Selasa, 21 Agustus 2012
DESA MANTIKOLE
Desa Mantikole merupakan salah satu Desa yang berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Dolo Barat, kabupaten Sigi. Yang wilayahnya meliputi daratan dan pegunungan. Dengan batas-batasnya sebelah utara Desa Balamoa, sebelah timur Desa Pesaku, Bobo, sebelah selatan Desa Jono dan sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Pinembani.
Adapun terjadinya Desa Mantikole menurut sejarah atau cerita para petua adat, toko masyarakat dan nara sumber lainnya memeparkan bahwa pada saat itu kurang lebih satu abad yang silam ada beberapa tentara kerajaan yang menebang dan membakar hutan belantara hingga hangus menjadi arang atau dalam bahasa warga suku kaili inde yang berdomosili dikawasan pegunungan Onguntofato yang merupakan salah satu puncak tertinggi dari seluruh puncak yang ada disekitar kawasan pegunungan sejumlah desa sekarang ini yang berada diwilyah administrasi kecamatan Dolo Barat tepatnya dipegunungan Desa Balamoa dimana kejadian tersebut berlansung yaitu menyebutnya Mantikole, setelah dipahami secara seksama daptlah kita simpulkan arti dari mantikole itu adalah Arang yang merupakan hasil pembakaran hutan untuk dijadikan satu kawasan pemukiman punduduk setempat pada saat itu “ namun seiring dengan pergantian zaman perkembangan roda pemerintahan dan dunia pendidikan sebagian menjadikan satu singkatan yang menanti kasih dan oleh-oleh.
Kemudian sebelum nama Desa Mantikole ini dikenal oleh banyak orang awalnya masih bernama Desa Bobo, yang pusat pemerintahannya terletak dijalan. Permandian Air Panas Dusun 1 Desa Mantikole pada saat ini setelah memisahkan diri dari Desa Pesaku pada tahun 1890 masehi dengan kepala Desa pertama bernama RAPABIBO yang merupakan salah satu putra Asli Etnis kaili inde pada saat itu.
Tidak terasa waktu terus berjalan, tahun terus berganti kepadatan penduduk pun semakin meningkat pesat diakibatkan banyaknya suku pendatang yang berdatangan dari berbagai pelosok untuk mencari mata pencaharian didesa tersebut demi kelansungan hidupnya, akhirnya pada tahun 1940. Seorang putra bernama MALASIKI yang menjadi kepala Desa ke tiga pada saat itu menyarankan agar desa tersebut dibentuk menjadi dua bagian, maka terjadilah perpecahan menjadi dua Desa yaitu, Desa Bobo dan Desa Gunung yang warga penduduknya adalah mayoritas ernis kaili inde. Kini desa Bobo Gunung sudah dikenai oleh banyak orang, atau tidak asing lagi didengar setelah dua puluh lima tahun berjalan, hingga sampai pada kepala Desa yang delapan bernama DM. YOLULEMBAH, pada tahun 1965 Bobo Gunung meninggalkan nama menjadi desa MANTIKOLE sampai pada saat ini kepala Desa yang ketiga belas bernama MUCHTAR. K. untuk periode 2007/ sd 2012
Hal ini disebabkan karena penduduknya yang bermukim diperkampungan tersebut memilih untuk turun dan tinggal dilembah sekaligus. Bermusyawarah denga para tokoh masyarakat serta unsure lainnya agar nama Mantikole dijadikan Nama Desa. Dengan demikian maka nama desa Bobo Gunung tinggal kenangan dan berubah menjadi desa Mantikole.
DEMOGRAFIS
Mantikoleh merupakan desa yang datar berada di lereng gunung untuk melaluinya berkisar 30 hingga 1 jam jika menggunakan kendaraan roda dua tidak jauh dari kota palu dan jalannya juga bagus sehingga aman untuk dilalui, iklim di desa ini diperkirakan untuk curah hujannya 1.500 mm, dan jumlah bulan hujan biasanya 4 sampai 5 bulan, suhu rata-rata hariannya 36 ° celcius sehingga wilayah ini juga tidak kalah panas dengan kota palu di dusun IV desa mantikole sangat kelihatan pemukiman masyarakat berada dilereng-lereng gunung topesino sehingga jika ingin melatih otot-otot kaki dan jika ingin melangsingkan tubuh coba saja berjalan kaki karena dari bawah ke atas sangat kelihatan dusun ini mempunyai ketinggian yang sangat lumayan tinggi, tetapi bagi masyarakat mantikole dari jalan poros desa pesaku mulai dari dusun I hingga IV itu belum seberapa dan mereka sudah biasa melaluinya dengan berjalan kaki tetapi bagi yang tidak biasa melewati jalan ini dengan berjalan kaki pasti sangat sulit karena jalannya yang sedikit mendaki berdasarkan data tinggi wilaya temapat ini mencapai 75-300 mdl. Kebiasaan masyarakat yang berada di desa mantikole tersebut khususnya dusun IV sudah berselang dari abat keabat semenjak masih datangnya koloni di Indonesia hingga kepelosok-pelosok desa sebutan sekarang duluh belum dapat dikatakan desa karena masyarakat masih berkelompok-kelompok beberapa dekade koloni menduduki nusantara pada waktu itu hingga kemudian dikuasai lagi oleh tentara sekutu dan akhirnya masyarakat yang saking terdesak dan takut mulai masuk ke tempat-tempat strategis untuk berlindung pilihan masyarakat yang berada di desa mantikole pada waktu itu adalah masuk hutan sehingga kebiasaan itu tercipta dari rasa trauma yang menghantui diri mereka untuk tetap hidup walaupun sulit karena harus bersaing dengan kebuasaan alam dan pengaruh luar yang terus mendesak mereka untuk berjuang mempertahankan kelompok mereka hingga saat sekarang kebiasaan itu masih menjadi tradisi sehingga tidak heran jika mereka kuat dan mampu bertahan hidup di tempat itu kehidupan di desa mantikole bukanlah kesengajaan yang tibah-tibah ada dan menetap bermukim tetapi kehidupan yang dipertahankan untuk tetap hidup dan berjuang berdasarkan budaya dan tradisi yang bersandarkan pada sebua kebudayaan yang bersandar hidup atas alam.
KONDISI SOSIAL BUDAYA
Pelapisan sosial didesa Mantikole Dusun IV
Lapisan sosialnya terbagi atas tiga yaitu : kelas atas, menengah, dan bawah.
System norma dan adat
Adat istiadat tentang kedudukan startegis dalam struktur sosialnya masih menempati strukturnya masing-masing terutama tokoh adat dimana tokoh adat tersebut memiliki peranan penting dalam memantau masyarakatnya. Contohnya :untuk adat pernikahan, dalam pelamaran semua persetujuan dari pihak laki-laki, biasanya membawa uang, ayam, kambing dan babi . adat mereka juga berbeda-beda ada adat 9 dan adat 7, dimana kedua adat ini memilki perbedaan , adat 9 jika masih keturunan dari ketua adat maka akan dilamar sebanyak 9 ekor binatang dan ini berlaku jika sesama suku tetapi jika tidak sesama suku maka hanya di uangkan sesuai harga ke 9 ekor binatang tersebut. Dan ada juga tambahan uang sebanyak Rp 500 ribu ke atas dan binatang itu diserahkan satu minggu sebelum hari pestanya sedangkan uangnya diserahkan pada hari akad nikahnya. Sedangkan adat 7 maka akan melamar sebanyak 7 ekor binatang dan untuk mengenai adatnya sama dengan adat 9 Cuma yang membedakannya adalah jumlah binatang itu saja.
Didesa Mantikole khususnya dusun IV juga punya tradisi adat yang tidak bisa dilanggar yaitu perkawinan sedarah atau masih adanya hubungan darah menurut masyarakat desa mantikole penyelesaian adatnya sangat lah berat dimana keduannya akan dikenakan sangsi yaitu berupa hewan ternak babi putih polos tidak bercampur warna lainnya dan harus menanggung berkisar satu sampai dua ekor. Selain itu juga bagi suami istri yang perpisah akan diselaikan secara adat dusun IV desa mantikole dan jika suami yang menginginkan perpisahan tersebut maka suami tersebut akan dikenakan denda dan harus dibayar sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan kepala adat dusun IV desa mantikole.
Keyakinan dan Kepercayaan Desa Mantikole Dusun IV
Pada dasarnya kepercayaan atau keyakinan atas kekuatan diluar kekuatan manusia dan alam sangat menentukan bagi system social masyarakat, pengaruh ini kemudian menjadi norma nilai-nilai social masyarakat untuk mengatur pelilaku dan tindakan social dalam kelompoknya. Di desa Mantikole Dusun IV yang mayoritas masyarakatnya Bergama Kristen; Balai Keselamatan (BK) dan Pantekosta (GPDI) dan sebagian Beragama Islam, menjadikan agama sebagai suatu kepercayaan yang dapat mengikat persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat Dusun IV mantikole dimana masyarakatnya menyakini bahwa agamalah yang kemudian mempersatukan untuk saling menghargai dan menciptakan keharmonisan mereka. Dusun ini juga punya keunikan tersendiri dimana jika hari raya agama baik Kristen ataupun Islam warga setempat melalui tokoh-tokoh agama saling mengundang dengan alasan bahwa itu adalah tradisi yang sudah turun temurun diterapkan oleh nenek moyang mereka sejak dahulu untuk selalu menguatkan tali persaudaraan mereka, bukan saja dusun tersebut tetapi keseluruhan desa mantikole dan Desa Pesaku dll. Mereka mengakui bahwa dari beberapa desa tentangga itu adalah keluarga yang juga adalah satu darah dengan mereka, karena awalnya warga dusun IV Desa Mantikole dan Pesaku adalah satu nenek moyang yang juga berasal dari Gunung Topeiso perpecahan ini juga berawal dari masuknya kolonial di Indonesia yaitu Negara Jepang.
KONDISI EKONOMI
Menurut system ekonominya jenis komoditi yang paling unggul didesa Mantikole dusun empat adalah jagung, ubi, pisang, coklat, kelapa, kapok dan jambu menteh. Dan peternakannya ada kambing, babi, sapi, bebek, anjing dan ayam. jenis usaha pada umumnya disana merupakan milki sendiri dan tidak mempekerjakan orang lain, dan tidak menggunakan tenaga buruh. Mengenai hubungan kerja antara pemilik usaha dan dan buruh biasanya digaji 10. 000/ perorang atau biasa digaji dengan cara menukarkan tenaganya dengan kebutuhan sehari-hari misalnya beras.menurut kapasitas produksi dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Dan untuk mendapatkan hasil produksi yang baik maka masyarakat melakukan transaksi dengan cara mendatangkan tengkulak dari kota kemudian melakukan transaksi jual beli kepada tengkulak tersebut kemudian mengalihkannya kepasar. Selain untuk menambah penghasilan dalam kebutuhan rumah tangga maka sebagian didusun tersebut mendirikan toko atau kios didepan rumahnya dengan menjual kebutuhan rumah tangga. Tetapi tidak sebagian dari took tersebut menjual kebutuhan rumah tangga.
Menurut kondisi jalan desa mantikole dusun IV sudah cukuip baik karena jalur trasnportasi sudah lancar yang bisa menghubunkan dari desa tersebut kekota. Sarana penerangan didusun tersebut sudah ada untuk tiap-tiap rumah warga dan sudah menggunakan listrik.ketersediaan sumber energi sudah tersedia karena masyrakat membeli minyak tanah secara eceran dikios atau toko. Dan untuk mengenai pelayanan air bersih sudah ada yang disediakan 3 oleh pemerintah atau PN-PM setempat dengan cara mendirikan tempat penampungan air atau biasa disebut dap atau bak. Dan menurut warga tersebut kualitas airnya sudah cukup baik bagi kesehatan.
Analisis Kondisi Hidup Masyarakat
Pada dasarnya masyarakat mantikole rata-rata masih memelihara rasa solidaristas terlihat dari berbagi sumber yang temui bawa dusun empat dan dusun lainnya masih memelihara ikatan kekeluargaan dalam beberapa hal misalnya dalam pembangunan infrastruktur dan kegiatan social lainnya ini kemudian telah dipelihara dari semenjak dahuluh untuk menciptakan kebersamaan dan rasa solidaritas masyarakat Mantikole.
Masyarakat Mantikole terbangun sebagai suatu struktur atau sistem sosial. Rentang sejarah dari generasi ke generasi ini kemudian telah membawa masyarakat kepada kenyataan sosial yang diantaranya diendapkan sebagai aturan-aturan penuh nilai dan norma-norma penyeimbang. Akar bangunan struktur itu menjadi pedoman hidup sekaligus ciri ideal bagi perilaku seorang individu terhadap masyarakat.
Dalam bangunan struktur masyarakat mantikole khususnya dusun empat (IV) tidak dikenal pola kekerabatan besar yang terdiri dari rumpun-rumpun kekerabatan kecil berdasarkan pertalian darah. Pola kekerabatan yang ada, dikenal dengan istilah golongan, yang menunjukkan sekelompok orang yang masih mempunyai pertalian darah antara satu keluarga dengan keluarga lain sehingga secara keseluruhan mereka merupakan satu rumpun kekerabatan. Terbentuknya sistem kekerabatan (penggolongan keluarga-keluarga serumpun ini) sebagaian masyarakat Mantikole merupakan akibat dari pola kehidupan bersama yang dibangun secara terpisah dari golongan-golongan yang lebih besar.
Permukiman masyarakat dusun empat desa mantikole merupakan faktor utama penggolongan rumpun suku ini sebagai masyarakat yang terorganisir. Dalam perspektif masyarakat terasing suku kaili pola kekerabatan ini disebut dengan ngata sintuvu; sebutan masyarakat dusun empat desa mantikole (kehidupan bersama dalam satu kampung).
Ngata sintuvu adalah istilah yang dikenal dan dipergunakan oleh masyarakat untuk menjelaskan tentang hubungan kekerabatan mereka. Menurut kepercayaan masyarakat dusun empat desa mantikole, bahwa eksistensi mereka dalam satu permukiman merupakan amanat leluhur yang harus dipertahankan. Meskipun salah satu atau beberapa keluarga memutuskan pindah ke lokasi baru, namun tempat tinggal semula tetap dianggap sebagai tempat asal atau rumah mereka yang sesungguhnya. Keterikatan masyarakat dusun empat desa mantikole dalam ngata sintuvu membawa masyarakat pada suatu kesadaran bersama yang tinggi sehingga memungkinkan lahirnya etnosentrisme. Kelompok masyarakat ini sangat membanggakan nilai tradisi yang telah mengendap sebagai kebudayaan immaterial. Hal ini mempengaruhi pola hubungan sosial dan pola produksi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar