Rabu, 15 Agustus 2012
Suku Da`a, Antara Tradisi dan Modernisasi
Langit di Desa Dombu di lereng Gunung Gawalise, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, begitu cerah. Embun yang tak begitu tebal menyelimuti kawasan yang terletak di ketinggian sekitar 1.100 meter dari permukaan laut. Hari yang baik untuk memulai aktivitas di luar rumah. Bagi Suku Da`a yang tinggal di kawasan tersebut, cuaca seperti ini adalah saat menarik untuk pergi ke dalam hutan berburu berbagai binatang liar. Hal ini juga dilakukan Andi Lasipi, Kepala Suku Da`a. Dengan ditemani dua pemuda, Andi memulai perburuannya. Sebuah tombak, sumpit, dan anak sumpit beracun dibawanya sebagai senjata berburu.
Sesuai tradisi nenek moyang, sebelum lebih jauh masuk ke dalam hutan mereka menggelar sebuah ritual kecil. Doa kepada sang penguasa jagat dipanjatkan dalam suatu ritual yang disebut Potomu. Mereka percaya tanpa Potomu akan sulit bertemu binatang buruan. Seusai upacara, perjalanan dilanjutkan. Di antara orang-orang Da`a, Andi memang terkenal ahli berburu burung. Suara siulan dari mulutnya bisa memancing datangnya burung liar. Tak heran, baru beberapa saat, seekor burung berhasil disumpitnya. Tapi, bagi orang Da`a, mereka baru akan puas jika dalam perburuannya berhasil menangkap babi hutan atau rusa.
Sayangnya, hewan yang diinginkan tak kunjung terlihat. Untuk kesekian kali, hewan yang berhasil ditangkap hanyalah seekor burung. Setelah beberapa lama berusaha akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Mereka sadar bahwa para leluhur suku Da`a pernah mengingatkan agar tak serakah dalam memanfaatkan alam. Mereka boleh berburu, namun harus tetap menjaga keseimbangan satwa yang ada di dalam hutan. Itulah sebabnya, perburuan hari ini akhirnya disudahi tanpa mendapatkan hewan yang diinginkan.
Dombu adalah salah satu desa di Kecamatan Marawola, Kabupaten Donggala. Penduduk desa ini adalah Suku Da`a, subrumpun dari etnis Kaili di Sulteng. Bagi orang Da`a, Dombu dianggap sebagai desa adat yang harus dihormati. Begitu juga ketika menghormati kepala suku mereka, Andi Lasipi. Bagi orang Da`a, Andi bukan orang sembarangan. Meski usia masih relatif muda, Andi telah membuat beberapa perubahan besar di sana. Satu di antaranya menjadikan suku terasing ini mulai mengenal pendidikan dan modernisasi. Tak heran, jika kini warga di sana sudah jarang membuat tempat tinggal di atas pohon atau sou. Bukan itu saja, Andi juga satu-satunya orang Da`a yang mengenyam pendidikan formal hingga menjadi sarjana. Tak heran, jika warga di sana menghormati Andi melebihi penghormatan terhadap kepala-kepala suku sebelumnya.
Memang, sebagai seorang sarjana, Andi tahu betul menggunakan ilmunya untuk kemajuan warganya. Dengan bergotong royong, Andi mendirikan sebuah sekolah dan mengajar anak-anak di wilayahnya. Tapi, itu semua tak membuat Andi lupa akan akarnya. Jiwanya yang sudah tertempa sebagai orang Da`a tak membuatnya lupa akan asal usulnya. Sebagai orang Da`a, Andi percaya bahwa kehidupan manusia sama sekali tak terpisahkan dari tanah. Dari tanahlah, manusia diciptakan. Di tanahlah manusia hidup dan dari tanahlah memperoleh makanan. Kearifan itulah yang Andi terus tanamkan pada anak-anak di sana. Tak heran, Andi kerap mengajak anak-anak ke kebun.
Keseriusan untuk membangun warganya itulah membuat Andi dilirik sebuah partai politik peserta Pemilihan Umum 2004 untuk menjadi calon anggota legislatif DPRD Donggala. Bak gayung bersambut, Andi menyetujui pinangan tersebut. Obsesi untuk mengangkat harkat orang Da`a telah mendorong semangatnya untuk berkiprah di dunia politik. Namun, kesibukan mempersiapkan diri menjadi caleg tak bisa memisahkannya dari rakyatnya. Ketika seorang warganya di Dusun Viapore mengundangnya, Andi pun datang. Kali ini, Andi diminta menghadiri upacara Povala Dayo atau "memagar kuburan".
Dalam kepercayaan tradisonal orang Da`a, sebuah prosesi kematian akan diperingati beberapa kali setelah penguburan. Di antaranya adalah prosesi pada hari ke 1.000 yang disebut Povala Dayo. Berdasarkan kepercayaan orang Da`a, arwah orang mati bisa kembali ke alam fana dalam beragam wujud yang dapat mengganggu manusia. Misalnya, berbentuk tikus, ular atau hama. Dengan menggelar upacara Povala Dayo, mereka meyakini arwah yang meninggal akan tetap tinggal di alam gaib atau dunia salapin.
Yang lebih penting, pada saat-saat seperti inilah Andi akan memanfaatkan untuk berinteraksi dengan warganya. Tak heran, jika Andi lebih sering terlibat percakapan dengan warganya untuk mendengarkan keluhan atau sekadar berbagi wawasan. Kesempatan ini pula yang digunakan Andi untuk memikirkan kemajuan bagi warganya. Setelah upacara usai, Andi segera pulang ke rumah. Kesibukan lain telah menantinya, termasuk berlatih kampanye untuk persiapan pemilu mendatang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar