Selasa, 04 September 2012

PERNIKAHAN TRADISIONAL SUKU KAILI


Tahapan dari rangkaian proses upacara adat perkawinan masyarakat suku Kaili dari awal sampai sekarang tidak terlalu mengalami perubahan yang berarti kecuali masalah busana, walaupun tidak dapat dipungkiri adanya perubahan lain setelah masyarakat sudah memeluk agama, terutama setelah kedatangan Datuk Karama sekitar abad 17 M, dan juga pengaruh dari daerah lain sebagai akulturasi dan difusi dengan budaya lokal.
Di dalam proses upacara perkawinan, ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yakni:

1. Adat Sebelum Perkawinan
Pelaksanaan adat sebelum perkawinan merupakan rangkaian proses untuk mengawali pelaksanaan suatu upacara adat yang pelaksanaannya meliputi:

1.1. Notate Dala (Mencari Informasi)
Proses ini merupakan rangkaian dari pemilihan jodoh, karena bila sudah ditentukan pilihan dan mendapat persetujuan dari kedua orang tua, maka diadakanlah musyawarah untuk mencari informasi keberadaan si wanita yang dimaksud menyangkut masalah status keterikatannya. Bila si wanita tersebut tidak terikat dengan pria lain, maka diutuslah seorang yang dipercaya (pemuka adat) untuk mengadakan pendekatan informal kepada keluarga wanita tersebut. Karena pertemuan itu sangat rahasia, maka maksud kedatangan utusan laki-laki itu hanya diucapkan lewat kiasan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kekecewaan bila maksud kedatangannya itu tidak mendapat respon dari pihak perempuan. Bila prosesing ini mendapat tanggapan positif dari pihak perempuan, maka pihak laki-laki akan melakukan persiapan untuk langkah selanjutnya.

1.2. Neduta atau Nebolai (Meminang)
Dalam konsep pemahaman masyarakat suku Kaili, meminang mempunyai dua makna yang sama, namun dalam penggunaannya yang berbeda sesuai dengan tingkat strata social masyarakat bersangkutan. Neduta adalah istilah meminang yang diperuntukkan bagi golongan biasa, sedangkan nebolai adalah istilah meminang digunakan untuk golongan bangsawan. Dari kedua konsep tersebut mempunyai konteks yang sama yakni melakukan lamaran kepada seorang gadis untuk dijodohkan atau dikawinkan kepada laki-laki yang melakukan lamaran.
Proses pelaksanaan ini, diawali dengan pemberitahuan kepada pihak perempuan atas rencana kedatangan delegasi laki-laki. Kedatangan delegasi laki-laki biasanya dipimpin seorang tokoh adat atau agama, karena dianggap mempunyai kedudukan dan status di dalam masyarakat, sekaligus dianggap bahwa pimpinan delegasi tersebut mampu berbicara, karena di dalam menyampaikan maksud peminangan hanya mempergunakan bahasa tinggi atau kiasan yang sarat dengan makna simbolis, sambil menyerahkan bawaannya berupa sambulu pombeka nganga (seperangkat alat yang berisi pinang, sirih, kapur, tembakau dan gambir) serta taiganja sebagai jantung pombeka nganga atau mas adat untuk pembuka bicara, sekaligus sebagai simbol status sosial.
Ungkapan yang dipergunakan di dalam melakukan peminangan diawali dengan pihak laki-laki yang mengatakan nikakava kami hi mopeinta ana kami ri sihi (kedatangan kami ini untuk melihat anak kita di sini), kemudian disambut pihak perempuan dan mengatakan naria ana miu ri sihi ante kami (anak kita ada di sini bersama kami), kemudian pihak perempuan melanjutkan pertanyaannya dan mengatakan mbamo ana’ kami langgai itu (mana anak kami yang laki-laki itu), lalu dilanjutkan pihak laki-laki naria ri banua, kama aga nanggeni pakatuna (ada di rumah kami hanya mengantar kirimannya), dan pihak perempuan mengatakan ane naria pakatuna mbana lenjena rapeintata pasanggani (bila ada kirimannya mari kita lihat bersama), pihak laki-laki menyambungnya lalu menyerahkan sambulu itu kemudian ia berkata himo pakatuna rapeintata kita pasanggani (ini kirimannya kita lihat bersama), lalu pihak perempuan menerima sambulu dan berkata kubuka pakatu bagindali kainuru patima (saya buka kiriman pihak laki-laki untuk pihak perempuan).
Bila isi sambulu itu diambil lalu dimakan maka suatu isyarat bahwa lamaran diterima. Kemudian pihak perempuan lagi bertanya ante kaputinurarana mbana kupeinta ntoto lenjena (kalau begitu saya ingin melihat bukti kesucian hatinya) lalu pihak laki-laki mengatakan itumo riambe nusambulu (itu sudah ada di sambulu).
Selain itu juga terdapat sambulu yang berfungsi sebagai pengikat (paosoa pua) yang merupakan pokok adat perkawinan yang dikenal dengan nama balengga nuada, selain sebagai penghargaan, juga sebagai adat mpoberei, adat kawin sebagai tanda seseorang akan masuk jenjang perkawinan.
Sambulu sebagai pokok adat perkawinan yang berisi pinang, gambir, sirih dan kapur sirih merupakan symbol manusia yang lengkap sebagai manifestasi dari konsep asal kejadian manusia, karena menurut konsep suku Kaili asal kejadian nenek moyang mereka dari kayangan atau to manuru, sekaligus merupakan symbol penghargaan kepada leluhur mereka karena dianggap bahwa nenek moyang mereka pemakan sirih.
Oleh karena itu, di dalam prosesi peminangan ini delegasi lak-laki harus menunggu waktu sesuai dengan kesepakatan untuk mengetahui diterima tidaknya lamaran itu karena pihak perempuan harus merembukkan dahulu dengan pihak keluarga, terutama kepada yang bersangkutan. Bila waktu yang ditentukan sudah tiba, maka pertemuan kembali diadakan tanpa suatu ungkapan, melainkan hanya berupa simbol yakni menyerahkan kembali sambulu yang diberikan. Bila sambulu tersebut terbuka dan sudah tidak mempunyai isi, berarti lamarannya diterima, tetapi bila sambulu kembali dalam keadaan tertutup dan isi masih tetap utuh berarti lamaran ditolak, dengan demikian maka posisi sambulu sebagai pokok adat mempunyai peran yang sangat penting dalam upacara adat perkawinan suku Kaili. Setelah diketahui bahwa lamaran pihak laki-laki sudah diterima, maka proses selanjutnya segera dilaksanakan.

1.3. Noovo (Penentuan Waktu)
Noovo adalah suatu rangkaian upacara yang dilakukan untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan upacara perkawinan, baik yang berhubungan dengan pelaksanaan pesta (eo mata posusa) maupun dari pernikahan (eo mponikah). Pelaksanaan upacara noovo ini dimaksudkan untuk mencari kesepakatan tentang hari pelaksanaannya, sebab biasa terjadi kesalahpahaman hanya karena persoalan waktu sehingga perlu kesepakatan. Di dalam pertemuan tersebut para pemuka atau tokoh adat akan memilih hari dan bulan yang sangat baik, sebab pada umumnya masyarakat suku Kaili masih ketat dan percaya adanya hari dan bulan yang baik berdasarkan perhitungan cara tradisional dengan mempergunakan kutika, namun tetap mempertimbangkan jangka waktu bagi kesiapan wanita karena pada dasarnya pusat suatu kegiatan berada di pihak perempuan.
Setelah penentuan hari dan bulan sudah disepakati, maka dalam jangka waktu penantian itu calon pengantin diberikan petuah atau nasehat oleh orang tua tentang hakikat suatu perkawinan, sekaligus dimanfaatkan untuk merawat diri serta memelihara kondisi badan agar tetap sehat segar bugar menyongsong hari bahagianya.

1.4. Nanggeni Balanja (Hantar Belanja)
Mengantar belanja masih merupakan rangkaian dari proses pelaksanaan suatu upacara perkawinan yang dilakukan pihak laki-laki untuk mengantar belanja. Di dalam pelaksanaan ini dipimpin seorang tokoh atau yang dituakan di samping orang-orang lainnya.
Pada saat pengantaran belanja bukan hanya uang yang dibawa, tetapi segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan wanita walaupun itu tidak termasuk di dalam pembicaraan tetapi sudah merupakan kebiasaan dan merupakan suatu tanda penghargaan kepada pihak perempuan, dan kadang pemberian semacam itu menjadi ukuran penilaian atas kemampuan dan tingkat status social laki-laki.
Sambulu yang juga diikutsertakan pada acara ini sebagai simbol, karena ia merupakan pokok dari suatu adat perkawinan dan juga jauh lebih besar daripada saat melakukan peminangan karena hanya perantaraan sambulu itulah pihak laki-laki menyerahkan sekaligus mempersilahkannya untuk membuka segala sesuatu yang dibawanya menandai bahwa secara resmi pihak laki-laki telah diterima di dalam keluarga perempuan.

1.5. Nopasoa (Pengasapan)
Nopasoa merupakan mandi dengan sistem penguapan dan pengasapan yang dilakukan secara tradisional yang pada umumnya dilaksanakan di rumah calon pengantin wanita, yang bertujuan untuk menghilangkan bau badan sekaligus untuk mempercantik dan menyegarkan para calon pengantin, karena mempergunakan ramuan tradisional sebagai bahan yang digunakan dalam mandi uap tersebut.
Rangkaian dari proses pelaksanaan mandi uap ini mempergunakan berbagai macam daunan serta kembang-kembang yang wangi dan diramu di dalam sebuah loyang besar, kemudian batu dipanaskan lalu dimasukkan ke dalam loyang yang sudah berisi air dingin dan ramuan sehingga menghasilkan uap lalu kedua pengantin dimandikan mempergunakan sarung panjang sebagai pengantin dimandikan mempergunakan sarung panjang sebagai penutup agar asap yang dihasilkan akibat batu panas yang dimasukkan ke dalam loyang tidak keluar sehingga aroma dari ramuan tersebut dapat mengena seluruh badan.
Pelaksanaan mandi uap tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi dilakukan beberapa kali. Di samping itu juga diberikan makanan dan minuman yang bergizi, sebab dalam menyongsong hari pernikahan memerlukan stamina yang prima lahir batin sehingga perlu penanganan yang baik agar kecantikan dan kesehatan tetap seimbang karena keseimbangan antara hal tersebut merupakan bagian yang harus diperhatikan karena ia merupakan satu bagian yang tidak dapat dipisahkan sebab bila salah satu di antaranya tidak sejalan akan menimbulkan hal yang fatal. Oleh karena itu, untuk menjaganya perlu seorang yang menanganinya sebagai ibu pengantin sehingga diharapkan pada hari pernikahannya dapat tampil meyakinkan pada hari pernikahan.

1.6. Nogigi (Membersihkan Bulu Wajah)
Nogigi merupakan salah satu rangkaian dari proses pelaksanaan suatu acara sebelum akad-nikah , yakni mencukur bulu-bulu yang Nampak, karena ada suatu anggapan yang berkembang dalam masyarakat suku Kaili bahwa bulu-bulu tersebut sebagai bulu celaka (vulu cilaka). Kerelaan mereka mengeluarkan bulu bertujuan untuk mempercantik diri dan juga mengandung makna simbolik sebagai manifestasi dari sikap ketaatan dan keyakinannya untuk meninggalkan semasa perbuatan masa lalunya, dan siap untuk menghadapi masa depannya penuh dengan ketabahan.
Dalam proses acara ini biasanya dilakukan di rumah pihak perempuan menjelang mata hari terbit yang dipercayai sebagai waktu yang baik untuk memulai suatu aktivitas. Pelaksanaan acara ini selain mempergunakan pisau cukur dan gunting, juga mempergunakan beberapa kelengkapan berupa gula merah, sebutir telur, kepala yang sudah bertunas dan secangkir air putih serta benang pita cina, yang dimaksudkan agar kedua mempelai di dalam mengarungi hidup barunya dapat diberkahi suatu kehidupan yang sejuk, mudah rezeki, berkembang seperti layaknya seekor ayam yang dapat melindungi anaknya serta panjang umur.
Pelaksanaan acara ini dilakukan oleh seorang perempuan yang lanjut usia yang mempunyai garis keturunan yang baik-baik serta mempunyai banyak anak dan cucu, hal ini dikaitkan dengan suatu keyakinan masyarakat suku Kaili bahwa pelaksanaan acara ini akan berimplikasi terhadap si calon pengantin sehingga harus memilih orang mempunyai garis keturunan yang baik. Dengan selesainya acara cukur bulu ini maka laki-laki kembali ke rumahnya untuk mempersiapkan prosesi selanjutnya.

1.7. Nokolontigi
Nokolontigi masih merupakan salah satu rangkaian dari proses acara yang dilakukan di rumah perempuan sebelum perkawinan (nikah), yang dimaksudkan untuk mensucikan diri sebelum menikah. Acara yang dilaksanakan pada malam hari ini dilakukan di rumah calon pengantin perempuan oleh para orangtua atau tokoh adat yang dianggap mempunyai garis keturunan baik-baik karena dengan demikian nantinya diharapkan calon pengantin juga akan mempunyai garis kehidupan seperti itu. Proses acara ini dimaksudkan agar kedua calon pengantin tidak dapat dipengaruhi roh-roh jahat serta dapat terhindar dari bahaya, mudah rezeki dan mempunyai umur yang panjang.
Adapun kelengkapan yang dipergunakan di dalam acara ini adalah: daun pacar (kolontigi) yang dihaluskan dan berwarna merah lalu diletakkan di telapak tangan calon pengantin sebagai simbol pengorbanan. Minyak kelapa yang dioleskan di atas kepala agar mereka mudah rezeki di dalam mengarungi hidup barunya, kapur sirih dan bedak yang dipakaikan sampai ke leher sebagai manifestasi dari sikap yang nantinya bila berbuat jahat dan dapat mempermalukan keluarga (ingkar janji) maka batang leher menjadi taruhannya, sedangkan penggunaan kain putih sebagai lambang kesucian.
Setelah proses acara ini dilakukan pada malam yang sama juga dilakukan khatam al-Qur’an yang dimaksudkan agar calon pengantin laki-laki agar lebih fasih dalam mengucapkan ikrar (ijab kabul) di depan penghulu. Dan acara khatam al-Qur’an ini dilakukan sebelum acara nokolontigi, tetapi hal tersebut bukan merupakan suatu ikatan tergantung dari pengaturan. Bila acara ini sudah selesai maka proses dari rangkaian acara adat yang dilakukan sebelum akad nikah sudah selesai dan laki-laki kembali ke rumahnya untuk mempersiapkan acara pernikahannya keesokan harinya.

2. Upacara Perkawinan
Setelah melakukan beberapa rangkaian upacara adat sebelum pernikahan, maka masuklah kita pada acara puncak, yakni upacara adat perkawinan. Di dalam adat suku Kaili sebelum puncak acara, sekitar lima hari sebelumnya suasana rumah pengantin wanita sudah ramai karena seluruh keluarga yang bertempat tinggal jauh sudah berkumpul. Karena saat itu sudah mulai diperdengarkan bunyi-bunyian musik tradisional, selain itu juga di depan rumah dipasang dua buah bendera (umbul-umbul) berbentuk manusia warna kuning dan merah oleh masyarakat suku Kaili menyebutnya ula-ula, sebagai lambang kebangsawanan dan kebesaran.
Di dalam proses pelaksanaan acara ini ada empat tahapan upacara yang akan dilalui, yakni:

2.1. Manggeni Boti (Mengantar Pengantin)
Upacara ini dilaksanakan pada saat akan akan dilakukan akad nikah di rumah pihak perempuan, di mana pihak pengantin laki-laki diantar ke rumah pihak perempuan. Untuk mengantar pengantin laki-laki ke rumah calon pengantin perempuan mempergunakan kuda sebagai kendaraannya, tetapi karena kemajuan alat transportasi, maka kuda sudah dapat diganti dengan mobil sebagai alat transportasinya, dengan mempergunakan pakaiannya sesuai dengan status sosialnya. Sepanjang perjalanan diiringi bunyi-bunyian berupa rebana dan tarian meaju (salah satu bentuk tarian tradisional masyarakat Kaili), karena sudah mempergunakan mobil sebagai alat transportasi maka meaju sudah tidak lazim lagi dilaksanakan.
Setelah rombongan laki-laki tiba di halaman rumah perempuan (ridoyata), maka pengantin laki-laki disambut calon mertua, lalu laki-laki turun dari kendaraannya menuju tangga rumah, dan di dalam rumah calon pengantin perempuan sudah hadir sejumlah tokoh adat dan agama menanti kehadiran rombongan laki-laki. Sebelum rombongan laki-laki masuk atau naik tangga rumah, terlebih dahulu dilakukan dialog, yang diawali oleh pihak laki-laki yang mempertanyakan “ri pura-puramo tupu banua?” (apakah tuan rumah sudah ada semua), lalu pihak perempuan menjawabnya “ki pura-puramo” (sudah ada semua dan tidak ada yang kurang) dilakukan sebanyak tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan netambuli (berpakaian di depan pintu). Ini dilakukan bila pihak laki-laki sudah berada di depan tangga dan mengatakan nitambul tangga sambil menancapkan tombaknya, lalu pihak perempuan menyambutnya nitambuli. Kalimat ini diucapkan tiga kali dan juga dijawab tiga kali, kemudian pihak laki-laki mengatakan bija ntona ni tambuli kana nitambulimo (memang keturunan, yang ditambuli harus ditambuli), sambil mengucapkan assalamu alaikum ibabu rahim, kemudian disambut pihak perempuan waalaikum salam ibabu rahma, dan pengantin laki-laki memasuki atau naik rumah yang disambut oleh orangtua perempuan lanjut usia.
Setelah upacara tersebut dilakukan, lalu diantarlah calon pengantin laki-laki itu masuk ke dalam rumah oleh seorang ibu yang lanjut usia, kemudian dihamburi beras kuning sebagai simbol keselamatan, lalu disambut dengan bunyi-bunyian (kakula nuada) dan peulu cinde (kain putih yang dililitkan pada gelang) kemudian disodorkan kepada pengantin laki-laki untuk dipegang sebagai tanda ketaatan untuk selalu mendengar nasihat orangtua kemudian diantar langsung di depan tempat yang telah disediakan.
Pada saat yang sama pihak laki-laki membawa seperangkat kelengkapan berupa alat sholat dan kelengakapan lainnya, juga diikutkan beberapa jenis kue tradisional sebagai ungkapan rasa kesatuan yang diikat dengan tali perkawinan antara anak mereka, kemudian pihak perempuan pun membalasnya (olo nuroti) dengan memberikan berbagai macam makanan kepada keluarga laki-laki sebagai wujud ungkapan yang sama atas perkawinan anak-anak mereka. Setelah proses ini dilakukan maka akan dilanjutkan dengan akad nikah.

2.2. Monikah (Akad Nikah)
Proses upacara pernikahan yang berlangsung di dalam kehidupan suku Kaili pada dasarnya mengacu pada ajaran atau tuntunan syariat agama Islam, namun tidak dapat dipungkiri hal-hal yang sifatnya acara tradisional sebagai cikal bakal lahirnya budaya suku Kaili masih mewarnai di dalam proses upacaranya, namun tetap sejalan dengan konsep ajaran agama Islam sebagai agama yang dianut masyarakat suku Kaili.
Oleh karena itu, di dalam pelaksanaan akad nikah ini, disaksikan oleh beberapa orang tokoh, baik adat maupun agama, karena akad nikah dilakukan dengan ajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Di dalam proses pelaksanaan akad nikah dan mengucapkan ikrar (ijab kabul), jumlah dan jenis mahar yang telah disepakati kedua belah pihak harus disebutkan di depan orangtua dan dua orang saksi (wali) kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh pegawai syara’ dan nasihat perkawinan dari wali kedua mempelai. Setelah acara ini sudah dilakukan, maka dilanjutkan dengan acara nogero jene (membatalkan air wudhu).

2.3. Nogero Jene (Membatalkan Air Wudhu)
Masih rangkaian dari proses upacara pernikahan yang dilakukan setelah mengucapkan ikrar (ijab kabul), yakni acara nogero jene atau membatalkan air wudhu, yaitu acara penyentuhan pertama oleh sang suami kepada isterinya dengan menyentuh salah satu bagian kulit muka (dahu sampai ke hidung). Di dalam proses penyentuhan pertama ini melalui proses karena sang isteri yang baru dinikahi berada di dalam kamar atau kelambu bersama dengan ibu pengantin (tina noboti), pada saat sang suami tiba di depan pintu kamar atau kelambu orangtua yang mengantarnya mengetuk pintu sambil mengucapkan assalamu alaikum ibabu rahim tiga kali, kalau ibu pengantin sudah menjawabnya waalaikum salam ibabu rahma maka penngantin laki-laki sudah diperbolehkan memasuki kamar atau kelambu. Karena acara ini merupakan salah satu bagian yang biasa dijadikan sebagai ajang permainan, biasanya pihak perempuan memperlakukan beberapa syarat untuk dapat membuka pintu, sehingga pihak laki-laki harus siap dan bersedia mengikuti syarat yang diperlakukan, misalnya harus memasukkan uang atau gula-gula sebanyak mungkin dan sebagainya agar pintu dapat dibuka.
Setelah syarat yang ditetapkan tersebut sudah dipenuhi barulah pihak laki-laki diperbolehkan masuk dan ibu pengantin mengatakan silakan masuk (pesuamo), barulah sang suami bersama pengantarnya memasuki kamar untuk melakukan sentuhan pertama kepada sang isterinya. Bila kita menyimak rangkaian dari proses acara ini yang implikasinya dapat dimaknai sebagai tanda betapa susahnya seorang laki-laki untuk mendapatkan seorang perempuan sehingga ia memerlukan suatu pengorbanan baik fisik maupun material untuk mendapatkan seorang perempuan, karena apa yang dilakukan tidaklah semudah apa yang dibayangkan sehingga diperlukan suatu kematangan dan persiapan yang mantap sebelum memasuki jenjang perkawinan.

2.4. Mopatuda (Duduk Bersanding)
Duduk bersanding merupakan akhir dari rangkaian acara pelaksanaan suatu upacara pernikahan, yang merupakan puncak dari rangkaian acara yang menandai akhir dari perjalanan masa mudanya seorang anak manusia. Hari itu juga merupakan simbol kebahagiaan dua insane karena saat itu dialah yang digelar sebagai raja walaupun hanya sehari.
Di dalam pelaksanaan acara ini di hari para undangan dan kedua pengantin sudah mempergunakan pakaian kebesarannya sesuai dengan tingkat status sosialnya karena perkawinan merupakan salah satu simbol yang paling mudah untuk menandai tingkat status social seseorang, sehingga dengan perkawinan seseorang mengupayakan untuk dapat tampil semaksimal mungkin dan penuh dengan kehikmatan. Di dalam acara tersebut pelaminan yang harus ditata seindah mungkin untuk menampakkan tingkat status sosialnya dan diupayakan agar lebih tinggi dari tempat umum agar setiap orang dapat melihat pengantin. Sedangkan busana yang digunakan adalah busana patima (baju patima) dan aksesorinya yang merupakan salah satu aspek budaya Islam yang berkembang di tanah Kaili yang dikembangkan oleh Abdul Raqie (Dato Karama), yang dapat memberikan warna tersendiri bagi perkembangan budaya di Sulawesi Tengah pada umumnya dan khususnya Kabupaten Donggala dan Kota Palu.
Rangkaian dari proses acara duduk bersanding ini ibu pengantin sangat berperan untuk menampilkan kedua mempelai tampil prima, karena selain ia bertugas mengurusi rangkaian dari proses acara yang ada, ia juga berfungsi untuk merias pengantin sehingga nampak adanya unsur-unsur yang sifatnya tradisional yang tidak dapat dirasionalkan tapi dapat diperankan dan itulah kedudukan ibu pengantin. Sehingga di dalam mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan kelengkapan dan prosesi upacara yang dilakukan sebelum sampai dengan sesudah upacara perkawinan merupakan satu rangkaian yang merupakan tanggung jawab ibu pengantin (tina noboti) .
Dengan selesainya acara ini maka rangkaian dari proses upacara yang dilalui pada pelaksanaan suatu perkawinan sudah selesai, dan masih dilanjutkan dengan beberapa rangkaian proses upacara adat yang harus dilakukan sesudah acara pernikahan.

3. Adat Sesudah Perkawinan
Dari rangkaian acara yang dilakukan dalam proses uapacara adat yang sudah dilalui, masih ada beberapa acara adat yang harus dilakukan sesudah upacara perkawinan (akad nikah), yakni:

3.1. Mandiupasili (Mandi Di Depan Pintu)
Mandiupasili merupakan salah satu rangkaian upacara yang dilakukan setelah akad nikah, yakni mandi bersama di depan pintu (mandiupasili) setelah dua hari selesai akad nikah yang dilakukan ibu pengantin sebagai penanggungjawab dalam rangkaian upacara karena dialah yang menyiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan mandiupasili.
Di dalam pelaksanaan upacara ini biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari dengan mempergunakan berbagai macam kelengkapan berupa, bunga, daun-daunan, mayang kelapa dan pinang, belangan tanah, sandaran (bako-bako), uang sen dan sempe (tempat penampungan air) serta sarung panjang. Dari kelengkapan tersebut yang diramu secara tradisional untuk dijadikan bahan dalam mandiupasili. Sedangkan tempat akan dilangsungkannya prosesi mandiupasili diberi hiasan berupa kain-kain putih pada bagian atas, dan pada saat yang akan dimandikan berdiri, ibu pengantin memasukannya ke dalam sarung berulang tiga kali oleh masyarakat suku Kaili menyebutnya nipolangan, artinya pembebasan, kemudian keduanya memakai pakaian yang sudah disediakan.
Proses pelaksanaan acara mandiupasili sebagai wujud dari sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang gaib, sekaligus menandai bahwa pengantin sudah membebaskan diri dari perbuatan yang ingkar (perselingkuhan), yang dimaksudkan agar kehidupan yang baru itu dapat membawa kehidupan yang tenteram dan bahagia, serta kuat di dalam mempertahankan kehidupan rumah tangganya walaupun ditimpa gosip.

3.2. Mematua (Berkunjung Ke Rumah Mertua)
Mematua adalah akhir dari rangkaian upacara yang terdapat di dalam upacara perkawinan suku Kaili, yakni melakukan kunjungan ke rumah mertua laki-laki, yang dimaksudkan sebagai penghargaan sekaligus tanda bakti anak kepada orangtua sekaligus menandai bahwa pihak perempuan sudah merupakan bagian dari keluarga laki-laki.
Di dalam acara ini yang paling mendasar adalah motataka botiga ri pale, yakni mertua perempuan memasangkan botiga (gelang) pada menantu sebagai simbol bahwa menantu itu adalah sama kedudukannya dengan anaknya sendiri dan sudah diterima di dalam satu keluarga. Selain itu juga kadang diserahkan pula beberapa benda seperti perhiasan, sebidang tanah dan sebagai bukti sayangnya kepada anaknya (menantu) bila keluarga tersebut memungkinkan, namun bukan suatu syarat mutlak.
Proses pelaksanaan acara ini kadang dihadiri para tokoh adat dan agama yang menandai bahwa betapa pentingnya dan sakralnya suatu perkawinan sehingga harus dihadiri para tokoh dan pemuka adat setempat sehingga perlakuannya perlu dilakukan secara hikmat dan semeriah mungkin.
Dengan selesainya rangkaian acara tersebut, maka diakhiri dengan makan bersama yang didahului dengan pemabcaan doa syukur agar pengantin (suami isteri) mendapat keselamatan, terhindar dari malapetaka, mudah rezeki dan dapat memperoleh keturunan yang baik-baik sehingga ia bisa hidup lebih sejahtera dan diberi Tuhan umur panjang. ***

Sumber:
Dra. Hermin M.T . dkk, 2001, Upacara Adat Perkawinan Suku Kaili, Palu: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sulawesi Tengah. Hal. 27-42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar