Jumat, 17 Agustus 2012

RITUAL MOKOLA

Peringatan, sebaiknya membaca artikel ini jangan sambil makan karena sebagian orang merasa tidak nyaman dengan tulisan ini yang mencerterakan budaya sadisme masa lalu. Dimasa sekarang ketika suntuk, kita bisa saja mencari hiburan sesuai selera kita diluar sana, cafĂ©, karaoke, diskotik atau sekedar ngabuburit sambil cuci mata bisa jadi pilihannya. Tapi bisa dibayangkan bagaimana orang-orang yang hidup pada abad 10 ketika suntuk? Mungkin salah satu cara waktu itu ialah dengan Mokola. Mokoloa ini dikenal diwilayah lembah Palu, lembah Napu (Kabupaten Poso, Prov. Sulawesi tengah), Kulawi (Kabupaten Sigi Biromaru Prov. Sulawesi Tengah) maupun Pipikoro (Kabupaten Donggala, Prov. Sulawesi Tengah). Mokoloa merupakan ritual pengorbanan manusia dengan cara disembelih, disayat ataupun langsung dibunuh dengan menggunakan tombak. Kegiatan menyembelih, menyayat ataupun langsung dibunuh dengan menggunakan tombak tersebut dinamakan Mehaha atau Nesasa. Terdapat beberapa konsep tentang ritual mokola itu sendiri, ada yang berpendapat bahwa mokoloa diadakan sebagai bentuk terima kasih masyarakat kepada sang penguasa ketika itu (hal gaib) sebagai mohon restu dalam pembangunan sebuah Lobo (balai pertemuan warga)pendapat lain bahwa Mokoloa adalah sebuah selebrasi ketika telah memenangkan sebuah peperangan, ada pendapat yang mengatakan bahwa mokoloa merupakan sebuah ritual sebelum melakukan peperangan, pendapat lain yang lebih sexy yaitu mokoloa dilakukan sebagai bentuk pesta kerajaan tanpa maksud tertentu, semata-mata hanya dilakukan sebagai hiburan. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, siapakah yang menjadi korban pada ritual tersebut? Ada banyak versi juga tentang siapa yang dikorbankan pada ritual mokoloa ini. Kebanyakan sumber mengatakan bahwa yang dijadikan korban ialah tawanan perang atau orang yang melakukan kejahatan dalam sebuah kerajaan, ada yang berpendapat bahwa korban merupakan upeti dari kerajaan lain, pendapat lain mengatakan yang menjadi kornban ialah Batua (budak), pemberian Batua ketika itu dilaksanakan oleh bangsawan yang mempunyai budak secara bergiliran, misalnya bulan ini bangsawan A memberikan seorang Batua sebagai sebagai orang yang kemudian dikorbankan pada ritual Mokola, bulan berikutnya giliran bangsawan B yang memberikan Batua dan seterusnya. Dari beberapa tempat yang telah disebutkan diatas bahwa ritual tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda pula. Mokola yang dilakukan di lembah Palu misalnya, korban diikat ditiang yang mana tiang tersebut adalah tempat tiang yang akan dibangun sebuah Lobo, ketika korban telah diikatkan kemudian korban langsung dibunuh dengan menggunakan sebuah tombak, yang menjadi eksekutor pada ritual ini ialah keluarga kerajaan, Towalia(pemangku adat atau dukun) maupun bangsawan yang ditunjuk oleh kerajaan. Mokoloa seperti ini juga dilakukan di wilayah Napu. Ada beberapa versi juga tentang Mokoloa yang dilakukan diwilayah Kulawi, versi yang saya temukan ialah Mokoloa dilakukan di hadapan keluarga kerajaan maupun bangsawan pada sebuah jamuan makan malam, prosesnya ialah korban diikatkan ditiang dihadapan keluarga kerajaan dan bangsawan tersebut, setelah itu secara bersama-sama keluarga kerajaan dan bangsawan tersebut menyanyikan irama Mokoloa secara bergiliran, dimana nyanyian itu berakhir maka orang tersebut yang mempunyai hak untuk melakukan sayatan pada tubuh korban, setelah melakukan sekali sayatan maka nyanyian dilanjutkan kembali dan dimana nyanyian tersebut berakhir maka kembali giliran orang tersebut yang melakukan sayatan pada tubuh korban, begitu seterusnya hingga korban tersebut meninggal dunia. Mokola yang dilakukan di wilayah Pipikoro lain lagi, ritual ini dilakukan sebelum melakukan peperangan, caranya korban diikatkan pada salah satu tiang Lobo kemudian pimpinan ritual langsung membunuh korban tersebut dengan menggunakan tombak disaksikan oleh prajurit yang telah siap untuk berperang. Tidak sampai disitu saja, setelah meninggal, pimpinan menyanyika lagu ritual mokola tersebut yang artinya adalah “darah korban telah mengalir, mari kita kuliti kepalanya dan semua prajurit yang pergi berperang harus dapat” kemudian korban tersebut dikuliti kulit kepalanya dan dibagikan bagi prajurit yang akan pergi berperang untuk dijadikan gane-gane (mantra agar prajurit berani dalam melakukan peperangan). Ketika Belanda masuk, ritual ini sedikit demi sedikit dihilangkan dengan alasan kemanusiaan, korban yang sebelumnya adalah manusia dirubah oleh pemerintah belanda ketika itu dengan batang pohon pisang, mungkin karena batang pohon pisang tersebut tidak mengeluarkan suara ketikan akan dibunuh maka secara perlahan-lahan pula ritual ini ditinggalkan oleh masyarakat. Tulisan ini merupakan hasil wawancara dari beberapa pemangku adat yang masih mengetahui tentang ritual tersebut. Terima kasih untuk Robert Weber yang telah memberikan waktu kepada saya dalam melakukan eksplorasi dalam penelitiannya. SUMBER...http://syauqiancients.blogspot.com/2009/04/mokoloa-apakah-ritual-atau-sebuah-seni.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar