Minggu, 19 Agustus 2012

SESAR PALU KORO

Rahmat Kusnadi.S,Pd

Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, tercatat sebagai daerah rawan gempa karena memiliki aktivitas tektonik tertinggi di Indonesia. Penyebab utamanya tidak lain adalah karena di kota Palu terdapat patahan kerak bumi (sesar) berdimensi cukup besar, dikenal dengan sesar Palu Koro. Sesar itu memanjang mulai dari Selat Makassar sampai pantai utara Teluk Bone dengan panjang patahan sekitar 500 km. Di Kota Palu, patahan itu melintas dari Teluk Palu masuk ke wilayah daratan, memotong jantung kota, terus sampai ke Sungai Lariang di Lembah Pipikoro, Donggala (arah selatan Palu).
sesar yang merupakan pertemuan lempeng-lempeng tektonik di bawah perut bumi itu jenis sesar aktif. Sesar itu terus bergerak satu sama lain dan memiliki sifat pergeseran sinistral (pergeseran ke arah kanan) dengan kecepatan geser sekitar 14-17 mm/tahun.Pergeseran pada lempeng-lempeng tektonik yang cukup aktif di sesar Palu Koro membuat tingkat kegempaan di wilayah itu juga dikategorikan cukup tinggi. Catatan seismograf pada Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Palu menyebutkan, hampir setiap menit Palu dan Donggala diguncang gempa. Hanya saja getarannya kecil-kecil, dan hanya bisa dicatat seismograf.
Akan tetapi pada waktu-waktu tertentu, getarannya bisa besar, bergantung pada gesekan energi yang dikeluarkan dari sesar tersebut. Dengan kondisi patahan Palu Koro yang cukup aktif, dapat dikatakan setiap saat Kota Palu rawan diguncang gempa hebat.
Sulawesi merupakan pulau yang khas dan terletak di tengah-tengah kawasan Wallace. Kawasan ini merupakan wilayah yang terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia. Karena posisinya di tengah, maka kawasan ini memiliki tingkat endemisitas yang tinggi dalam hal flora dan fauna, serta memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan Kalimantan yang hanya dipisahkan oleh Selat Makassar yang tidak terlalu luas.

Sejarah Geologi Pulau Sulawesi

Zaman Paleozoikum : Pada periode Perm (280 Ma.) semua daratan menjadi satu benua yaitu benua Pangea.
ZamanMesozoikum : Pada periode Trias (250 Ma), pecahnya Pangea menjadi dua yaitu Laurasia dan Gondwana. Laurasia meliputi Amerika Utara, Eropa dan sebagian besar Asia sekarang. Sampai beberapa tahun belakangan ini pandangan yang umum diterima dalam sejarah geologi adalah bahwa Indonesia dan wilayah sekitar bagian barat (Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan bagian barat Sulawesi) merupakan bagian benua Laurasia, yang belum lama berselang masih terpisahkan dari bagian timur ( bagian Timur Sulawesi, Timor, Seram, Buru, dan seterusnya) yang merupakan bagian benua Gondwana. Pada Periode Jura (215 Ma.), Bagian barat Sulawesi bersama sama dengan Sumatera, Kalimantan, dan daratan yang kemudian akan menjadi kepulauan lengkung Banda dianggap terpisahkan dari antartika dalam pertengahan zaman Jura, atau dengan kata lain, Bagian barat Indonesia bersama dengan Tibet, Birma Thailand, Malaysia dan Sulawesi Barat, terpisah dari benua Gondwana.
Zaman Konozoikum ada kurun Eosen (60 Ma) Australia terpisah dari Antartika, vulkanisme mulai timbul di bagian barat Sulawesi. Pada kurun Oligosen (40 Ma), Posisi Indonesia bagian barat dan Sulawesi bagian barat, posisinya seperti posisi sekarang. Pada kurun Miosen (25 Ma), Australia, Irian dan bagian timur Sulawesi barangkali terpisahkan dari Irian sebelum bertabrakan dengan Sulawesi bagian barat, pada zaman pertengahan miosen dimana mulai munculnya daratan. Dimana Australia, Sulawesi Timur dan Irian terus bergarak ke utara kira kira 10 cm pertahun.
Peristiwa yang paling penting dalam sejarah geologi Indonesia terjadi dalam kurun Miosen, ketika lempeng Australia bergerak ke Utara mengakibatkan melengkungnya bagian timur, lengkung Banda ke Barat. Gerakan ke arah barat ini digabung dengan desakan ke darat sepanjang sistem patahan Sorong dari bagian barat Irian dengan arah timur barat, mengubah kedua masa daratan yang akan menghasilkan bentuk khas Sulawesi yang sekarang.

Diperkirakan tabrakan ini terjadi pada 19-13 Ma yang lalu. Kepulauan Banggai Sula bertabrakan dengan Sulawesi timur dan seakan akan menjadi ujung tombak yang masuk ke Sulawesi barat, yang menyebabkan semenanjung barat daya berputar berlawanan dengan arah jarum jam sebesar kira kira 35 derajat, dan bersama itu membuka teluk Bone. Semenanjung Utara memutar ujung utaranya menurut arah jarum jam hampir sebesar 90 derajat ,yang menyebabkan terjadinya subduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak bumi di bawah bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik), sepanjang Alur Sulawesi Utara dan Teluk Gorontalo. Dan Obduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak bumi diatas bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik),batuan ultra basis di Sulawesi timur dan tenggara diatas reruntuhan pengikisan atau endapan batuan yang lebih muda yang bercampur aduk.
Diperkirakan juga bahwa, Sulawesi barat bertabrakan dengan Kalimantan timur pada akhir Pliosen (3 Ma. yang lalu) yang sementara itu menutup selat Makasar dan baru membuka kembali dalam periode Kwarter, meskipun tidak ada data pasti yang menunjang pendapat ini. Endapan tebal dari sebelum Miosen di selat Makasar memberikan petunjuk bahhwa Kalimantan dan Sulawesi pernah terpisahkan sekurang-kurangnya 25 Ma. dalam periode permukaan laut rendah, mungkin sekali pada masa itu terdapat pulau-pulau khususnya di daerah sebelah barat Majene dan sekitar gisik Doangdoang.
Di daerah Doangdoang, penurunan permukaan air laut sampai 100 m. akan menyebabkan munculnya daratan yang bersinambungan antara Kalimamantan tenggara dan Sulawesi barat daya. Biarpun demikian, suatu pengamatan yang menarik ialah bahwa garis kontur 1000 m di bawah laut di sebelah timur Kalimantan persis sama dengan garis yang sama di Sulawesi barat, sehingga mungkin selat Makasar dulu hanya jauh lebih sempit. Sulawesi meliputi tiga propinsi geologi yang berbeda-beda, digabung menjadi satu oleh gerakan kerak bumi. Propinsi-propinsi tersebut adalah Sulawesi barat dan timur yang dipisahkan oleh patahan utara barat laut antara Palu dan Teluk Bone (patahan Palu Koro), serta Propinsi Banggai Sula yang mencakup daerah Tokala di belakang Luwuk dan Semenanjung Barat laut, Kepulauan Banggai, pulau Buton dan Kep. Sula (yang kenyataannya merupakan bagian Propinsi Maluku).
Pergerakan kerak bumi pada lempeng Indo-Australia dan Pasifik yang mengarah ke utara bertemu dengan pergerakan lempeng Eurasia yang cenderung ke arah selatan. meskipun pergerakan kerak bumi sangat kecil, yaitu sekitar 5 hingga 7 sentimeter per tahun, namun sangat berpengaruh terhadap aktivitas tektonik kerak bumi. Perubahan letak ini nantinya bakal mengakibatkan struktur lempeng menjadi labil dan rapuh.
Dari sejarah geologi, daratan Sulawesi terbentuk akibat adanya aktivitas tektonik. Dengan pengaruh pergerakan ketiga lempengan yang ada, membentuk struktur geologi dan pulau-pulau yang begitu rumit dan beriringan.
Dari sesar-sesar yang ada, terdapat sesar aktif yang sewaktu-waktu bergerak. Aktifnya sesar ini apabila dipicu pergerakan lempeng yang melepaskan energi relatif besar. Salah satunya akan berakibat terjadinya gempa tektonik yang kemudian disusul tsunami.

Sampai saat ini pengamatan yang dilkukan untuk mempelajari pergerakan lempeng di Sulawesi dan sekitarnya, antara lain dengan menggunakan peralatan seismik, vulkanologi, dan menggunakan GPS (global positioning systems). Diharapkan dengan metoda pengamatan dengan menggunakan GPS dapat mengamati pergerakan lempeng.
Aktivitas pengamatan dengan GPS direalisasikan melalui jaring pemantauan yang terdiri atas stasiun-stasiun GPS yang tersebar di wilayah Sulawesi. Pengelompokkan jaring GPS dilakukan berdasarkan pada permasalahan geodinamik yang dijadikan subyek dilakukannya studi pemantauan. Jaring pantau terbagi menjadi tiga jenis, yaitu jaring Sulawesi utama, Jaring Palu Koro dan jaring Gorontalo. Jaring Sulawesi utama ditujukan untuk pemantauan aktivitas tektonik regional dari pulau Sulawesi, dimana aktivitas pengamatan dilakukan dengan metoda periodik dengan selang waktu sekali pertahun.
Penelitian dengan menggunakan teknologi GPS secara umum bertujuan untuk mengidentifikasi daerah berseismisitas tinggi, penyelidikan akulumasi regangan, pemodelan kinematik yang terintegrasi, pemahaman keterkaitan antara fenomena fisik. Parameter-parameter penelitian di atas selanjutnya dapat dipergunakan sebagai parameter input untuk melihat potensi bencana yang mungkin terjadi seperti erupsi vulkanik, longsoran tanah, dan terutama bencana gempa bumi.

SUMBER ; http://rahmatkusnadi6.blogspot.com/2010/04/sesar-palu-koro.html

1 komentar:

  1. Ternyata sangat jelas diuraikan bahwa Sulawesi Tengah merupakan daerah yang memiliki sejarah Geologi yang panjang dengan sejuta potensi Bencana yang mematikan, Tapi mengapa kita selalu lengah entah karena tak Peduli dengan hasil penelitian atau pura-pura tidak memahami...Tulisan ini memberikan gambaran nyata atas apa yang dihasilkan oleh peneliti sangatlah bermanfaat.....Semoga ini menjadi catatan Penting untuk kita semua agar lebih bijak dan mampu memilih dimana seharusnya kita Hidup bekelompok (mendirikan pemukiman)...Salut atas tulisan ini

    BalasHapus