Rabu, 22 Agustus 2012

Ekspedisi To Wana


Liputan6.com, Morowali: Satu lagi masyarakat Indonesia yang hidup dalam kawasan hutan alam tropis, yaitu etnik To Wana atau orang rimba. Etnik To Wana tinggal dan hidup tersebar di dalam kawasan hutan cagar alam Morowali, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Tak diketahui secara persis bagaimana etnik To Wana ini berada dalam hutan. Yang pasti, pada 2001 seorang arkeolog Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Iwan Sumantri pernah melakukan ekspedisi singkat ke pedalaman cagar alam Morowali untuk meriset kehidupan Suku Wana.


Berdasarkan catatan eksepedisi terdahulu, Iwan membuat kesimpulan Suku Wana adalah kelompok masyarakat perburu-peramu. Artinya, mereka hidup di tengah rimba Morowali sebagai komunitas adat yang� menafkahi kebutuhan hidupnya dari berburu dan mengolah binatang liar. Karena itu, Suku Wana memiliki berbagai perlengkapan dan teknik berburu yang khas. Suku Wana juga terkenal sebagai masyarakat adat yang sering berpindah-pindah tempat atau nomaden. Tak heran, mereka tak memiliki rumah permanen di suatu tempat dan dihuni hingga puluhan tahun.

Suku Wana juga diketahui memiliki kepercayaan khalaik. Mereka percaya adanya Sang Maha Pencipta yang disebut Pue. Pue mengutus Poloisong dan menurunkannya di lahan Tundungtana di daerah Uewaju serta berkembang menjadi Suku Wana. Kepercayaan khalaik juga mengenal kehidupan abadi setelah fase kematian yang disebut Saruga. Bentuk kedekatan warga Suku Wana dengan Sang Maha Pencipta bisa dibuktikan melalui upacara Momago. Sang dukun yang disebut Walia akan memohon kepada Tuhan untuk diberikan kekuatan menyembuhkan seseorang dengan cara menari di antara warga lainnya.

Kurun lima tahun, bisa jadi akan merubah tata-cara kehidupan unik itu. Untuk mendapatkan bukti-bukti perubahannya, kali ini Iwan bersama sejumlah mahasiswanya kembali berekspedisi ke cagar alam Morowali. Perjalanan nan jauh dan meletihkan akan mewarnai ekspedisi kali ini. Namun, tim ekspedisi meyakini akan terhibur, tatkala mendapati pemandangan eksotis saat melintasi jalan raya, danau, laut, gunung, dan padang ilalang.

Pada perjalanan pertama, tim ekspedisi harus melintasi jalan Transsulawesi antara Makassar dan Malili sekitar 12 jam. Meski kota-kota dan kabupaten yang dilalui menawarkan beragam suasana, tapi rasa jenuh dan letih tetap merasuki seluruh anggota tim ekspedisi. Bahkan, lagu-lagu yang didengar dari tape di dalam mobil pun terasa menjemukan.

Hari kedua, tim ekspedisi kembali berada di jalan. Kali ini, tim ekspedisi bersiap-siap memasuki Soroako, gerbang antara Sulsel dan Sulteng. Setelah melintasi jalan antara Malili-Soroako selama sekitar tiga jam, tim ekspedisi tiba di Danau Matana, Sulteng. Danau Matana adalah perbatasan antara Sulsel dan Sulteng. Jalan air dipilih karena dinilai lebih dekat dibandingkan jalan darat yang harus memutar dan melalui jalan buruk. Selain itu, mengarungi danau dengan ponton diharapkan bisa memberikan suasana baru bagi anggota tim eskpedisi.

Beruntung, tim ekspedisi tiba di dermaga sebelum jam 12 siang. Pasalnya, selepas jam satu siang, biasanya pemilik ponton menolak mengantarkan penumpang. Alasannya, mereka khawatir akan ombak dan badai danau. Iwan termasuk salah seorang korban yang merasakan keganasan badai di danau ini. Soalnya, pada ekspedisi terdahulu nyawanya nyaris terengut saat ponton yang ditumpangi hancur diterjang badai danau. Dan kali ini, suasana nyaman begitu terasa selama perjalanan sekitar tiga jam. Singkat cerita, tim eskpedisi akhirnya memasuki Dermaga Nuha yang sekaligus menjadi gerbang menuju Morowali, Sulteng.

Tim eskpedisi pun kembali harus melintasi jalan darat. Selepas senja, tim ekspedisi tiba di Kota Kolonodale, Sulteng. Perjalanan sekitar empat jam antara Nuha dan Kota Kolonadale seakan terbayar ketika tim eskpedisi memasuki rumah seorang pengurus Yayasan Sahabat Morowali. Terlebih lagi, mereka pun mendapat sambutan hangat dari para pengurus inti yayasan, Jabar Lahaji dan Tanwir.

Selama 20 tahun ini Yayasan Sahabat Morowali menjadi pendamping Suku Wana untuk terus menjaga keaslian budaya dan tata cara hidup tradisionalnya. Terlebih lagi, setelah pemerintah menetapkan kawasan Hutan Morowali sebagai cagar alam. Suku Wana dikhawatirkan akan dimukimkan secara permanen dan membuat tata cara hidupnya berubah besar-besaran.

Para pengurus Yayasan Sahabat Morowali sangat akrab dengan wilayah Morowali dan kehidupan Suku Wana. Karena itu, tim ekspedisi pun menyertakan Jabar Lahaji untuk memandu dan menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi pada Suku Wana.

Pada perjalanan hari ketiga, tim ekspedisi harus menggunakan sebuat perahu bermesin ganda untuk melintasi Teluk Towari. Transportasi air ini adalah satu-satunya kendaraan yang bisa mengantarkan tim ekspedisi ke kawasan cagar alam Morowali. Bagi anggota tim ekspedisi, hal itu memberikan kebahagiaan tersendiri.

Kali ini, mereka benar-benar mendapatkan tenaga dan suasana baru. Bahkan, diam-diam Iwan meminta Jabar untuk singgah ke sebuah pulau terdekat yang memiliki lukisan cetakan tangan di dinding tebing. Bagi para anggota tim, kejutan itu menjadi hiburan berharga bagi catatan ilmiah sebelum memasuki kawasan cagar alam Morowali dan mendapati kehidupan Suku Wana.(ORS/Syaiful H. Yusuf dan Budi Sukmadianto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar