Jumat, 28 September 2012

Jantung Sulawesi : Keindahan dan Kekayaan Alam yang Terancam


Keindahan dan kaya akan sumberdaya alam menjadi sebuah kebanggaan bagi masyarakat adat yang tinggal di beberapa desa di Kecamatan Seko dan Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Namun, itu semua akan menjadi sebuah ancaman bagi masyarakatnya sendiri. Terlebih jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap berpikir dengan pola lama, membuat keputusan dan kebijakan yang tidak memperhatikan kearifan masyarakat adat dan kesejahteraan masyarakatnya dalam peningkatan sisi ekonomi ataupun pendapatan asli daerah.

Adanya ancaman-ancaman terhadap kawasan inilah yang membuat aku dan teman-teman datang ke Seko-Rampi. Mendokumentasikan, berdialog langsung dan saling berbagi pengalaman dengan masyarakat lokal. Rencana akan masuknya investasi perusahaan-perusahaan tambang, izin HPH dan HGU untuk perkebunan membuat masyarakat adat Seko-Rampi bertanya-tanya, seperti apakah dampak negatifnya jika semua itu terjadi di wilayah adatnya.

Inilah sedikit catatan perjalananku selama dua puluh lima hari disana, mengunjungi beberapa Desa/Kampung yang ada di Kecamatan Seko dan Kecamatan Rampi.

Tanggal 24 Juli 2006 pukul 13.00 waktu Makassar aku tiba di Bandara Hasanudin, Makassar. Aku dan seorang temanku Yudi N. berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 10.00. Lama perjalanan dengan pesawat antara Jakarta-Makassar adalah dua jam. Karena ada perbedaan waktu satu jam antara Jakarta dengan Makassar maka kami tiba pukul 13.00, Makassar lebih cepat satu jam.

Setiba di Makassar kami langsung menuju kantor Jurnal Celebes di daerah Panakukang. Kami sudah janjian untuk ketemu dengan seorang teman dari JC Makassar yang juga akan ikut ke Seko-Rampi.

Setelah cukup beristirahat dan jalan-jalan sebentar mengunjungi pusat perbelanjaan di Kota Makassar, pukul 22.00 kami langsung menuju Palopo dengan menggunakan bus. Lama perjalanan dari Makassar ke Palopo sekitar tujuh jam dengan ongkos tujuh puluh lima ribu rupiah per kepala.

Sekitar pukul 06.00 kami tiba di Palopo. Setiba disana kami sempat beristirahat beberapa jam sambil berdiskusi dengan teman-teman dari Yayasan Bumi Sawerigading (YBS Palopo) mengenai masalah teknis perjalanan kami nanti. Dari YBS Palopo juga akan ikut satu orang untuk bergabung dengan kami. Kebetulan beliau juga merupakan pendamping masyarakat disana. Pukul 11.00 kami melanjutkan perjalanan ke Seko, yaitu daerah yang memang tujuan awal perjalanan kami. Untuk menuju Seko kami harus ke Sabbang terlebih dahulu untuk mencari ojek yang menuju Seko, tepatnya Desa Lodang. Perjalanan dari Palopo ke Sabbang diperkirakan sekitar satu jam dengan menggunakan angkutan kota.

Setelah belanja kebutuhan perjalanan kami untuk satu bulan, kami langsung berangkat menuju Seko dengan menggunakan ojek. Kami memesan tiga buah sepeda motor untuk menuju ke Seko. Sedangkan seorang teman dari Palopo membawa motornya sendiri yaitu motor honda wins. Aku kira ojek disini adalah motor-motor besar, mengingat kondisi jalan yang jelek dan berbukit. Tapi ternyata rata-rata motor yang mereka pakai adalah motor-motor jenis bebek, yang memang kebanyakan sudah dimodifikasi.

Untuk menuju Seko memang membutuhkan biaya yang cukup mahal, karena kita harus mengeluarkan uang sebesar tiga ratus ribu rupiah untuk satu motornya. Waktu yang dibutuhkan untuk menuju Sabbang sekitar delapan jam. Cukup lama memang kita harus duduk diatas motor. Sedangkan jika berjalan kaki atau memakai kuda, membutuhkan waktu selama tiga hari dua malam.

Perjalanan menuju Seko sangatlah melelahkan, karena kondisi jalan yang sangat jelek, berbatu, tanah liat dan lumpur. Selain kondisi jalan yang jelek kami juga harus naik turun bukit, menyeberangi sungai serta melewati jalan-jalan setapak yang terkadang sangat curam. “Jalanan ini diluar akal sehat manusia untuk dilalui” ujarku kepada sang pengendara motor, sementara si pengendara hanya tertawa dan berkata “yaa.. inilah Seko, sudah puluhan tahun lebih kami tinggal disini, sampai sekarang belum juga dibangun jalannya. Ini sebenarnya jalan kuda”.

Perasaanku saat berada diatas motor sangat was-was, karena aku sepertinya merasakan perjalanan ini sangat beresiko tinggi. Bisa-bisa suatu ketika akan jatuh. Selain berat dengan dua orang yang berada diatas motor, motor kami juga berat dengan barang-barang yang kami bawa.
Tapi, untunglah para tukang ojek ini sudah terbiasa bolak-balik antara Sabbang-Seko. Jadi mereka sudah berpengalaman membawa motor menuju Seko. Perjalanan menuju Seko sangatlah indah, apalagi disaat kami sudah berada di ketinggian 1500 mdpl. Masyarakatnya menyebut daerah ini km 41. Dari sana sampai menuju Desa Lodang kami bisa menikmati sejuknya udara disore hari yang berkabut, melihat tutupan hutan yang masih lebat, melewati punggungan-punggungan dan terakhir melewati hamparan savana yang dibelah oleh sungai besar. Udaranyapun sudah mulai menusuk tulang-tulang kami. Begitu dingin...

Seko
Kecamatan Seko terdapat dua belas desa dan sembilan wilayah adat. Seko sendiri terbagi dalam tiga wilayah besar yaitu; Seko Padang, Seko Tengah dan Seko Lemo. Setiap desa ditiga wilayah besar ini jika secara adatnya dipimpin oleh Tubara, Tobara dan Tomokaka. Keberadaan masyarakat adat Seko juga telah diakui oleh pemerintah daerah Kabupaten Luwu Utara dengan adanya PP Kabupatan Luwu Utara No. 12 Tahun 2004 Tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dan SK Bupati No. 300 Tahun 2004 Tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko.

Di Seko, kami hanya bisa mengunjungi wilayah Seko Padang, karena Seko Tengah dan Seko Lemo lokasinya sangat jauh dari Seko Padang.
Desa Lodang. Hamparan padang savana yang luas, berbukit dan sawah yang membentang ditengah lembah. Inilah pemandangan yang sangat mengesankan jika berada di desa ini. Apalagi jika kita berada diatas bukit yang berada disekitar kampung dipagi ataupun sore hari. Selama enam hari di Lodang, banyak pemandangan-pemandangan indah, aktivitas masyarakat, adat istiadat yang kami temui.

Oleh karena perubahan suhu udara yang sangat cepat, setelah dua hari disana aku sempat terserang flu berat. Disaat siang hari suhunya sangat panas menyengat. Sedangkan pada malam harinya berubah menjadi sangat dingin. Apalagi kami datang disaat musim kemarau.

Selama berada di kampung, kami sempat mendokumentasikan pembuatan kain/selimut dari kulit kayu (sumasa), dimana masyarakat setempat menyebut nama kayunya adalah kayu ani. Sebelum ada pakaian yang seperti sekarang, orang-orang tua dulu membuat pakaian, sarung atau selimut dari kulit kayu ini. Pembuatan kain dari kulit kayu ini cukup memakan waktu yang lama, karena mereka harus memukul kulit kayu tersebut sampai tipis dan halus dengan alat-alat yang berbagai macam ukuran yang terbuat dari batu dan diikat rapi disebatang rotan.

Kami juga ikut menangkap ikan di sungai yang jernih dan dingin yang mengalir disepanjang desa mereka. Berburu di padang savana dan berbukit dibawah teriknya matahari membuat kulit kami terbakar. Tidak heran jika pada esok harinya kulit dimuka dan tangan sudah mulai mengelupas satu persatu.

Selain kaya akan hasil-hasil pertanian, masyarakat Desa Lodang juga kaya akan hewan ternak seperti kerbau, sapi dan kuda. Salah satunya adalah Pak Murruna. Beliau dan dua saudaranya memiliki kurang lebih dua ratus ekor kerbau. Sore hari yang cerah kami mengikuti Pak Murruna mengembala kerbaunya di padang savana. Hewan-hewan ternak disini begitu sehat dan gemuk karena dilepas disana. Kerbau-kerbau di Seko maupun Rampi banyak dibeli oleh orang-orang Toraja untuk upacara adat di Toraja.

Masyarakat Desa Lodang dan juga masyarakat Seko pada umumnya jika dimalam hari selepas maghrib berkumpul bersama keluarga di dapur. Ini dilakukan karena Seko pada malam hari suhunya memang sangat dingin. Di dapur mereka mengelilingi tungku perapian sambil berdiskusi maupun bersenda gurau, sementara sang ibu maupun anak perempuannya ikut bergabung sambil memasak. Begitupun nasehat dan petuah-petuah orang tua, mereka sampaikan kepada anak-anaknya di dapur.

Keunikan di Seko, jika kita bertamu dan tidak ke dapur, maka kita dianggap tidak menghargai tuan rumah. Jadi, jika kita bertamu ataupun bertandang ke rumah masyarakat Seko, kita harus langsung menuju dapur. Budaya ini turun-temurun selalu dilakukan. Sesuai dengan arti “seko” itu sendiri memang. Bersahabat...

Eno, Desa Padang Balua. Tanggal 30 Juli 2006 kami melanjutkan perjalanan ke Desa Eno, yang juga merupakan ibukota Kecamatan Seko. Jarak antara Desa Lodang-Eno sekitar 7 km. Jika memakai ojek membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit.

Suasana di Eno memang berbeda dengan desa-desa yang lainya, lebih ramai dan sudah banyak warung-warung. Di Eno sekarang juga sudah ada bandara untuk pesawat kecil yang kapasitas penumpang enam orang. Masyarakat Seko jika ingin membeli kebutuhan rumah tangga, jika tidak turun ke Sabbang, mereka membelinya di Eno.

Fasilitas umum dan kantor pemerintahan di Eno juga sudah ada, seperti Kantor Camat, Puskesmas, dan Polsek . Ketika kami datang, sebuah bangunan sekolah SMU Negeri hampir selesai dibangun.

Disini kami diajak salah satu masyarakat Eno untuk melihat situs budaya yang ada di desa mereka. Situs budaya yang ada disana adalah tungku raksasa, lesung dan alu raksasa. Diceritakan, dulu memang pernah ada manusia raksasa yang tinggal dan menjaga kampung mereka. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan tungku dan lesung raksasa yang terbuat dari batu di desa mereka. Untuk tungku, ada empat buah batu yang membentuk tungku dengan tinggi kira-kira satu meter yang tertanam ditanah. Jarak antara batu satu dengan batu lainnya diperkirakan 2 meter. Sedangkan lesung itu sendiri diameternya sekitar 2 meter dan kedalam 2,75 meter. Sayangnya lesung ini sudah pecah dibakar oleh Masyarakat Bada’ di Sulawesi Tengah. Masyarakat Bada’ iri dengan kesuburan tanah dan kaya akan ternak di Seko. Mereka percaya yang menyebabkan semua ini adalah lesung yang ada di Seko. Maka mereka secara diam-diam mengumpulkan kayu diatas lesung tersebut dan membakarnya. Setelah api meyala dan memanaskan lesung, mereka langsung menyiramnya dengan air. Sementara alu-nya mereka bawa kekampung dengan dipikul oleh delapan orang. Niat mereka membawa alu ke kampung mereka, agar tanah dan ternak mereka bisa subur seperti di Seko. Tapi karena alu tersebut terlalu berat dan mereka juga sudah tidak kuat lagi memikulnya, ditengah perjalanan mereka membuang alu tersebut ke sungai mabubu. Sampai sekarang alu itu terendam di sungai mabubu.

Ketika kami berada di Eno, masyarakat Eno sedang bergotong royong untuk pembersihan kampung, mengecat pagar dan membersihkan lapangan. Ini dilakukan untuk menyambut perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke 62. Setiap tahun dalam perayaan hari kemerdekaan di kampung ini memang selalu ramai. Berbagai perlombaan diadakan, seperti sepak bola dan bola volly. Masyarakat dari kampung-kampung yang ada di Seko berdatangan untuk bertanding. Para pendatang ini akan tinggal di Desa Eno sampai perayaan tujuh-belasan selesai.

Olah raga yang paling favorit bagi para pemuda di Seko adalah sepak bola. Jadi tidak heran jika disetiap desa/kampung di Seko terdapat lapangan besar.

Desa Wono. Tanggal 1 Agustus 2006 kami berangkat ke Desa Wono tepatnya ke Dusun Tanete. Tujuan kami ke Tanete adalah untuk melihat musik bambu. Musik bambu merupakan musik tradisional yang ada disana. Semua peralatan musiknya terbuat dari bambu. Ada berbagai macam alam musik, berbagai macam ukuran dan berbagai macam pula bunyinya.

Karena masyarakat kampung Tanete masih banyak yang berkerja di ladang pada siang harinya, maka siang itu kami jalan-jalan ke Kampung Bana. Ada informasi dikampung ini masyarakatnya memelihara madu dan membuat gula dari tanaman tebu.

Ketika memasuki perkampungan Bana hatiku seakan terenyuh karena melihat perkampungan ini. Disini hanya ada beberapa rumah yang mengelilingi lapangan. Lokasi kampung ini juga berpisah jauh sekali dari kampung-kampung lainnya.

Karena masih penasaran kenapa masyarakat dikampung ini sedikit sekali dan lokasinya jauh dari kampung lainnya, aku bertanya kepada teman yang mengantarkan ku. “Mengapa masyarakat di kampung ini sedikit sekali penduduknya” ucapku. “Dulu jumlah penduduk di kampung ini lebih banyak daripada sekarang, tetapi sudah banyak yang mengungsi ke Mamuju Sulawesi Barat. Masyarakat Bana awalnya dari orang-orang yang mengungsi ke hutan karena kerusuhan DI/TII. Tahun 1983 masyarakat di Bana banyak yang keluar dari Bana karena susahnya akses untuk mengeluarkan hasil-hasil pertanian dan juga akses antar kampung yang masih sulit” kisah temanku itu. Terkadang hatiku masih tidak percaya ada masyarakat yang tinggal dengan keadaan seperti ini. Tapi inilah kenyataannya.....

Setelah melihat masyarakat Bana mengambil madu dikebunnya. Kami menyaksikan proses pembuatan gula dari tanaman tebu yang dilakukan secara tradisional. Masyarakat Seko hampir disetiap ladangnya memiliki tanaman tebu. Bisa dikatakan mereka tidak pernah membeli gula pasir yang dijual di warung-warung ataupun di pasar.

Pembuatan gula tebu memakan waktu yang cukup lama, mulai dari menebang tebu, mencuci, memeras tebu dan terakhir memanaskan air tebu hinggga menjadi gula. Masyarakat seko memeras tebu dengan menggunakan dua buah pohon yang diinjak oleh seseorang. Lamanya proses memasak air tebu hingga menjadi gula memakan waktu 5-6 jam. Setelah air tebu menjadi gula/kental, kemudian dimasukkan kedalam bambu dan didinginkan.

Malamnya kami kembali ke Tanete karena kami sudah janji dengan masyarakat tanete untuk shooting permainan musik bambu. Pukul sepuluh malam di gereja yang terdapat dikampung, orang-orang yang saat itu berada di dalam gereja mulai bermain musik dari bambu. Kebanyakan yang bermain musik ini adalah orang-orang tua. Suara dari musik bambu ini sangat khas, tapi sayang musik bambu ini sudah sangat jarang sekali dimainkan oleh masyarakat Seko. Tidak menutup kemungkinan musik-musik bambu ini akan ditinggalkan oleh masyarakat dengan masuknya alat-alat modern dan pengaruh budaya luar lainnya.

Desa Marante. Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan ke Desa Marante. Tujuan kami ke desa ini adalah ingin mengunjungi masyarakat Kampung Parahaleang untuk ikut memasang jerat anoa (Bubalus quarlesi) di hutan parahaleang. Dari Tanete kami berjalan kaki ke Paraheleang yang jaraknya sekitar 14 km.

Desa Marante tepatnya di Parahaleang merupakan desa yang berada dipaling ujung. Di Parahaleang inilah, kampung yang berbatasan langsung dengan hutan, dan merupakan kampung penyuplai kayu-kayu untuk wilayah seko padang. Masih banyak jenis-jenis kayu di kampung ini yang besar-besar diantaranya; huru, bitau, damar, polio dan jenis lainnya yang kesemuanya bebahasa lokal.

Setelah beristirahat di Desa Parahaleang dan berdiskusi mengenai teknis berburu dihutan, tanggal 3 Agustus 2006 kami berangkat menuju hutan parahaleang. Dalam berburu ini kami ditemani oleh tiga orang dari kampung parahaleang.

Sebelum berangkat kehutan saya sempat bertanya “berapa jam dari kampung kita akan berjalan?”, “hanya tiga jam berjalan kaki” ucap Pak Takohu yang ikut menemani kami.
Kami mulai berangkat dari rumah pukul sembilan pagi. Saat awal perjalanan dengan semangatnya aku berjalan sambil menggendong ranselku. Dua, tiga jam telah terlewati, tapi lokasi yang dituju belum juga sampai-sampai. “Masih jauh pak” ujarku kepada pak Takohu untuk meyakinkan kembali berapa lama lagi kita akan berjalan. Sambil berjalan santai pak Takohu menjawab “yaa.. lumayan jauh sih, nanti setelah ada persimpangan yang menuju ke Palu kita kekanan. Dari situ sudah dekat” ucapnya. Dalam hati aku menggerutu, “wah... kalo begini mah, mendingan deket-deket aja masang jeratnya pak...”

Stamina tubuhku sudah hampir menurun karena harus naik turun punggungan hutan parahaleang. Pak Takohu yang kelahiran tahun 42 itu tetap santai berjalan walaupun tanpa beralas kaki. Padahal hutan yang kami lewati banyak duri-duri rotan yang menghadang jalan. Walaupun tanpa kompas Pak Takohu dengan pasti melangkahkan kakinya.

Pukul 15.40 kami baru tiba dilokasi yang kami tuju. Tujuh jam lebih kami berjalan kaki, barulah kami tiba di sebuah pondok didekat sungai. Diareal yang sedikit terbuka dan datar ini akhirnya aku meletakkan ransel dan bisa bernafas dengan tenang. “Huhh... betapa jauhnya pak, lokasi memasang jerat anoa ini. Kalo aku, lebih baik nggak makan anoa daripada harus berjalan kaki sejauh ini” keluhku kepada bapak-bapak yang menemani kami. Seorang teman Pak Takohu yang mendengarkan keluhku langsung menjawab “kami biasanya bolak-balik dari sini ke kampung jika tidak dapat hasil jeratan”.

Sore pada saat hari pertama kami sampai, di pondok kami, singgah satu keluarga yang mau menuju Dusun Singkalong. Mereka berjalan sudah lima hari dari Palu, Sulawesi Selatan. Ikut juga dirombongan itu seorang ibu muda yang selalu menggendong anaknya. “Bener-bener seorang ibu yang tangguh” gumamku dalam hati. Diwajahnya terpancar ketabahan dan selalu tersenyum. Tidak pernah mengeluh walaupun sudah berjalan selama lima hari. Kami saja yang baru berjalan tujuh jam sudah memaki-maki hehehe...

Disaat kami beristirahat, Pak Takohu dan temannya langsung memasang pancing di sungai yang berada didekat pondok kami. Ada puluhan pancing yang dibawa Pak Takohu. Pancing itu baru akan dilihat pada pagi harinya. Selama tiga hari dua malam dihutan, ikan belut sungai hasil pancingan inilah yang menjadi lauk kami ditemani dengan sayur pakis yang tumbuh subur disepanjang sungai.

Desa Taloto. Tanggal 7 Agustus 2006 kami kembali melanjutkan perjalanan ke Desa Taloto yaitu Singkalong, desa perbatasan antara Seko dengan Rampi. Singkalong walapun secara administratif tergabung kedalam Kecamatan Seko namun adat dan bahasanya sudah menggunakan adat dan bahasa rampi.

Keesokan harinya kami diajak olah Pak Gerson untuk melihat kondisi kampung dan melihat lokasi ex HPH PT Kendari Tunggal Timber (KTT) serta lokasi tambang. Setelah sampai dilokasi ex KTT Pak Gerson menjelaskan semua permasalahan yang ada dikampung ini. Mulai dari kehancuran hutan yang dieksploitasi oleh KTT yang mengakibatkan erosi, banjir dan rencana masuknya perusahaan tambang emas ke kampung mereka. Pak Gerson juga menjelaskan ada beberapa hulu sungai yang terdapat dikampungnya diantaranya; sungai tadoyang, sungai lore’, dan sungai lengkong. Sungai-sungai ini mengalir ke beberapa desa di Seko dan Desa Mamuju, Sulawesi Barat.

Aku sendiri sampai geleng-geleng kepala disaat Pak Gerson menunjukkan lokasi hutan yang pernah dijarah oleh KTT. Hampir semua puncak gunung yang mengelilingi seko merupakan areal konsesi KTT. “Untung KTT berhenti karena didemo masyarakat, kalo tidak, habis sudah seko” ucap Pak Gerson kepadaku.

Setelah banyak mendapatkan penjelasan dari Pak Gerson dan melihat semua lokasi-lokasi camp yang digunakan oleh KTT kami melanjutkan perjalanan ke lokasi tambang emas. Tak lama berjalan dan menyusuri sungai kami sudah masuk ke wilayah tambang emas. Disaat aku menyusuri sungai kecil yaitu sungai ..... (aku lupa nama sungainya) aku dikejutkan oleh Pak Gerson “ lihatlah pasir disungai ini, ada butiran-butiran emasnya, kuning mengkilap”. Spontan aku langsung melihat dasar sungai yang aku injak, dan, waw... butiran-butiran emas berkilap-kilap karena terkena sinar matahari. Seolah tak terpacaya aku langsung mengambil pasir dengan genggaman tanganku dan melihatnya. Sekali lagi aku meyakinkan diriku dengan bertanya kepada Pak Gerson, “ini bener emas pak?” ucapku. “Iya.. itulah butiran-butiran emas, Cuma belum tahu apakah masih muda atau memang bukan emas” sambil tertawa Pak Gerson menggodaku. Pak Gerson juga bercerita bahwa beberapa minggu yang lalu ada orang Korea yang survey kesini dan bilang kepada masyarakat kalo disini tidak ada emas.

Hampir dua jam kami berjalan menyusuri sungai ini. Sepanjang sungai pula kami melihat butiran-butiran emas yang bersinar diantara pasir-pasir yang ada di sungai. Pak Gerson bercerita kepadaku bahwa Seko ini kaya akan sumberdaya alam, kayu dan juga bahan-bahan tambang. “Semua ada disini, kayu, emas, tembaga, uranium, nikel. Kami bangga dengan kekayaan alam yang kami punya. Tapi, ini juga yang akan menjadi ancaman bagi masyarakat Seko jikalau memang nanti perusahaan-perusahaan besar masuk ke kampung kami” keluh Pak Gerson kepadaku.

Disaat akan kembali ke kampung, Pak Gerson menunjukkan kepada kami letaknya Rampi. “Rampi ada dibalik gunung itu, jadi besok kalian harus melewati lembah-lembah itu, terus naik ke puncak gunung dan baru turun. Disanalah Rampi. Desa yang pertama yang akan kalian temui adalah Desa Tedeboe” jelasnya sambil menunjuk sebuah puncak gunung. Setelah mendengar penjelasan dari Pak Gerson, kami hanya memandang kosong puncak gunung yang sedikit tertutup kabut itu. “Kira-kira berapa lama kami akan berjalan kaki pak?” tanyaku kepada Pak Gerson. Dengan santai Pak Gerson menjawab “ya... mungkin dua tiga hari kalian tiba disana”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar