Kamis, 27 Februari 2014

Suku Ulumanda, Sulawesi Tengah


Suku Ulumanda, adalah suatu kelompok masyarakat yang terdapat di kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah. Populasi suku Ulumanda ini diperkirakan mencapai sebesar 31.000 orang.

Suku Ulumanda dikelompokkan ke dalam bagian sub-suku Bungku, dikarenakan banyak terdapat kesamaan sejarah masa lalu, budaya dan bahasa. Hal ini juga dibenarkan oleh orang Ulumanda, bahwa mereka dengan suku Bungku sebenarnya sama, hanya perbedaan lokasi saja lah yang membuat mereka dianggap berbeda.

Selain dengan suku Bungku, suku Ulumanda juga terkait kekerabatan dengan suku Bugis, dilihat dari segi tradisi adat-istiadat dan budaya mereka.

Mayoritas masyarakat suku Ulumanda adalah penganut agama Islam. Mereka adalah muslim yang taat, terlihat dari sikap dalam kehidupan sehari-hari serta beberapa tradisi adat mereka banyak mengandung unsur Islami.

Suku Ulumanda dalam kehidupan sehari-hari hidup pada bidang pertanian, terutama pada tanaman padi dan tanaman sayur-sayuran serta buah-buahan. Selain itu mereka juga memanfaatkan hasil hutan dan hasil bumi, seperti bahan baku mineral, pasir, karomit, rotan dan kayu hitam dan lain-lain. Sementara penduduk Ulumanda yang mendiami daerah pesisir memilih profesi sebagai nelayan, dan kehidupan sebagai nelayan menjadi pilihan utama dalam hidup mereka.

Suku Bobongko, Sulawesi Tengah


Suku Bobongko, adalah suku yang secara turun-temurun telah mendiami desa Lembanato di daerah kepulauan Togean di kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah, sejak ratusan tahun yang lampau. Populasi suku Bobongko diperkirakan sebesar 1.057 orang.

Pemukiman suku Bobongko ini berada dekat dengan hutan Bakau yang kelestariannya tetap dijaga masyarakat suku Bobongko ini sejak beberapa abad yang lalu. Nama desa suku Bobongko ini, yaitu Lembanato berasal dari kata "malombanakon", dari bahasa Bobongko, yang berarti menggusur tanah.

Asal-usul orang Bobongkko diduga berasal dari Balanggala (Balingara sekarang) sekitar 1.000 tahun yang lampau.
Kawasan hutan bakau bagi masyarakat suku Bobongko dianggap penting untuk tetap dijaga kelestariannya, selain itu mereka juga menjaga kehidupan binatang-binatang, termasuk burung yang banyak hidup di sekitar hutan bakau ini. Sehingga bagi siapapun yang melintas di hutan bakau ini tidak boleh berisik, tidak boleh mengagetkan binatang apa pun yang dijumpai, tidak boleh merokok, sebab asap rokok akan mengusik hewan-hewan. Di kawasan hutan bakau ini, juga banyak babirusa (Babysousa babirussa) yang hidup di tempat ini. Orang Bobongko menyebut Babirusa ini sebagai Dongitan.

Dahulu dongitan (babirusa), adalah makanan utama orang Bobongko, sebelum mereka mengenal agama Islam. Saat ini mayoritas orang Bobongko adalah pemeluk agama Islam. Perburuan dongitan tidak pernah lagi dilakukan. Kecuali apabila dongitan ini memasuki wilayah perkampungan dan mengganggu kebun dan ladang mereka. Sebagian ada yang membunuhnya dengan tombak atau perangkat jerat tali kaki, namun
biasanya dongitan hanya diusir sejauh mungkin dari kebun hingga masuk kembali ke dalam hutan.

Suku Bobongko berbicara dalam bahasa Bobong, yang merupakan bahasa utama bagi masyarakat Bobongko dalam berkomunikasi di antara sesama orang Bobongko. Selain bahasa Bobongko, mereka juga bisa berbicara dalam bahasa Melayu Sulawesi Tengah yang mirip dengan bahasa Melayu Manado.

Suku Bobongko di kepulauan Togean ini hidup berdampingan dengan suku Bajo, yang juga telah lama bermukim di wilayah ini. Di antara mereka terjadi hubungan yang baik, dalam melakukan berbagai kegiatan termasuk dalam hal mencari ikan di laut. Hanya saja mereka menggunakan teknik illegal dalam menangkap ikan.

Masyarakat suku Bobongko mengelola hutan-hutan sagu yang disebut gonggan pogaluman. Gonggan berarti sekumpulan pohon (termasuk sagu), sedangkan  pogaluman berarti kebersamaan, asal kata mogalom atau bersama. Gonggan pogaluman dikelola dan dimanfaatkan secara bersama oleh beberapa orang Bobongko. Tiap kelompok  Bobongko, baik yang tinggal di Teluk Kilat, Tumbulawa, maupun desa Baulu masing-masing memiliki satu atau lebih areal gonggan pogaluman yang dikelola secara terpisah.

Sagu masih menjadi sumber pangan utama penduduk, meski pun saat ini beras jauh lebih disukai. Sebagian dari  mereka menganggap memakan sagu hanya membuat perut kenyang beberapa saat saja, dibanding jika makan nasi.

Masyarakat suku Bobongko memanfaatkan berbagai jenis sumberdaya alam yang terdapat di laut dan hutan mangrove, yang menjadi sumber ekonomi bagi penduduk Bobongko. Berbagai jenis ikan, kerang, udang dan biota laut lainnya diambil penduduk sebagai komoditas perdagangan maupun untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Penangkapan hasil laut melibatkan pula penggunaan teknik penangkapan, mulai dari pancing, jala, rompong, bagang, panah, hingga penggunaan bahan peledak dan potasium sianida. 

sumber bacaan:
nasrualam: mengintip babirusa di lembanato
lontar: alam dan penduduk kepulauan togean

Suku Kahumamahon, Sulawesi Tengah


Suku Kahumamahon, adalah masyarakat adat yang hidup di desa Simpang kecamatan Borone kabupaten Poso provinsi Sulawesi Tengah.

Masyarakat suku Kahumamahon ini, dahulunya oleh pemerintah daerah Sulawesi Tengah sempat masuk dalam kategori masyarakat terasing, karena pada masa sebelumnya, suku Kahumamahon ini hdup terpencil di pedalaman dan mengisolasi diri dari dunia luar.

Suku Kahumamahon ini berbicara dalam bahasa Kahumamahon. Menurut para pakar bahasa, bahwa bahasa Kahumamahon adalah merupakan sub-dialek dari bahasa Saluan. Bagi masyarakat Kahumamahon sendiri bahasa Kahumamahon bukanlah sub dialek bahasa Saluan, yang merupakan bahasa tersendiri. Bahasa Kahumamahon dengan bahasa Saluan memang merupakan bahasa yang mirip, hanya dibedakan oleh dialek pengucapan dan beberapa kata berbeda. Oleh karena para ahli sempat menganggap bahasa Kahumamahon dan bahasa Saluan merupakan bahasa yang sama, yang dibedakan oleh dialek.

sumber:
openlibrary.org/subjects/kahumamahon_(indonesian_people)

Suku Tolaki, Sulawesi Tengah


Suku Tolaki, adalah suatu komunitas masyarakat yang berdiam di kabupaten Kendari dan Konawe di Sulawesi Tenggara.

Menurut cerita rakyat, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan, yaitu Kerajaan Konawe. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo. Dari keturunan orang-orang kerajaan ini lah yang menjadi masyarakat suku Tolaki sekarang.
Pada masa sebelum-sebelumnya orang Tolaki merupakan masyarakat yang nomaden, mereka bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, hidup dari hasil berburu dan mencari tempat baru untuk membuka ladang.

Mereka percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari daratan china, yaitu dari daerah Yunnan yang bermigrasi ke wilayah ini.
Dalam tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam gua-gua dan makanannya adalah Sekam (Burhanuddin, 1973:53)

Orang Tolaki pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau demikian istilah Hiu dalam bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa Tolaki yang berarti terdampar atau ikut pergi ke langit (Tarimana, 1985).

Orang Tolaki memiliki beberapa budaya seni, yaitu:
tari Mondotambe
tari Lulo
tari Mekindohosi
tari Moana
dan
musik bambu

Upacara adat yang populer dari suku Tolaki adalah Upacara Adat Mosehe, yang merupakan salah satu bentuk upacara ritual yang bertujuan untuk menolak datangnya malapetaka karena telah melakukan pelanggaran baik sengaja maupun tidak sengaja.

Mayoritas suku Tolaki adalah pemeluk agama Islam. Agama Islam berkembang di wilayah ini sejak beberapa abad yang lalu. Masyarakat Tolaki adalah pemeluk agama Islam yang taat.

Orang Tolaki berbicara dalam bahasa Tolaki. Bahasa Tolaki merupakan cabang dari bahasa Austronesia, dan masih berkerabat dengan bahasa Mekongga. Budaya dan bahasa Tolaki memiliki banyak persamaan dengan budaya dan bahasa Mekongga. Kemungkinan antara suku Tolaki dan suku Mekongga masih terdapat kekerabatan dari sejarah asal-usul di masa lalu.

sedang memproses sagu

Masyarakat suku Tolaki pada umumnya bertahan hidup dengan berladang dan bersawah. Kebutuhan akan air sangat tinggi, untuk kelangsungan pertanian mereka. Kehadiran sungai Konawe sangat membantu pertanian mereka. Sungai Konawe membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju selat Kendari.
Di luar kegiatan bertani, mereka juga memanfaatkan hasil hutan untuk mencari sagu. Sagu (sinonggi atau papeda) menjadi makanan favorit orang Tolaki selain beras. Selain itu batang sagu juga dijadikan tikar dan daunnya dimanfaatkan untuk atap rumah. Sayangnya sagu ini hanya diperoleh dari alam dan belum dibudidayakan. Selain itu mereka juga memiliki kebiasaan menangkap ayam hutan dengan alat kati.