Rabu, 22 Agustus 2012

Balia, Ritual Pengobatan ala Suku Kaili


Liputan6.com, Donggala: Angin dingin berdesir pada suatu malam di Desa Nupa Bomba, Kecamatan Tawaili, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dalam suasana seperti inilah, kediaman keluarga Darlan kedatangan sejumlah tamu. Mereka adalah kerabat dan tetangga yang datang untuk menjenguk adik Darlan, Muklis yang tengah sakit. Telah berbulan-bulan Muklis hanya bisa berbaring di tempat tidur. Berulang kali dia berobat ke dokter. Malang, sakitnya tak kunjung sembuh. Bahkan, badannya makin lama kian kurus.

Melihat kondisi Muklis yang seperti itu, para kerabat dan tetua kampung menyarankan agar Darlan segera menggelar upacara pengobatan setempat, yakni Balia. Untuk maksud ini, Darlan mesti menghubungi sando atau dukun Balia terkenal yang bernama Indoni. Sando ini seorang perempuan berusia 52 tahun. Kesehariannya adalah petani biasa yang memproduksi dan menjual langsung dagangannya. Namun di balik itu, Indoni adalah seorang sando yang terkenal seantero Tawaili atau Tavaili. Sejak berumur 18 tahun, Indoni memiliki kemampuan mengobati si sakit melalui upacara Balia.

Atas petunjuk itulah, keesokan harinya, Darlan segera menyambangi rumah Sando Indoni. Sesampai di sana, Darlan yang disertai sejumlah kerabatnya menyampaikan keinginan menggelar upacara Balia bagi kesembuhan Muklis. Sando Indoni bersedia menolong Muklis asalkan Darlan mendatangi juga lima sando lainnya. Ada syarat lainnya. Darlan harus pula menemui beberapa pendamping sando yang disebut bule.

Darlan pun bersedia memenuhi syarat-syarat tersebut. Dia bersama para kerabatnya segera mendatangi lima sando dan bule yang dimaksud Indoni. Salah seorang bule yang harus dikunjungi adalah Yarisatu. Lelaki yang berusia sekitar 70 tahun inilah yang nantinya bertugas mencari daun go untuk ritual Balia.

Seluruh sando dan bale telah didatangi Darlan. Mereka semua juga setuju menggelar Balia dan segera mempersiapkan diri. Bule Yarisatu, misalnya. Lelaki tua ini menjalankan tugasnya untuk mencari daun go yang dianggap sebagai daun suci. Namun tak segampang itu. Yarisatu terlebih dahulu mesti melakukan semacam ritual kecil. Apalagi daun go tak mudah dijumpai di sembarang tempat. Setelah upacara kecil dilakukan, barulah Yarisatu memetik daun suci tersebut.

Seluruh syarat dan tahapan awal upacara Balia telah dilewati bersamaan dengan tenggelamnya sang surya di ufuk barat. Malam pun tiba. Para sando dan bule segera berkumpul di sebuah lokasi. Sejak siang, keenam sando dibantu beberapa bule memang telah mempersiapkan tempat ini sebagai pusat upacara. Daun go yang melambangkan kekuatan dipasang tepat di tengah arena Balia, bersama sang pasien, Muklis.

Gong dan gendang yang disebut gindam pun ditabuh. Ini menandakan upacara Balia dimulai. Bunyi kedua alat musik juga diselingi dering suara piring, serta sedikit kidung dari para bule. Perpaduan ini dipercaya sebagai sarana untuk memanggil roh-roh leluhur. Beberapa jam alunan gindam ditabuh mengiringi malam hingga sebuah pertanda muncul. Tubuh Muklis yang tadinya tenang, kini mulai bergetar. Tanda-tanda masuknya roh halus ke dalam dirinya mulai terlihat. Para sando pun segera memulai prosesi.

Mereka mengerti betul tugas masing-masing. Ada yang memasang bambu kuning. Ada pula yang menyiapkan ketan aneka warna dan telur ayam. Kendati rata-rata berusia lanjut, mereka sanggup menyelesaikan upacara Balia yang biasanya berlangsung hingga tiga malam.

Sebagian masyarakat Suku Kaili di Sulteng memang percaya bila seseorang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh meski sudah berobat ke dokter, maka penyakit itu bukanlah penyakit biasa. Namun akibat gangguan roh jahat. Dan, dengan Balia-lah penyakit demikian bisa disembuhkan. Caranya dengan mengusir roh jahat dari tubuh si sakit.

Untuk mengenyahkan roh jahat, Muklis dimandikan. Sampai di sini, prosesi belum berakhir. Malam kembali menjelang, Balia pun berlanjut. Kali ini kidung Nondolu untuk memanggil roh leluhur dilantunkan. Sekonyong-konyong dan di luar kesadaran, para sando mulai menari. Bersama si sakit mereka bergerak menuju seekor kambing, simbol pengorbanan kepada roh leluhur. Mereka mencekoki kambing dengan ketan. Sesudah itu, kaki kambing ditusuk dengan tombak. Kepala kambing kemudian dipenggal. Kepala kambing bersama sesaji lainnya selanjutnya dilarung ke sungai.

Pada malam ini, tubuh Sando Indoni dirasuki roh leluhur dari Desa Bantira. Sang roh nampaknya marah kepada Kepala Desa Nupa Bomba lantaran malam sebelumnya tak hadir. Setelah terjadi dialog, roh itu akhirnya mendesak kepala desa makan bersamanya.

Di hari terakhir, Balia diawali dengan ritual menguatkan raga di sungai. Satu demi satu, para sando, bule, dan si sakit harus mengikuti prosesi ini. Dan ketika roh-roh kembali memasuki raga, para sando menari di luar kesadaran mereka. Dengan menghunus golok, mereka mengitari Muklis dan kemudian memecahkan kendi di tubuhnya. Sementara para bule menabuh gong dan gindam. Irama musik yang kian cepat pun seakan mengiringi mereka ke dunia lain. Si sakit mulai dicecoki daging ayam.

Tahapan selanjutnya adalah membakar tumpukan daun kelapa. Balia diyakini telah sempurna begitu kaki-kaki para sando memadamkan api membara yang bermakna memusnahkan amarah roh jahat. Upacara Balia selesai. Sekarang tinggal Muklis menanti terwujudnya harapan hilangnya penyakit yang sekian lama mendera.(ANS/Tim Potret)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar