Rabu, 15 Agustus 2012

Memperkenalkan Sekolah pada Suku Kaili Da'a

ditulis oleh: Toni Suku Kaili Da`a adalah salah satu suku terasing yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah. Suku Kaili Da`a menggunakan bahasa Kaili dengan dialek Da`a. Orang-orang suku Kaili Da`a tidak pernah duduk di bangku sekolah.. Orang-orang Suku Kaili mendiami daerah perbukitan di enam kecamatan wilayah Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah sampai ke Mamuju Utara di wilayah Sulawesi Barat. Masyarakat Kaili Da’a memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan menanam tanaman semusim seperti jagung, padi ladang, umbi, dan kacang-kacangan. Ini mereka lakukan karena kehidupan nomaden mereka yang mengharuskan untuk menganut sistem ladang berpindah. Untuk sampai ke desa-desa orang Kaili Da’a adalah suatu pekerjaan yang terbilang sulit, selain kontur perbukitan terjal dan sulitnya medan, transportasi ke wilayah ini pun terbilang sulit didapat. Kita hanya bisa menggunakan sepeda motor (ojek) dari kota Palu (ibukota Propinsi Sulawesi Tengah), yang jaraknya kurang-lebih 80 KM, ditambah berjalan khaki sejauh 10 KM menapaki bukit terjal. Tidak Mengenal Pendidikan Kesulitan akses ini yang menjadikan mereka tetap terasing dan nyaris terisolasi dari peradaban modern. Hingga di abad teknologi muktahir yang berkembang pesat di kota-kota dimana kita tinggal, Orang Kaili tak pernah mengadopsi satu bagian pun dari kemajuan teknologi itu. Anak-anak mereka bertumbuh apa adanya dengan pengetahuan yang minim yang tak lebih dari miskinnya peradaban kebudayaan Kaili. Ketertinggalan mereka sangat miris untuk dilihat. Sekolah Pertama di Kaili Pertengahan Juni 2008, PESAT mengirimkan dua orang tenaga pengajarnya untuk membangun generasi baru Suku Kaili Da’a, membangun sekolah darurat dan mengajarkan pendidikan di sana. Penghujung Agustus 2008, sekolah perdana di suku terasing ini pun meluncur, dan antusias anak-anak Kaili mengalir deras mengikuti dan menikmati indahnya saat-menggenggam erat pensil di atas selembar kertas sembari melipat siku tangan mereka di atas meja belajar darurat hasil kerajinan tangan guru baru mereka. Wajah-wajah lugu yang haus pengetahuan baru itu nampak serius, tegang, berpikir keras berusaha mencerna, dada mereka nampak membusung, bahagia, seperti anak-anak yang baru mendapat mainan baru. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, rona-rona merah membuat siluet di wajah mereka, disaat belajar hal baru dari guru mereka. Awalnya sekolah diadakan di Bantaya, istilah untuk balai pertemuan adat bagi Suku kaili, kini Sedikitnya ada 50 anak usia sekolah berbaris rapih penuh semangat setiap pagi memasuki dua ruang kelas di “sekolah baru” mereka yang ala kadarnya, yang dinding dan lantainya terbuat dari papan dan beratap rumbia. Satu bangunan sekolah yang berdiri agak miring di tengah sabana di tanah datar di punggung bukit hasil gorong-royong masyarakat Kaili.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar