terperangkap. Ketika terperangkap, sistem tubuh membuat jaringan ikat pada telur-telur tersebut. ”Dampaknya, hati akan membesar. Limfa juga membesar, seperti terkena penyakit kuning, badan kurus, perut besar,” paparnya. Pinardi Hadidjaja dari Bagian Parasitologi dan Ilmu Penyakit Umum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dalam paper-nya, ”Kelainan Hati dan Limpa pada Schistosomiasis” (1979), menyebutkan, penyakit ini menyebar di Jepang, China, Taiwan, Filipina, dan Indonesia.

Di Indonesia, penyakit ini ditemukan sejak tahun 1937 di daerah Danau Lindu, Sulawesi Tengah. Tahun 1972, penyakit ini ditemukan daerah endemik baru, yaitu di Lembah Napu (termasuk Besoa), sekitar 50 kilometer sebelah tenggara Danau Lindu. Penyakit kuno Jauh sebelum ditemukan di Lore Lindu, penyakit ini diketahui pernah mewabah di Mesir dan China pada masa lalu. Tahun 1500 sebelum Masehi (SM), Ebers Papyrus dari Mesir mencatat resep untuk membunuh cacing dalam tubuh yang mengakibatkan pendarahan pada urine. Lembaran papirus ini diyakini salinan dari dokumen asli yang dibuat tahun 3400 SM. Dalam penelitian yang dilakukan pionir paleopatologi, Marc Armand Ruffer (1859-1917), tahun 1910, menemukan telur Schistosoma haematobium pada ginjal dua mumi dari Dinasti Firaun ke-20 Mesir (1250 SM-1000 SM). Temuan ini membuka mata dunia bahwa schistosomiasis telah ada di Lembah Sungai Nil sejak dulu. Adanya schistosomiasis pada mumi juga ditemukan di China dalam penggalian situs prasejarah antara tahun 1971 dan 1974.

Ditemukan telur Schistosoma japonicum di usus mumi yang berusia 2100 tahun. Dokumen kuno China yang mencatat penyakit ini terlacak sejak 400 SM. Ge Hong dalam catatan medisnya, Zhouhou Beijifang, menggambarkan adanya ”racun air yang menyerang manusia seperti shegong (serangga beracun), tetapi tak terlihat”. Hingga kini diketahui, daerah sekitar Sungai Mekong merupakan daerah endemis penyebaran penyakit schistosomiasis. Bahkan, kata Triwibowo, ada juga yang meyakini, negara-negara Asia yang memiliki penyebaran Schistosoma japonicum, seperti Indonesia, memiliki sejarah masa lalu yang terhubung dengan Sungai Mekong di China. ”Spekulasi peneliti, dataran yang kini memiliki schistosoma di Asia pada masa lalu pernah terhubung dengan lempeng Asia, terutama dari Sungai Mekong,” ujar Triwibowo. George Davis, dalam bukunya, Origin and Evolution of the Gastropod Family Pomatomidae (2007), memaparkan, asal-usul keong dari genus Oncomelania di Asia berasal dari Sungai Mekong ketika famili Pomatiopsidae menyebar ke sejumlah penjuru dunia oleh aktivitas tumbukan lempeng India dengan lempeng Benua Asia. Ia juga menjelaskan, subspesies keong di Sulawesi memiliki jalur migrasi yang berasal dari aliran sungai di China, kemudian ke Jepang, Filipina, dan terakhir Sulawesi. Penyebaran keong Oncomelania hupensis juga dipicu aktivitas tektonik di Jepang pada era Miosen.

Karena proses isolasi yang panjang, akhirnya terbentuk subspesies tersendiri, seperti ditemukan di China, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Sulawesi. Semua subspesies di negara-negara itu mirip karena berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Sungai Mekong dan Sungai Yangtze. Spesies ini berbeda dengan yang ada di Mesir. Pengendalian Pengendalian penyakit ini di Indonesia termasuk cukup berhasil dan menurunkan prevalensi infeksi pada manusia. Di Napu, misalnya, prevalensi infeksi tahun 1973 sekitar 72 persen, kemudian menurun menjadi 1,08 persen tahun 2006. Penelitian Triwibowo dkk yang dimuat di jurnal Parasitology International berjudul ”Schistosomiasis in Indonesia: Past and Present” (2008), memaparkan, walaupun penyebaran penyakit ini hanya terbatas pada daerah endemis, pemberantasannya tetap menemui kesulitan, terutama dalam hal perilaku preventif masyarakat yang kurang dan sulitnya memberantas keong perantara di taman nasional. Sebenarnya, dengan memahami keong yang suka daerah lembab, penanganan secara alami bisa dilakukan dengan mengeringkan habitatnya. Balai Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Donggala, tempat Triwibowo meneliti, menemukan bukti baru bahwa sejak 2008, penyebaran schistosomiasis juga mencapai Lembah Bada. Sebelumnya ada informasi bahwa schistosoma ditemukan di Bada, tetapi belum ada bukti telah menular ke manusia. ”Waktu itu kami punya asumsi juga bahwa Lembah Bada, seperti Besoa dan Napu, merupakan lembah megalitikum yang punya sejarah tua. Karena itu, kami yakin di sana akan menemukan bukti penyebarannya ke manusia, ternyata benar,” kata Triwibowo. Ronald Abe pun pesimistis penyakit ini benar-benar bisa dibasmi dari Lore. ”Penyakit ini sudah ada sejak dulu, dan mungkin akan terus ada. Apalagi, penanganannya setengah hati.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar