Selasa, 21 Agustus 2012
Monsale’i, Ritual Adat Batui Untuk Hormati Leluhur
Di pedalaman wilayah Desa Kayowa, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Jumat (10/12) lalu. Seorang sesepuh adat dengan ikat kepala kain merah tertutup helm menaiki tangga rig darat 1.500 HP HNPI-2 Hinen Cina. Rudin Kandau namanya, seorang sesepuh masyarakat adat Batui.
Di rig floor yang berdiri kokoh di puncak bukit itu ia berhenti, lantas tangannya mencelup darah ayam dari mangkuk yang dibawanya dan melumuri bit (mata bor) yang akan digunakan untuk menajak tanah di kedalaman 2.500-an meter. Berikutnya, giliran rotary table, casing (pipa bor), dan ruang kontrol yang dilumuri. Sejenak hiruk-pikuk di rig terhenti. Para roughneck dan derrick-man yang bekerja memberi waktu untuk ritual ini. Driller bahkan rela ruang kontrolnya dimasuki untuk dilumuri darah ayam. Setelah itu ia pun turun dan ritual adat “Monsale’i” pun selesai.
Sebelumnya, di hadapan sebuah tatakan bertingkat dari kayu setinggi orang dewasa dengan hiasan janur kuning, ia berdiri dan berseru dalam bahasa Batui untuk memohon kepada leluhur agar pengeboran gas di Struktur Maleoraja itu sukses tanpa hambatan dan gangguan apapun, sehingga gas alam yang terpendam di lekuk-lekuk tanah di bawah bukit tersebut dapat ditemukan. Penemuan gas itu, katanya, akan sangat berguna bagi kemakmuran negara dan daerah, terlebih bagi masyarakat Batui. “Itu untuk keselamatan perusahaan,” kata Rudin.
Sebagai persembahan dari permohonan itu, di atas tatakan bertingkat yang menghadap kiblat disajikan berbagai menu makanan untuk makhluk halus. Ada bubur dan udang rebus yang masing-masing dibungkus dengan daun bomban. Juga ada buah pinang, daun dan buah sirih serta kapur makan dari bubuk cangkang kalantude, jenis kerang dalam bahasa setempat yang telah dibakar kemudian ditumbuk halus. Tak lupa juga tembakau dan lintingans rokok dari daun pisang yang telah mengering.
Ada juga dua batang bambu ukuran kecil yang dipotong pendek dan diisi masing-masing dengan bubur dan air bubur. Juga “buyu”, semacam ketupat yang dianyam lonjong khas Batui berisi beras pulut. Serta empat buah kain dengan motif berbeda dilengkapi songkok dan kerudung digantungkan pada sebuah bambu. Sebagai atribut, sebuah bendera warna merah dikibarkan di tiang bambu yang pendek dilengkapi kemenyan. Sementara sebilah parang, tombak pendek dan perisai diikatkan pada tatakan itu.
Setelah permohonan diungkapkan, tiga ekor ayam dengan bulu yang berbeda warna dilepaskan setelah diasapi dengan kemenyan. Selanjutnya, seekor lagi disembelih dan diambil darahnya yang kemudian dilumurkan ke rig. Rig ini akan menajak sumur pengembangan Lapangan Gas Maleoraja yang memiliki cadangan terbukti (proven) 117,54 BSCF (bilion standard cubic feet/milyar kaki kubik).
Asisten Manager PR & Hukum PT Pertamina EP-PPGM Ali Syahbana menyebutkan pihaknya mengapresiasi positif ritual adat ini. Ritual semacam ini bukan yang pertama kalinya ia temui di dunia pengeboran. Di Sumatera, ritual semacam ini disebut Sedekah Adat.
Dengan dilaksanakannya ritual ini, Ali Syahbana menyebutkan, pihaknya berterima kasih atas dukungan masyarakat Batui dalam pengembangan Blok Matindok. Dukungan yang ada selama ini tentunya sangat membantu upaya percepatan proyek LNG (liquified natural gas) Donggi Senoro. Ia berharap dukungan terhadap proyek Donggi Senoro tidak hanya untuk kegiatan PT Pertamina EP-PPGM yang mengelola Matindok di hulu tapi juga untuk JOB Pertamina – Medco E & P Tomori Sulawesi (JOB PMTS) di Senoro dan kepada PT Donggi Senoro LNG (DSLNG) yang akan membangun kilang LNG di hilir. Karena ketiganya merupakan perusahaan yang berintegrasi dalam proyek LNG Donggi Senoro di hulu dan hilir demi kemajuan daerah juga.
Bagi mian (masyarakat adat) Batui yang mendiami dataran rendah berbukit-bukit antara Kuala Luk dan Sungai Motindok, upacara adat Monsale’i adalah sesuatu yang sakral. Upacara ini dimaksudkan untuk memohon restu kepada para penjaga bumi, langit, udara, sungai dan laut untuk kelancaran sebuah kegiatan atau proyek.
Masyarakat adat Batui sebagai penganut agama Islam hingga saat ini meyakini bahwa tanah adatnya dijaga oleh makhluk gaib. Karenanya, ketika akan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan fisik, ritual Monsale’i harus dilaksanakan agar usaha dapat berjalan mulus dan sukses. Jika syarat ini tidak dilaksanakan, diyakini ada saja gangguan non teknis yang akan menghambat kegiatan.
Meskipun hal ini dianggap berbau takhayul dan syirik, namun dengan adanya sejumlah keanehan yang kerap terjadi, masyarakat Batui meyakini bahwa ada kekuatan gaib yang menjaga tanah Batui. Banyaknya peristiwa yang di luar nalar manusia juga menjadi hal yang makin menguatkan keyakinan masyarakat bahwa manusia tidak boleh bersikap arogan terhadap sesama dan bertindak semena-mena terhadap alam tanpa terlebih dahulu berpamitan kepada para penjaga alam. Ketika itu diabaikan, maka ada saja petaka yang menimpa sebagai peringatan dari para leluhur.
Peristiwa-peristiwa ganjil itu disebutkan sering terjadi, salah satunya seperti ketika PT. Pertamina EP yang melakukan pemboran eksplorasi di Selat Peling beberapa tahun lalu tidak dapat mencabut pipa dan bit pemborannya dari dasar laut karena dinding sumur runtuh sehingga pemboran terhenti. Kasus yang dalam dunia pengeboran disebut packing off itu baru bisa teratasi setelah pihak perusahaan meminta bantuan dari masyarakat adat Batui. Kala itu, Idat Marida, seorang tetua adat terpaksa diboyong ke rig untuk menggelar ritual adat Monsalei. Dengan darah kambing yang disembelih, ia pun mengitari perairan sekeliling rig jack up dengan speedboat dan menumpahkannya ke laut.
Contoh lain disebutkan, ketika proyek TNI Manunggal Masuk Desa dilaksanakan pada 2008 kemarin tanpa terlebih dulu melaksanakan ritual Monsalei, alat berat yang bekerja untuk pembuatan tanggul Sungai Batui mendadak tidak bisa difungsikan tanpa diketahui sebabnya. Setelah digelar ritual adatnya, barulah alat berat itu bisa bekerja. Karena banyaknya kejadian-kejadian seperti itu, investor yang masuk ke wilayah ini seringkali menghadapi kendala di lapangan ketika akan melaksanakan pekerjaan.
Kentalnya budaya mistis dalam hampir setiap segi kehidupan, membuat masyarakat Batui juga mengenal adanya tempat-tempat yang dikeramatkan. Tempat-tempat itu dulunya adalah bekas perkampungan masyarakat adat di wilayah pedalaman. Di tiap tempat ini, dibangun sebuah bangunan yang disebut ”kusalik” untuk tempat melaksanakan peringatan masuknya agama Islam di Batui pada 906 Hijriyah pada setiap tahunnya. Kusalik pada masa awal masuknya Islam ke wilayah ini berfungsi sebagai tempat mempelajari ajaran agama Islam. Namun, dalam prosesinya, acara keagamaan di tempat-tempat ini justru kental dengan nuansa mistis karena membuat orang-orang kesurupan saat berzikir dengan iringan tabuhan gong.
Bagi mian Batui, kepercayaan terhadap hal-hal gaib tersebut diyakini bukanlah sesuatu yang berbau syirik. Karenanya, budaya itu tetap terjaga hingga saat ini sebagai kearifan lokal, termasuk ritual Monsale’i.
http://rahmatazis.wordpress.com/2012/03/03/monsalei-ritual-adat-batui-untuk-hormati-leluhur/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar