Jumat, 17 Agustus 2012
Schistosoma Japonicum
a. Hospes
Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus sawah (rattus), sapi, babi rusa, dan lain-lain.
b. Penyakit
Schistosomiasis japonica adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi salah satu species cacing trematoda darah yang disebut Schistosoma japonicum. Penyakit ini hanya terdapat di daerah-daerah Timur, yaitu di Jepang, Cina, Taiwan. Pilipina, Thailand, Laos, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia penyakit ini telah ditemukan sejak tahun 1937 yaitu di daerah danau Lindu, Sulawesi Tengah. Pada tahun 1972 telah ditemukan daerah endemik baru, yaitu di lembah Napu, yang terletak ± 50 km di sebelah tenggara danau Lindu
c. Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu, dan Lembah Napu.
d. Morfologi
S. japonicum berwarna kuning atau kuning-coklat. Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira 1,9 cm. Dengan elektron mikroskop tidak ada duri pada permukaan dorsal cacing jantan. Banyak duri menutupi permukaan bagian dalam pengisap oral. Pengisap ventral memiliki banyak duri yang lebih kecil daripada di pengisap oral. Cacing betina memiliki duri lebih sedikit daripada di pengisap oral, pengisap ventral, dan kanal gynecophoric dari cacing jantan. hidupnya di vena mesenterika superior. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam seperti hati, paru, dan otak.
Siklus hidup Schistosoma japonicum dan Schistosoma mansoni sangat mirip. Secara singkat, telur dari parasit dilepaskan dalam tinja dan jika mengalami kontak dengan air mereka menetas menjadi larva yang berenang bebas, yang disebut miracidia . Larva kemudian harus menginfeksi keong dari genus Oncomelania seperti jenis lindoensis Oncomelania dalam satu atau dua hari. Di dalam keong, larva mengalami reproduksi aseksual melalui serangkaian tahapan yang disebut sporocysts. Setelah tahap reproduksi aseksual, cercaria yang dihasilkan dalam jumlah besar, yang kemudian meninggalkan keong dan harus menginfeksi inang vertebrata yang cocok. Setelah cercaria menembus kulit tuan rumah kehilangan ekornya dan menjadi sebuah schistosomule, Cacing kemudian bermigrasi melalui sirkulasi, berakhir di pembuluh darah mesenterika dimana mereka kawin dan mulai bertelur. Setiap pasangan desposits sekitar 1500 - 3500 telur per hari dalam dinding usus. Telur menyusup melalui jaringan dan terdapat dalam tinja.
e. Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah gatal-gatal (uritikaria). Gejala intoksikasi disertai demam hepatomegali dan eosinofilia tinggi. Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dna splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.
f. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi hati dan biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi dapat dipakai adalah COPT (Circumoval precipitin test), IHT (Indirect Haemagglutation test), CFT (Complement fixation test), FAT (Fluorescent antibody test) dan ELISA (Enzyme linked immuno sorbent assay).
g. Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah (rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis Lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973). Habitat keong di daerah danau Lindu ada 2 macam, yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi, atau di pinggir parit di antara sawah.
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.
Cara penanggulangan skistomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Subdit, P2M dan PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari kira-kira 37% turun menjadi kira-kira 1,5% setelah pengobatan.
h. Pencegahan
Memberi penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis tentang cara-cara penularan dan cara pemberantasan penyakit ini.
Buang air besar dam buang air kecil dijamban yang saniter agar telur cacing tidak mencapai badan-badan air tawar yang mengandung keong sebagai inang antara. Pengawasan terhadap hewan yang terinfeksi S. japonicum perlu dilakukan tetapi biasanya tidak praktis.
Memperbaiki cara-cara irigasi dan pertanian; mengurangi habitat keong dengan membersihkan badan-badan air dari vegetasi atau dengan mengeringkan dan mengalirkan air.
Memberantas tempat perindukan keong dengan moluskisida (biaya yang tersedia mungkin terbatas untuk penggunaan moluskisida ini).
Untuk mencegah pemajanan dengan air yang terkontaminasi (contoh : gunakan sepatu bot karet). Untuk mengurangi penetrasi serkaria setelah terpajan dengan air yang terkontaminsai dalam waktu singkat atau secara tidak sengaja yaitu kulit yang basah dengan air yang diduga terinfeksi dikeringkan segera dengan handuk. Bisa juga dengan mengoleskan alkohol 70% segera pada kulit untuk membunuh serkaria.
Persediaan air minum, air untuk mandi dan mencuci pakaian hendaknya diambil dari sumber yang bebas serkaria atau air yang sudah diberi obat untuk membunuh serkariannya.
Obati penderita di daerah endemis dengan praziquantel untuk mencegah penyakit berlanjut dan mengurangi penularan dengan mengurangi pelepasan telur oleh cacing.
Para wisatawan yang mengunjungi daerah endemis harus diberitahu akan risiko penularan dan cara pencegahan
i. Pengobatan
- Obat Niridazol (1-Nitro-2, thiazoyl-2 imidazolidnone) (Ambilhar, Ciba-32, 644, Ba)
Niridazol agak lambat diserap dari traktus intestinalis dan diuraikan di dalam hati menjadi metabolit yang tidak toksik. Pengobatan infeksi S.japonicum dengan Niridazol telah dilakukan di Jepang, Filipina, dan Indonesia. Dosis yang dipakai adalah 25 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari berturut-turut dan mendapatkan hasil 20% masih positif 2 bulan setelah pengobatan, 13% masih positif 6 bulan setelah pengobatan 21,8% positif 11 bulan setelah pengobatan. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, tidak nafsu makan dan diare.
- Obat Prazikuantel (Embay® 8440; Droncit®, Biltricide®) Bayer, A.G. dan Merck Darmstadt
Di Indonesia prazikuantel dipakai untuk pertama kali sebagai pengobatan percobaan pada infeksi S.japonicum (Joesoef dkk, 1980). Dosis yang dipakai adalah 35 mg per kg berat badan, diberikan 2 kali dalam satu hari sehingga dosis total adalah 70 mg/kg berat badan per hari. Efek samping adalah mual (3,7%), pusing (6,1%), demam (2,4%) dan disentri (1,8%).
Dari hasil pengobatan yang diuraikan diatas ternyata obat ini cukup baik dengan hasil penyembuhan cukup besar serta efek samping dapat dikatakan ringan, sehingga prospek obat ini cukup baik untuk dipakai dalam pengobatan masal sebagai obat anti Schistosoma di daerah Danau Lindu dan Napu, Sulawesi Tengah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar