Rabu, 22 Agustus 2012

PULAU DALAGAN


menempuh jarak 150 km dari Luwuk untuk sampai ke desa ini. PuloDalagan namanya, terletak di Kecamatan Nuhon. PuloDalagan masih banyak ditutupi hutan dan lahan yang tak diolah. Rumah-rumah rata-rata belum memiliki jamban. Listrik menyala pada malam hari, dan hanya sampai pada jam 12. Warganya masih banyak yang belum menikmati fasilitas listrik. Untuk mencharge HP warga biasa membayar Rp 2000 rupiah pada orang yang dirumahnya ada listrik. PuloDalagan yang masih banyak ditutupi belukar itu, menjadikan tempat pelarian buronan yang di penjara dari Luwuk.

Saya ke PuloDalagan, sebab sebelumnya, dari cerita yang saya dengar, PuloDalagan punya pulau berpasir putih, namanya Pulau Tikus. Hanya butuh 15 menit untuk mendayung perahu dari PuloDalagan menuju ke sana. Pulau itu tak berpenghuni. Kadang-kadang ada pejabat dari Luwuk yang datang ke pulau itu dan menggelar acara bakar-bakar ikan di sana.

Maka siang yang melelahkan itu setelah melewati puluhan desa, tibalah saya di PuloDalagan. Saya langsung dijemput suami sepupu saya di pinggir jalan. Rumah sepupu saya terletak diantara rimbunan pohon kelapa. Saya mampir ke rumahnya. Mertua sepupu saya sudah menyambut kami dengan makan siang. Nasi yang masih mengepul, ikan batu bakar, sambal juga ikan kuah woku. Sambil menemani saya makan, sepupu saya bercerita perihal buronan yang lari dari penjara di Luwuk dan bersembunyi di PuloDalagan. “Di sini, ada buronan yang lari dari penjara di Luwuk, anak-anak dilarang keluar, orang-orang desa ketakutan, waktu lalu buronan itu dicari polisi, tapi kabarnya ia punya ilmu tinggi sehingga kebal senjata tajam apapun,” cerita sepupu saya. Ia juga bercerita mengenai masalah PNPM mandiri, masalah proyek jalan di PuloDalagan dengan anggaran miliaran rupiah namun hanya menghasilkan jalan setapak di pinggir-pinggir rumah warga, bukan jalan menuju kebun, sesekali ia juga mengeluhkan soal uang simpan pinjam perempuan (SPP) di PuloDalagan yang hanya diberikan pada orang-orang mampu saja, bahkan ada satu orang memakai lima nama untuk meminjam agar uang yang ia pinjam lebih banyak. Saya menyimak ceritanya.

Usai makan siang, saya bertandang ke rumah kepala Desa PuloDalagan. Namanya Yusran Balahanti. Yusran bercerita di desa itu masyarakatnya masih banyak yang belum sadar pentingnya pendidikan. Lulusan SMA hanya bisa dihitung jari. Sekolah SMA yang berjarak 11 kilometer dari desa itu, membuat remaja malas melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika saya menyinggung perihal PNPM dan masalah-masalah yang terjadi di desa itu, Yusran bilang di sini sama sekali tak ada masalah.

Kaum lelaki di PuloDalagan kebanyakan bekerja sebagai nelayan, ada juga yang mencari rotan. “Di desa ini, orang-orang masih banyak yang belum sadar pendidikan, kebanyakan hanya tamatan sekolah dasar, apalagi jarak sekolah lanjutan cukup jauh,” terang Yusran.

Menurut Nita Bakring– warga di PuloDalagan, masih banyak warga di desa itu yang melek huruf. Sayangnya, hal itu luput dari perhatian pemerintah. Hanya sebentar saya berbincang dengan kepala desa dan warga, setelah itu saya ditemani kepala desa menuju Pulau Tikus.

Yusran Balahanti bercerita pada saya, sebetulnya nama pulau itu bukanlah Pulau Tikus melainkan Pulau Pasir Putih, oleh anak-anak remaja di kampung yang sering ke pulau itu, lalu menengak minuman keras cap tikus di sana, menamai pulau itu dengan Pulau Tikus. Lama-lama Pulau Tikus menjadi akrab di telinga warga dan pelancong.

Ketika hendak berperahu ke Pulau Tikus, kami berjumpa dengan Nuni (60 tahun) dan Taher Kandatjo (50 tahun). Nuni baru saja pulang berburu Gorango, begitu nama lokal ikan Hiu di kampung itu dan Taher barulah pulang berburu Pujit – nama lokal anak gurita. Nuni bersuku Bajo, Taher bersuku Saluan. Nuni bercerita, sudah bertahun-tahun ia melakoni pekerjaan berburu Hiu. Kalo lagi mujur dua atau tiga ekor Hiu akan didapatnya, kalau lagi apes, kadang tak dapat tangkapan sama sekali. Rombongan Hiu biasanya bermain-main di depan Batu Langkai – ini adalah lautan luas di depan PuloDalagan.

Sirip, ekor dan daging ikan Hiu bernilai ekspor. Hiu buruan Nuni dibeli seorang pedagang dari Makassar yang datang tiga bulan sekali mengambilnya di rumah Nuni. Namun, tak sembarang sirip yang akan dibeli pedagang dari Makassar itu, hanya sirip berukuran 40 cm saja yang dibeli dengan harga 200-300 ribu. Meski harga sirip Hiu lumayan tinggi, namun Nuni mengaku kebutuhan hidupnya belum tercukupi. “Uang sejumlah itu hanya habis untuk ongkos bensin.” Ungkapnya. Di rumahnya, Nuni harus menanggung hidup dua rumah tangga. Pola hidup suku Bajo memang begitu. Dalam satu rumah kadang-kadang dihuni dua rumah tangga.

Taher Kandtajo juga melakoni pekerjaan yang sama dengan Nuni. Beruntungnya mereka, tak harus berburu Hiu hingga jauh ke perairan Australia. Bertemu Nuni dan Taher saya teringat para pemburu Hiu di Desa Wawoangi, Kecamatan Sampelawa, Buton. Tahun 2007, saya meneliti untuk Oxfam di pulau-pulau kecil di Buton. Di sana, di Desa Wawoangi, para pemburu hiu berburu jauh hingga ke perairan Australia. Mereka berada di laut selama 3 sampai 6 bulan. Para pemburu Hiu di sana meninggalkan anak istri dan hutang jutaan rupiah – hutang kapal dan alat tangkap Hiu.

Mereka berharap ketika kembali bisa melunasi hutang. Istri-istri mereka terpaksa berkerja serabutan selama ditinggal suami, untuk menafkahi anak-anak. Sedihnya tak banyak pemburu Hiu di sana yang pulang dengan selamat. Banyak yang di penjara di Australia, lantaran mereka tak tahu batas laut Indonesia dan Australia. Mereka yang tak mengenyam bangku pendidikan tinggi berpikir perairan Australia adalah perairan Indonesia. Sudah begitu, polisi Australia kadang membakar duit dan alat tangkap mereka, lalu oleh pemerintah Australia mereka dipulangkan dengan baju di badan.

Di musim-musim Hiu tak mampir di Batu Langkai, Taher dan Nuni hanya memancing ikan karang. Satu cucu ikan, mereka jual 10 ribu. Kadang-kadang mereka membuat rompong. Ikan lajang, katombo, solisi dan cakalang akan mampir di rompong. Tiga bulan sekali mereka memanen rompong. Para Nelayan miskin di PuloDalagan ini hanya berharap kebaikan pemerintah, kelak ada pemerintah yang memerhatikan nasib mereka.

Bahrun Balahanti (67 tahun) bercerita, dulu PuloDalagan ini dibuka pertamakali oleh orang-orang Bajo. Merekalah penghuni pertama di desa itu. waktu itu kampung masih ditutupi hutan dan bakau. Tahun 1963, hanya ada tiga rumah di PuloDalagan. Lama-lama, orang-orang Saluan, Balantak, Bugis dan Banggai berdatangan ke desa itu.

Setelah bercerita dengan Nuni, Taher dan Bahrun, Yusran Balahanti – kepala desa PuloDalagan pun menemukan perahu pinjaman yang akan kami kayuh ke Pulau Tikus. Pulau ini berpasir putih dan warna lautnya biru tosca. Kawan seperjalanan saya langsung menceburkan diri di laut. Saya sibuk memotret.

Pulo Tikus sebetulnya berpotensi untuk kawasan wisata, sayangnya pulau ini tak dijaga dengan baik. Terumbu karangnya sudah banyak yang rusak. Menurut Yusran Balahanti, nelayan-nelayan dari Desa Bala’ang biasa datang melakukan pemboman di sana.

“Nelayan-nelayan dari desa tetangga, yakni Desa Bala’ang yang biasa melakukan pemboman, itulah kenapa terumbu karangnya telah rusak,” terang Yusran. Yusran bilang, pernah ada seorang peneliti kelautan yang datang ke PuloDalagan, peneliti itu bilang butuh 20 tahun barulah terumbu karang di PuloDalagan kembali seperti semula. Tak hanya itu di PuloDalagan marak sekali pembalakan kayu ilegal.

Menanggulangi masalah itu, pemerintah desa PuloDalagan membuat peraturan desa (Perdes) mengenai ketertiban lingkungan. Perdes ini dibuat Oktober 2009 lalu. Saya bilang pada Yusran, Pulau Tikus ini jika dikelola dengan baik akan mendatangkan pendapatan daerah. Namun sayangnya, tak ada pemeliharaan yang dilakukan pemerintah desa dan kabupaten. Parahnya lagi pulau berpasir putih itu hanya dijadikan tempat buang hajat oleh warga sekitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar