Selasa, 21 Agustus 2012

Mopohimung / Noporimbung ( Berkumpul ) " Adat To Dampelas "


Mopohimung artinya musyawarah keluarga dan 4 (empat) sahabat (menteri). Sebelum upacara penguburan dilaksanakan harus didahului dengan suatu musyawarah (mopohiming) antara pihak keluarga dan 4 (empat) sahabat raja (menteri) dalam pemerintahan. Adapun 4 (empat) menteri itu adalah: Sangaji (Ketua Adat); Jogugu (Sekretaris/Juru Bicara); Ukum (Pengadilan); dan Kapitalau (Keamanan).

Keempat sahabat ini merupakan para menteri dalam pemerintahan dengan tugas mengatur dan membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dalam pemerintahan termasuk upacara kematian. Dalam musyawarah ini dipimpin langsung oleh Sangaji dan yang utama dibicarakan adalah tempat penguburan, jam penguburan, siapa-siapa yang menggali kuburan, yang bertanggung jawab atas pembuatan donu (peti jenazah), pembuat tatang kunong (usungan), mepalongan (orang-orang yang turut memandikan), keluarga yang ikut dalam usungan ke kuburan, topongkolab (tukang kipas) dan batuang (budak-budak yang dimerdekakan), serta yang paling penting sekali adalah pengganti raja yang telah meninggal. Demikianlah yang dibicarakan dalam musyawarah ini sehingga cukup memerlukan pikiran-pikiran yang baik, waktu yang cukup dan tenaga-tenaga yang dapat dipertanggungjawabkan.


Maksud Penyelenggaraan Upacara. Maksud penyelenggaraan upacara bagi masyarakat suku Dampelas adalah untuk keselamatan, ketenteraman bagi keluarga yang ditinggalkan, karena didasari pengertian bahwa roh itu tetap kekal dan melihat tindak perbuatan manusia (keluarga) walaupun hubungan sosial yang normal sudah putus.
Oleh karena itu maka perlakuan-perlakuan bagi jenazah sama seperti perlakuan pada semasa hidupnya sehingga tetap terjalin hubungan kasih sayang antara jenazah dan keluarga yang ditinggalkan. Perlakuan yang tidak sewajarnya bagi jenazah yang telah disepakati dan didukung oleh seluruh anggota masyarakat, dapat menimbulkan bencana (malapetaka) bagi masyarakat yang ditinggalkan terutama keluarga sebab jenazah dapat marah dan dendam atas ketidak wajaran perlakuan atas dirinya sebelum dikebumikan. Yang terpenting sekali adalah penetapan dan pengukuhan penggantinya (raja) setelah meninggal karena dalam musyawarah ini ia (jenazah) akan mendengar dan mengetahui yang bakal menjadi penggantinya.
Demikianlah anggapan yang masih berlaku sebagai norma dan nilai kehidupan yang didukung masyarakat suku Dampelas, berlaku turun temurun, sehingga perlakuan bagi yang telah meninggal harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

Waktu Penyelenggaraan Upacara. Penyelenggaraan suatu upacara menurut adat istiadat suatu daerah pada umumnya ada perbedaan khusus maka demikian pula upacara kematian raja masyarakat suku Dampelas pada persiapan sebelum penguburan. Waktu penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan saat sesudah meninggal dunia maka selang beberapa seketika seluruh 4 (empat) sahabat (menteri) dalam pemerintahan bersama keluarga terus berkumpul untuk melaksanakan musyawarah tentang hal-hal yang telah dikemukakan di atas. Jadi tidak menunggu jam, siang atau malam setelah si sakit meninggal dunia maka yang utama dilakukan adalah musyawarah karena hal inilah yang menentukan segala-galanya.

Tempat Penyelenggaraan Upacara. Adapun tempat penyelenggaraan upacara tidi menunggu tempat yang baru dibuat atau kemana yang patut melaksanakan musyawarah tetapi tetap harus dilaksanakan di rumah dimana tempat jenazah menghembuskan napas terakhir. Walaupun diketahui banyak keluarga yang berdatangan ketika itu tetapi tidak mempengaruhi terhalang atau tertundanya musyawarah karena yang berikompoten dalam hal itu hanya penanggung jawab persiapan perlengkapan penguburan, 4 (empat) menteri dan keluarga.

Penyelenggara Teknis Upacara. Penyelenggara teknis upacara adalah hanya 4 (empat) sahabat (menteri) yang disebutkah diatas dalam mempersiapkan, merencanakan dan melaksanakan teknis upacara sesuai tata adat istiadat yang didukung oleh masyarakat suku Dampelas. 4 (empat) sahabat ini sangat mutlak kehadirannya sebab salah satu diantara mereka tidak hadir (berhalangan) maka musyawarah tidak dapat dilaksanakan karena mereka mengetahui benar hal-hal yang diperbuat menurut adat istiadat yang beriaku bagi orang-orang diupacarai.

Pihak-pihak yang terlibat dalam Upacara. Selain penyelenggara teknis upacara yang disebutkan diatas, juga pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini dan sangat diperlukan kehadirannya dengan tugas khusus, ialah: Penanggung jawab yang menggali kubur; Penanggung jawab yang membuat Donu (peti mati); penanggung jawab yang membuat Tatang kunong (usungan); penanggungjawab yang memandikan (topompadigu); penanggung jawab yang mengkafankan (hobungkus); orang tua-tua adat; sanak keluarga.

Persiapan dan Perlengkapan Upacara. Persiapan dan perlengkapan upacara yang harus disiapkan adalah ruangan tempat yang dialas dengan tikar karena pelaksanaan musyawarah dilakukan dalam keadaan mosalemad (duduk bersila). Sedangkan perlengkap upacara hanya beberapa seperangkat salapa (tempat sirih pinang) bersama isinya dan pempenyuong (tempat buang ludah).
Perangkat ini dipersiapkan karena orang tua-tua adat utamanya 4 (empat) sahabat (menteri) raja yang telah meninggal selalu mencicipi makan sirih pinang setiap musyawarah. Adapun pakaian yang dipergunakan dalam musyawarah ini, bebas adanya hanya saja penempatan 4 (empat) sahabat dalam ruangan harus bersama-sama karena mereka memimpin musyawarah. Setelah selesai persiapan dan perlengkapan yang telah disebutkan di atas dan orang-orang yang berkompoten telah datang karena sangat diharapkan kehadirannya maka musyawarah dapat dimulai.

Jalan Upacara. Pada masyarakat suku Dampelas pada upacara persiapan sebelum penguburan berlaku pula katagori-katagori pelaksanaannya yang dimufakati bersama yang merupakan adat istiadat turun temurun.
Bila raja sudah meninggal maka Jogugu telah mempersiapkan diri melakukan melakukan kewajibannya sesuai dengan ketentuan untuk mengundang semua orang-orang yang berkompoten dalam pelaksanaan penguburan dan penetapan pemutusan pengganti raja yang telah meninggal tersebut. Jogugu bersama Kapitalau (keamanan) beserta anak buahnya akan mempersiapkan segala sesuatu sehingga musyawarah dari sebelum, selama dan sesudah dapat berjalan dengan baik. Jika seluruh persiapan dan perlengkapan serta undangan sudah ada maka sangaji (ketua adat) memerintahkan pada Jogugu (juru bicara) mulai membuka acara sesuai maksud dan tujuan musyawarah sehubungan dengan kematian raja. Selesai membuka acara dengan dipimpin oleh Sangaji (ketua adat) meneruskan acara dalam menetapkan dan memutuskan yang bertalian dengan upacara penguburan. Keputusan tentang siapa saja yang terlibat, kapan dikuburkan, di mana dikuburkan, donu (peti jenazah) kayu apa yang dipakai, batuang-batuang (budak-budak yang dimerdekakan) dan lain-lain sehubungan dengan penguburan dalam penetapan ini mutlak adanya dan tidak dapat dibantah-bantah. Jika musyawarah dilaksanakan pada malam hari maka pada siang harinya seluruh petugas mulai melaksanakan tugasnya sampai selesai tetapi kebetulan musyawarah itu memang dilaksanakan pada siang hgri maka begitu acara selesai maka petugas langsung memulai pekerjaannya.
Penanggung jawab dan teman-temannya yang dipercayakan untuk menyelesaikan penggalian kubur mulai melakukan tugasnya yang sebelumnya telah mengambil ukuran panjang mayat (jenazah) yang diperkirakan tambah panjang donu. Panjang kuburan sepanjang donu (peti jenazah), lebarnya diperkiran 11/2 (satu setengah) meter dan dalamnya setinggi manusia berdiri ditambah tangan dijulurkan ke atas (kira-kira 2 meter). Penggalian kubur dilaksanakan secepatnya tanpa memberi tanda-tanda atau ukuran pada liang kubur sebagai pertanda seorang raja meninggal. Hanya saja bila kubur telah selesai maka dalam liang kubur diletakkan pada bagian kepala sebuah boncal (lampu kecil) yang terbuat dari tanah liat yang bersumbukan kapas dan berminyak minyak kelapa (dilampirkan) serta nanti akan dikeluarkan bila jenazah akan dikuburkan. Pada penggalian kubur ini dapat menggunakan sembarang alat, dibenarkan makan dan minum tetapi bukan minuman keras, berbicara yang sepantasnya tetapi bukan yang dilarang agama. Andaikata kubur telah selesai digali maka penanggung jawab dan orang-orang penggali kubur secara bergantian menjaga sampai jenazah tiba di pekuburan, bila ada keperluan di antara mereka setelah selesai melakukan tugasnya.
Penanggung jawab dan aparatnya yang bertugas membuat donu (peti jenazah) setelah mufakat pergi ke hutan untuk mencari kayu yang pantas dapat dijadikan peti jenazah. Donu (peti jenazah) dibuat dari kayu yang masih hidup, bagus dan baik menurut pandangan mata. Bila kayu telah ditemukan maka pertama sekali menebangnya adalah penanggung jawab baru diikuti yang lain sampai pohon tersebut tumbang. Bila telah tumbang sesuai dengan panjang jenazah maka dibuatlah donu (peti jenazah) seperti model perahu 2 (dua) buah yang sama persis bentuknya tanpa ada ukiran baik pada bagian dalam maupun luarnya. Pembuatannya harus serapi dan sebagus mungkin walaupun kayunya cukup keras dan peralatan yang dipergunakan sesederhana mungkin tetapi memerlukan kesabaran, hati-hati dan keterampilan yang cukup tinggi sehingga tepat pada waktu yang telah ditentukan harus selesai. Bila telah selesai lalu dipikul ke rumah keluarga yang berduka dan ditempatkan dalam rumah untuk diletakkan kain putih bagian dalam dan luarnya oleh orang-orang (keluarga) yang berduka sehingga nampaknya lebih rapi dan indah. Dengan selesainya perlakuan ini maka selesailah pekerjaan pembuatan donu (peti jenazah) pada orang-orang yang ditugaskan.
Penanggung jawab dan perangkatnya yang dipercayakan untuk membuat tatang kunong (usungan), mulai pula melaksanakan tugasnya setelah musyawarah selesai yaitu mencari bambu kuning dan rotan sebagai pengikat. Pembuatan usungan ini dilaksanakan di halaman rumah yang berduka dan bila peralatannya sudah cukup maka dimulailah pelaksanaannya dengan memotong-motong bambu dan meraut rotan untuk pengikatnya. Usungan diberi rangka dinding, rangka atap, lantai dari anyaman bambu yang diikat dan besarnya disesuaikan dengan keadaan yang dapat menampung donu (peti jenazah) serta 8 (delapan) orang keluarga yang berfungsi sebagai penjaga donu dalam usungan supaya jangan jatuh serta sebagai tukang kipas. Rangka dinding dan rangka atap, digantungkan di dinding dan diatapi dengan daun-daun kayu dari kayu pembuat donu (peti jenazah) waktu dahulu tetapi sekarang ditutup dengan kain putih tanpa simbol atau ukiran. Setiap sambungan usungan tidak dapat dipaku tetapi diikat dengan rotan dan dibuat sebaik dan serapi mungkin sehingga nampak sebagai rumah kecil yang indah bentuknya.
Topengkoyab (tukang kipas) yang mulai bertugas sesaat sesudah si sakit meninggal telah melaksanakan tugasnya yang dikoodinir oleh seorang di antara keluarga sebanyak 16 (enam belas) orang secara bergantian (4 orang sekali) kecuali bila jenazah dimandikan atau dibungkus maka tidak dikipas. Oleh karena itu keluarga yang mengkoordinir ini bertanggung.jawab atas segala pelaksanaan tugas tukang kipas baik masih di rumah maupun dalam usungan.
Perangkat yang memandikan dan mengkafankan sesuai dengan agama yang dianut oleh jenazah semasa hidupnya telah mempersiapkan diri bila saat yang dibutuhkan telah datang. Selesai pembagian tugas maka musyawarah tinggal melanjutkan acara khusus yang dihadiri oleh 4 (empat) sahabat, orang tua adat, orang tua-tua kampung dan keluarga si mayat untuk membicarakan siapa pengganti si mayat atau telah ada pesan si mayat tentang siapa penggantinya nanti bila ia telah meninggal.
Musyawarah ini tetap dipimpin oleh sangaji dan apabila telah ada pesan si mayat tentang penggantinya maka pada kesempatan itu akan dikukuhkan (dinobatkan) sebagai pengganti raja. Kalau pengganti itu masih muda atau, belum kawin maka pengganti itu dewasa dan sudah kawin, pemerintahan negeri dipegang (dijabat) oleh sangaji.
Pemerintahan negeri tidak boleh dijabat (diganti) oleh anaknya jika belum kawin, karena dianggap belum dewasa dan matang duduk sebagai pimpinan daerah. Oleh karena itu dicarikan secepatnya jodoh penggantinya baik sebagai anak mantu laki-laki atau pere,mpuan yang dianggap oleh 4 (empat) sahabat cocok untuk menemaninya dalam menjalankan pemerintahan.
Jabatan sementara ini disebut menyampatao bila anak yang dipercayakan untuk memegang kekuasaan belum dewasa. Tetapi bila belum ada/tidak ada pesan dari jenazah semasih hidupnya maka pada saat itulah dipilih calon pengganti pemegang kekuasaan, apakah itu adalah anaknya atau saudaranya yang dianggap cakap dalam memimpin negeri.
Mufakat dalam musyawarah setelah dipikirkan sebaik-baiknya maka segera diambil sebab kalau belum ada calon penggantinya maka jenazah belum/dapat dikebumikan. Lambat atau cepatnya keputusan diambil maka akan lambat atau cepat pula pelaksanaan penguburan jenazah. Karena itu maka kata sepakat secepatnya diambil.oleh anggota musyawarah setelah seorang raja meninggal dan setiap anggota musyawarah dapat mengemukakan pendapatnya tanpa tekanan dari siapa pun juga. Kalau kata mufakat telah didapatkan maka segera diputuskan secara aklamasi dengan kata “setuju” yang dipimpin oleh sangaji. Keputusan ini sudah merupakan keputusan bersama bahwa kalau sudah ada kata setuju berarti sahlah keputusan itu dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun juga. Walaupun demikian ia (pengganti) untuk semetara waktu masih perlu dibimbing oleh 4 (empat) sahabat atau kalau ia masih kanak-kanak juga harus dinobatkan walaupun untuk sementara waktu pemerintahan dipegang oleh sangaji sebagai salah seorang sahabat dalam pemerintahan. Pelimpahan tugas sementara karena yang dinobatkan belum memenuhi kriteria sebagai seorang pemerintah yang benar-benar dianggap sudah dewasa dan matang disebut menyampatao.
Kalau seluruh yang dibicarakan dalam musyawarah yang berhubungan dengan persiapan, perlengkapan dan pelaksanaan penguburan maka acara telah selesai pula dan para petugas mulai melaksanakan tugasnya sesuai hasil mufakat. Apabila segala perlengkapan, persiapan telah rampung termasuk keputusan calon pengganti maka setelah waktu yang ditentukan sudah tiba, akan dimulailah saat pemiandian jenazah. Pemandian jenazah dilakukan oleh perangkat yang sesuai dengan kepercayaan (agama) yang dianut oleh jenazah selama hidupnya. Karena umumnya masyarakat suku Dampelas beragama Islam maka perlakuan pemandian jenazah dilaksanakan secara agama Islam oleh pegawai syara mesjid setempat dengan tata urutan sebagai berikut:
Air bersih dipersiapkan secukupnya sebelum pemandian jenazah dalam suatu ruangan yang diberi tabir dan tenda dari kain putih supaya tidak nampak oleh hadirin kecuali pelaksana teknis dan pembantunya. Yang dimaksud pembantu ialah tomepalongan yaitu orang yang menjulurkan kaki sebagai alas dari jenazah dimandikan sebanyak 6 (enam) orang dari pihak keluarga. Bila keadaan ini sudah siap maka jenazah pun akan diangkat, dari pembaringan ke tempat pemandian dengan perlahan-lahan oleh sanak keluarga setelah mendengar komando dari pelaksana teknis yang memandikan.
Bersamaan dengan itu maka taragonggo (tong-tong) dati bambu itu mulai dibunyikan kembali sebagai pertanda bahwa jenazah mulai dimandikan dan budak-budak (batuang-batuang) pun mulai siap pula pada tempat curahan air mandi jenazah nanti dan pemukulan ini dilaksanakan hanya sebentar saja (kira-kira seperempat jam).
Setelah sampai di tempat pemandian lalu diletakkan di atas kaki yang telah dijulurkan oleh orang-orang sebagai pembantu pelaksana yang mamandikan tepat pada tulang kering. Sesudah itu maka mulai pula pelaksanaan pamandian dengan menutup kain putih pada bagian atas sepanjang tubuh jenazah yang telah dipersiapkan sebelumnya, sebagai pakaian mandi. Pelaksana teknis dan pembantunya melepaskan pakaian dan sarung jenazah tanpa memperlihatkan tubuh jenazah karena tetap ditutupi kain putih tadi.
Bila telah selesai maka diadakan penyiraman jenazah secukupnya oleh penyelenggara teknis, dan kemudian disabuni, digosok oleh pembantunya sampai benar-benar bersih, lalu disirami sehingga buih dan bau sabun yang digunakan hilang sama sekali. Andai kata menurut pelaksana teknis sudah bersih maka selesai pelaksanaan pemandian lalu ditutupi kembali dengan kain yang dipergunakan semula dari pembaringan serta membuka (mengeluarkan) pakaian mandinya dan dikembalikan lagi ke tempat semula di dalam rumah oleh orang-orang yang mengangkat semula.
Semua sisa-sisa air yang dipergunakan ditumpahkan oleh topompadigu (yang memandikan). Bersamaan dari penyiraman pertama sampai selesai waktu memandikan jenazah maka batuang-batuang (budak-budak) yang dimerdekakan berada diangkung batuang (kolong rumah) tempat tirisan air pemandian sesudah itu maka budak-budak tadi telah merdeka sebagai orang awam biasa dan tidak seorang pun dapat memperbudak mereka atau mereka melakukan sifat atau perlakuan sebagai budak.
Demikian pula halnya, bersaman dengan pemandian tadi maka perangkat teknis yang mengkafankan melakukan tugasnya yaitu mempersiapkan pakaian badu, naus, songkok (baju, sarung dan kopiah) dan pembau (pembungkus) jenazah dengan cara mentuis (mencabik-cabik) serta sebuah baulung (bantal kecil) untuk bantal jenazah dalam donu.
Kain pembungkus, baju, sarung dan topi diletakkan memang di atas pembaringan dan apabila jenazah diangkat dari pemandian lalu diletakkan di atasnya sehingga tidak merepotkan pelaksanaan pembungkusan. Setelah jenazah tiba di pembaringan sebelum dikafankan, kembali dioyabi (dikipias) oleh yang ditugaskan selama 1/4 (seperempat) jam atau secukupnya.
Kalau perlakuan (pengipasan) ini telah selesai maka dimulai pengkafanan dengan tata urutan yaitu pemasangan sarung, baju, kopiah dan tangan digongkolao (ditakbirkan). Bagian badan yang masih nampak kecuali bagian muka dibungkus lagi dengan kapas lalu diberi minyak wangi (sembarang) supaya mengharumkan jenazah. Sesudah itu mulai dibungkus serapi mungkin dengan 4 (empat) atau 5 (lima) ikatan (solao); yaitu ujung kepala, dada, panggul, lutut dan ujung kaki. Setelah selesai dikipaskan kembali selama seperempat jam atau secukupnya dan kemudian dimasukkan ke dalam donu dalam posisi Polege (tidur terlentang). Bila telah selesai maka saat untuk dibawa ke pekuburan akan dimulai maka atas perintah Jogugu (juru bicara) taragonggo (tong-tong) dibunyikan sebagai pertanda bahwa jenazah sudah akan dibawa ke kubur dan seluruh hadirin berdiri.
Bersamaan itu tatang kunong (usungan) mulai diangkat di muka tangga bersama tukang kipas di dalamnya dan 4 (empat) sahabat telah berdiri di muka usungan. Donu (peti jenazah) berisi jenazah mulai diangkat dari dalam rumah oleh pihak keluarga dan diusung ke luar sampai dimasukkan ke dalam usungan.
Perlakuan pada 4 (empat) sahabat sebagai tanda berdua cita yaitu mengikat kepala dengan kain putih dari sobekan sisa kain pembungkus tetapi kalau waktu dahulu dipergunakan daun dari donu (peti jenazah) yang dihuat sedemikian rupa sebagai songkok, tetapi pakaian biasa-biasa saja. Andaikata usungan dan isinya sudah siap (rampung) maka atas perintah Jogugu (juru bicara) kembali diangkat dan taragonggo (tong-tong) dibunyikan sebagai pertanda bahwa jenazah sudah dibawa ke kubur. Dengan berjalan mpoales (perlahan-lahan) yang didahului oleh para sahabat di muka usungan dan pemukul taragonggo dan di belakang usungan diikuti oleh keluarga, kaum kerabat dan anggota masyarakat.
Selama perjalanan dari rumah sampai ke kuburan taragonggo (tong-tong) terus dipukulkan, dan semua orang yang mengikuti dalam suasana diam dan hening bahkan kalau masih ada orang yang bertemu di jalan diharuskan berdiri di tempatnya dan hanya bunyi taragonggo yang kedengaran. Karena beratnya usungan ini maka secara bergantian orang memikulnya bahkan berampasan sehingga tidak terasa sudah sampai di kubur. Selama perjalanan ini pula maka pengkoyab (tukang kipas) di dalam usungan terus menerus niengipas donu tersebut dan akan berhenti bila telah sampai.
Kalau telah sampai di kubur maka selesailah upacara persiapan, perlengkapan dan pelaksanaan sebelum penguburan.

Pantangan-pantangan Yang Harus Dihindari. Sesuai dengan tujuan penyelenggaraan upacara persiapan dan perlengkapan saat sebelum penguburan utamanya dalam mufakat musyawarah tidak dapat dihadiri / didengarkan oleh yang tidak berkonipoten karena dapat menghasilkan suatu keputusan yang keliru atau tidak benar. Menghindari segala keributan atau pertengkaran yang dilakukan oleh seluruh keluarga khus.usnya dan anggota masyarakat pada umumnya selama upacara-upacara kematian itu, belum selesai. Dalam melaksanakan tugas membuat perlengkapan penguburan dilarang keras pula berbicara kotor yang dilarang oleh agama sebab hal ini semua dapat menimbulkan keributan, pertengkaran atau tertawa kuat-kuat. Keheningan dan kesungguhan bekerja para petugas persiapan penguburan sangat diharapkan sekali sebagai arti belasungkawa sedalam- dalamnya atas kepergian raja yang sangat dicintai untuk selama-lamanya.
Pantangan lain berupa makanan, pakaian, sikap, perbuatan dan peralatan lain yang dipakai atau dipasangkan di mana saja tidak ada selain yang disebutkan di atas. Karena yang terpenting sekali adalah musyawarah dalam pemilihan calon pengganti raja karena tidak dapat dikebumikan kalau belum ada bakal pengganti raja yang definitif.

Lambang-lambang atau Makna yang Terkandung dalam Unsur-unsur Upacara. Dalam upacara tradisional biasanya terdapat unsur-unsur yang bersifat magis sakral. Pemilihan unsur atau lambang ini didasarkan atas sifat, warna, nama atau keadaan benda itu. Dasar-dasar tersebut terdapat pula di daerah ini pada upacara tradisional apa pun juga termasuk persiapan sebelum penguburan seseorang apalagi kalau dia turunan seorang bangsawan.
Misal yang dipersiapkan dalam upabara ini adalah lampu kecil yang dipasang dalam kubur sebelum jenazah dikebumikan sebagai pertanda bahwa masih ada kehidupan di kemudian hari sesudah orang meninggal dunia. Jadi kubur sebagai rumah tempat tinggal jenazah harus diberi penerangan supaya jangan gelap yang dimulai dari pembuatan pertama kubur (rumah) itu sudah diberi lampu dan liang lahat sebagai saksi bahwa pihak keluarga tetap mencintai si mayat. Batang jarak sebagai batu nisan sementara sebagai lambang bahwa yan ditinggalkan tetap hidup dengan baik karena batang jarak itu di manapun ditanam ia akan tetap hidup.
Donu (peti jenazah) yang kuat sebagai lambang kekuatan bagi keluarga utamanya masyarakat dalam hidup rukun dan damai membina persatuan sebagaimana kayu yang dipergunakan. Usungan yang terbuat dari bambu kuning sebagai pertanda bahwa bambu kuning adalah sebagai rajanya dari segala bambu yang sangat indah bentuk dan warnanya, sedangkan daun kayu donu sebagai pertanda masih ada kekuatan hubungan antara yang ditinggalkan dan si jenazah.
Kain putih sebagai pengganti daun donu yang berarti kesucian hati bagi yang ditinggalkan untuk melepaskan jenazah ke tempat tinggalnya yang baru yaitu alam baka. Dikipaskan berarti tanda kesayangan yang diberikan bagi jenazah walaupun tanpa nyawa jenazah masih merasakan kepanasan sebagaimana yang dia rasakan semasa hidupnya. Kipas dibuat dari kain putih sebagai kipas biasa, tetapi sekarang boleh dipergunakan kipas biasa tetapi harus dilapisi dengan kain putih sebagai tanda ketulusan hati keluarga melaksanakan dan melepaskan kepertigan jenazah.
Pemutusan siapa pengganti jenazah setelah kepergiannya oleh musyawarah para sahabat dan keluarga supaya jenazah masih dapat pula mendengarkannya sehingga jenazah dapat tenteram di tempat peristirahatannya terakhir.

Sumber: Perpustakaan Daerah Propinsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar