Senin, 20 Agustus 2012

Kerajaan Banggai


Kerajaan Banggai adalah kerajaan lokal yang pernah berkembang di Sulawesi Tengah. Kerajaan yang merupakan gabungan dari sejumlah pemerintahan adat di Banggai Daratan dan Banggai Kepulauan ini pernah menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Singasari, Majapahit, Kesultanan Ternate, hingga Gowa. Pada masa sekarang, tempat-tempat yang dulu termasuk dalam wilayah Kerajaan Banggai telah menjadi daerah administratif Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah.
1. Sejarah

Di kawasan besar yang kemudian disatukan menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah pada awalnya terdiri dari sejumlah kerajaan lokal yang berdiri sendiri-sendiri. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut dapat dikategorikan sebagai pemerintahan purba karena sudah menjalani peradabannya sejak tahun 800 Masehi. Di antara sekian banyak kerajaan yang berkehidupan di wilayah Banggai, terdapat empat kerajaan yang paling kesohor pada kala itu. Empat kerajaan tua yang dikenal dengan julukan Tano Bolukan tersebut adalah Kerajaan Babolau, Singgolok, Katapean, dan Kokini (Ismed Syamsuddin, dalam http://et-ee.facebook.com).

Selain itu, masih ada sejumlah kerajaan lainnya yang juga melakoni kehidupan di bumi Banggai. Di Pulau Peling bagian barat, terdapat dua kerajaan bersaudara: Kerajaan Buko dan Bulagi. Di Pulau Peling belahan tengah (kini menjadi Kecamatan Liang) diduduki oleh tiga kerajaan: Kerajaan Sisipan, Lipotomundo, dan Kadupadang. Kerajaan Bongganan menempati lokasi di Pulau Peling bagian timur (sekarang Kecamatan Totikum dan Tinangkung). Sementara itu, di Banggai Darat bagian utara berdiri Kerajaan Tompotika yang berpusat di Bualemo. Sedangkan di Banggai Darat bagian selatan berjajar tiga pemerintahan lokal yang masih terhitung satu kerabat, yakni Kerajaan Motiandok, Balaloa, dan Gori-Gori (www.pa-luwuk.net).
a. Berdirinya Kerajaan Banggai

Keseluruhan dari wilayah kerajaan-kerajaan kecil yang hidup di tanah Banggai, baik daratan maupun kepulauan, pernah menjadi rangkaian dari proyek raksasa yang digencarkan oleh dua kerajaan besar dari Jawa, yakni Kerajaan Singasari dan Majapahit. Pada abad ke-13, ketika dipimpin oleh Raja Kertanegara (1268-1292 M), nama Banggai termasuk dalam bagian dari Ekspedisi Pamalayu oleh Kerajaan Singasari (http://id.wikipedia.org).

Seabad berselang, setelah Singasari runtuh, estafet Ekspedisi Pamalayu diteruskan oleh Kerajaan Majapahit. Duet dua tokoh utama Majapahit, Raja Hayam Wuruk (1351-1389 M) dan Mahapatih Gadjah Mada, berhasil menggaet kerajaan-kerajaan lokal di Banggai, yang pada saat itu masih bernama Benggawi, untuk bersatu di bawah naungan imperium Kerajaan Majapahit (http://id.wikipedia.org).

Bukti bahwa Benggawi (Banggai) pernah bergabung dengan Kerajaan Majapahit setidaknya seperti yang tertulis dalam Negarakrtagama, kitab dengan tarikh tahun Saka 1287 atau 1365 M. Dalam karya gubahan Mpu Prapanca ini, tepatnya pada syair nomor 14 bait ke-5, tergurat rangkaian kata beraksara Pallawa di mana dicantumkan nama Benggawi sebagai salah satu wilayah yang berhasil disatukan oleh Majapahit. Nukilan naskah kuno yang ditulis dalam bahasa Sanskerta itu berbunyi sebagai berikut:

Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun, Benggawi, Kunir, Galiayo, Murang Ling, Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah, Tikang, I Wandleha, Athawa, Maloko, Wiwawun ri Serani Timur Mukadi Ningagaku Nusantara (www.pa-luwuk.net).

Beberapa ratus tahun lamanya, teritorial Benggawi yang dihuni oleh sejumlah kerajaan itu menjalani kehidupan di bawah koordinasi Majapahit. Kerajaan Ternate yang berpusat di Maluku Utara ditunjuk sebagai wakil Majapahit untuk mengelola negeri-negeri kecil yang ada di Benggawi tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila corak dan bentuk bangunan istana Kerajaan Banggai menyerupai keraton-keraton yang terdapat di Ternate dan Tidore dikarenakan adanya hubungan historis (http://riaulingga.blogspot.com).

Keruntuhan Majapahit pada sekitar tahun 1500 M tidak membuat Benggawi merasakan udara kebebasan. Justru yang terjadi adalah pertikaian antara kerajaan-kerajaan lokal, terutama melibatkan empat kerajaan terbesar di kawasan itu, yakni Kerajaan Babolau, Singgolok, Katapean, dan Kokini. Masing-masing keempat kerajaan ini saling adu kuasa sehingga kerap bersitegang. Perselisihan ini justru membuat mereka semakin lemah hingga akhirnya Benggawi kembali jatuh ke dalam kekuasaan Temate yang pada waktu itu telah berubah statusnya menjadi kesultanan yang bercorak Islam (http://www.wacananusantara.org).

Menapak abad ke-16, kerajaan-kerajaan lokal di Benggawi berhasil dipersatukan. Aktor utama dalam penyatuan ini adalah Panglima Perang Kesultanan Ternate bernama Adi Cokro. Setelah memeluk Islam, Adi Cokro dikenal dengan nama Raja Saka Muhammad Cakra (www.skripsi-tesis.com). Tokoh ini adalah seorang bangsawan asal Jawa Timur (Kediri) yang mengabdikan diri kepada Kesultanan Ternate di bawah pimpinan Sultan Baab-Ullah (1570-1583 M). Asal-usul darah Jawa ini membuat Adi Cokro diberi gelar Mumbu Doi Jawa. Pelafalan Adi Cokro dalam dialek Banggai diucapkan dengan bunyi Adi Soko (http://id.wikipedia.org).

Adi Cokro tercatat sebagai sosok yang mempelopori masuknya agama Islam ke Banggai. Berkat peran sentralnya, Kerajaan Banggai yang semula adalah wilayah gabungan dari kerajaan-kerajaan lokal dinyatakan resmi berdiri. Oleh Adi Cokro, masing-masing penguasa lokal yang semula memimpin empat kerajaan terbesar di Banggai diakomodir dan ditempatkan secara terhormat ke dalam lembaga tinggi pemerintahan yang disebut Ba Salo Sangkap (serupa Majelis Permusyawaratan Rakyat). Keempat raja itu masing-masing adalah Ba Salo Dodung dari Kerajaan Babolau, Ba Salo Gong-gong dari Kerajaan Singgolok, Ba Salo Mon Songan dari Kerajaan Katapean, dan Ba Salo Bonunungan yang tidak lain adalah pemimpin Kerajaan Kokini (http://www.wacananusantara.org).

Sewaktu mengabdi di Kesultanan Ternate, Adi Cokro menikah dengan Kastellia, seorang putri bangsawan Ternate berdarah Portugis, dan dianugerahi putra bernama Maulana Prins Mandapar (www.ptbss.com). Ternate memang sempat berjabat erat dengan Portugis. P.A. Tiele dalam bukunya yang berjudul Europeers in Den Maleischen Archipel, menyebutkan bahwa pada tahun 1596 M, armada bangsa Portugis yang dipimpin oleh Hernando Biautemente datang dan sempat menetap di wilayah Benggawi (www.pa-luwuk.net). Bahkan, penguasa Ternate pernah mengangkat pelaut Portugis bernama Fransisco Serrao sebagai penasehat pribadinya dan menjadi figur terpandang (http://ternate.popsick.com). Oleh karena hubungan itu, sisa-sisa peninggalan Portugis, seperti puing-puing benteng dan meriam kuno, dapat ditemukan pula di bekas istana Kerajaan Banggai.

Semasa bertugas di Benggawi sebagai utusan dari Kesultanan Ternate, Adi Cokro mengawini Putri Nurussapa, anak gadis Raja Singgolok (salah satu kerajaan lokal di Banggai). Pernikahan ini dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Abu Kasim. Semula, Abu Kasim inilah yang digadang-gadang menduduki tampuk kepemimpinan sebagai raja perdana Kerajaan Banggai. Namun, sebelum sempat dinobatkan, calon raja muda ini tewas dalam suatu tragedi melawan gerombolan bajak laut ketika sedang menempuh pelayaran (http://www.wacananusantara.org).

Gugurnya Abu Kasim membuat Ba Salo Sangkap, dengan persetujuan Kesultanan Ternate, menjatuhkan keputusan bahwa yang ditahbiskan sebagai raja pertama Banggai adalah Maulana Prins Mandapar, putra Adi Cokro dari hasil pernikahan dengan Kastellia. Maulana Prins Mandapar ditabalkan sebagai Raja Banggai dan dilantik oleh Sultan Said Berkad Syam, putra sekaligus penerus Sultan Baab-Ullah dari Kesultanan Ternate yang selama ini menaungi Kerajaan Banggai (http://www.radarsulteng.com). Setelah Maulana Prins Mandapar dinobatkan menjadi raja, tata cara pemerintahan Kerajaan Banggai mulai diatur dengan mengacu pada sistem pemerintahan yang diberlakukan di Kesultanan Ternate (Reinhard Nainggolan, dalam http://www.kompas.com).
b. Eksistensi Kerajaan Banggai

Menurut Machmud HK yang pernah meneliti tentang sejarah Banggai, Maulana Prins Mandapar berkuasa di Kerajaan Banggai terhitung sejak tahun 1571 sampai dengan 1601 M (http://bangkep.kabarku.com). Ritual pelantikan Raja Banggai dilakukan di atas sebuah batu yang dipahat menyerupai singgasana. Batu yang dianggap keramat oleh warga setempat ini berada di suatu tempat bersejarah bernama Lalongo yang terletak kira-kira 5 kilometer dari pusat Kota Banggai. Di Lalongo, masih terdapat situs sejarah berupa sumur tua yang menjadi sumber mata air penduduk Kerajaan Banggai kala itu (http://bangkep.kabarku.com)

Raja-raja yang memimpin Kerajaan Banggai tidak diberi predikat sebagai Sultan, melainkan Mumbui Doi atau Tomundo karena yang berhak menyandang gelar Sultan hanyalah penguasa Kesultanan Ternate sebagai kerajaan induk. Oleh karena itu, setelah resmi bertahta sebagai pemimpin Kerajaan Ternate, Maulana Prins Mandapar mendapat gelar kehormatan sebagai Mumbu Doi Godong dan menempatkan pusat pemerintahannya di Banggai Kepulauan (www.ptbss.com).

Di bawah pimpinan Maulana Prins Mandapar, Banggai segera menjadi kerajaan baru yang mencuri perhatian. Kerajaan ini mengandalkan sektor maritim untuk menopang kehidupan ekonominya sehingga perdagangannya pun semakin maju. Apalagi wilayah Banggai dikenal sebagai daerah strategis dalam peta ekonomi dunia. Banggai terletak di barat Kepulauan Maluku dan di selatan Philipina yang notabene merupakan jalur utama perdagangan Eropa. Kapal-kapal pedagang Eropa, termasuk Spanyol dan terutama Portugis, sering singgah dan membangun dermaga di wilayah pesisir Banggai (http://www.radarsulteng.com).

Orang asing pertama yang menginjakkan kaki di Banggai bernama Andres de Urdanette pada tahun 1532 M. Urdanette adalah laksamana armada Spanyol. Sebelum ke Banggai, ia telah singgah dan menjalin relasi dengan Kerajaan Jailolo (http://id.wikipedia.org). Dari situlah Urdanette mendapat informasi tentang keberadaan bandar perniagaan yang cukup besar di Banggai. Setelah Spanyol, giliran orang Portugis yang menyambangi Banggai pada tahun 1596 M, dipimpin oleh Hernando Biautemente. Di warsa yang sama, armada dagang Belanda di bawah komando Cornelis de Houtman, untuk pertama kalinya tiba di Nusantara. Menariknya, pada tahun 1594 M atau dua tahun sebelum datang ke Indonesia, Cornelis de Houtman sudah menulis cerita tentang Banggai (www.pa-luwuk.net).

Rezim Maulana Prins Mandapar berakhir pada tahun 1601 M (www.ptbss.com). Setahun kemudian, para pedagang Belanda mendirikan Vereeniging Oost-indische Compagnie (VOC) atau yang oleh kalangan pribumi lazim dikenal dengan sebutan Kompeni. Mulanya, VOC dibentuk sebagai kongsi dagang untuk mengurusi jalannya perniagaan Belanda di Hindia Timur (Nusantara). Lambat-laun, peran VOC kian meluas dengan menjalankan prinsip imperialis mereka yang terpatri dalam 3G: Gold (emas, kekayaan), Glory (kejayaan, wilayah, kekuasaan), dan Gospel (agama).

Berdirinya VOC membuat Belanda semakin berani mencoba ikut campur dalam urusan internal Kerajaan Banggai. Hal ini membuat para petinggi kerajaan gerah dan berusaha ingin melepaskan diri dari tekanan VOC. Nuansa Portugis yang ditularkan oleh Kesultanan Ternate dan selama ini cukup kental di Kerajaan Banggai pun mulai melemah seiring aroma Belanda yang kian kuat. Menurut kesaksian seorang pelaut berkebangsaan Inggris bernama David Niddeleton yang pernah dua kali datang ke Banggai, pengaruh VOC di Banggai sudah ada sejak masa pemerintahan Maulana Prins Mandapar (http://id.wikipedia.org).

Selain ingin lepas dari pengaruh VOC, Kerajaan Banggai rupanya juga berniat terbebas dari pendudukan Kesultanan Ternate (http://www.wacananusantara.org). Gerakan-gerakan pembebasan ini tak pelak membuat kondisi stabilitas politik Kesultanan Ternate kian melemah. Bentrokan pun semakin sering terjadi antara Kesultanan Ternate melawan kerajaan-kerajaan lokal yang hendak melepaskan diri, termasuk Kerajaan Banggai.

Semakin rapuhnya ketahanan dan keamanan Kesultanan Ternate ini dimanfaatkan dengan jeli oleh Kerajaan Gowa. Di bawah arahan Sultan Alaudin, Kerajaan Gowa lantas menyerbu Kesultanan Ternate yang tengah limbung. Gowa memang sempat mempunyai pengaruh yang sangat besar di kawasan Indonesia Timur. Takluknya Kesultanan Ternate kepada Kerajaan Gowa secara otomatis membuat wilayah Kerajaan Banggai pun berada di bawah wewenang kerajaan besar dari Sulawesi Selatan itu sejak tahun 1625 M (www.pa-luwuk.net).

Sepanjang abad ke-17 M, tekanan Belanda terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara semakin kuat, termasuk dengan Kerajaan Gowa. Hingga akhirnya, pada tanggal 18 November 1667, terjadi peristiwa monumental: Perjanjian Bongaya. Perundingan ini melibatkan Sultan Hasanuddin selaku wakil dari Kerajaan Gowa dan Laksamana Cornelis Speelman dari kubu Belanda. Salah satu poin penting dalam Perjanjian Bongaya adalah bahwa Kerajaan Gowa harus mengembalikan semua daerah taklukan yang dulu kepunyaan Kesultanan Ternate, termasuk Banggai (Leonard Y. Andaya, 2004). Selanjutnya, Ternate dengan disokong oleh Belanda, akan mengelola daerah-daerah taklukan yang dikembalikan tersebut.

Setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani, Kerajaan Banggai kembali menjadi daerah taklukan Kesultanan Ternate. Kondisi ini membuat para pejabat Kerajaan Banggai naik pitam dan bertekad untuk melepaskan diri dari kekuasaan Ternate. Karakter heroik Sultan Hasanuddin yang berani melawan penindasan penjajah ternyata menjadi insipirasi bagi para petinggi Kerajaan Banggai. Perlawanan-perlawanan yang digerakkan oleh tokoh-tokoh Banggai pun mulai bermunculan.

Perlawanan yang dilakukan Kerajaan Banggai terhadap Kesultanan Ternate dan Belanda berlangsung cukup lama. Sekurun 1681-1689 M, misalnya, Raja Banggai saat itu yaitu Raja Mbulang (Mumbu Doi Balantak), menggerakkan perlawanan rakyat Banggai lantaran menolak monopoli perdagangan Belanda. Namun, pada akhirnya Mumbu Doi Balantak tidak mampu berbuat apa-apa karena ditekan oleh Ternate yang memang sudah menjadi sekutu Belanda (http://id.wikipedia.org).

Tanggal 9 November 1741, saat Kerajaan Banggai dipimpin oleh Abu Kasim (bukan orang yang sama dengan Abu Kasim putra Adi Cokro), terpaksa menyepakati perjanjian dengan Belanda. Namun, secara diam-diam Abu Kasim juga menjalin relasi dengan Kerajaan Bungku. Kedua kerajaan ini bekerja sama dengan harapan lepas dari pendudukan Kesultanan Ternate. Persekutuan rahasia ini akhirnya terbongkar dan membuat Belanda marah. Akibatnya, Abu Kasim diasingkan ke Pulau Bacan (Maluku Utara) hingga akhir hayatnya (www.pa-luwuk.net). Oleh karena itu, Abu Kasim juga dikenal dengan nama Mumbu Doi Bacan.

Gerakan perlawanan Kerajaan Banggai terhadap Kesultanan Ternate dan Belanda tidak berhenti sampai di sini. Raja Antondeng dengan gelar Mumbu Doi Galela (1808-1829) juga melancarkan gebrakan. Raja Antondeng menganggap perjanjian dagang yang ditawarkan dan dirumuskan Belanda sangat merugikan rakyat Banggai. Kali ini Kerajaan Banggai kali ini juga tidak berkutik hingga akhirnya Raja Antondeng dibuang ke Pulau Galela atau Halmahera (www.pa-luwuk.net).

Penerus Raja Antondeng, yakni Raja Agama yang bertahta pada periode 1829-1847, melanjutkan perjuangan ayahandanya. Babak perlawanan Raja Agama menjadi salah satu episode paling heroik yang kemudian terkenal sebagai Perang Tobelo. Bukti berlangsungnya Perang Tobelo adalah ditemukannya sisa-sisa tengkorak dan tulang-belulang manusia di Lalongo, medan pertempuran antara angkatan perang Kerajaan Banggai melawan pasukan Kesultanan Ternate yang didukung oleh Belanda (http://www.wacananusantara.org).

Dalam Perang Tobelo, Raja Agama sempat dikepung rapat oleh musuh. Berkat bantuan rakyat Banggai, sang raja dapat lolos dan mencari suaka ke Bone (Sulawesi Selatan) hingga akhirnya wafat di sana pada 1874. Karena mangkat di tanah Bugis, Raja Agama memperoleh gelar kehormatan sebagai Mumbu Doi Bugis. Masyarakat Banggai generasi sekarang masih ingat betul kisah-kisah tentang Perang Tobelo karena perang ini merupakan simbol kebanggaan rakyat Banggai melawan penjajahan (http://bangkep.kabarku.com).

Sepeninggal Raja Agama, perjuangan Kerajaan Banggai untuk merdeka masih terus berlangsung. Motor pergerakan kali ini diemban oleh dua bersaudara, yakni Raja Lauta dan Raja Taja, yang bersama-sama memimpin Kerajaan Banggai. Akan tetapi, perlawanan yang digalang oleh kedua raja ini tidak bertahan lama. Akibat kalah persenjataan dan jumlah personil, Banggai kembali tersungkur. Oleh Belanda, Raja Lauta dibuang ke Pulau Galela, sedangkan Raja Taja diasingkan ke Pulau Bacan (http://id.wikipedia.org).
c. Banggai di Era Kolonial dan Kemerdekaan

Memasuki abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengikat hampir seluruh kerajaan lokal yang ada di Sulawesi Tengah, termasuk Kerajaan Banggai, dengan kontrak politik. Segala macam bentuk akte itu tentu saja menguntungkan Belanda. Bagi kerajaan yang membangkang, Belanda menumpasnya dengan kekerasan senjata (http://www.sejarahbangsaindonesia.co.cc). Selain itu, Belanda juga menerapkan politik pecah-belah dengan membagi-bagi wilayah yang dimiliki oleh sejumlah kerajaan. Kerajaan Banggai pun tidak luput dari politik rumusan Belanda itu, wilayahnya dipisahkan menjadi dua, yakni Banggai Daratan dan Banggai Lautan atau Banggai Kepulauan (http://infokom-sulteng.go.id).

Tahun 1905, Belanda membagi Sulawesi menjadi dua provinsi yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Gubemur dan residen secara organisatoris berada langsung di bawah Gubernur Jenderal yang berkedudukan di Batavia. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi dalam beberapa afdeeling yang dikepalai oleh asisten residen berkebangsaan Belanda. Selanjutnya, masing-masing afdeeling masih dibagi pula dalam beberapa onderafdeeling yang dipimpin oleh seorang controleur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai termasuk ke dalam area Onderafdeeling Banggai. Di bawah pemerintahan onderafdeeling inilah diterapkan pemerintahan distrik dan landschap (kerajaan) yang dikepalai oleh kepala distrik atau oleh raja yang diakui oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda (http://infokom-sulteng.go.id).

Dengan demikian, Kerajaan Banggai sepenuhnya berada di bawah cengkeraman penjajah. Segala bentuk aktivitas politik kerajaan diawasi oleh Belanda, termasuk dalam penobatan dan penurunan raja. Beberapa nama raja yang tercatat pernah memimpin Kerajaan Banggai pada periode pemerintah kolonial Hindia Belanda ini antara lain Raja Nurdin, Raja Abdul Azis, Raja Abdul Rahman, dan Raja Haji Awaludin. Belanda mengontrol pemerintahan internal Kerajaan Banggai hingga kedatangan Jepang pada tahun 1942 (http://infokom-sulteng.go.id).

Sesaat sebelum Jepang tiba di Banggai, gerakan perlawanan terhadap Belanda yang dikobarkan rakyat berada pada titik didih. Tanggal 12 Februari 1942, kaum pejuang Banggai berhasil menyekap aparat pemerintah kolonial Hindia Belanda dan mengibarkan bendera Merah Putih di Luwuk (kelak menjadi ibukota Kerajaan Banggai). Belanda semakin terpuruk ketika pada 15 Mei 1942 Jepang mendarat di Luwuk. Awalnya, kedatangan balatentara “saudara tua” itu disambut dengan baik, apalagi sebelumnya Jepang telah menyiarkan propaganda yang menarik hati rakyat. Namun, kehadiran pendudukan Jepang malah semakin membuat rakyat Banggai menderita (http://infokom-sulteng.go.id)

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak lantas menciptakan kondisi yang ideal bagi rakyat Banggai. Belanda yang kembali datang dengan membonceng Sekutu, membikin ulah dan mendeklarasikan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tanggal 24 Desember 1946. Dalam naskah pembentukan NIT, Bab III Pasal 14 Ayat 1 Sub 5e, disebutkan: ”Daerah Sulawesi Tengah terdiri dari resort afdeeling Poso dan Donggala yang meliputi kerajaan-kerajaan termasuk Tojo, Poso, Lore, Una-Una, Bungku, Mori, Banggai, Banawa, Tawaeli, Palu, Sigi, Dolo, Kulawi, Parigi, Moutong, dan Toli-Toli”. Kondisi ini berlangsung hingga pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949 (Stevent Febriandy, http://www.batukar.info).

Tokoh pamungkas yang bertindak selaku Raja Banggai dalam status sebagai kerajaan adalah Haji Syukuran Aminuddin Amir yang bertahta hingga tahun 1957. Pada era kepemimpinan Raja Banggai yang terakhir ini, kedudukan ibukota kerajaan dipindahkan dari Banggai Kepulauan ke Banggai Daratan atau tepatnya di Luwuk. Tahun 1959, wilayah Kerajaan Banggai resmi menjadi Daerah Swantara atau setingkat dengan kabupaten (http://www.wacananusantara.org).

Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964, Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah terbentuk di mana Kabupaten Banggai termasuk di dalamnya. PascaReformasi, Kabupaten Banggai dimekarkan dengan penambahan satu kabupaten baru, yakni Kabupaten Banggai Kepulauan, pada tahun 1999 (http://infokom-sulteng.go.id).
2. Silsilah

Urutan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Banggai agak sukar ditentukan kepastiannya. Machmud HK menyatakan, fakta-fakta obyektif untuk penulisan riwayat Kerajaan Banggai sulit didapat karena minimnya catatan tertulis. Sumber yang digunakan sebagai referensi selama ini hanya cerita dari mulut ke mulut atau balelee, yakni kisah/kesaksian yang disampaikan dengan nyanyian oleh seseorang yang dianggap kemasukan roh halus (http://hmbk-makassar.com).

Selain itu, upaya penelisikan raja-raja Banggai juga terkendala mekanisme pemilihan raja Banggai itu sendiri. Penetapan Raja Banggai bukan berdasarkan garis keturunan, namun dipilih dari orang kalangan bangsawan atau bahkan rakyat biasa yang dianggap mampu (http://pilabeanku.wordpress.com). Melekatnya unsur heterogenitas tersebut membuat data tentang urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Banggai pun menjadi tercerai-berai. Kendati demikian, masih dapat ditemukan sejumlah nama yang pernah bertahta di Kerajaan Banggai, antara lain sebagai berikut:
Raja Maulana Prins Mandapar atau Mumbu Doi Godong (1571-1601 M).
Mumbu Doi Kintom.
Raja Mbulang atau Mumbu Doi Balantak (1681-1689 M).
Mumbu Doi Benteng.
Mumbu Doi Mendono.
Raja Abu Kasim atau Mumbu Doi Bacan (1741 M).
Mumbu Doi Pedongko.
Raja Manduis.
Raja Antondeng atau Mumbu Doi Galela (1808-1829).
Raja Agama atau Mumbu Doi Bugis (1829-1847).
Raja Blauta.
Raja Taja.
Raja Tatu Tanga.
Raja Saok.
Raja Nurdin.
Raja Abdul Azis.
Raja Abdul Rahman.
Haji Awaludin.
Haji Syukuran Aminuddin Amir (hingga tahun 1957).

(www.pa-luwuk.net; http://id.wikipedia.org).
3. Sistem Pemerintahan

Sejak awal berdiri, Kerajaan Banggai sudah menganut prinsip demokrasi dalam tata negaranya, terutama dalam mekanisme pemilihan dan pemberhentian raja. Penetapan Raja Banggai tidak mengenal putra mahkota atau ahli waris. Dengan kata lain, pemilihan raja bukan didasarkan dari satu garis keturunan: siapapun bisa menjadi raja jika dianggap mampu untuk memimpin. Apabila dinilai tidak becus dalam memimpin, seorang raja dapat diberhentikan sesuai dengan konstitusi yang telah dirumuskan sebelumnya (http://telukpalu.com).

Institusi agung yang berhak memilih, melantik, dan memberhentikan kedudukan raja adalah sebuah lembaga legislatif bernama Basalo Sangkap. Pembentukan Basalo Sangkap sudah dilakukan sejak diresmikannya Banggai sebagai kesatuan kerajaan oleh Adi Cokro. Anggota Basalo Sangkap adalah 4 pemimpin kerajaan tertua yang pernah berkuasa di Banggai, yakni Kerajaan Babolau, Singgolok, Katapean, dan Kokini (Nainggolan, dalam http://www.kompas.com). Jika empat raja tersebut meninggal dunia, posisi mereka bisa digantikan oleh keturunannya atau setidak-tidaknya oleh orang yang masih memiliki hubungan keluarga (http://www.wacananusantara.org).

Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Kerajaan Banggai meskipun setiap kebijakannya diawasi oleh Basalo Sangkap. Demi kelancaran roda pemerintahan, raja dibantu oleh Dewan Menteri atau Komisi Empat. Susunan kabinet dalam Komisi Empat terdiri dari Mayor Ngopa (Raja Muda), Kapitan Laut (Kepala Angkatan Perang), Jogugu (Menteri Dalam Negeri), dan Hukum Tua (Mahkamah Agung). Masing-masing dari elemen Komisi Empat itu memiliki sejumlah staf atau pembantu yang dipilih dan diangkat langsung oleh raja dengan persetujuan dari Basalo Sangkap (http://www.wacananusantara.org).

Selain itu, Raja Banggai juga mengangkat staf pribadi yang bertugas mengurusi bidang politik dan pemerintahan serta rumah tangga istana. Penyelenggaraan pemerintahan di luar pusat kerajaan pun sudah diatur dengan seksama. Untuk mengelola wilayah Banggai Lautan, ditempatkan pejabat yang disebut Bun Kaken. Sedangkan pejabat daerah yang bertindak sebagai pengatur kawasan Banggai Daratan disebut Ken Kariken (http://infokom-sulteng.go.id).

Bendera kebesaran Kerajaan Banggai terdiri dari dwiwarna, yakni merah dan putih, yang bersusun 13 (http://riaulingga.blogspot.com). Para penggiat Lembaga Adat Masyarakat Banggai meyakini bahwa bendera Kerajaan Banggai itu menjadi salah satu inspirasi tercetusnya warna bendera kebangsaan Republik Indonesia, Sang Saka Merah Putih. Hingga saat ini, bendera pusaka Kerajaan Banggai masih tersimpan aman di Kamali Boneaka, yakni rumah suci yang dikeramatkan oleh warga Banggai (http://www.langitperempuan.com).
4. Wilayah Kekuasaan

Daerah-daerah yang dikuasai Kerajaan Banggai adalah seluruh tempat yang semula dimiliki oleh kerajaan-kerajaan lokal yang ada di Benggawi. Pada masa sekarang, daerah yang dahulu termasuk dalam area kekuasaan Kerajaan Banggai menjadi wilayah administratif Kabupaten Banggai yang beribukota di Luwuk dan Kabupaten Banggai Kepulauan yang menempatkan sentra pemerintahannya di Salakan. Beberapa tempat yang pernah disebut termasuk dalam kekuasaan Kerajaan Banggai antara lain: Lalongo, Batui, Pagimana, Liang, Totikum, Tinangkung Bualemo, Teluk Tomini, Pulau Peling, Pulau Banggai, Pulau Bangkurung, Pulau Salue Besar, Pulau Labobo, serta sebanyak 337 pulau kecil dan daerah-daerah lainnya (http://id.wikipedia.org; http://et-ee.facebook.com).

1 komentar:

  1. asalamualaikum. terima kasih anda telah mengangkat sejarah banggai. tetapi sebagai masukan : tabea raja abu qasim sudah dilantik raja. atau dinobatkan raja banggai coba di teliti kembali agar sejarah banggai tidak salah di publikasikan . kemudian masuknya islam di banggai bukan dibawah oleh tabea adji soko. coba anda telusuru manuskrip yang ada di lolantang dan mendono. silsilah raja- raja banggai tlng di perbaiki kembali.

    BalasHapus