Rabu, 18 Desember 2013

Air Terjun Tontouan, Luwuk



Salah satu Objek Wisata yang berada di tengah-tengah Kota Luwuk, memiliki Pesona Keindahan Alam yang indah dan dapat menjadi alternatif Wisata dalam mengisi liburan akhir pekan adalah air terjun mini Tontouan

Objek Wisata alam CM3 (Cepat,murah,menarik,memuaskan). memiliki daya tarik tersendiri karena berada dilembah yang diapit oleh 2 gunung di penuhi tanaman jagung,pisang,pepaya,sayur-sayuran milik masyarakat setempat. Jarak 2 km dari jantung kota dengan waktu tempuh 30 menit.

Selasa, 15 Oktober 2013

Desa SOI, Desa di atas awan


INILAH salah satu desa tertinggi yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah, berada di ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut (MDPL). Untuk mencapai desa ini hanya membutuhkan waktu 2 jam berkendaraan roda dua, namun jalan yang harus di lewati tidaklah mulus dan rata. Di sepanjang jalan kita di hadapi jalanan yang beraspal tidak berbentuk lagi. Memasuki perkampungan, tanjakan curam yang masih berupa jalan tanah membuat kendaraan berkerja ekstra keras untuk menanjakinya, belum lagi jika di lalui di saat musim hujan <<< mmmm semakin menantang >>>

Desa Wanja atau orang sekitar lebih mengenalnya dengan desa Soi. Sangat Ironis, dari desa ini kita dapat melihat dengan jelas gemerlap lampu-lampu di lembah kota Palu, namun sayang seribu sayang desa ini sendiri belum teraliri listrik. Berbagai janji telah di tebarkan pemerintah untuk segera mealiri listrik ke desa ini, namun warga desa hanya harap-harap cemas menanti datangnya KABAR GEMBIRA itu.

Berada di desa ini sangat menyenangkan, di siang hari cuaca terasa sejuk. Selain itu kita dapat melihat pemandangan lembah palu di satu sisi, di sisi yang lain kita dapat menikmati luasnya hutan dan bukit-bukit laksana gelombang lautan…. begitulah; karena desa ini tepat berada di puncak gunung.

Lokasi : Desa Wanja/Soi Kecamatan Marawola Barat Kabupaten SIGI, Sulawesi Tengah

facebook : waone palu mara

Jumat, 30 Agustus 2013

Danau Wanga, Salah Satu Danau di Ketinggian




DANAU Wanga adalah salah satu danau yang terletak di Propinsi Sulawesi Tengah tepatnya di Kabupaten Poso Kecamatan Lore Peore. Sumber daya perikanan danau ini memiliki potensi untuk dikelola dengan baik untuk menjaga stok sumberdaya perikanan pada danau ini.
Danau Wanga yanga ada di kecamatan Lore Piore ini, memiliki luas perairan sekitar 138 Ha. Secara geografis, danau ini terletak dalam kawasan Lore Lindu dalam formasi lembah Napu. Aliran air mengalir dan bermuara pada sungai leriang (DAS). Danau ini terletak di atas pegunungan.
Wanga, termasuk salah satu danau yang dijadikan sasaran restocking oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng. Belum lama ini, bidang perikanan tangkap, yang melakukan penebaran benih ikan di Danau Wanga. Danau yang dikenal dengan banyaknya lumut tersebut, selama ini memang menjadi sumber bagi masyarakat di sekitar danau, untuk mendapatkan ikan. Tidak heran, jika restocking yang dilakukan DKP Sulteng, disambut antusias seluruh warga.

Kamis, 11 Juli 2013

MENYUSURI SEMENANJUNG BALAESANG




TRAVELING menyusuri Tanjung Balaesang begitu melelahkan, jalanan yang penuh lubang di sana sini membuat sepeda motor tak bisa melaju melebihi 30 km/jam. Apalagi di lalui di saat hujan turun, huuuu jalan begitu licin dan genangan air membuat perangkap pada lubang-lubang jalan, di tambah lagi jurang dan tebing yang mudah longsor semakin menambah kehati-hatian. Memasuki desa Walandano ada sebuah pantai kecil yang indah, di kanan kirinya terdapat bebatuan besar sebagai penghiasnya, asik juga nongkrong di atasnya memandang laut sambil menikmati sebatang rokok, di bawah ombak berdebur menabrak bebatuan…hmmm indahnya hidup.

Perjalanan di lanjutkan menuju desa Malei, dalam perjalanan mampir sebentar di sebuah air terjun yang berada tepat di tepi jalan. Walau tak begitu tinggi tapi cukup lumayan buat berfoto-foto ria (narsis). Desa Malei merupakan desa yang cukup luas dan padat, di bandingkan dengan desa lainya desa Malei ini lebih maju, rumah rumah permanen berjejer rapi di sepanjang jalan desa begitu juga dengan bangunan sekolahnya yang berdiri kokoh. Lalu sepeda motor meninggalkan desa malei menuju Rano/Danau Balaesang, kondisi jalanya tidak kalah hancur dengan jalan sebelumnya dan hujanpun mulai turun menambah serunya perjalanan kali ini. Hutan di kanan kiri yang masih terawat baik sedikit menjadi hiburan, kira-kira 45 menit perjalanan akhirnya Rano/danau Balaesang terlihat di pelupuk mata. Tak seperti ku sangka danau ini cukup luas juga, pohon sagu, rawa, pohon kelapa banyak terdapat di tepi danau. Di kejauhan tampak desa Rano, masih perlu beberapa menit lagi untuk sampai ke sana, memasuki desa Rano jalananya masih berupa tanah, rumah-rumah panggung banyak berdiri berjejer di tepi danau, perahu-perahu tertambat rapi, anak-anak asik bermain air menjadikan tontonan menarik.

Hujan semakin deras ketika aku meninggalkan Rano Balaesang, kembali perjalanan menyusuri Semenanjung Balaesang di lanjutkan. Kondisi jalanya tak berupah, masih tetap penuh lubang di sana sini, kali ini jalanya naik turun naik turun bukit membuat kaki harus lincah memainkan rem dan gigi motor untuk menghindari lubang-lubang yang menganga…Sayang waktu sudah memasuki siang hari, dan hujanpun tak henti-hentinya turun, setelah bertanya pada seseorang ternyata desa / manimbaya tak jauh lagi, tapi karena waktu yang telah mepet akhirnya ku putuskan segera kembali ke Palu..

SUMBER : https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4651233412484&set=gm.687104591316503&type=1&relevant_count=1&ref=nf

Sabtu, 06 Juli 2013

Sungai Miu & Gumbasa



Letak Geografis

Wilayah Sungai Miu dan Gumbasa secara administratif terletak pada Kabupaten Sigi Biromaru yang beribukota di Biromaru, merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Tengah. Sungai Miu dan Gumbasa termasuk dalam Wilayah Sungai Palu-Lariang, secara geografis terletak di 0º30” LU dan 2º20” LS, serta antara 119º45” -121º45” BT, daerah ini berbatasan dengan Kota Palu di Utara, Kabupaten Donggala dis Barat, Provinsi Sulawesi Selatan di Selatan dan Kabupaten Parigi Moutong di Timur. Luas wilayah daerah ini adalah 10.471,71 Km².

Sungai Miu dan Sungai Gumbasa merupakan anak sungai utama pembentuk aliran Sungai Palu. Kedua sungai ini berada di kawasan hulu DAS Palu yang mengalirkan debit sepanjang tahun.

Potensi DAS Miu dan DAS Gumbasa1.
Sarana dan Prasarana Sumber Daya Air

Sarana dan prasarana bangunan sumber daya air antara lain, bendungan (dam), bendung (weir), saluran irigasi, saluran drainase, bangunan pengendali banjir, tanggul banjir, saluran pengelak banjir dan sebagainya. Bangunan irigasi yang penting di WS Palu Lariang antara lain:a. Bendung Gumbasa. Saat ini mengairi lahan persawahan seluas 6.972 ha (luas fungsional). Kondisi bendung saat kunjungan lapangan (Juli 2007) masih dalam kondisi baik dan terawat. Tetapi kondisi saluran induk pada bulan Juni 2005 mengalami kerusakan karena adanya longsoran lahan yang masuk dan menimbun saluran induk sepanjang 5 km di Desa Sibalaya. Telah dilakukan pengerukan atas timbunan tersebut, tetapi pada bulan Agustus 2005 terjadi timbunan lagi akibat dari putusnya saluran syphon dibawah saluran induk. Upaya-upaya perbaikan telah dilaksanakan dan saat ini Irigasi Gumbasa telah befungsi dengan normal kembali.
b. Bendung-bendung lainnya dalam skala yang lebih kecil dan dilaporkan kondisinya dalam keadaan baik.
c.
Intake PDAM dilaporkan dalam kondisi rusak dan tidak beroperasi secara optimal. Dimasa depan direncanakan pengambilan air dari S.Gumbasa sebesar 500 l/detik.



2.  Air Minum

Kapasitas produksi potensial air minum di Kabupaten Sigi Biromaru/Kota Palu pada tahun 2004 mencapai 399 liter/detik dan kapasitas efektif yang dihasilkan oleh PDAM Sigi Biromaru/Palu adalah 254 liter/detik (63,6%) (BPS Prov. Sulteng, 2004). Sumber air untuk memenuhi kebutuhan air minum Kota Palu dan Kab.Sigi Biromaru diambil dari sungai dan mata air. Pengambilan sumber air dari sungai dimulai pada tahun 1971 tetapi upaya ini tidak berjalan sesuai dengan rencana

3. Potensi Sumber Tenaga

Pada beberapa lokasi dalam DAS Miu dan Gumbasa, khususnya yang berada di daerah hulu Sungai Miu dan Gumbasa, terdapat beberapa titik potensial untuk pengembangan pembangkitan listrik tenaga air (PLTA). Kondisi ini ditunjang dengan beda tinggi (head) yang cukup besar dengan debit air yang konstan sebagai energy potensial untuk menggerakkan turbin-turbin pembangkit listrik.
Lokasi yang strategis tersebut adalah outlet Danau Lindu atau Sungai Rawa pada elevasi +980 mdpl, dengan kapasitas debit berkisar 45 m³/detik, dan outlet Sungai Sopu (awal S. Gumbasa) dengan elevasi + 550 mdpl dengan debit berkisar 100 m³/detik. Selain itu, untuk opimasi penggunaan air Bendung Gumbasa, dapat pula dimanfaatkan airnya bagi pembangkitan tenaga listrik skala mini dengan memanfaatkan jaringan irigasi yang sudah ada. Dengan menggunakan jenis turbin pembangkit untuk head yang rendah, potensi aliran irigasi Gumbasa berpotensi untuk dimanfaatkan bagi pembangkitan tenaga listrik untuk daerah-daerah disekitarnya.
Babarapa lokasi lainnya yang juga berpotensi adalah sungai-sungai yang menghasilkan terjunan 20 – 40 m yang terletak di sisi barat DAS Palu, tepatnya di desa Kaleke, Wera dan sekitarnya. Beberapa investor sebenarnya tertarik untuk melakukan investasi dan telah melakukan studi kelayakan untuk Sungai Rawa dan Sungai Gumbasa. Studi kelayakan telah dilakukan dan pihak investor bahkan telah sampai pada tahapan exspose kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Sigi Biromaru dan Kota Palu, LSM, perguruan tinggi dan dinas-dinas terkait lainnya.

POTENSI SUNGAI LARIANG



Letak Geografis

Wilayah Sungai (WS) Palu Lariang adalah salah satu WS lintas provinsi yang berada di Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Total luas WS Palu Lariang adalah 14,550 km², dan DAS Lariang yang menjadi lokasi studi dan pekerjaan kali ini merupakan salah satu DAS utama di WS Palu Lariang (A02 – 22). Dengan luas keseluruhan daerah pengaliran sungai sebesar 7.069 km² (atau sekitar 49 % dari luas total WS Palu-Lariang), menjadikan DAS Lariang daerah aliran sungai terbesar di dalam WS Palu-Lariang.



DAS Lariang yang terletak pada posisi geografis 1° 10’ LS – 2° 29’ LS dan 119° 16’ BT – 120° 31’ BT, berada di 3 provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Barat. Hal tersebut menempatkan DAS Lariang sebagai DAS yang memiliki kompleksitas pengelolaan yang lebih besar dari DAS-DAS atau WS lainnya dalam WS Palu-Lariang, meskipun prosentase terbesar DAS Lariang berada di Provinsi Sulawesi Tengah. Bagian hulu DAS Lariang terletak di dua provinsi, yaitu bagian selatan DAS Lariang berada di Provinsi Sulawesi Selatan (Kecamatan Masamba), sedang bagian utara dan tengah berada di Kecamatan Lore Utara dan Lore Tengah. Bagian tengah DAS Lariang terletak di Kecamatan Kulawi dan Kecamatan Pipikoro, sedangkan bagian hilir berada di Kecamatan Rio Pakawa dan Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat


II.
Potensi Sungai Lariang1. Potensi Air Permukaan

DAS Lariang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi, bahkan di beberapa lokasi, curah hujan dapat mencapai lebih dari 2500 mm per tahun. Hasil simulasi dengan menggunakan DSS-Ribasim tahun 2005 (PT. DDC dan PT. Wahana Adya Consultan) memperlihatkan bahwa ketersediaan aliran permukaan rerata Sungai Lariang hilir berkisar 232.6 m³/detik. Untuk S. Lariang hulu (segmen Paato – Watutau) debit rerata adalah 26.3 m³/detik, segmen Rompo – Doda adalah sebesar 79.1 m³/detik, segmen Gintu – Tuare adalah sebesar 85.4 m³/detik, segmen Lariang 6 ke hilir sebesar 160.4 m³/detik dan segmen Lariang 7 hulu adalah sebesar 169.1 m³/detik. Jadi terjadi peningkatan debit ke arah hilir sungai utama. Potensi air permukaan ini sangat besar jumlahnya dan dapat dipakai untuk berbagai macam keperluan, diantaranya adalah untuk penambahan areal irigasi, baik yang sudah ada maupun yang baru direncanakan (ekstensifikasi), untuk keperluan perkebunan dan ground water recharge scheme, sampai kepada pemanfaatan air; dengan memanfaatkan head yang tersedia, untuk keperluan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala menengah keatas. Selain itu, potensi air permukaan ini dapat pula dikembangkan untuk keperluan rekreasi dan olah raga air serta perikanan darat.
2. Potensi Air Tanah
potensi air tanah tidaklah merata tersebar di DAS Lariang. Mayoritas daerah yang ada mempunyai kondisi air tanah yang langka, hal mana berhubungan erat dengan kondisi topografi wilayah yang berbukit-bukit hingga bergunung. Akifer produktif tinggi dapat dijumpai di daerah hilir DAS, tepatnya di daerah Pasangkayu yang topografinya datar (0 – 2 %), sedangkan di Lembah Napu, sebagian akifer mempunyai kandungan air tanah dengan produksi sedang – tinggi yang pula berhubungan erat dengan kondisi topografi wilayah setempat. Potensi air tanah dapat dikembangkan untuk keperluan irigasi (jika air permukaan tidak mencukupi) dan untuk penyediaan air baku bagi keperluan penduduk dan industri/perdagangan.
3. Potensi lahan

Sebenarnya, sebagian besar DAS Lariang merupakan daerah berbukit dan pegunungan dengan kemiringan lebih besar dari 60 %, sehingga mayoritas lahan di DAS Lariang ini adalah berupa hutan asli yang dilindungi (hutan lindung) sebagai penyangga (buffer zone) dan daerah tangkapan air. Akan tetapi di sebagian kecil daerahnya sangat potensial untuk lebih dikembangkan melalui sistem pertanian, perkebunan dan agroforestry yang dapat menambah penghasilan masyarakat di sekitarnya dan juga bagi pemda setempat. Beberapa lokasi/wilayah yang dapat dikembangkan diantaranya adalah daerah Lembah Napu, mulai dari Desa Kaduaa hingga ke daerahTalabosa (pertanian dan perkebunan), Desa Watumaeta – Winowanga (perkebunan dan pertanian) hingga Watutau (perkebunan) serta Danau Wanga untuk keperluan perikanan darat dan rekreasi.
4. Potensi PLTA

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Sungai Lariang sangat berpotensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan airnya bagi keperluan PLTA. Dari hasil studi peta topografi dan Citra Satelit (Landsat 7 ETH +) serta kondisi geologi kawasan, terdapat sedikitnya empat (4) lokasi yang potensial untuk dikembangkan. Dua lokasi di Kecamatan Lore Selatan dan dua lokasi terdapat di Kecamatan Pipikoro dan/ atau di Kecamatan Kulawi bagian barat.
Ke-empat lokasi tersebut tidak dilalui sesar aktif Palu-Koro, sehingga dari pertimbangan geotektonik, lokasi terpilih relatif aman untuk pembangunan bangunan bagi keperluan pembangkitan listrik tenaga air seperti bendungan, pelimpah, pipa pembawa dan pipa pesat, generator dan turbin, jaringan distribusi dan tail-race.
Dengan pembangunan PLTA yang merupakan sumber energi terbarukan (renewable energy) setidaknya dapat menjawab persoalan kelistrikan di Sulawesi Tengah umumnya dan Kota Palu khususnya yang akhir-akhir ini tidak dapat memenuhi pasokan daya bagi seluruh pelanggan dengan mesin pembangkit yang ada.

Jumat, 05 Juli 2013

Potret Masyarakat Pesisir Desa Walandano



Program Upaya Penyelesaian Konflik Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Komunitas Di Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah ( Kerjasama : LPA.Awam Green, PTD Propinsi Sulawesi Tengah, UNDP dan Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah )

Catatan Lapangan : Budiansyah ( LPA. Awam Green )

Desa Walandano merupakan salah satu desa dalam wilayah administratif kabupaten Donggala tepatnya daerah pesisir pantai barat Kecamatan Balaesang Tanjung. Jarak dari ibu kota kabupaten menuju Desa Walandano kurang lebih 140 Km dan dari ibu kota provinsi 110 Km, bila di tempuh melalui perjalanan darat rata-rata 3 sampai 4 jam. Ini karena kondisi jalan yang masih dalam perbaikan di beberapa tempat. Perjalanan dari ibu kota Kabupaten dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi laut yaitu dengan menggunakan perahu motor. Waktu yang dihabiskan melalui perjalanan laut, 3 sampai 4 jam tergantung kapasitas mesin motor laut tersebut atau kondisi alam.


Dari Ibu kota Kecamatan menuju desa Walandano kurang lebih 10 Km. Sebelah Utara Desa Walandano berbatasan dengan Desa Palau, sebelah Timurnya dengan Desa Lombonga, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tompe dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Malei. Desa ini terbagi menjadi tiga dusun, Dusun satu disebut Lambagu, Dusun dua disebut Walandano dan dusun tiga disebut Lewonu. Jarak antara dusun satu kedusun dua 2 Km, dari dusun dua ke dusun tiga jaraknya 7 Km dengan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan.

Jumlah Penduduk Desa walandano 293 KK dengan jumlah jiwa 1.090. Masyarakat yang mendiami desa Walandano dari berbeda-beda suku yaitu Suku Pendau, Suku Sanger, Manado, Kaili, Bajo serta Pamona dan Kulawi. Persentase pemeluk agama di Desa Walandano, 60 % beragama Kristen dan 40 % beragama Islam.

Mata Pencaharian masyarakat Desa Walandano 58 % petani, 37 % nelayan dan 5 % pedagang. Rata-rata kepemilikan lahan, antara 0,5 sampai 2 Ha Per kepala keluarga, dan komoditi yang menjadi favorit yaitu Cengkeh, Pala, Coklat, Kelapa dan ada sebagian kecil masyarakat yang menanam rica dan kopi. Selain dari sektor pertanian, sektor kelautan Desa Walandano memiliki potensi yang sangat kaya seperti ikan, lobster, teripang dan rumput laut, sayangnya potensi tersebut belum bisa di kelola secara maksimal, dikarenakan pengelolaannya masih sangat tradisional.

Secara umum keaadan laut dan terumbu karang desa Walandano masih sangat baik dan terhindar dari bom dan bahan Potasium. Keadaan laut yang masih cukup baik ini bisa di ukur dengan banyaknya nelayan dari tempat lain yang menggantungkan hasil tangkapan dari wilayah laut Desa Walandano, yang sekaligus juga menjadi kekhawatiran.

Terlebih lagi permasalahan batas pengelolaan wilayah laut yang tidak jelas, mengakibatkan penyerobotan atau pengambilan hasil laut yang tidak terkendali mengakibatkan masyarakat setempat tidak mendapatkan hasil yang memadai. Hal ini juga disebabkan para nelayan desa ini masih menggunakan alat tangkap masih tradisional dan jumlahnya masih terbatas.

Sementara nelayan dari luar desa Walandano menggunakan alat tangkap yang memadai dan didukung dengan kendaraan operasional laut yang memadai. Tentunya membuat hasil tangkapan melimpah. Bahkan lebih dari itu mereka menggunakan alat tangkap yang jelas-jelas dilarang karena berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem laut seperti pukat harimau. Hal ini sulit di cegah karena masyarakat setempat hanya menggunakan kendaraan operasional laut yang sangat sederhana.

Begitu pun dengan hadirnya rompong-rompong dari desa lain yang tersebar diwilayah laut desa Walandano, juga menambah kekhuwatiran sebagai pemicu konflik. Ini dapat dirasakan saat panen tiba, yang mana nelayan dari desa lain lebih mendahulukan rompong mereka saja. Kalaupun mereka memanen rompong yang dikerjasamakan dengan masyarakat setempat, pembagiannya belum cukup adil, karena terlalu banyak potongan harga.

Gesekan antar wilayah desa, bahkan lintas provinsi ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak khususnya Pemerintah Daerah kabupaten, dalam kaitan-nya dengan wilayah tangkap tradisional yang belum diatur secara jelas. Potensi konflik laten yang secara singkat di kemukakan diatas, seharusnya direspon dengan memberdayakan masyarakat itu sendiri berdasarkan pemahaman mereka ( kearifan lokal setempat ) serta mendorong kesepakatan dalam pengelolaan laut yang adil, transparan, bertanggung jawab dan damai.

Jumat, 21 Juni 2013

GUNUNG LUMUT



Mendengar kata "lumut", pasti yang terlintas adalah sekelompok vegetasi kecil yang tumbuh pada tempat lembab atau perairan dan biasanya tumbuh meluas menutupi permukaan. Di perairan lumut dapat menutupi dasar atau dinding sungai atau danau.

Tapi berbeda lumut yang satu ini. Lumut ini berupa gunung yang memiliki pesona panorama alam dan kehidupan masyarakat lokal (tau Taa Wanba) yang masih sangat kental dalam menjalankan tradisi dan kearifan leluhur mereka , adalah Gunung Lumut atau dalam bahasa masyarakat setempat dinamai Tongku Barenge.

Meski memiliki Beragampotensi alam yang menakjubkan, kawasan gunung ini masih sangat jarang dieksplorasi para penggemar kegiatan petualangan khususnya pendaki gunung.

Salah satu faktor penyebab adalah minimnya informasi yang tersedia mengenai Gunung ini. Selain itu terbatasnya akses untuk lokasi pendakian yang ideal merupakan faktor penyebab lainnya.

Gunung ini secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Morowali, akan tetapi akses termudah untuk memulai titik start pendakian dari wilayah kabupaten Tojo Una-una.

Selain keindahan alam rimba belantara yang masih jarang tersentuh serta kekayaan aneka ragam satwa merupakan daya pikat yang dimiliki gunung lumut ditambah tantangan jalur pendakian yang belum pernah dibuka, merupakan tantangan yang sangat mengasyikan bagi para pengemar olahraga dan kegiatan pendakian gunung.

http://arsiptravel.blogspot.com/2013/06/keindahan-objek-wisata-alam-hutan.html

Kamis, 13 Juni 2013

Goa Vatu Ndalepa



  Vatu Ndalepa merupakan nama goa dan tebing alam  yang yang terletak di desa Galuga denga lokasi absolute berada pada S O10 26’ 47” dan E 1200 57’ 23”. Vatu Ndalepa berasal dari bahasa Kaili Bare'e yang berarti 'batu terkelupas/lepas'. Masyarakat memberikan nama tersebut karena jenis batuannya yang mudah terkelupas dan lepas. Desa Galuga merupakan desa yang terletak dikecamatan Tojo Barat Kabupaten Tojo Una-Una dengan mayoritas penduduk yang bercocok tanam berkat kesuburan tanah di tempat tersebut.
     Hasil survey & pengambilan data yang dilakukan oleh Mapala Lalimpala FKIP UNTAD bahwa kawasan karst tersebut dapat dikembangkan sebagai objek wisata alam bebas dan pusat studi wisata yang didukung dengan sumber air yang melimpah karena hutannya yang masih terjaga. Selain air terjun, kebudayaan berupa padungku (pesta panen) dan kayori (tarian daerah) di desa tersebut masih terjaga yang dapat disaksikan setiap musim panen tiba. Tebing alam yang terdapat di desa tersebut memilki tinggi sekitar 200-300 meter dengan jalur pemanjatan yang sangat variatif yang belum dikembangkan dan beberapa goa yang berlorong Fosil, Vadose dan Fhreatik. Salah satu goa yang telah di explor oleh team dari Mapala Lalimpala berada dibagian tengah dasar tebing yang dilalui sungai yang masuk melalui entrance goa dengan kedalaman vertical kurang lebih 94 meter.

Vaucluse goa tersebut berada pada koordinat S O10 25’ 58” dan E 1200 55’ 57” yang dikenal sebagai Sungai Bambalo yang pada saat ini baru dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Jarak antara ponor dengan vaucluse sekitar 4,5 Km. Goa ini baru dipetakan kurang lebih 308 meter, sedangkan bagian yang belum dipetakan yakni pada lorong fhreatik.



Sumber : Team Explorasi Vatu Ndalepa  2012 dan 2013

GUNUNG SIDOLE



Gunung Sidole terletak pada perbatasan dua wilayah Kabupaten yaitu Donggala dan Parimo (Parigi-Mautong) tepatnya antara Kecamatan Sindue dan Kecamatan Ampibabo. Adapun lokasi Gunung Sidole masih kontroversial, hal ini disebabkan pada lembaran peta Tavaili oleh Bakosurtanal edisi I tahun 1991 lembar 2015-34, menerangkan bahwa puncak tertinggi adalah ‘Bulu’ Sinio (Gunung Sinio dalam bahasa Kaili), akan tetapi pada kenyataannya masyarakat setempat menyebutkan bahwa puncak tersebut adalah Bulu Semen, karena pada puncaknya terdapat tugu/triangulasi buatan tangan para pendahulu kita yang hidup pada masa kolonial Belanda di bumi Tadulako. Namun pada peta, Gunung Semen terletak tiga karvak ke arah selatan dari puncak Gunung Sinio, sedangkan yang kami kenal puncak tertinggi tersebut bernama Bulu Sidole atau Gunung Sidole dan bukanlah Gunung Sinio. Dalam beberapa kali Expedisi Buka Jalur yang berhasil dilakukan oleh tim dari Mapala Lalimpala, diperoleh bahwa lokasi titik koordinat puncak tersebut berada tepat di Gunung Sidole. Mengenai masalah identitas puncak-puncak kontroversial tersebut, menurut hemat kami hal tersebut terjadi dikarenakan kesalahan penempatan beberapa nama puncak pada lembar peta Tavaili khususnya antara puncak Sidole, Sinio, dan Semen. Hal tersebut diatas kami simpulkan dengan memperhatikan beberapa nama jalan di Kota Palu yang menggunakan nama dari sebagian puncak tertinggi di Sulawesi Tengah dan salah satunya ialah Gunung Sidole. Oleh karena itu, maka tim kali ini sepakat, menamakan Daki Wajib Gunung Sidole 2009 sesuai dengan program Mapala Lalimpala periode 2008/2009.
Dalam pendakian sebelumnya Tim dari Mapala Lalimpala telah beberapa kali merintis jalur pendakian yang berhasil menggapai puncak, yakni pertama pada tahun 1997, dari Desa Sidole (Pantai Timur) – Puncak yang memakan waktu 5 hari perjalanan. Kedua pada tahun 1998 yang start dan berakhir di lokasi yang sama. Ketiga pada tahun 2003 dari Desa Wani (Pantai Barat) – Puncak – Desa Towera (Pantai Timur) yang menggunakan sistem Himalayan Style dengan total 7 hari perjalanan. Keempat pada 11 Februari 2007 untuk melaksanakan kegiatan Buka Jalur Tetap Gunung Sidole menempuh rute Taripa – Puncak Sidole– Taripa (Alpine Style).

traking dimulai dengan menyusuri Binangga Toaya (Sungai Toaya dalam bahasa Kaili) yang mengalir di wilayah desa Taripa dan tim juga melintasi perkebunan penduduk dengan tujuan Bulu Toposo. Tanaman khas pertanian masyarakat banyak dijumpai, utamanya durian yang sedang berbunga lebat pada bulan tersebut. Tim juga sempat mengisi kantong- kantong airnya di Sumur Lesung untuk persiapan kebutuhan makan malam di pos I. Keunikan yang dimilikinya ialah memiliki air yang sangat jernih dan berasal dari tanaman bambu yang banyak tumbuh disekitarnya, ukuran diameternya mencapai 50 X 50 Cm dengan kedalaman 60 Cm.  Suhu terasa beku kabut masih sibuk meletakan butir-butir embun pada dedaunan dan lumut. tim melanjutkan perjalanan ke puncak. Perjalanan dimulai pukul 08.00 WITA menyusuri hutan basah dengan vegetasi pepohonan damar. Tim mencapai puncak pada pukul 17.00 WITA. Sorak kegembiraan, tawa dan tangis kebahagiaan serta kebanggaan mencapai puncak terlihat pada wajah seluruh anggota tim, setelah seorang tim yang berjalan di depan melihat Triangulasi (tugu yang menandakan puncak gunung sidole) dan berteriak “ woy puncak, ayo cepat sudah”. Semua personil tim bergegas menyusul merayakan keberhasilan dan kebanggaan sebagai Perempuan-perempuan Pertama yang Mencapai Puncak Gunung Sidole

(MAPALA LALIMPALA)

Minggu, 09 Juni 2013

Suku Besoa (Behoa)





Suku Besoa, adalah salah satu suku yang bermukim di kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso di provinsi Sulawesi Tengah. Suku Besoa mendiami 8 desa yang tersebar di desa Doda, Bariri, Lempe, Hanggira, Katu, Torire, Rompo dan Talabosa.

Suku Besoa berbicara dalam bahasa Besoa. Suku Besoa memiliki beberapa ragam sub-suku dan dialek bahasa yang tersebar di beberapa kecamatan di kabupaten Poso. Bahasa Besoa walaupun berbeda dengan bahasa suku-suku lain di wilayah ini, seperti suku Napu, tapi masih bisa berkomunikasi dengan suku Napu, dan dengan mudah saling mengerti apa yang dimaksud dalam pembicaraan masing-masing. Tapi apabila berkomunikasi dengan suku-suku lain yang jauh berbeda bahasanya, maka suku Besoa akan menggunakan bahasa Melayu Sulawesi Tengah (bahasa yang mirip dengan bahasa Melayu Manado).

Masyarakat suku Besoa pada umumnya adalah penganut agama Kristen Protestan. Menurut penuturan beberapa pemuka masyarakat Besoa, sejak tahun 1929. Pada tahun 1909, P.Ten Kate, seorang zending ditempatkan di Napu (Kruyt), 1975 :184. Kristen pertama dibabtis di Watutau (Napu) dan Doda (Besoa), dan tahun 1913, seorang pemuda menjadi orang Kristen Pertama di Baptis di Napu (Aditjondro, 1979).

Wilayah suku Besoa ini yang terletak di lembah Besoa sudah lama dikenal sebagai situs purbakala zaman megalithicum. Di kompleks megalith lembah Besoa dapat dijumpai arca, batu dakon, menhir, lumpang batu, palung batu, dolmen dan yang paling terkenal adalah kalamba. Kalamba berfungsi sebagai wadah kubur yang tidak hanya digunakan oleh satu individu saja, tapi juga satu keluarga. Kalamba terdiri dari wadah dan tutup yang terbuat dari batu alam.

Kehidupan suku Besoa adalah rata-rata sebagai petani pada tanaman padi di sawah yang terhampar luas. Produksi beras lokal suku Besoa ini sudah terkenal dengan nama Beras Kamba. Mereka juga membuka perkebunan pada tanaman coklat dan kopi.

sumber:
toikatuiwanuakakau: sistem land tenure orang katu
wikipedia
sumber lain dan foto:
inamuse.wordpress.com

Menjelajah Awal Peradaban Manusia di Sulteng


Ini bukan sekadar konon, tapi fakta yang juga berdasarkan berbagai hasil penelitian. Katanya, untuk melihat awal peradaban manusia di Sulawesi Tengah, datanglah ke tiga lembah, yakni Lembah Besoa, Bada, dan Napu yang ada di Kabupaten Poso.

Tiga lembah ini meliputi enam kecamatan, yakni Lore Utara, Lore Tengah, Lore Selatan, Lore Barat, Lore Timur, dan Lore Peore. Wilayah ini berada di sekitar Taman Nasional Lore Lindu.

Apa yang disebut sebagai awal peradaban ini adalah peninggalan purbakala berupa situs megalitik. Setidaknya ada lebih dari 30 situs megalitik di tiga lembah ini, di mana setiap situs berisi satu sampai 30-an arca. Data Dinas Pariwisata Sulteng mencatat, sebanyak 1.451 arca dengan berbagai bentuk dan ukuran ada di tiga lembah ini.

Di tiga lembah itu arca-arca ini terletak secara alami di sekitar persawahan, dataran tinggi, hutan, permukiman warga, dan padang rumput. Letaknya di alam terbuka dengan pemandangan sekeliling yang indah, seperti gunung, hutan, maupun lembah, atau di antara persawahan penduduk, membuat situs megalitik ini selalu menarik dikunjungi tak hanya wisatawan, tapi juga peneliti.

Sebagai contoh adalah situs Pokekea di Desa Hangira, Kecamatan Lore Tengah, yang berada di lembah Besoa. Dari Doda, ibu kota Kecamatan Lore Tengah, Situs Pokekea berjarak sekitar 8 kilometer. Situs Pokekea berada di lembah yang dikelilingi pegunungan. Di Situs ini sedikitnya ada 30 arca. Ada patung manusia berbentuk pipih dengan bagian depan berukir bentuk wajah dan bagian tubuh yang menunjuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Ukurannya beragam, dengan tinggi 100 cm-160 cm dan lebar 25 cm-50 cm.

Banyak pula benda berbentuk loyang raksasa atau sebutan setempat kalamba, dengan ukuran beragam, mulai dari tinggi satu meter-dua meter dengan diameter 100-250 cm. Benda-benda ini lengkap dengan penutupnya yang juga terbuat dari batu, tapi umumnya terletak di tanah. Bentuknya seperti penutup panci dengan tonjolan di tengah-tengah, tebalnya 30 cm-50 cm dan diameter 100-200 cm. Sebagian pinggirannya ada yang dihiasi patung monyet dalam posisi telapak tangan, lutut, dan telapak kaki bagian depan menyentuh bagian atas penutup.

Ada lagi yang berbentuk seperti dulang, batu datar dengan ukiran dan simbol-simbol di bagian atasnya yang menyerupai tempat penyembahan, lesung, serta bentuk lain. Letak antara satu benda dan benda lain di Situs Pokekea adalah 100-300 meter. Tapi, jarak antara satu situs dan situs lainnya dalam satu kecamatan adalah 1 kilometer hingga lebih dari 10 kilometer. Umumnya harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Atau coba ke Desa Bariri, tempat arca batu Tadulako berada. Sebuah patung batu berbentuk lonjong berukuran tinggi sekitar 2 meter dengan diameter 1 meter. Melihat ukiran wajah dan tubuhnya, patung ini berjenis kelamin laki-laki. Terletak di ketinggian, menghadap ke arah barat. Jauh di sekitar lembah adalah hamparan pegunungan dan sawah bak permadani.

Simbol peradaban

Berbagai penelitian menyebutkan, situs megalitik di tiga lembah ini diperkirakan sudah berusia ribuan tahun atau sejak 2.000-2.500 tahun sebelum Masehi, tepatnya pada permulaan zaman megalitik—masuknya zaman bercocok tanam. Keberadaan situs-situs ini adalah simbol masuknya manusia pertama ke Sulteng, sekaligus awal peradaban di wilayah ini.

Tanwir La Maming, arkeolog Sulteng yang cukup lama melakukan penelitian pada situs-situs di tiga lembah ini, mengatakan, di Indonesia bahkan di dunia, situs megalitik di tiga lembah ini punya keunikan dan ciri khas yang tidak dimiliki situs di tempat lain.

”Keunikan dan ciri khasnya antara lain setiap situs merupakan satu kesatuan yang melambangkan kepercayaan, rumpun etnis atau tempat tinggal, serta pola hidup masyarakat setempat pada masa itu. Misalnya, dalam satu situs ada tempat pemujaannya, tempat mandi, arca manusia yang jadi simbol nenek moyang, alat bermain, kuburan, alat bercocok tanam, dan lainnya. Arah hadap mata angin arca-arca dalam setiap situs yang berbeda antara satu situs dengan situs lainnya melambangkan adanya kepercayaan yang berbeda-beda pada setiap rumpun,” kata Tanwir.

Menurut dia, keberadaan situs ini juga menunjukkan bahwa lembah Napu, Bada, dan Besoa bukan hanya sebagai tempat awal keberadaan manusia atau peradaban di Sulteng, tapi juga menunjukkan bahwa dahulu wilayah ini adalah pusat peradaban besar.

”Soal mengapa situs-situs ini berada di lembah, Tanwir mengatakan, berdasarkan penelitian, dahulu semua wilayah ini adalah hutan. Datangnya manusia dalam jumlah besar pada masa itu membuat kawasan hutan dan gunung ini kemudian dijadikan tempat tinggal, areal sawah dan kebun. Karena itulah semua situs berada dan tersebar di tiga lembah besar.

Adapun Desa Bariri dan Hanggira di Kecamatan Lore Tengah diduga adalah pusat pembuatan arca. ”Jadi masyarakat di wilayah ini dulunya adalah pembuat arca. Ini bisa dilihat dari banyaknya arca di dua desa ini dengan beragam bentuk serta ukuran besar-besar dibanding yang ada di situs-situs lainnya. Arca-arca ini diperkirakan ada yang belum diambil oleh pemesannya, atau tertinggal, hingga peradaban pada masa itu berakhir,” jelasnya.

Siapa pun yang pernah berkunjung ke tiga lembah ini tak memungkiri keindahan panorama dan kekayaan peninggalan bersejarah tersebut. Situs megalitik di Sulteng diperkirakan adalah yang terluas di Indonesia. Situs megalitik besar dengan jumlah banyak, selain di Lembah Besoa, Napu, dan Bada, juga bisa disaksikan di Marquies Island, Amerika Latin.

”Kami senang perjalanan ke tempat ini. Situsnya, kehidupan masyarakatnya, berjalan kaki, dan tidur di hutan. Semuanya menjadi perjalanan yang menyenangkan dan menantang,” ujar Hobnier, wisatawan asal Belanda.

Memang, berada di antara hutan, lembah, dan pegunungan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu membuat wisatawan atau peneliti lebih memilih menjelajah situs dengan berjalan kaki dan menginap di tenda-tenda di hutan atau lembah. Apalagi di sekitar hutan Taman Nasional Lore Lindu pengunjung juga bisa menikmati suara burung dari beragam spesies yang menghuni hutan. Di permukiman-permukiman warga di sekitar situs sebenarnya tersedia penginapan, bahkan rumah warga juga bisa dipakai untuk menginap. Tapi nyatanya, menginap di tenda-tenda lebih dipilih wisatawan dan peneliti.

Kehidupan warga sekitar yang masih kental dengan budaya juga menjadi salah satu yang membuat pengunjung tertarik. Menari dero, mendengarkan musik khas dataran tinggi, yakni musik bambu, melihat pembuatan pakaian dari kulit kayu, adalah sebagian kekayaan budaya masyarakat yang melengkapi penjelajahan peradaban ini.

Untuk sampai ke Lembah Napu, Besoa, dan Bada, ada beberapa rute. Misalnya untuk ke Bada, bisa melalui Palu-Poso-Tentena dan melanjutkan ke Lembah Bada. Biasanya wisatawan dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan, melanjutkan perjalanan ke Tentena dan berkunjung ke Lembah Bada.

Untuk ke Lembah Besoa dan Napu, pengunjung bisa mengambil rute Palu-Palolo (Sigi) dan terus ke Lembah Napu dan Besoa. Sebenarnya tiga lembah ini berdekatan walaupun akses masuknya bisa dari Poso maupun Sigi. Biasanya wisatawan dan peneliti yang masuk ke Lembah Napu dan Besoa via Sigi akan mengambil jalur jalan kaki melanjutkan ke Lembah Bada, begitu juga sebaliknya. Umumnya kendaraan roda empat menjangkau hingga wilayah ibu kota kecamatan. Selanjutnya ada yang tetap bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat, ada yang harus dengan kendaraan roda dua, sebagian lagi dengan jalan kaki.

Untuk urusan makan, di permukiman warga banyak terdapat warung makan dengan menu dan harga bervariasi. Jadi, jika ingin berwisata sejarah, melihat awal peradaban manusia yang langka di dunia, sekaligus menikmati panorama alam, silakan berkunjung ke Sulawesi Tengah.

Bagaimana menjangkau Lembah Bada, Lembah Besoa, dan Lembah Napu? Tiket Jakarta-Palu Rp 800.000-Rp 1.500.000, Palu-Poso-Tentena via darat bisa menggunakan angkutan umum Rp 130.000. Dari Tentena ke Bada via darat dengan mobil angkutan khusus (gardan ganda) Rp 150.000.

Dari Palu, Palolo, menuju Napu lewat darat dengan kendaraan roda empat Rp 80.000. Selanjutnya ke Lembah Besoa, tepatnya di Dado, ibu kota Kecamatan Lore Tengah, Rp 50.000. Penginapan beragam tarif, berkisar Rp 150.000-Rp 250.000. Tersedia ojek untuk menjangkau sejumlah situs. Ongkosnya bervariasi tergantung jauh dekat, berkisar Rp 20.000-Rp 50.000.(Reny Sri Ayu)

http://nasional.kompas.com/read/2011/08/16/02380377/Menjelajah.Awal.Peradaban.Manusia.di.Sulteng

Sabtu, 08 Juni 2013

Penyelamatan dan Konservasi Teluk Tomini




Seperti kita ketahui diteluk tomini terdapat kehidupan terumbu karang yang eksotis.Terumbu karang merupakan habitat biota laut yang sangat penting bagi kehidupan ekosistem laut, terumbu karang bukan hanya sebagai tempat berlindung ikan, tetapi juga sebagai tempat ikan mencari makan dan bertelur. Kalau terumbu karang rusak,maka akan terjadi ketidak seimbangan ekosistem laut,layaknya seperti manusia yang kehilangan rumah. Dengan penyelamatan terumbu karang, maka produksi ekosistem laut akan terjaga dan melimpah.

Berdasarkan hasil riset selama ini, Teluk Tomini merupakan perairan teluk terluas di Indonesia serta memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.

Secara umum ekosistem terumbu karang di Gorontalo masih terbilang cukup baik, tetapi di sejumlah lokasi terlihat adanya kerusakan yang parah. Ini tak lain akibat penggunaan bom dan sianida yang dilakukan para nelayan saat menangkap ikan. Keadaan terumbu karang di kawasan pulau-pulau juga lebih baik dibandingkan dengan karang-karang di dekat pesisir pantai. Kondisi karang di daerah slope umumnya masih baik, sedangkan daerah reef flat mengalami kerusakan yang ditengarai akibat pengeboman dan penambangan batu karang.

Sebagai daerah tropis yang dilalui garis khatulistiwa, Indonesia subur akan kekayaan sumberdaya alam hayati yang terbentang sepanjang 81.791 KM di berbagai perairan nusantara. Karena itu pula, tidak heran bila ekosistem sumber daya hayati seperti Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang berkembang begitu pesat khususnya di wilayah pesisir dan deretan lautan tropis nusantara.

Aktifitas pembangunan yang tidak ramah lingkungan diduga kuat menjadi faktor penyebab timbulnya kerusakan ekosistem sumberdaya hayati. Aktifitas pembangunan yang tanpa terkendali menyebabkan kawasan daratan dan pantai menjadi tercemar.

ekosistem Mangrove (Hutan Bakau) yang terdapat dalam wilayah pesisir teluk tomini mengalami penurunan drastis tingkat produksinya akibat penebangan hutan liar, pemakaian bahan kimia seperti pestisida, penggunaan zat-zat radioaktif, pembuangan sampah yang tidak teratur, pertambangan dan lain-lainnya. Sementara ekosistem Mangrove yang terdapat di wilayah pesisir, memiliki potensi besar bagi pemberdayaan masyarakat setempat. Salah satu potensi tersebut adalah sebagai tempat pemijahan beragam spesies ikan dan tumbuh-tumbuhan (Spawning Ground), pengasuhan (Nursery Ground) dan pembesaran ikan (Feeding Ground).

ekosistem Padang Lamun yang memiliki produktifitas besar karena habitat bagi tumbuh kembangnya berbagai mikroorganisme seperti plankton, phytoplankton, kerang-kerangan (molusca), kepiting dan ikan juga terancam punah akibat pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Ekosistem padang lamun banyak bermanfaat untuk; penyaring limbah, sebagai bahan kertas, bahan makanan, dan bahan pakan ternak.

ekosistem terumbu karang yang semestinya menjadi habibat biota ikan, kerang, lobster, penyu, dan berbagai organisme lainnya karena berbagai ulah manusia seperti pemakaian bahan peledak (dinamit), pembuangan limbah dan sampah industri dari pabrik maupun rumah tangga, membuat ekosistem terumbu karang terancam punah. Kepunahan ekosistem terumbu karang tentu akan menghilangkan sejumlah manfaat yang dimilikinya. ,faktor tambahan yang merusak kehidupan terumbu karang adalah overfishing,bom ikan dan sianida menambah kerusakan lingkungan di daerah teluk tomini.[]/dbs. Selamatkan laut kita…Untuk kehidupan yang lebih baik..

Wahab Tirtawinata

Desa Wahyu Penghasil Kemiri


Palu, (antarasulteng.com) - Desa Wahyu, salah satu dari sejumlah desa yang berada di Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, kini sebagai daerah penghasil komoditi kemiri.

"Warga di sini dalam beberapa tahun terakhir ini menggantungkan hidup mereka dari hasil komoditi itu," kata Deden, salah seorang petani asal Desa Wahyu, Sabtu.

Ia mengatakan hampir 95 persen warga desa tersebut sebagai petani kemiri.

Selain kemiri, petani di desa yang terletak di Pegunungan Matantimali juga mengembangkan komoditas perkebunan lain seperti kakao dan cengkeh.

"Tapi yang terbesar adalah tanaman kemiri," kata ayah tiga putera itu.

Menurut dia, kondisi tanah dan juga iklim yang ada di Pegunungan Matantimali sangat cocok bagi pengembangan kemiri.

Kemiri yang dikembangkan terdiri atas kemiri lokal dan juga bogor. Kedua jenis kemiri itu sangat cocok dikembangkan di daerah itu.

Kemiri dalam jangka lima tahun sudah berproduksi dengan lebat.

Hasil produksi petani selama ini banyak dijual di pasar-pasar tradisional yang ada di Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah.

Harga biji kemiri dijual petani kepada pedagang saat ini berkisar Rp15.000,00 per kilogram. Harga kemiri pernah naik mencapai Rp30.000,00 per kilogram.

Petani selain menjual ke Palu, juga banyak pedagang yang datang membeli langsung di kebun petani, sehingga pemasaran komoditi tidak susah.

Untuk menjangkau Desa Wahyu, bisa naik kendaraan sepada motor atau mobil. Jarak dari Kota Palu sekitar 30 kilometer dengan kondisi jalan sudah beraspal.

Desa Wahyu berada pada ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut dan selama ini menjadi lokasi terbang olah raga paralayang atau paragliding.Tingkat kesejahteraan masyarakat yang ada di desa itu cukup bagus.(SKD)                  

PULAU RAJA


pulo raja adalah salah satu pulau di Kabupaten Buol terletak di kecamatan paleleh barat, pulau raja juga memiliki sejarah dimana pulau raja ini dulu adalah salah satu tempat yang sering di kunjuingi oleh raja Buol sehingga pulau ini disebut dengan pulo raja. pulau raja ini memiliki berbagai jenis biota laut. salah satunya bintang laut yang memiliki ragam jenis bintang laut. selain itu di pulau raja juga banyak terdapat berbagai jenis Lobster, Parit,Bulu Babi, berbagai jenis kerang, rumput laut, Bia kima, dan berbagai jenis ikan laut yang sangat mengagumkan, selain itu di pulau raja sangat cocok untuk jadi salah satu wisata bahari. selain keindahan biota lautnya di pulau raja juga memiliki pemandangan Sunset dan pemandang bukit-bukit yang terlihat dari laut begitu menjulang tinggi. pantai dengan pasir putih menambah keindahan saat munculnya sunrise dari timur.
pulo raja bukan hanya satu-satunya pulau di kecamatan paleleh barat, selain pulau raja juga terdapat pulo boki yaitu pula yang terdapat juga di desa lunguto letaknya tidak begitu jauh dari pulau raja jaraknya mungkin sekitar 15 menit perjalanan laut

Mangrove Sausu Peore


Terik matahari yang memanggang pasir pantai, cukup memaksa kami untuk menggunakan alas kaki saat ingin berjalan dengan nyaman. Namun tidak cukup menurunkan rasa kekaguman kami terhadap pesona keindahan mangrove di sekitar pantai ini. Mangrove yang oleh masyarakat setempat lebih populer disebut dengan hutan bakau, menjadi daerah pelindung daratan dari erosi oleh ombak. Hutan bakau ini juga menjadi tempat pembesaran anakan ikan dan udang serta menjadi tempat hidup kepiting, kerang, ular dan buaya.

Hutan bakau yang sedang dikembangkan oleh masyarakat menjadi lokasi ekowisata ini terletak di Desa Sausu Peore. Desa yang termasuk dalam kawasan perairan teluk tomini ini memiliki topografi pantai datar berair dan sedikit perbukitan. Dengan ekosistem hutan sekunder, mangrove, karang, padang Lamun. Sumberdaya alam di desa ini juga menyimpan potensi satwa endemik berupa burung maleo dan penyu hijau – satwa-satwa yang dilindungi.

Berawal dari potensi alam yang keberadaannya dilestarikan ini pulalah, pada tahun 1994 sempat mengantarkan Bahuddin Hi Pabbite (Almarhum) – salah seorang putera desa Sausu Peore – mendapatkan Penghargaan Kalpataru. Kegigihan dalam melestarikan burung maleo dan habitatnya yang dilakukannya juga, sehingga pada tahun 1996, UNEP (United Nations Environment Programme) memberikan penghargaan serupa kepada beliau.

Desa Sausu Peore termasuk dalam wilayah Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Berkendaraan apa saja tidak akan sulit untuk sampai ke desa ini. Jalan yang beraspal melewati tanjakan berkelok yang tidak seberapa. Perjalanan dapat ditempuh kurang lebih selama tiga jam lamanya dari Kota Palu, atau kurang lebih satu jam dari Kota Parigi. Mencari desa ini pun tidak akan susah. Beberapa tanda sebagai penunjuk arah dipasang di persimpangan antara jalan poros trans Sulawesi dengan ujung jalan yang mau menuju ke desa ini. Tanda yang menonjol diantaranya beberapa papan nama yang berukuran cukup besar, dan Tugu Kalpataru yang menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Desa Sausu Peore.

Pantai merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi dengan tingkat endemismenya. Beberapa tipe ekosistem tersebut antara lain hutan mangrove dan ekosistemnya. Apabila tidak ada kepedulian dari masyarakat serta para pihak, ekosistem hutan mangrove akan mengalami ancaman berupa penebangan, fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Penebangan/penggundulan hutan mangrove dapat mengganggu sumberdaya alam yang lain. Jika penggundulan hutan mangrove terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam species flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat.

Semoga kita semua dapat mengambil peran dalam mengurangi laju kerusakan hutan mangrove beserta ekosistemnya.

Senin, 13 Mei 2013

OBYEK WISATA BATU SUSUN PANTAI LAKEA


Salah satu objek wisata terkenal di kabupaten buol adalah pantai lakea yang terletak di desa lakea kecamatan Biau. Pantai ini sangat indah dengan landmark yang khas berupa batuan karang bersusun yang oleh masyarakat setempat di sebut batu susun, berjarak kurang lebih 30 km dari kota Buol, Sulawesi Tengah. Kota Buol sendiri berjarak sekitar 600 km dari Palu dan Manado, Karena lokasinya yang cukup jauh ini maka pantai ini belum banyak dikunjungi para wisatawan, apalagi promosi wisata yang dilakukan masih sangat kurang. Keindahan pasir putih akan semakin memikat ketika laut surut. Untuk menuju lokasi ini dapat menggunakan kendaraan roda dua atau empat dari kota Buol yang memakan waktu kurang lebih 1 jam.

Untuk mecapai Kota Buol dapat dilakukan melalui beberapa alternative rute perjalanan, melalui perhubungan udara ke bandara Pogogul dengan pesawat Merpati sekali seminggu dari Manado, Gorontalo atau Palu. Buol memiliki empat pelabuhan. terletak di Desa Lamadong, Kecamatan Momunu. Pelabuhan laut Buol masing-masing Pelabuhan Leok, Paleleh, Kumaligon, dan yang terbesar sebagai pelabuhan utama lalu lintas penumpang dan barang.

Suku Buol, Sulawesi Tengah



Suku Buol, adalah suku yang terdapat di kabupaten Toli-Toli provinsi Sulawesi Tengah. Tersebar di beberapa daerah kecamatan seperti di Biau, Bunobugu, Paleleh dan Momunu, sebagian kecil tersebar ke daerah dekat wilayah.Gorontalo. Populasi suku Buol diperkirakan lebih dari 75.000 orang.

Masyarakat suku Buol berbicara dalam bahasa Buol, yang masih berkerabat dengan bahasa Toli-Toli. Selain itu bahasa Buol ini juga mirip dengan bahasa Gorontalo. Karena terdapat kemiripan ini, mereka sering dianggap sebagai sub-suku Gorontalo.

Pada masa alu di wilayah suku Buol ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Buol. Diduga orang Buol ini adalah keturunan dari orang-orang dari Kerajaan Buol. Dugaan itu diperkuat dengan adanya sistem penggolongan dalam masyarakat suku Buol, seperti golongan keluarga raja (tan poyoduiya); golongan bangsawan yang masih mempunyai hubungan kerabat dekat dengan raja (tan wayu); golongan yang hubungan kerabat dengan raja sudah jauh (tan wanon); golongan masyarakat (taupat); dan golongan budak, yaitu orang yang melanggar adat atau kalah perang. Pada masa lalu, setiap golongan memiliki atribut sendiri, yang dapat dilihat dari pakaiannya. Sejak agama Islam masuk di kalangan masyarakat suku Buol, maka sistem penggolongan sudah banyak ditinggalkan. Saat ini, penggolongan masyarakat lebih didasarkan pada status berdasarkan tingkat pendidikan.

Suku Buol memiliki kearifan adat yang merupakan kebiasaan dan berhubungan dengan perlindungan sumber daya alam, baik berupa tanah, air, alam dan hutan.
Agama Islam menjadi agama mayoritas di kalangan suku Buol. Mereka adalah penganut Islam yang taat, dan agama Islam memiliki pengaruh yang kuat dala kehidupan mereka. Namun demikian, banyak dari mereka yang masih percaya bahwa alam gaib berpengaruh dalam kehidupan dan hasil panen mereka. Mereka takut pada tempat-tempat keramat dan sering mencari bantuan dukun untuk mengobati anggota mereka yang sakit atau mengusir roh-roh jahat.

Sistem Pemerintahan Adat suku Buol:
Ta Bwulrigan (orang yang diusung), seseorang yang diangkat menjadi kepala pemerintahan adat beserta pembantunya untuk mengurus urusan-urusan pemerintahan dan kemasyarakatan.
Ta Mogutu Bwu Bwulrigon (pembuat usungan), sebagai pembuat peraturan adat (pengambil keputusan sekaligus memilih kepala pemerintahan).
Ta Momomayungo Bwu Bwulrigon (orang yang memayungi usungan), adalah pengayom masyarakat dan penegak hukum adat/ pemangku adat yang disebut hukum Duiyano Butako.
Ta Momulrigo Bwu Bwulrigon (pengusung usungan), adalah yang memastikan seluruh masyarakat adat untuk taat dan patuh terhadap hukum adat.

pic regionaltimur

Masyarakat suku Buol sebagian besar hidup dari pertanian padi pada lahan sawah dan ladang. Mereka juga menanam kelapa dan cengkeh, yang menjadi komoditi ekspor. Hasil hutan juga menjadi sumber pendukung hidup bagi mereka, dengan mangumpulkan rotan, damar, kayu manis, dan gula merah. Sedangkan yang tinggal di daerah pesisir berprofesi sebagai nelayan. Bidang profesi lain adalah sebagai pedagang, guru dan lain-lain.

http://protomalayans.blogspot.com/2012/10/suku-buol-sulawesi.html

Senin, 06 Mei 2013

Geso-geso: Musik Eksotik Tau Taa Wana


Musik ibarat lukisan, ia melukiskan jiwa dan perasaan orang yang memainkannya. Ia bisa bercerita tentang alam, cinta, kerinduan bahkan duka cita. Hal ini berlaku pula bagi Tau Taa Wana, salah satu komunitas adat di Sulawesi Tengah yang mendiami kawasan pegunungan Balingara. Musik adalah keseharian mereka, saat acara ritual panen, ritual pengobatan, duka hingga saat melepas penat di tengah ladang, musik selalu menyertai di tiap denyut kehidupan Tau Taa Wana.

Setidaknya demikian gambaran yang saya peroleh saat mengunjungi pemukiman mereka, Tak heran bila di komunitas ini kita bisa menjumpai beragam jenis alat musik tradisional, satu diantaranya adalah Geso-geso, alat musik gesek sejenis biola ini mampu menghasilkan kombinasi nada yang sangat indah. Alunan nada mendayu-dayu yang dihasilkan alat ini sangat eksotik dan bernuansa ritual, sehingga mampu membuat terhanyut perasaan orang yang mendengarnya.
Selain nada yang dikeluarkannya, bentuk alat musik ini juga sangat unik. Geso-geso terbuat dari kayu khusus yang kuat dan keras, ditambah tempurung yang dilapisi dengan kulit binatang sebagai membran pengeras bunyi menjadikan bentuk alat musik ini sangat estetis, alat geseknya terbuat dari serat kayu atau ijuk yang diikatkan pada sebilah kayu atau rotan. Karenanya, bagi saya selain sebagai alat musik geso juga berpotensi dijadikan sebagai souvenir atau pajangan.
Alat musik ini, selain dimainkan secara solo juga dapat dimainkan secara bersama (orchestra) dengan alat music lainnya, bahkan untuk kebutuhan pementasan yang menggunakan soundsistem bervoltase besar ia bisa dilengkapi dengan spul yang dilekatkan pada pada batang utama untuk dihubungkan dengan amplifier.
Pada kesempatan berkunjung Desember tahun lalu, saya bersyukur bisa bertemu dengan Apa Ijeng, salah seorang yang mahir dalam memainkan gesso, tak hanya itu ia juga dikenal sebagai salah satu pembuat gesso terbaik di komunitasnya, isterinya (Indo Ijeng) juga dikenal terampil memainkan berbagai alat musik tradisi termasuk geso. Mendengarkannya memainkan gesso dengan penuh perasaan adalah suatu moment yang sangat istimewa.

Keterampilan istimewa yang dimiliknya, memainkan sekaligus memproduksi gesso berkualitas merupakan sebuah keahilan yang mulai langka, karenanya ia terus berupaya untuk melestarikan dan mengembangkan seni tradisi dengan mengajarkan cara memainkan sekaligus memproduksi alatnya kepada generasi muda, kecintaannya yang begitu besar terhadap pelestarian seni tradisi pula yang membuat, ia kerap harus meninggalkan kampungnya untuk mementaskan pertunjukan seni tradisi Tau Taa Wana di berbagai event.
Saat menemuinya di pondoknya di tengah ladang, terlihat beberapa geso-geso tergantung di dinding, baginya geso-geso dan alat musik tradisi adalah bagian dari kebudayaan Tau Taa Wana yang mesti diwariskan kepada anak cucu, identitas budaya dan kehidupan tau Taa Wana yang hidup harmoni dengan alam. Semoga geso akan terus mengumandangkan senandung kadamaian dan harmoni kehidupan mereka sepanjang zaman.

http://edywicaksono.info/index.php?option=com_content&view=article&id=75:geso-geso-musik-eksotik-tau-taa-wana&catid=36:feature&Itemid=55

Pendidikan di Pedalaman Balingara Kab. Banggai-Sulteng


Balingara. 52 Kilometer dari ibukota kecamatan ini, perjalanan ke ujung barat kabupaten Banggai. Pantai yang terlihat memanjang, juga tebing-tebing curam di Batu Hitam. Raksasa batu di sisi kiri, begitu kokoh dan angkuh. Gunung Lontio, patahan raksasa yang menyimpan misteri. Puncak JuluTompu. Tanjung Kopinyo yang ramai dengan rumah nelayan dibesut rawa bakau. Hingga tugu bertuliskan “selamat Jalan Kabupaten Banggai”. Tugu yang dilepas dengan patung penari Umapos dan Mangonyop. Batas itu adalah kuala Balingara.

Dari jalan poros Luwuk-Palu KM 180, kendaraan kami haluan ke kiri. Melewati tepi kuala, menuju pegunungan Balingara. Jalan berbatu yang sering dibelah oleh sungai-sungai kering. Hutan-hutan yang lebat, jalanan yang berliku tajam penuh tanjakan sepanjang 42 KM. Dari 0 mdpl Balingara menuju desa transisi 180 mdpl. Sampai di desa yang baru saja mekar, bernama Obo.

Obo,26-27 April 2013

Obo, nama seorang pengembara yang singgah di tempat ini puluhan tahun yang lalu. Nama itu digunakan untuk menyebut sebuah daerah yang ada dalam transisi saat ini. Desa transisi antara Balingara (Banggai) dan desa Bulan (Ampana). Desa Transisi antara suku Saluan Loinang dan Suku Ta. Desa Transisi antara Petani tetap dan Petani Ladang berpindah. Desa transisi kehidupan manusia Maden dan Nomaden. Desa Transisi antara ajaran Haripuru ke agama Samawi.

Desa ini memiliki 60 KK, hanya 10 KK yang rumahnya berkumpul dalam jarak dekat. Selebihnya jarak antar rumah 2-5 kilometer antar rumah. Desa yang dikelilingi bukit Batu Tanda, bukit yang menyimpan folklore pertemuan orang-orang yang singgah di pertemuan dua kuala.

Kabut-kabut yang pekat mengelilingi lembah ini. Pagi-pagi kabut yang mengantar anak-anak ke sekolah dengan kaki telanjang. Mereka berjalan berjalan lebih dari 3 mil, mencapai sebuah sekolah yang halamannya penuh rumput. Halaman yang hanya ditumbuhi satu pohon kelapa dan satu tiang bendera yang terbuat dari sebatang ranting lurus. SD yang diampu oleh 2 guru, hanya ada satu unit kelas.SD yang tidak bisa meluluskan siswanya karena banyak syarat yang belum dipenuhi. Tidak ada SD inti yang menampung siswa yang lepas dari kelas 5. Kami datang mengenalkan Indonesia di tanah ini, Indonesia. Papan tulis yang tua, debu-debu kapur yang kami goreskan membentuk tatanan kepulauan.

“ kita sekarang berada di pulau K, pulau Sulawesi “

Keakraban ditambah dengan perkenalan, hampir semua yang berkenalan mengungkapkan cita-cita mereka sebagai Tentara dan Guru. Apa yang mereka lihat pagi itu, itulah cita-cita mereka. Hingga ada satu anak yang maju ke depan kelas, rambutnya ikal kulitnya coklat pekat.

“ perkenalkan nama saya Alferd, saya kelas tiga. Cita-cita saya ingin naik kelas empat “

Semua tertawa, lahir kami tertawa tetapi hati berkata lain. Semangat untuk naik kelas yang begitu hebat, kurangnya pengajar, kurangnya fasilitas dan tuntutan ujian yang setara dengan keberadaan anak-anak di tanah Jawa. Tanda tanya

“Depe desa singada poskesdes, Polindes ato Juru Rawat.” Pelayanan kesehatan begitu jauh dan sulit didapatkan. Kalau harus turun membutuhkan 28 KM kalau naik ke Longgek 18 KM, jalannya hanya susunan batu kuala.

Desa tanpa listrik, tanpa sinyal layanan selluler. Rumah Sekdes menjadi sentral pertemuan masyarakat, karena hanya ditempat itu ada Genset untuk pembangkit listrik. Masyarakat sekedar berkumpul, bersendau gurau sampai membicarakan hal penting.

Keterbatasan di perbatasan Balingara.

Sebuah danau yang mereka sebut “ Rano” dalam bahasa Ta. Mirip dengan bahasa sansekerta yang menyebut “ Ranu” yang berarti telaga. Rano yang dipenuhi dengan teratai, dikelilingi ingerhous, ilalang, Pinus udang dan tumbuhan hutan. Rano yang menyajikan ikan Mujair dan Gabus bagi masyarakat Obo, sekedar sebagai lauk makanan. Ada lagi tentang sebuah danau yang disebut Rano Sembilan Tanjung, lekukan yang menjorok ke danau sebagai hulu sungai Balingara. Kisah mistik akan adanya buaya air tawar yang ada disana, konon mencapai 5 depa.

Kisah Batu Putih, sebuah batu yang diceritakan sebagai kapal yang terdampar di atas gunung seperti epos Gilgamesh dan Nabi Nuh. Goa yang ada di dalamnya menyimpan kerangka manusia.Dari Bulutui dan Rotan hutan mereka hidup. Jagung di sekitar delta tampak rimbun dan subur. Ladang-ladang yang baru dibuka.

Saluan-Loinang yang kehilangan Family

Desa perbatasan yang ditempati oleh masyarakat Loinang Simpang, yang tersebar karena serangan Belanda. Politik monopoli manusia, Belanda mengharapkan agar semua orang pedalaman turun ke tepian pantai. Penolakan terjadi hingga Belanda mengirimkan satu peleton pasukan untuk menyerang Benteng Baloa-Doda. Masyarakat Loinang kocar-kacir menyebar keseluruh penjuru pegunungan, ada pula yang hadir di perbatasan ini.

Mereka kehilangan fams, saat ini nama mereka diambil dari apa yang mereka dengar. Nama Gergaji, Tank, Jepang, Pulpen, Suharto dll. Seorang tetua adat bernama Gergaji mengantarkan kami kepada pengetahuan ajaran bernama Haripuru.

Pendidikan melalui ajaran leluhur

Haripuru adalah ajaran kuno masyarakat pedalaman dimana mereka percaya bahwa :

kekuatan tertinggi ada pada Tuhan Yang Maha Esa atau Tompu atau Anui-Langga. Di bawah Tompu mereka percaya pada Nabi (tanpa mereka tahu nama nabi), lalu percaya kepada arwah leluhur atau Tominuat. Lalu kepada manusia yang kerasukan Tominuat yang disebut Buhake. Masyarakat Saluan di Desa Obo mempercayai adanya tanda alam atau Hambolo. Tanda-tanda ini yang esensinya masih terjaga sampai sekarang adalah mendengarkan tanda-tanda dari kicauan burung atau mongkoek. Burung yang menjadi tanda adalah burung Kukau (tekukur malam).

Mohondahabit adalah proses doa yang mereka naikkan kepada Tominuat dengan Pomangan (sesaji) berupa ; Popos (pinang), hampak (sirih), talon (kapur) dan sosop (rokok). Mereka percaya bahwa doa yang disampaikan kepada Tominuat akan diteruskan kepada Nabi lalu kepada Tompu. lalu Tompu memberi jawaban melalui suara burung. Proses mendengar jawaban itu disebut Pihongo. Berikut ini tafsir suara kicau berdasarkan jumlah :

1 kali : ada tamu pejabat (utus daka)

2 kali : ada tamu

3 kali : aba-aba musibah / bahaya

4 kali : baik

5 kali : ada rejeki

6 kali : ada tamu

7 kali : umur panjang / kesembuhan jika sedang berobat

8 kali : pejabat besar datang

Pengecualian

7 kali lalu disusul suara “kiii..” : pertanda buruk, terjadi pertumpahan darah.

“Burung Totoidi juga berbunyi sebagai tanda menjelang pagi dan petang. Bahkan sebelum Utus Daka datang ke sini, kami sudah diberitahu beberapa hari sebelumnya. Kami mendengar suara burung berbunyi delapan kali” ucap seorang translator mengulangi kata-kata pak Gergaji.

Kehidupan Nomaden masih melekat di dalam kehidupan mereka. Setiap ada anggota keluarga yang meninggal mereka selalu berpindah tempat. Mayat dibungkus dengan kulit kayu Andolia (Cempaka) baru dikuburkan. Untuk penanda di atas kuburnya diletakkan sebuah kayu berbentuk silinder (di Lobu berbentuk perahu, dimungkinkan perbedaan budaya gunung dan pantai).

“ Dahulu kami selalu meninggalkan rumah dan pekarangan jika ada salah satu dari anggota keluarga yang meninggal. Karena kami takut, jika arwah yang mati mengajak kami menemaninya di alam kubur “

Angin lembah berhembus di celah-celah Laigan Pangkat, di balik embun pagi yang menetes lentik di ujung daun Enau. Daun yang digunakan untuk membungkus tembakau sosop, mereka menyebutnya Gau. Etika anak tangga yang terbuat dari kayu gelondongan dipecak sebagai simbol ada tidaknya tuan rumah.

Desa tinggal orang Loinang pedalaman yang sangat taat dan santun. Pelajaran yang menarik tentang kesetiaan suami-istri orang Loinang. Ketika hukum adat berkata “mati” bagi setiap orang yang bertindak serong. Monogami sampai mati.

Madu murni menjadi sebuah kenikmatan hasil hutan. Pengembara yang menuju peradaban.

Sistem berpindah ladang setelah tiga kali tanam, mereka membuka hutan baru. Lima sampai sepuluh tahun kemudian, mereka kembali ke tanah semula.

Permainan Pili-pili (baling-baling) dan Patengkang (egrang) begitu lekat di hati.

“Humatok kami menyebutnya sebagai sebuah sistem gotong royong. Dalam membuka lahan, pesta perkawinan atau orang meninggal. “

Mereka berkumpul bakubantu. Kerukunan yang tertanam sejak jaman dahulu masih terjaga hingga kini.

Inilah Indonesia.

http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/02/pendidikan-di-pedalaman-balingara-kabluwuk-sulteng-556828.html

Minggu, 17 Maret 2013

Objek Taman Wisata Alam Bancea, Poso SULTENG



TWA Bancea adalah Taman Wisata Alam yang terletak di Desa Bancea, Kecamatan Pamona Selatan, Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah.



TWA Bancea merupakan kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.

TWA Bancea memiliki beberapa kawasan yang dapat dijadikan sebagai objek-objek wisata alam yang sangat menarik. Beberapa objek wisata tersebut adalah sebagai berikut:

1. Danau Poso
Sebagian besar kawasan TWA Bancea merupakan wilayah perairan bagian dari Danau Poso, yaitu Tanjung Bancea. Daerah Perairan kawasan TWA ini memiliki air tawar yang jernih, sejuk dan tenang sehingga banyak menarik pengunjung untuk berenang atau mandi. Selain itu di Danau Poso pengunjung dapat menikmati pemandangan alam di sekitar Danau Poso dengan menggunakan sampan atau rakit, disamping itu dapat pula melakukan kegiatan memancing ikan air tawar.

2. Pesisir danau Poso
Kawasan TWA Bancea juga memiliki wilayah pesisir/ bibir pantai dari Danau Poso yang sangat indah karena memiliki pasir putih yang unik dan bersih juga pemandangan alamnya yang indah. Daerah ini merupakan daerah yang sering dikunjungi wisatawan untuk rekreasi. Kegiatan wisata alam yang dapat dilaksanakan di sini antara lain berenang/mandi, berjemur di pantai, menikmati pemandangan alam yang indah, berkemah dan pengamatan flora fauna terutama jenis anggrek alam dan kondisi medannya cukup mudah untuk dilalui pengunjung.

3. Wilayah Daratan Kawasan
Daerah ini terletak di bagian barat kawasan, merupakan daerah yang berhutan yang memiliki potensi flora fauna yang tinggi. Biasanya pengunjung memanfaatkan daerah ini hanya untuk lintas alam dan wisata ilmiah untuk kegiatan penelitian/pengamatan flora fauna. Di daerah ini sering dijumpai fauna endemik seperti anoa, burrung Allo, tarsius, dan rusa. Selain itu anda dapat menikmati anggrek-anggrek yang tumbuh alami di TWA Bancea melalui trekking yang mendaki.

4. Taman Anggrek
Taman anggrek ini berada di pesisir Danau Poso. Dapat ditempuh melalui jalur air maupun jalur darat dari Desa Bancea. Di Taman Anggrek ini pengunjung dapat menikmati keindahan jenis-jenis anggrek alami yang dikoleksi dari kawasan TWA Bancea. Taman Anggrek ini dibangun sekitar tahun 1980an oleh Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup Propinsi Sulawesi Tengah bekerja sama dengan Sub Balai KSDA pada saat itu. Maksud dari pembangunan Taman anggrek ini antara lain untuk mempermudah pengunjung menikmati jenis-jenis anggrek alam yang terdapat di TWA Bancea tanpa harus berjalan dan mencari di kawasan hutan TWA Bancea.

5. Air Terjun
Di TWA Bancea terdapat dua buah air terjun, yaitu air terjun Limba Ata dan air terjun Batu Marato. Air terjun Limba Ata ini bermuara ke sungai Limba Ata yang selanjutnya nke Danau Poso. Lokasi air terjun ini sekitar 5 Km dari jalan raya, kondisi jalan menanjak sekitar 300 m dpl. Tinggi air terjun ini sekitar 100 m. Air Terjun Batu Marato bermuara ke sungai Batu Ata, selanjutnya bermuara ke Danau Poso. Lokasi air terjun berjarak ± 1 km dari jalan raya, melewati nperkebunan rakyat dan kondisi jalan menanjak 200 m. Tinggi air terjun ini sekitar 50 m.


Secara admiinistratif TWA Bancea terletak di 3 (tiga) desa yaitu dua wilayah Desa Bancea dan Desa Panjo di Kecamatan Pamona Selatan, serta Desa Taipa di Kecamatan Pamona Barat Kabupaten Poso – Sulawesi Tengah.
TWA Bancea di tetapkan berdasarkan SK MenHutBun Nomor : 272/Kpts-II/1999, tanggal 7 Mei 1999 dengan luas kawasan ± 5.000 Ha dengan potensi wisata berupa danau, padang mariri, taman anggrek dan lain-lainnya.
Vegetasi yang sering di temukan di TWA Bancea antara lain Jongi (Dillenia Celebica), Lebanu (Neonauclea Celebica), Jabon (Anthocephalus Cadamba), Betau (Calophyllum sp), Nyatoh (Palaquium Obtusifolium), Benoang (Octomeles Sumatrana), Beringin (Ficus Benjamina), Laro (Metrosideros Petiolata), Kase/Kasek (Pometia Pinnata), Kayu Kacang, Paku-pakuan dan beraneka ragam jenis anggrek.

Potensi Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) di TWA Bancea yang ditawarkan adalah
 Tanjung Bancea;
 Pesisir Danau Poso;
 Wilayah Daratan Kawasan;
 Taman Anggrek;
 Air Terjun Limba Ata dan Watu Marato; dan
 Padang Rumput Marari.

Atraksi Wisata yang dapat pengunjung lakukan diantaranya adalah sebagai berikut :
 Berenang dan Berjemur
 Berperahu
 Pengamatan Burung ( Bird Watching )
 Pengamatan Anggrek
 Menelusuri Hutan ( Jungle Tracking )
 Berkemah
 Wisata Ilmiah ( Penelitian dan Pengembangan )
 Photografi
 Panorama Sunrise, dan
 Objek Wisata Pendukung
Referensi: Panduan Kegiatan Wisata Di Taman Wisata Alam Bancea.

Selasa, 12 Maret 2013

Cacing cumi misterius dari Sulawesi



Para ilmuwan baru-baru ini menemukan makhluk misterius di kedalaman perairan antara Sulawesi dan Filipina. Makhluk tersebut memiliki tubuh sepanjang 9,4 sentimeter dan menyerupai cacing dan cumi-cumi sehingga para ilmuwan menamainya squidworm atau cacing cumi.

Cacing cumi itu memiliki sepuluh tentakel yang panjang, menyeruak dari kepalanya. Selain itu, ia juga memiliki enam organ yang disebut nuchal yang memungkinkannya untuk mengecap rasa dan membaui sesuatu di dalam air.

Makhluk misterius itu ditemukan oleh tiga ahli biologi laut yang dipimpin oleh Karen Osborn dari Scripps Institution of Oceanography in California, pada saat melakukan penjelajahan di Laut Sulawesi pada kedalaman 2,8 kilometer. Observasi mereka menggunakan kapal penjelajah yang dikendalikan dari jarak jauh. "Hewan ini sangat menggoda sebab sangat berbeda dengan ciri-ciri hewan yang telah dideskripsikan sebelumnya," ungkap Osborn dengan antusias.

Cacing cumi yang ditemukan oleh ilmuwan tersebut hidup pada kedalaman 100-200 meter di atas dasar laut. Rentang kedalaman itu diketahui merupakan wilayah yang kaya akan spesies yang belum teridentifikasi.

Cacing cumi yang baru ditemukan itu diberi nama ilmiah Teuthidodrilus samae. Spesies tersebut dikatakan bukan merupakan predator. Mereka memakan campuran tumbuhan dan hewan mikro laut yang tenggelam di kedalaman.

Laut Sulawesi tempat spesies ini ditemukan merupakan wilayah yang terisolasi dari perairan di sekitarnya. Selain itu, kawasan tersebut termasuk dalam kawasan konservasi yang memiliki beranekaragam bentuk kehidupan dan sejarah geologi yang unik. "Ketika saya mengeksplorasi wilayah tersebut, saya memperkirakan ada lebih dari setengah jumlah hewan yang kita lihat merupakan spesies yang belum teridentifikasi," lanjut Osborn.

Karena sifat-sifat cacing cumi tersebut sangat berbeda dari bentuk kehidupan yang lain, para ilmuwan tidak hanya menggolongkannya sebagai spesies baru, tetapi juga genus baru--tingkatan taksonomi di atas spesies. Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Biology Letters baru-baru ini.

Teks oleh Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com

Rio Pakava, Anak Tiri Sulteng di Tengah Sulbar

Ditulis oleh Rahmat Azis

Wilayah terpencil di Kabupaten Donggala itu memang lebih dikenal dengan nama Lalundu ketimbang Rio Pakava. Padahal, Lalundu adalah nama lama dari kawasan yang kini menjadi Kecamatan Rio Pakava. Dulu, areal penempatan transmigran asal Jawa, Bali dan Lombok ini disebut Lalundu, yang terdiri dari enam UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi). Wilayah yang berbatasan langsung dengan Sulbar ini merupakan wilayah Kecamatan Dolo, Kabupaten Donggala. Namun, pada tahun 2000, dimekarkan menjadi Kecamatan Rio Pakava. Selain transmigran asal luar Sulawesi, wilayah seluas 17.014,14 kilometer persegi ini juga dihuni oleh etnis Bugis dari Sulawesi Selatan dan juga sebagian kecil etnis Kaili yang tersebar di 14 desa dengan ibukotanya di Desa Lalundu Utama.

Wilayah berpenduduk 22.228 jiwa yang terdiri dari 5.324 KK (kepala keluarga) ini memang terpencil. Berada di pedalaman, Rio Pakava terkepung wilayah Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulbar di sebelah barat, selatan, dan tenggara. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Pasangkayu, Kecamatan Tike dan Kecamatan Baras di Sulbar. Sementara kecamatan di wilayah Sulteng yang berbatasan dengan Rio Pakava adalah Kecamatan Dolo Selatan, Kecamatan Pinambani, Kecamatan Pipikoro dan Kecamatan Kulawi yang masuk Kabupaten Sigi.

Sepanjang perjalanan, tapal batas antara kedua provinsi ini tidak begitu diketahui karena tidak adanya gerbang yang menandakannya. Untuk mengenali wilayah Sulteng atau Sulbar, hanya berdasarkan pengamatan pada baliho caleg peserta Pemilu 2009 yang mencantumkan daerah pemilihan (dapil). Di dalam areal sawit di Kecamatan Pasangkayu yang dekat dengan Rio Pakava, wilayah Sulteng dan Sulbar justru tidak bisa dipastikan.

Keadaan alam yang tidak menguntungkan inilah yang membuat akses penduduk Rio Pakava ke ibukota Kabupaten Donggala di Banawa memang menjadi sulit. Keterpencilan itu disebabkan tidak ada jalan lain yang bisa dilalui untuk bisa langsung ke kecamatan lain di Kabupaten Donggala. Pasalnya, wilayah ini dibentengi rangkaian Pegunungan Gawalise yang menjulang tinggi.

Padahal, penduduk Rio Pakava dan empat kecamatan di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulbar tersebut lebih memilih membawa hasil buminya seperti kakao, beras, jagung dan sayuran ke Donggala di Kecamatan Banawa yang lebih dekat. Untuk mencapai Donggala, penduduk Rio Pakava selain harus melintasi empat kecamatan di Provinsi Sulbar, juga harus melintasi Kecamatan Banawa Selatan dan Banawa Tengah.

Karena harus melintasi Provinsi Sulbar, maka penduduk Rio Pakava sering terkena tarikan retribusi di jalan raya yang biayanya tinggi. Agar bebas dari pungutan, masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor harus mengantongi surat jalan terlebih dulu dari Rio Pakava. Surat ini hanya berlaku untuk satu kali perjalanan. Jika tidak, mereka harus membayar pungutan sebesar Rp 50 ribu di perbatasan wilayah yang dilakukan oleh petugas dari Sulbar. Dan saat kembali ke Rio Pakava pun mereka harus mengantongi surat jalan dari Donggala jika tidak ingin dikenai pungutan lagi karena perbedaan pelat nomor kendaraan.

Karena terpencil di pedalaman itulah yang menyebabkan wilayah ini kurang mendapat perhatian Pemerintah. Akibatnya, kecamatan ini minim fasilitas. Jangankan jaringan telekomunikasi, listrik dari PT. PLN pun belum masuk ke Rio Pakava.

Untuk listrik, saat ini penduduk hanya mengandalkan genset dengan daya 3 kilowatt yang hanya dinyalakan sejak pukul 18.00 sampai pukul 23.00. Satu mesin genset ini rata-rata mampu menerangi 10 rumah tangga dengan menghabiskan solar hingga 5 liter.



Rugi Lewat Toboli Tanpa Mampir Ke Raja Lalampa



Palu (antarasulteng.com) - Halaman warung sederhana itu nyaris tak pernah sepi sepanjang hari 1x24 jam, meskipun asap dari tempat pemanggangan terus mengepul.

Parkiran mobil baik pribadi, dinas maupun bis angkutan umum dan sepeda motor selalu memadati halaman depannya, sehingga tak jarang membuat arus lalu lintas di poros jalan Trans Sulawesi itu terganggu.

"Sayang om lewat di sini kalau tak mampir ke warung ini," kata Jefri, pengemudi mobil sewaan (rental) yang membawa penulis dari Palu ke Morowali belum lama ini.

Warung yang ia maksud adalah kedai kopi 'Raja Lalampa Cik Sungi' di Desa Toboli, Kecamatan Parigi Utara, Kabupaten Parigi Moutong, sekitar 70 km arah timur Kota Palu.

Daya tarik utama kedai ini adalah lalampa buah tangan Cik Sungi, seorang ibu keturunan Tionghoa berusia setengah abad lebih.

Untuk menikmati lalampa, kedai ini juga menyediakan minuman hangat seperti kopi dan teh serta sarabba (air jahe hangat cmapur telor dan susu-sematam STMJ di Jakarta)

Kebanyakan pengunjung menilai lalampa Cik Sungi ini enak dan gurih, bahkan tidak sedikit yang 'fanatik' sehingga tak pernah lewat begitu saja tanpa singgah ke kedai ini bila melintas di Toboli.

"Saya ini tiap minggu lewat Toboli karena bekerja di Pantai Timur. Warung ini sudah menjadi langganan saya, baik saat melintas dari Palu ke tempat kerja maupun saat kembali ke Palu di akhir pekan," kata salah seorang karyawan perusahaan kontraktor yang sedang menyeruput kopi susu dan sepiring lalampa panas berisi empat bungkus di kedai itu.

Lalampa adalah semacam kue yang bahan utamanya adalah beras ketan putih dan ikan bakar yang digiling halus lalu ditumis dengan bumbu tertentu.

Menurut Cik Sungi, beras ketan itu lebih dahulu dikukus sampai matang lalu dibungkus dengan daun pisang berbentuk gelondong dicampur ikan yang dihaluskan dan ditumis lalu kedua ujungnya ditusuk dengan lidi.

Sebelum disajikan, bungkusan itu dipanggang selama sekitar lima menit agar konsumennya bisa menikmatinya dalam keadaan hangat.

"Di desa Toboli ini ada beberapa warung kopi yang menyediakan lalampa, namun lalampa buatan Cik Sungi lain rasanya, lebih lengket di lidah," ujar Jhon, seorang penggemar lalampa Cik Sungi.

Saking gemarnya terhadap lalampa ini, Jhon yang warga Kota Palu itu sering menyempatkan diri ke Toboli hanya untuk minum kopi dan makan lalampa sambil membawa pulang untuk ole-ole keluarga dan sahabat.

Rahasia

Ketika ditanya apa rahasianya sehingga lalampa buatannya memikat banyak oprang dibanding warung-warung di tetangganya, Cik Sungi menjawab kontan dan singkat: 'itu rahasia pak."

Karena kerahasiaan itu pula, Cik Sungi mengaku tidak membuka cabang di manapun meski sudah banyak yang memintanya membuka cabang di Kota Palu atau Parigi.

Ia mengakui bahwa ikan yang dihaluskan yang dicampur ke dalam bungkusan nasi ketan putih itu volumenya lebih banyak dibanding lalampa buatan orang lain, namun bagaimana meramu beras ketan putih dan ikan halus saat ditumis itu, ia menolak mengungkapkannya.

Cik Sungi yang mengaku mempekerjakan 10 orang tenaga kerja itu mengaku bahwa usaha yang digelutinya ini merupakan warisan orang tua yang sudah dimulai sejak 1963.

Setiap hari ia menghabiskan 100 kg beras ketan putih dan puluhan kilo ikan laut serta daun pisang dalam jumlah yang cukup banyak. Produksi dan pelayanan lalampa ini berlangsung selama 1x24 jam, dengan mengatur jam kerja karyawan.

Ia sendiri dan suaminya dibantu seorang keponakan bergantian menjadi pengawas sekaligus pelayan.

Meski usaha ini sudah berlangsung lama, namun ramainya pengunjung baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

"Setiap hari kami bisa menjual 5.000 bungkus. Harganya Rp1.250,00/bungkus. Jadi omzet kami rata-rata mencapai Rp7,5 juta termasuk hasil penjualan minuman hangat," ujar Cik Sungi.

Pengunjung warung kopi 'Raja Lalampa' ini mencapai ratusan orang tiap hari, umumnya mereka yang sedang melakukan perjalanan melintasi jalan trans Sulawesi, terutama yang akan masuk ke atau keluar dari Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah.

Lokasi Desa Toboli ini memang cukup strategis karena terletak di pertigaan jalan trans Sulawesi yang menghubungkan Makassar-Gorontalo-Manado dan poros utama menuju Kota Palu yang terletak di Pantai Barat Sulawesi Tengah.

Karena itu, kedai 'Raja Lalampa' ini sangat dikenal di Sulawesi Tengah termasuk para pejabat dan pengusaha, bahkan Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola yang mantan Bupati Parigi-Moutong duia periode tersebut menjadikan lalampa Cik Sungi sebagai salah satu sajian wajib di dalam mobil bila melintas di Toboli saat melakukan perjalanan dinas. (R007)

Minggu, 10 Maret 2013

Wisata Selam Donggala Tak Kalah Cantik, Terkenal Sampai Eropa


REPUBLIKA.CO.ID,PALU--Wisata menyelam di kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, sangat terkenal di kalangan para pecinta olahraga selam di Eropa. Indikasi itu terlihat dari frekuensi kunjungan mereka tinggi dan waktu tinggal yang lama.

Seorang warga Jerman, Inge Eberl (50), Rabu (20/2)mengatakan, sudah dua kali datang dan menginap di Prince John Dive Resort, Donggala, untuk merayakan hari ulang tahunnya sekaligus menikmati keindahan bawah laut Donggala yang terkenal indah coral dan ikan-ikannya.

"Kali ini kedatangan yang ke-2 kalinya ke Donggala untuk merayakan HUT ke-50 bersama pacar," kata Inge, asal Bavaria Jerman. Ia saat itu sedang menjamu makanan untuk semua tamu di Prince John Dive resort, yang dikelola dan dimiliki oleh pasangan Indonesia-Jerman. Inge dan pacarnya datang ke Donggala untuk menyelam selama dua minggu.

Hal senada dikemukakan oleh turis asal Jerman, Erika Oltmans, 62 tahun, bahwa Donggala sangat terkenal sebagai destinasi menyelam di kalangan para penyelam Eropa.

"Saya berwisata ke Indonesia selama 23 hari. Sebelum menyelam ke Donggala, saya telah menyelam ke Bunaken dan Lembeh Bitung, Sulawesi Utara," katanya. Erika, seorang pensiunan pekerja farmasi di Jerman, mengatakan, ia sudah sering datang ke Indonesia untuk menyelam. Sebelum ini, ia pernah menyelam di Raja Ampat, Papua, kemudian di Lombok dan Bali.

Mengenai wisata menyelam di Donggala, ia mengatakan, lokasi menyelam cukup bagus. Terumbu karangnya masih terjaga dengan baik, ikan-ikan juga banyak dan cantik-cantik. Ia mengaku melihat dan bertemu dengan ikan hiu, penyu.
"Lokasi menyelam di Donggala banyak sekali ditemukan ikan nemo dan Nudibranch," katanya sambil menunjukan beberapa foto hasil jepretannya di bawah laut.

Baik Inge dan Erika, mengaku tahu informasi di Donggala merupakan tempat menyelam yang bagus dari pembicaraan para penghobi penyelam Eropa. Selain itu, mereka juga melihat foto-foto dari blogger dan Facebook.
Ada sebuah resort di Donggala yang juga terkenal di kalangan para penyelam Eropa yakni Prince John Dive Resort (PJDR). Manager PDJR Alexander Franz mengatakan, resort ini memang satu-satunya resort yang menawarkan jasa penyelaman di Donggala. "Sekitar 85 persen, tamu kami berasal dari Eropa.
Tujuan utama mereka datang dan menginap memang untuk menyelam. Sisanya sekitar 15 persen merupakan tamu WNI, dan tujuan utamanya adalah untuk menyelam," katanya.
"Kami jarang melakukan promosi, villa kami juga terbatas hanya 15 unit. Untuk menambah vila maka harus juga menambah "dive master" karena tujuan utama tamunya untuk menyelam,"katanya. Menurut dia para penyelam Eropa tahu resort dan lokasi menyelam di Donggala darui mulut ke mulut dan juga informasi dari facebook dan blogger.

Kamis, 03 Januari 2013

Melawat Kehidupan Masyarakat Pulau Malenge Oleh: hadi - d'Traveler


Pulau Malenge merupakan salah satu dari 6 pulau besar yang ada di kepulauan Togean. Pulau Malenge mempunya jumlah penduduk yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan pulau yang ada di sekitarnya. Pulau Malenge dapat dikunjungi dari Ampana dengan mengunakan perahu boat dengan waktu tempuh sekitar 8 (delapan) jam.



Masyarakat yang ada di pulau ini sebagian besar adalah orang Togean dan sisanya merupakan penduduk pendatang. Kehidupan di pulau ini tergolong sederhana sebagian besar rumah yang ada masih berdinding papan.



Walaupun berada di pesisir pantai, namun sumber pencaharian masyarakat di pulau malenge ini bervariasi dari mulai nelayan, petani, peternak dan pedagang. Selain ikan laut, cokelat dan kelapa merupakan komoditas pulau ini. Disamping itu, ada juga warga yang mengembangkan tambak lobster untuk diekspor ke luar negeri dan teripang untuk dijual ke restoran-restoran di kota besar.




Fasilitas di pulau ini bisa dikatakan masih minim. Sekolah yang terdapat di pulau ini hanyalah sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SMP) itupun dalam satu atap artinya kegiatan pembelajaran antar murid sekolah dasar dan sekolah menegah pertama berada dalam satu gedung. Sekolah Menengah Atas (SMA) belum tersedia di pulau ini. Orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya hingga SMA harus menyekolahkan anak-anaknya di Wakai atau bahkan di Ampana. Puskesmas yang ada di pulau ini merupakan puskesmas perintis yang kadangkala masih minim akan peralatan dan obat-obatan sehingga masyarakat disini masih sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.



Namun dibalik minimnya fasilitas, pulau ini ternyata menyimpan potensi wisata yang cukup menarik. Di pulau ini terdapat satwa endemik yang hanya dapat hidup di pulau ini yaitu Monyet Togean (Macaca Togeannus) dan Kepiting kenari.disamping itu terdapat pantai-pantai berpasir putih seperti pantai Kadoda, Bonavang, Pantai Poponoton dan Pantai Batuengkang yang cocok untuk bersantai sambil melakukan sunbathing.