Rabu, 22 Agustus 2012
Mambotas, Membuka Ladang buat Anak Laki-Laki
Liputan6.com, Donggala: Musim panen mulai tiba di Desa Ogo Alas di Pegunungan Tinombo, Donggala, Sulewesi Tengah. Saat persediaan makanan menipis, datangnya panen memang memberi harapan dan keceriaan. Panen tak lagi membuat mereka mengkhawatirkan kelaparan. Kebahagiaan ini juga dirasakan Saman, warga Suku Lauje dari Desa Ogo Alas. Hasil panen yang melimpah membuat dia bisa menggelar upacara mambotas dan mamaras untuk anaknya yang baru lahir.
Mambotas dan mamaras sebenarnya adalah rangkaian upacara yang dilakukan untuk membuka ladang. Dalam tradisi Suku Lauje, ketika seorang anak lelaki lahir, orang tuanya wajib menyediakan ladang yang kelak digarap oleh sang jabang bayi. Mambotas dilakukan untuk menandai petak tanah yang dipilih. Sementara mamaras adalah membuka ladang atau membersihkan tanah hutan dengan bantuan warga desa lain agar bisa dijadikan ladang.
Bayangan wajah istri dan anaknya membuat Saman bersemangat untuk segera menyudahi musim panen kali ini. Saman beruntung karena buah hatinya lahir di menjelang masa panen. Pasalnya, dia tidak perlu repot mencari Tosi, Kepala Suku Lauje, untuk memberkati anaknya. Tosi yang sehari-hari tinggal jauh memang selalu datang ke Ogo Alas setiap habis memanen jagung atau ubinya. Kehadiran Tosi pada setiap kelahiran anak memang selalu diperlukan orang Lauje. Usapan tangan sang kepala suku ke kepala bayi dianggap memberi berkah keselamatan sang bayi.
Suku Lauje adalah salah satu kelompok etnis di daerah Donggala. Mereka tinggal di sekitar Teluk Tomini dan Pegunungan Tinombo di sebelah pantai timur Kabupaten Donggala. Mereka masih hidup terisolir dari dunia modern mengingat lokasi geografisnya yang sulit dijangkau. Untuk sampai ke sana harus berjalan kaki selama 12 jam dan menyeberangi delapan sungai. Ogo Alas adalah pusat persebaran Suku Lauje di Pegunungan Tinombo. Desa ini menjadi tempat berkumpulnya orang Lauje saat mereka tak ke ladang.
Kebiasaan berladang inilah membuat warga Lauje mempunyai dua tempat tinggal. Saat musim panen dan tanam, mereka tinggal terpencar di rumah-rumah yang dibangun dekat ladang. Jika tak ada aktivitas di ladang, mereka akan berkumpul di Ogo Alas. Tak heran, setelah musim panen seperti sekarang, Ogo Alas lebih ramai dari biasanya. Sedikit rezeki yang tersisa dari hasil panen membuat desa ini menjadi lebih bergairah. Pedagang-pedagang kagetan yang hanya berjualan di musim panen mulai menggeliat. Pasar-pasar sederhana muncul sebagai tempat belanja berbagai keperluan mereka. Ikan asin dan beras yang masih dianggap barang mewah menjadi incaran warga.
Kesempatan berkumpul seusai panen juga dimanfaatkan beberapa pemuda untuk berburu. Kegiatan di alam terbuka ini adalah salah satu mata pencaharian yang mulai ditinggalkan oleh orang Lauje. Dahulu daging binatang buruan adalah satu-satunya sumber protein terpenting bagi mereka. Uniknya, cara mereka berburu tak menggunakan insting sebagai pemburu. Tapi, lebih banyak memanfaatkan kemampuan anjing pelacak. Tak heran, kepiawaian orang Lauje kian rendah. Ini tampak dari lamanya mereka berburu. Hampir empat jam, tak ada satu hewan buruan yang didapat. Para pemuda pemburu babi hutan baru muncul dengan buruannya di waktu senja. Selain babi hutan, binatang yang kerap diburu adalah rusa dan anoa. Binatang hasil buruan tak selalu dimakan. Kadang mereka lebih suka menjual atau menukarnya dengan barang-barang yang diperlukan.
Akhirnya, saat bagi Saman dan Tosi untuk menggelar upacara mambotas dan mamaras pun tiba. Saman telah menyiapkan seekor ayam putih sebagai sesaji. Kehadiran Tosi dalam upacara ini juga diperlukan untuk membacakan mantera-mantera dan melepas ayam putih sebagai sesaji untuk kesuburan tanah. Jika ayam tersebut menghilang di balik semak hutan, menjadi pertanda bahwa tanah yang dipilih Saman telah diberkati.
Saat menunggu ayam menghilang, Tosi bersama dua kerabatnya melepas lelah di pinggir hutan. Sedang Saman mengumpulkan warga untuk mamaras. Tak berapa lama, puluhan warga desa mulai sibuk mamaras hutan. Berbeda dengan mambotas, mamaras dilakukan dengan bantuan hampir seluruh laki-laki desa yang ada. Karena itu, mamaras lebih sering dilakukan saat usai musim panen. Ketika hampir seluruh warga desa telah meninggalkan ladangnya. Di sini, Tosi juga memiliki peranan penting. Tosi akan menentukan pohon-pohon yang boleh dipotong dan yang tak boleh disentuh.
Dalam konsep orang Lauje, pohon dan tanah harus dipelihara baik-baik agar tetap memberi kesuburan pada ladang. Beberapa pohon harus ditebang untuk memberi kesuburan. Tapi, ada juga pohon yang tak boleh ditebang. Demikian juga dalam pemilihan lahan untuk ladang. Ada beberapa tanah hutan di sana yang tak boleh dibuka. Mereka percaya jika hutan tersebut dijadikan ladang, bencana akan melanda desa. Tak berapa lama, pekerjaan mamaras telah usai. Kini, sebuah lahan untuk anak Saman telah tersedia. Lahan ini menunggu cucuran keringat si bayi jika telah dewasa kelak.
Upacara mambotas dan mamaras pun usai. Keceriaan seusai panen di Ogo Alas masih berlangsung hingga malam. Dengan bekal uang Rp 1.000, warga bisa menikmati satu-satunya hiburan modern yang ada di kampung ini adalah menonton video compact disk. Seorang warga yang kaya dan pemilik satu-satunya rumah batu di desa ini rupanya menangkap peluang bisnis yang cukup menguntungkan di Ogo Alas. Dengan modal sebuah VCD player, beberapa VCD, televisi, dan mesin diesel, sebuah rumah setiap malamnya disulap menjadi gedung bioskop kecil. Dan jangan heran peminatnya ternyata selalu membludak. Apalagi, saat musim panen tiba.(ORS/Tim Potret)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Aku adalah turunan lauje....
BalasHapus