Selasa, 21 Agustus 2012
Dusun Topesino
Dusun Topesino merupakan salah satu dusun yang terdapat di Desa Mantikole yang letaknya sangat jauh terpencil di lereng pegunungan,Kabupaten Sigi,Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk mencapai dusun ini hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki lewati lereng-lereng gunung, mendaki di atas kemiringan empat puluh lima derajat dalam waktu tempuh lima jam tentu saja sangat melelahkan bagi orang baru melaluinya.
Masyarakat yang tinggal di dusun ini adalah masyarakat suku kaili sub etnis kaili inde, mereka bekomunikasi satu sama lain mengunakan bahasa kaili inde, bagi pengunjung yang datang harus membawa orang yang paham dengan bahasa mereka biasanya disebut jubir atau juru bicara untuk dapat bertanya dan berbicara dengan penduduk yang terdapat di dusun topesino.
Masyarakat topesino tidaklah menginginkan ketidak mahiran atau ketidak mampuan mereka berbahasa nasional, keinginan besar mereka untuk berbagi cerita tentang keadaan sosial yang mereka jalani seakan-akan tidak terungkapkan dikarenakan kemampuan mengunakan bahasa kesatuan masih sanggat terbatas namun keramahan itulah yang terlihat jelas dalam tingka dan laku untuk menyambut pengunjung yang datang di dusun Topesino yang jumlah penduduknya sebanyak 175 jiwa dari 48 keluarga, terdapat 65 anak-anak berusia sekolah.
Kehidupan masyarakat di dusun ini sangatlah bersahaja dengan kondisi seluhrunya masih di bawah garis kemiskinan. Rumah tempat tinggal mereka sangatlah sederhana, bangunan yang hanya bertiangkan kayu bulat tanpa polesan, berdinding bambu dan beratapkan ayaman dedaunan kelapa dan alang-alang.
Tinggal tersebar, berpencar di lereng-lereng dan di balik-balik bukit. Berbagai macam kebutuhan dasar manusia seperti air bersi masih sulit didapatkan karena mereka harus relah antri menampung air dari pancuran pipa berukuran ½ inilah tempat mereka mengambil air bersi untuk kebutuhan memasak, minum, dan juga mandi. Dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, masyarakat dusun Topesino mejadikan jagung, ubi-ubian serta kelapa sebagai kebutuhan pokok mereka, pada umumnya masyarakat setempat berprofesi sebagai petani dan sebagian lagi peternak.
Pada tahun 2007 atas usaha beberapa pemuda dari dusun Topesino dan desa Mantikole, dibangunlah sebuah sekolah sebagai tempat belajar anak-anak dusun ini. Bangunan yang sangat sederhana yang masyarakat setempat menyebutnya “Sekolah Daun” Sebagaimana pada umumnya bangunan yang terdapat pada dusun ini sekolah daun ini pun terdiri dari bermacam-macam daun dan pelepah, serta rumput ilalang.
Kondisi di dalam sekolah atau kelas pun sangat memprihatinkan. Meja sebagai tempat menulis hanya terbuat dari dua buah lembar papan yang ditopang dengan kayu, itu pun hanya dapat digunakan beberapa orang saja. Anak-anak lainya hanya dapat duduk bergerombol dan menumpuk di atas balai-balai yang terbuat dari bahan kayu bulat dan pelepah daun.
Melihat kondisisi sekolah daun yang begitu serba sederhana, maka dibangunla sebuah gedung sekolah baru selayaknya gedung sekoalah yang ada di desa mantikole dan tenaga pengajar yang masih berstatus honorer. “Dalam menghadapi dan mengajar anak-anak sekolah yang ada di dusun Topesino walaupun saya hanya sebagai guru honorer saya tetap semanggat,karena ketekunan dan kemauan anak-anak yang saya bimbimbing begitu tinggi, inilah yang membuat saya tetap semanggat sebagai tenaga pengajar di sekolah ini” kata Arjon salah satu tenaga pengajar honorer di sekolah dusun Topesino.
Melihat kondisi mereka sebagai anak bangsa,mungkinkah menyadarkan kita bahwa masih banyak anak-anak,saudara-saudara kita yang belum dapat mengenyam pendidikan dengan fasilitas pantas, titengah berlobanya sekolah-sekolah yang ada di kota untuk sekedar mendapat sebutan bertaraf internasioanal.
Inilah kondisi sosial,kondisi sekolah daun dan gedung sekolah baru,dusun di atas awan Topesino.Dalam keterbatasan,ketertinggalan,dan kepapaan mereka tetap mengajar dan berusaha mendapatkan makna pembelajaran untuk mempersiapkan diri menjadi anak pewaris bangsa,ditengah gencarnya kasus korupsi dan hingar binger negri yang sibuk membangun politik.
Marianto Sabintoe, Mahasiswa Universitas Tadulako, Fisipol
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar