Rabu, 22 Agustus 2012

“Adat tumpe’ Batui


Tak ada orang Batui yang tak mencintai burung maleo. Maleo adalah jejak panjang, keramat, sekaligus kenangan dari leluhur mereka. Dari Sejarah kerajaan Banggai, habitat asli burung yang anti poligami di Sulawesi ini memang bermula di sana.

Seperti berdongeng, Aris menceritakan sejarah itu pada saya. Dulu, ketika Banggai masih dengan sistem kerajaan absolut, Adi Cokro – lelaki Jawa yang berlayar ke Banggai diangkat menjadi raja. Lantas Adi Cokro yang oleh orang Banggai dikenal Adi Soko menikahi putri dari Raja Babulau yang dulunya adalah Raja Matindok di Batui. Nama putri itu adalah Nurusapa. Karena perangai Adi Soko yang baik, Raja Matindok menyayanginya dan memberinya hadiah sepasang burung maleo. Dari Nurusapa, Adi Soko memperoleh seorang putera yang bernama Abu Kasim. Dalam buku babad Banggai, tulisan Machmud H.K yang terbit tahun 1986, masa pemerintahan Adi Soko berlangsung dari tahun 1525-1545.
Suatu ketika Adi Soko kembali ke Kediri. Sepeninggal Adi Soko kerajaan Banggai goyah, seperti rumah yang ditinggali seorang bapak. Singkat sejarah, setelah dewasa Abu Kasim berangkat ke Jawa mencari ayahnya, karena ketika itu Abu Kasim diharapkan menjadi raja sementara dirinya tak siap.

Kembali dari Jawa, Abu Kasim membawa pulang sepasang burung maleo, pemberian dari Adi Soko. Mulanya burung maleo dikembangbiakkan di Banggai, tapi pesisir di Banggai tak begitu lebar, maka burung maleo dikembangbiakkan di Batui, dengan catatan jika burung maleo bertelur, kerabat kerajaan yang ada di Banggai Kepulauan dikirimi telur-telur maleo.

Pengiriman telur ke kerajaan Banggai di Banggai Kepulauan inilah yang dikenal dengan adat tumpe’. Setiap tahun adat tumpe’ ini dihelat di Batui. Batui sebagai daerah pengantar telur maleo dan Banggai Kepulauan sebagai daerah penerima telur maleo. Orang Batui percaya, jika telur burung maleo tak diantar ke Banggai Kepulauan, maka musibah akan turun di Batui.

“Adat tumpe’ harus digelar setiap tahunnya, jika tidak kami di Batui akan terkena musibah, musibah itu rupa-rupa, kalau bukan gagal panen, kemarau panjang, wabah penyakit atau warga akan mengalami kecelakaan,” terang Aris.
Di tahun 70-an, pengantaran telur burung maleo ke Banggai Kepulauan masih berjumlah ribuan, sesuai dengan data statistik jumlah penduduk Batui. Waktu itu, setiap kepala keluarga wajib menyediakan dua butir telur maleo, satu butir untuk di simpan di rumah lurah. Telur yang disimpan ini mereka namakan telur “obat” dan sebutir lagi akan dibawa ke Banggai Kepulauan. Aturan ini sudah berlaku sejak zaman kerajaan. Namun sekarang, tak begitu lagi, telur maleo sudah sulit didapatkan, berarapun telur yang terkumpul, itulah yang akan digunakanan dalam perhelatan adat. Pengiriman telur tak lagi sesuai dengan jumlah penduduk.

Prosesi pengantaran telur bermula dari warga. Warga menyetor dua butir telur maleo di kantir. Kantir adalah rumah dakkanyo. Dakkanyo’ dalam sistem pemerintahan adat setingkat dengan lurah. Kantir juga berfungsi untuk menyimpan segala macam perlengkapan adat. Dari dakkanyo’, telur lantas dibawa ke rumah Bosanyo’, setelah itu telur-telur maleo yang sudah diselubungi dengan daun lontar itu dibawa ke Banggai Kepulauan. Daun lontar dipakai untuk pembungkus telur maleo, agar tak pecah selama perjalanan.

“Dahulu ketika pengantaran tumpe’ masih menggunakan perahu dan telepon genggam belum ada, di tengah perjalanan, pembungkus telur maleo diganti lalu dibuang ke laut. Pembungkus telur yang hanyut itu, akan lebih dulu sampai ke Banggai dan dijadikan tanda bagi orang Banggai. Penanda kalau rombongan pengantar telur sudah di perjalanan,” cerita Aris.

Dari majalah Voice Of Nature yang terbit tahun 1992, dikatakan ritual pengantaran telur maleo dari Batui ke Banggai Kepulauan telah berlangsung sejak tahun 1571.

***
Tahun ini, musim-musim pengumpulan telur pada perhelatan adat tumpe’ sudah berlangsung dari bulan September hingga Oktober. Bulan November adalah waktunya pengumpulan telur burung maleo di rumah-rumah lurah.
Sabtu pagi yang gerah di pertengahan November, saya bertandang ke rumah Aris Apok di Kecamatan Batui. Aris Nampak cemas. Target pengiriman telur burung maleo ke Banggai Kepulauan tahun ini 120 butir. 100 butir untuk diantar ke kerajaan Banggai, 10 butir untuk Bosanyo dan 10 butir lagi untuk Sake. Sake adalah orang yang ditunjuk untuk mengantar telur. Tapi ketika ia mengecek jumlah telur, baru belasan yang terkumpul.

“Semuanya sudah tak sama, dulu telur burung maleo mudah didapatkan warga di setiap kelurahan. Setiap utusan kelurahan secara bergantian mencari telur di pesisir hutan Bakiriang, namun semenjak hutan Bakiriang dicerabut dari adat, burung maleo bukannya lestari malah maleo di sana punah,” ujar Aris.

Samawiah Yahya (63 tahun) adalah saksi mata kepunahan burung maleo di Batui. Perempuan yang berbicara mengebu-ngebu ini bercerita, dulu ketika hutan Bakiriang masih belantara dan senyap, burung maleo masih tetap lestari di Batui meski adat tumpe’ berlangsung setiap tahun. Rata, Bakiriang, Dongin dan Minahaki, sepanjang kawasan itu adalah tempat turunnya burung maleo di musim-musim bertelur. Sekarang, kawasan itu telah menjelma pemukiman transmigrasi, kebun sawit dan kakao.

Hutan Bakiriang kini menjelma hutan industri. Kawasan yang semula dijaga pemangku adat itu, kini beralih ke pemerintah daerah dan perusahaan. Semenjak itu hiruk-pikuk terjadi di sana. Maleo pun tak lagi turun bertelur di kawasan itu, meski ada usaha pemerintah daerah untuk menanam kemiri dan kenari di sana. Kemiri dan kenari adalah makanan burung yang memiliki telur empat kali lipat lebih besar dari telur ayam ini.

Samawiah mengatakan salah-satu penyebab percepatan kepunahan maleo lantaran kawasan tempat maleo bertelur itu sudah berubah menjadi pemukiman transmigrasi. Mereka membuka kebun dan ladang di sana, itulah kenapa hutan di sana tergerus.

“Orang-orang pendatang yang membuka kebun dan membabat hutan di sana tak punya hubungan batin yang kuat dengan burung maleo, kalau maleo punah, tak akan berpengaruh apa-apa kepada mereka, tapi kami Orang Batui, khususnya warga yang masih punya garis keturunan kerajaan Banggai, tak ada yang berani merusak tempat tinggal maleo, kami bahkan takut memakan telurnya, telurnya hanya dibawa ke Banggai pada acara adat, kalaupun kami memakan telurnya, kami harus minta izin pada leluhur, telur itu harus dibacakan doa, diasapi kemenyan, kalau tak begitu maka musibah akan menimpa kami,” tutur Samawiah. Samawiah adalah istri seorang Dakkanyo’. Dalam pemerintahan adat, dakkanyo’ setingkat dengan lurah. Suaminya bernama Yahya Alepu, ia adalah Dakkanyo di kelurahan Tolando.
Samawiah punya pengalaman ajaib tentang telur burung maleo. Tahun 2002 silam, anaknya Hasmiati Yahya yang kuliah di Kendari, Sulawesi Tenggara tengah menghadapi ujian skripsi. Skripsinya tentang upacara tradisional adat maleo dan maknanya bagi orang Batui. Si dosen penguji, meminta Hasmiati harus membawa serta telur burung maleo, sebab ia baru akan percaya dengan keunikan-keunikan maleo yang ditulis Hasmiati di skripsinya kalau ia sudah melihat langsung telur burung maleo.

Demi keperluan ujian skripsi anaknya, Samawiah lantas mengirimkan sebelas butir telur Maleo ke Kendari. Telur-telur itu ia kirim melalui awak Kapal Tilongkabila. Ketika kapal sudah membuang sauh dan meninggalkan pelabuhan Banggai, melalui mikropon pegawai Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KPPP) mengumumkan agar kapal Tilongkabila balik lagi ke pelabuhan, sebab ada 11 orang penumpang tertinggal.

“Ketika kapal balik, sebelas penumpang yang tertinggal ini ternyata tidak ada, semua penumpang bertiket sudah di atas kapal, saya langsung teringat sebelas telur maleo yang saya kirim itu, telurnya belum sempat dibacakan doa, kami orang Batui percaya telur maleo itu dijaga leluhur,” cerita Samawiah.

Samawiah berpikir ada yang salah dengan cara pemerintah daerah melindungi kawasan yang ditempati maleo bertelur itu. Ia mengenang, dulu penjaga kawasan hutan Bakiriang itu seorang pendatang dari Manado. Setiap kali burung maleo turun bertelur, telur-telur maleo itu ia paketkan dan kirim ke Menado.

“Kalau yang mengawasi kawasan Bakiriang adalah pendatang, mereka tak akan peduli, telur-telur maleo justru dikomersilkan. Dulu ketika orang-orang masih buta huruf, hutan Bakiriang masih terjaga, sekarang banyak sarjana, tapi hutan Bakiriang rusak,” imbuhnya lagi.

Ilyas Lagade (66 tahun) dan Dadeng Siah (53 tahun) adalah penyaksi bagaimana warga Batui memprotes kerusakan hutan Bakiriang. Kata Ilyas, warga bahkan sudah turun dengan parang untuk memprotes kerusakan kawasan itu, namun yang terjadi warga adat selalu kalah dengan kekuasaan pejabat dan pengusaha yang mencengkram di sana.
“Kita yang berniat untuk kebaikan dengan mempertahankan kelestarian maleo, justru kami yang diangkut ke penjara, tanah-tanah di kawasan itu telah dimiliki pejabat dan pengusaha, kami tak bisa berbuat apa-apa,” kata Ilyas.
Sekarang ini untuk keperluan perhelatan adat tumpe’, warga Batui kesulitan memperoleh telur maleo. Ko Asem – seorang warga peranakan Tionghoa yang telah lama bermukim di Batui mengatakan, beberapa tahun belakangan, setiap jelang perhelatan adat tumpe’, keluarganya membeli telur maleo. Tahun ini harga telur maleo Rp. 35.000 per butir, tahun lalu Rp. 20.000.

“Semakin tahun, sepertinya harga telur maleo akan semakin tinggi, bisa jadi satu atau dua tahun lagi, telur maleo akan seharga Rp. 100 ribu,” katanya.

Menurut Ko Asem, penebangan pohon, bunyi sensor dan pengoperasian alat-alat berat seperti buldozer, ekskavator perusahaan-perusahaan yang masuk hutan membuat burung maleo bermigrasi ke daerah-daerah lain yang masih punya hutan senyap.

“Burung maleo itu lebih suka tinggal di hutan-hutan yang senyap, burung itu lebih suka kondisi yang tenang, sementara di Batui tak ada lagi hutan yang senyap, akhirnya maleo bermigrasi hingga ke Balantak bahkan ke Morowali, dimana ada hutan yang nyaman, kesanalah burung itu,” katanya lagi.

Kepunahan maleo yang cepat ini menyisakan rasa cemas pada warga Batui, sebab setiap kali perhelatan tumpe’, warga mesti menyediakan telur maleo. Lantas jika maleo benar-benar punah, petuah leluhur bisa jadi terabaikan.

Karena Habitat Tak Lagi Senyap

Siang Senin (28/11), saya menelpon Wilianita Selviana. Perempuan berumur 26 tahun ini adalah direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng. Ia bermukim di Palu. Saya bermukim di Luwuk, maka wawancara berlangsung hanya lewat kabel telepon. Wilianita mengatakan kerusakan hutan Bakiriang sebagai habitat burung maleo mestinya bisa dicegah lebih awal. “Hutan Bakiriang adalah kawasan konservasi, jadi izin perusahaan atau pemukiman mestinya tak boleh diberikan kepada siapa pun,” ungkapnya.

Wilianita mengungkapkan, dari data Walhi Sulteng, saat ini kerusakan kawasan itu telah mencapai 30 persen, hal itu lantaran adanya kebun sawit, jalur pipa migas, serta pemukiman dan sarana umum. Baru-baru ini Wilianita mengikuti pembahasan revisi tata ruang Sulawesi Tengah dalam rakorda BKPRD Provinsi. Ibu satu anak ini khawatir revisi penataan ruang Sulawesi Tengah berakhir kompromi.

“Kabupaten Banggai contohnya, mengusulkan pelepasan sebagian kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang untuk pemukiman penduduk yang sudah eksis beberapa tahun terakhir sementara ada fakta lain kawasan SM Bangkiriang sudah dirambah oleh perusahaan sawit seluas 500Ha,” ungkapnya.
Sementara itu, dari data analisis dan digitalisasi peta citra quickbird tahun 2009 lalu, kerusakan Bakiriang seluas 2.491,44 hektar atau 20,52 persen dari luas keseluruhan. Luasan kerusakan ini dikarenakan adanya permukiman seluas 13,85 hektar, kebun 1.717,47 hektar, kebun campuran 66,67 hektar, tegalan 22,18 hektar, perkebunan kelapa sawit 532,06 hektar, tebangan liar 8,88 hektar, dan areal sumur gas Sukamaju-1 seluas 4,2 hektar.

“Pemerintah daerah selama ini tak punya niatan untuk menyelesaikan persoalan Suaka Margasatwa Bakiriang, pemda selama ini membiarkan dan mengabaikan kerusakan Bakiriang. Sebetulnya selain revisi RTRW yang ditempuh Walhi, selama ini Walhi sudah berjuang dengan melaporkan pelaku pelanggaran tata ruang. Namun sampai saat ini, tak ada tanggapan dari pihak kepolisian, Walhi juga melakukan penggalangan dukungan publik agar bersama-sama Walhi menyuarakan masalah lingkungan di Sulawesi Tengah, termasuk kawasan Bakiriang,” terang Willianita.

Menurut I Nyoman Ardika ( 34 tahun) seorang petugas lapangan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), sepanjang pengetahuannya, pemukiman juga ekploitasi investor di kawasan Bakiriang, sama sekali tak memiliki izin.
“Sepanjang pengetahuan saya, tak ada izin yang dikeluarkan untuk pemukiman dan investor di kawasan Bakiriang, namun yang terjadi di lapangan ya seperti itu, kami selama ini telah mencoba menjaga keutuhan fungsi kawasan itu dengan melakukan penangkaran, patroli, penyuluhan dan operasi gabungan, tahun 2002 hingga 2004, BKSDA telah melakukan pemindahan pemukiman perambah di Kawasan Bakiriang ke Batui Lima,” terang I Nyoman pada saya. Menurut I Nyoman saat ini belum ada data terbaru mengenai kerusakan Bakiriang, data terakhir yakni pada tahun 2009. BKSDA sudah pernah melaporkan masalah kawasan Bakiriang ke Jakarta, namun hingga saat ini tak ada titik terang.

Minggu pagi, di akhir November, saya bertandang ke Kawasan Bakiriang. Kondisi suaka margasatwa itu benar-benar telah disulap menjadi desa. Kawasan itu telah dihuni sekitar 800 jiwa. Sebagian besar mereka adalah transmigran dari Jawa dan perantau dari Sulawesi Selatan. Mereka memiliki Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) untuk pekarangan, kebun dan sawah antara 1 sampai 2 hektar. Selain rumah penduduk, di kawasan itu juga sudah berdiri dua unit sekolah dasar, satu unit sarana PLN, balai desa dan enam unit rumah ibadah baik masjid maupun gereja. Sampai saya meninggalkan kawasan itu, saya tak berpapasan dengan seeokor pun burung maleo.

Sebetulnya, setiap tahun luas kawasan Bakiriang selalu saja berubah. Semula, berdasarkan keputusan Raja Banggai tahun 1936, hutan Bakiriang yang membentang dari selatan hingga pesisir Teluk Tolo memiliki luas 3.500 hektar. Luas itu kemudian ditetapkan dengan rekomendasi Bupati Banggai pada tahun 1982.

Tahun 1989, luas kawasan itu kembali berubah. Perubahan itu berdasarkan SK Gubernur Sulteng pada tahun 1989 tentang penunjukkan SM Bakiriang seluas 3.900 hektar. Kemudian lewat Tata Guna Hutan Kesepakatan Tahun 1993, luas Bakiriang bertambah menjadi 9.800 hektar.

April 1998, perubahan kembali terjadi. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) luas Bakiriang menjadi 12.500 hektar. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional), Bakiriang dikategorikan sebagai Kawasan Lindung Nasional dan dikelompokkan dalam kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya seluas kurang lebih 12.500 hektar.

Suatu siang yang terik di awal Desember, saya bertandang lagi ke Desa Batui. Itu kali ke-empat saya ke sana. Hari itu adalah hari pengantaran telur maleo, sebelumnya warga dan pemangku adat telah berkumpul di rumah adat dan akan berangkat bersama-sama ke pelabuhan untuk menaikkan telur-telur maleo ke dalam kapal.

Rumah adat dipadati warga, bupati Kab. Banggai dan anggota DPRD juga ada di sana. Dari sebuah baliho yang dipajang di depan pagar rumah adat, tertera bahwa ritual adat itu disponsori PT Donggi Senoro (DS) LNG – perusahaan gas yang beroperasi di Batui. Perusahaan lainnya yang turut mensoponsori perhelatan adat itu adalah PT JGC Indonesia, sebuah perusahaan gas dan minyak.

Ketika menyampaikan pidato, Bosanyo’ Aris Apok menyebutkan kedua perusahaan itu telah menyumbangkan karpet untuk rumah adat Batui, semua warga yang hadir di tempat itu bertepuk tangan. Di antara riuh rendah tepuk tangan itu, saya tercenung, bisa jadi satu dua tahun ke depan habitat maleo di Batui tinggal kenangan.***

http://pohonsagu.blogspot.com/search/label/Catatan%20Perjalanan

1 komentar: