Hari itu sebuah rumah di Dusun Vanja, Desa Soi, Donggala, Sulawesi Tengah, tak seperti biasanya. Newa, sang empunya rumah lebih sibuk dari biasanya. Ia mengundang tetangga untuk meminta bantuan menjalankan suatu kegiatan adat suku Da`a yang disebut Numpevoyu. Kegiatan ini dilakukan sebagai rangkaian prosesi bagi orang Da`a untuk menikahkan anak perempuannya. Newa juga tak lupa mengundang kakak sepupunya, Sana yang kebetulan pemimpin adat di sana.
Numpevoyu adalah upacara untuk membuka ladang di hutan yang dilakukan menjelang peristiwa perkawinan. Dalam tradisi Da`a, orang tua dari pihak perempuan berkewajiban untuk menyiapkan sebidang lahan yang cocok bagi calon keluarga anaknya. Mine, anak ketiga beberapa hari lagi akan menikah. Karena itu Newa harus segera mencari lahan yang cocok bagi bekal hidup anak dan menantunya.
Umumnya orang Da`a, Newa memiliki keyakinan bahwa untuk mencari lahan yang dapat ditanami, ia harus meminta petunjuk dari Tompopajadi, Sang Maha Kuasa tetap diperlukan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meminta petunjuk Tompopajadi. Salah satunya adalah dengan menyembelih ayam. Hati dan empedu ayam digunakan sebagai sarana untuk menangkap isyarat dari Sang Tompopajadi. "Hai Viyata, tunjukan apakah tanah ini baik untuk kami atau tidak, melalui hati dan jantung ayam ini," Newa meminta. Proses itulah yang disebut upacara Numpevoyu.
Saat hati ayam pertama dibuka, Newa memperoleh isyarat bahwa lahan yang telah dipilihnya ini ternyata bukan tempat yang baik untuk bercocok tanam. Maka dipilihlah beberapa tempat lain yang dirasa cocok. Di sini, seekor ayam kembali dikorbankan. Hati dan jantung ayam yang kedua ini terlihat lebih segar dibandingkan ayam pertama yang telah dikorbankan. Ini sebagai isyarat bahwa tanah yang telah dipilih Newa bisa digunakan untuk bercocok tanam. Hati Newa pun lega. Anak perempuannya yang akan dinikahkan kini memiliki modal yang cukup untuk menata masa depannya.
Tapi tugas Newa belum selesai. Keesokan harinya, ia harus mendirikan pondok sederhana di areal tanah yang telah terpilih. Pondok tadi sebagai pertanda bagi warga lain untuk tidak bercocok tanam di tempat itu. Kini, Newa tinggal mempersiapkan diri untuk melaksanakan pernikahan anak ketiganya, Mine.
Suku Da`a adalah salah satu kelompok etnis yang hidup terpencil di wilayah pegunungan Kabupaten Donggala, Sulteng. Tempat tinggal mereka yang disebut Sou menyebar dalam kelompok-kelompok keluarga inti. Terpisahkan satu dengan lainnya dalam jarak ratusan meter atau bahkan beberapa kilometer. Meski demikian, komunikasi sosial mereka tetap terjaga melalui hubungan kekerabatan dan kegiatan-kegiatan adat, seperti perkawinan. Itu sebabnya, berita tentang Newa yang akan mengawinkan anak perempuannya begitu cepat tersiar ke seluruh warga suku Da`a.
Sana, Kepala Suku Da`a di Desa Vanja juga sudah mengetahui hajatan itu sejak lama. Bagi Sana, perhelatan yang digelar Newa adalah perhelatannya juga. Maklum, Newa adalah Saudara sepupu Sana. Maka usai upacara Numpevoyu, Sana menjemput istri keduanya, Kipantoe yang tinggal di Dusun Dayo untuk hadir dalam perhelatan Newa. Sedangkan istri pertama Sana, Nipekita tinggal di Dusun Vanja.
Kipantoe sehari-hari tinggal sendirian di rumah panggung atau Sou yang dibuat Sana. Sana lebih sering tinggal di Vanja dengan istri tuanya, Nipekita. Dari perkawinannya dengan Sana, Kipantoe masih belum mendapat keturunan. Maka ia menjalani hidupnya yang sunyi sendiri di Sou setinggi empat meter. Sou Kipantoe dibuat setinggi itu untuk menghindari ancaman binatang buas.
Ketika Sana berada di rumah Kipantoe, seorang tetangga datang menemuinya, menitipkan beberapa buah durian untuk dijual di Vanja. Sana dan Kipantoe pun berangkat menuju Vanja. Keduanya menempuh beberapa bukit tanpa terlihat lelah. Alam dan pilihan hidup telah menempa mereka menjadi orang-orang yang kuat mendaki dan menuruni bukit.
Di beberapa rumah yang mereka lewati, Sana dan Kipantoe menyempatkan diri untuk bertamu. Berkunjung adalah salah satu kebiasaan warga Da`a. Mereka selalu singgah barang sejenak di rumah-rumah yang mereka lewati ketika mengadakan perjalanan jauh untuk sekedar beristirahat. Di sinilah hubungan sosial antarwarga terjalin dan terpelihara. Setelah rasa lelahnya sedikit terusir, Sana dan Kipantoe melanjutkan perjalanan menuju Vanja. Sekitar lima jam lamanya pasangan itu tiba di Vanja, dusun tempat Newa menggelar pesta.
Malam menjelang upacara pernikahan. Rumah Newa mulai terlihat ramai. Begitu pula Bantaya, rumah adat di samping rumah Newa. Newa yang membangun Bantaya itu sejak lama. Malam ini, Newa akan melangsungkan upacara adat untuk meminta berkah dari Sang Maha Kuasa. Disaksikan Sana, kepala adat, Newa menyiapkan sesajian yang disebut Sambulu.
Sebagai mahar atau mas kawin, Newa sebenarnya telah meminta tiga ekor babi dan 15 ekor ayam. Namun, ia harus menelan sedikit kekecewaan karena calon besannya baru mampu menyediakan seekor babi dan 12 ekor ayam. Babi tadi telah diserahkan jauh hari sebelumnya dan beberap ekor ayam baru dibawa malam ini.
Meski demikian, bukan berarti upacara perkawinan harus ditunda. Sesuai adat suku Da`a, Newa berhak menagih mas kawin yang diminta kelak setelah seluruh rangkaian upacara pernikahan dilaksanakan atau saat besan atau pihak keluarga pengantib pria sudah sanggup menyediakannya. Sedangkan untuk meminta restu dari warga dan kerabat, rokok dan sambulu atau sirih pinang pun dibagikan.
Mine, sang calon pengantin perempuan juga tak kalah sibuk. Gadis berusia 18 tahun yang sehari-harinya berladang ini tentu ingin terlihat lebih cantik pada hari perkawinannya. Gaun pengantin bergaya modern pun ia kenakan. Sebagai pemeluk nasrani, Mine dan calon suaminya mengesahkan hubungan suami-isteri di gereja setempat.
Kini, kebahagiaan Mine lengkap sudah. Ia telah bersanding secara syah dengan suaminya. Kelegaan yang sama terpancar dari wajah Newa, sang ayah dan Sana, kepala suku. Karena perkawinan Mine memiliki arti bahwa kehidupan suku Da`a akan terus berlanjut. Dari rahimnya, suatu saat nanti akan lahir orang Da`a baru.(AWD/Tim Potret SCTV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar