Jumat, 05 Juli 2013

Potret Masyarakat Pesisir Desa Walandano



Program Upaya Penyelesaian Konflik Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Komunitas Di Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah ( Kerjasama : LPA.Awam Green, PTD Propinsi Sulawesi Tengah, UNDP dan Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah )

Catatan Lapangan : Budiansyah ( LPA. Awam Green )

Desa Walandano merupakan salah satu desa dalam wilayah administratif kabupaten Donggala tepatnya daerah pesisir pantai barat Kecamatan Balaesang Tanjung. Jarak dari ibu kota kabupaten menuju Desa Walandano kurang lebih 140 Km dan dari ibu kota provinsi 110 Km, bila di tempuh melalui perjalanan darat rata-rata 3 sampai 4 jam. Ini karena kondisi jalan yang masih dalam perbaikan di beberapa tempat. Perjalanan dari ibu kota Kabupaten dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi laut yaitu dengan menggunakan perahu motor. Waktu yang dihabiskan melalui perjalanan laut, 3 sampai 4 jam tergantung kapasitas mesin motor laut tersebut atau kondisi alam.


Dari Ibu kota Kecamatan menuju desa Walandano kurang lebih 10 Km. Sebelah Utara Desa Walandano berbatasan dengan Desa Palau, sebelah Timurnya dengan Desa Lombonga, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tompe dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Malei. Desa ini terbagi menjadi tiga dusun, Dusun satu disebut Lambagu, Dusun dua disebut Walandano dan dusun tiga disebut Lewonu. Jarak antara dusun satu kedusun dua 2 Km, dari dusun dua ke dusun tiga jaraknya 7 Km dengan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan.

Jumlah Penduduk Desa walandano 293 KK dengan jumlah jiwa 1.090. Masyarakat yang mendiami desa Walandano dari berbeda-beda suku yaitu Suku Pendau, Suku Sanger, Manado, Kaili, Bajo serta Pamona dan Kulawi. Persentase pemeluk agama di Desa Walandano, 60 % beragama Kristen dan 40 % beragama Islam.

Mata Pencaharian masyarakat Desa Walandano 58 % petani, 37 % nelayan dan 5 % pedagang. Rata-rata kepemilikan lahan, antara 0,5 sampai 2 Ha Per kepala keluarga, dan komoditi yang menjadi favorit yaitu Cengkeh, Pala, Coklat, Kelapa dan ada sebagian kecil masyarakat yang menanam rica dan kopi. Selain dari sektor pertanian, sektor kelautan Desa Walandano memiliki potensi yang sangat kaya seperti ikan, lobster, teripang dan rumput laut, sayangnya potensi tersebut belum bisa di kelola secara maksimal, dikarenakan pengelolaannya masih sangat tradisional.

Secara umum keaadan laut dan terumbu karang desa Walandano masih sangat baik dan terhindar dari bom dan bahan Potasium. Keadaan laut yang masih cukup baik ini bisa di ukur dengan banyaknya nelayan dari tempat lain yang menggantungkan hasil tangkapan dari wilayah laut Desa Walandano, yang sekaligus juga menjadi kekhawatiran.

Terlebih lagi permasalahan batas pengelolaan wilayah laut yang tidak jelas, mengakibatkan penyerobotan atau pengambilan hasil laut yang tidak terkendali mengakibatkan masyarakat setempat tidak mendapatkan hasil yang memadai. Hal ini juga disebabkan para nelayan desa ini masih menggunakan alat tangkap masih tradisional dan jumlahnya masih terbatas.

Sementara nelayan dari luar desa Walandano menggunakan alat tangkap yang memadai dan didukung dengan kendaraan operasional laut yang memadai. Tentunya membuat hasil tangkapan melimpah. Bahkan lebih dari itu mereka menggunakan alat tangkap yang jelas-jelas dilarang karena berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem laut seperti pukat harimau. Hal ini sulit di cegah karena masyarakat setempat hanya menggunakan kendaraan operasional laut yang sangat sederhana.

Begitu pun dengan hadirnya rompong-rompong dari desa lain yang tersebar diwilayah laut desa Walandano, juga menambah kekhuwatiran sebagai pemicu konflik. Ini dapat dirasakan saat panen tiba, yang mana nelayan dari desa lain lebih mendahulukan rompong mereka saja. Kalaupun mereka memanen rompong yang dikerjasamakan dengan masyarakat setempat, pembagiannya belum cukup adil, karena terlalu banyak potongan harga.

Gesekan antar wilayah desa, bahkan lintas provinsi ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak khususnya Pemerintah Daerah kabupaten, dalam kaitan-nya dengan wilayah tangkap tradisional yang belum diatur secara jelas. Potensi konflik laten yang secara singkat di kemukakan diatas, seharusnya direspon dengan memberdayakan masyarakat itu sendiri berdasarkan pemahaman mereka ( kearifan lokal setempat ) serta mendorong kesepakatan dalam pengelolaan laut yang adil, transparan, bertanggung jawab dan damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar