Jika merujuk pada asumsi para sejarawan 1), leluhur Tau Taa
Wana diduga berasal dari suatu tempat di bagian Selatan Tenggara Pulau
Sulawesi, tepatnya pada bagian Barat Daya atau Barat Laut Malili, di sebelah
Tenggara Teluk Bone. Mereka berada di wilayah pemukiman sekarang, melalui fase
migrasi gelombang kedua pada masa pra-sejarah.
Dari ciri-ciri fisik, kebudayaan material maupun dialek
bahasa, Tau Taa Wana digolongkan dalam kelompok suku besar ‘Koro Toraja’ dengan
rute migrasi awal dari muara antara Kalaena dan Malili kemudian menyusuri
Sungai Kalaena dan terus menuju bagian Utara melewati barisan Pengunungan
“Tokolekaju” hingga akhirnya sampai di bagian Tenggara Pesisir Danau Poso.
Selanjutnya leluhur Tau Taa Wana bergerak ke arah Timur Laut menyisir lereng
Gunung Kadata menuju dataran Walati (Lembah Masewa) yang dialiri Sungai La, dan
terus bergerak menyusuri Sungai Kuse sampai akhirnya tiba di daerah hulu Sungai
Bau. Dari sini mereka terus bergerak bermigrasi ke arah Timur hingga akhirnya
sampai di hulu Sungai Bongka, tepatnya di wilayah Kaju Marangka 2).
Di wilayah Kaju Marangka ini, sebagian kelompok migran
menetap dan berkembang menjadi kelompok etnik Tau Taa Wana. Dalam perkembangan
selanjutnya, etnik Tau Taa Wana kemudian menyebar dan mengelompok menjadi 4
suku sebagaimana disimpulkan oleh A.C. Kruyt 3). Menurut Kruyt, dari segi
dialek bahasa, Tau Taa Wana terbagi atas 4 suku, sebagai berikut: 4)
Suku Burangas, berasal dari Luwuk dan bermukim di Lijo,
Parangisi, Wumanggabino, Uepakatu, dan Salubiro;
Suku Kasiala, berasal dari Tojo Pantai Teluk Tomini dan
kemudian berdiam di Manyoe, Sea, serta sebagian di Wumanggabino, Uepakatu, dan
Salubiro;
Suku Posangke, berasal dari Poso dan berdiam di wilayah
Kajupoli, Taronggo, Opo, Uemasi, Lemo dan Salubiro;
Suku Untunue, mendiami Ue Waju, Kajumarangka, Salubiro, dan
Rompi. Kelompok suku ini tergolong masih tertutup dan liar.
Keempat dialek bahasa yang membagi etnik Tau Taa Wana
menjadi 4 suku tersebut diatas, sesungguhnya menurut Jane Monnig Atkinson,
adalah varian dialek dalam bahasa Pamona. Oleh karenanya, Atkinson menyimpulkan
bahwa Tau Taa Wana merupakan sub-etnis dari kelompok etnolinguistik Pamona,
yang kebanyakan mendiami wilayah-wilayah di sekitar Sungai Bongka, Ulu Bongka,
Bungku Utara dan Barong 5).
Asumsi sejarah asal-usul yang digambarkan di atas, relatif
mendapat pembenaran dari para tetua-tetua Tau Taa Wana pada lipu-lipu yang
menjadi lokasi studi 6) Mereka meyakini bahwa leluhur pertama mereka merupakan
titisan dari langit yang diturunkan di suatu tempat di Kaju Marangka, yaitu
Tundantana. Mereka juga mengatakan, ada enam tempat utama yang menjadi cikal
bakal penyebaran komunitas Tau Taa Wana sampai sekarang, yaitu Kaju Marangka,
Tongku Tua, Vatumoana, Salubiro, Kaju Kelei, dan Sarambe. Lima tempat berada di
wilayah Cagar Alam Morowali dan satu tempat masuk dalam wilayah adat Lipu Mpoa
yaitu Sarambe, yang dalam keyakinan tetua adat Tau Taa Wana di kawasan
sepanjang kawasan aliran Sungai Bulang, dipercaya sebagai tempat makam leluhur
Tau Taa Wana 7).
Tetua-tetua adat Tau Taa Wana percaya, bahwa silsilah
leluhur mereka yang pertama adalah seorang perempuan bernama Ngga yang
diturunkan ke bumi oleh Pue (Tuhan) dan seorang laki-laki bernama Mbakale yang
menitis dari sebatang kayu besar, Kaju Paramba’a 8). Keduanya kemudian kimpoi
dan melahirkan dua orang anak. Anak pertama bernama Manyamrame (perempuan), dan
yang kedua bernama Manyangkareo (laki-laki).
Setelah dewasa, Manyamrame dan Manyangkareo dikimpoikan.
Dari hasil perkimpoian tersebut, lahir tujuh orang anak, masing-masing:
Jambalawa (perempuan), Sansambalawa (laki-laki), Lapabisa (perempuan),
Vuampuangka (lakilaki), Pini (perempuan), Animasa (laki-laki), dan Adimaniyu
(perempuan).
Selain Pini yang tetap melajang di Kaju Marangka hingga
membatu menjadi Watumoana (batu beranak) 9), keenam saudaranya saling
dikimpoikan-mawinkan, masing-masing: Jambalawa dengan Animasa (merantau ke
tanah Gowa dengan menggunakan bintang tiga); Sansambalawa dengan Adimaniyu
(merantau ke tanah Cina dengan menumpang bintang tujuh), serta Lapabisa dengan
Vumpuangka (merantau ke tanah Jawa dengan menggunakan kapal).
Perkimpoian antara Jambalawa dengan Animasa, membuahkan
sejumlah keturunan. Tiga diantara anak keturunan itu datang kembali ke Burangas
(tanah asal orang tuanya), yakni: Pue Loloisong di Kaju Marangka dan Pue Rorat
di Sarambe, Janggu Wawu di Kaju Marangka. Sedangkan Sansambalawa dengan
Adimaniyu mendapatkan anak bernama Pue Dungola yang sempat datang ke Tongku Tua
tetapi kembali lagi ke Cina.
Pue Loloisong, Pue Rorat dan Janggu Wawu inilah yang
diyakini sebagai leluhur langsung Tau Taa Wana 10). Pue Loloisong, menurut
keyakinan umum Tau Taa Wana dimakamkan di Kayu Marangka, sementara Janggu Wawu
menghilang ke alam lain ketika berada di Gunung Tongku Tua. Sedangkan makam Pue
Rorat diyakini berada dalam gua di puncak gunung Sarambe.
Dalam cerita tetua adat Tau Taa Wana, pada masa perang antar
suku, komunitas Tau Taa Wana hidup berkelompok dan mengorganisir diri dalam
sebuah bente (benteng). Masing-masing bente terdiri paling sedikit 50 Kepala
Keluarga yang dipimpin oleh seorang Talenga 11). Suku-suku yang menjadi ancaman
dan sekaligus sering berperang melawan Tau Taa Wana adalah Suku Lage,
Kahumamaun, dan Besoa. Sementara bente-bente yang masih terekam dalam ingatan
tetua adat Tau Taa Wana di kawasan hulu SubDAS Bongka, yaitu Bente Padao,
Bungkulas, Rapang Kadang, Tomungku Rembe, Rapambalo, dan Tondo Kaja 12).
Dalam perkembangan selanjutnya, Tau Taa Wana tunduk pada
kesultanan atau raja-raja lokal yang berkuasa di daerah pantai, yakni Raja
Bungku di Selatan, Raja Banggai di Timur, Raja Tojo di Utara, dan Raja Mori di
Barat 13). Keempat raja lokal tersebut dalam masa kekuasaannya sejak abad XVII,
juga takluk pada Kerajaan Ternate. Sebagai taklukan, pemimpin-pemimpin Tau Taa
Wana melalui perantaraan bazal, diwajibkan mengirim upeti baik pada raja lokal
maupun pada raja Ternate.
Memasuki pertengahan abad XIX hingga pertengahan abad XX,
Kerajaan Ternate maupun Kerajaan Lokal (Bungku, Banggai, Mori dan Tojo), satu
persatu ditaklukkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, termasuk bente-bente Tau
Taa Wana dipedalaman hutan dan pegunungan 14). Dalam catatan Kepala Distrik Wana,
Yori Sida Bone, tahun 1907 adalah tahun untuk pertama kalinya Belanda menyerang
Tau Taa Wana di Pendolo. Belanda berhasil menguasai bente tersebut dan memaksa
Tau Taa Wana turun dan membangun perkampungan di tanah datar di Tambale,
Manyoe, Bino dan Ue Pakati. Mokole Taomi (nama pimpinan Tau Taa Wana kala itu)
terpaksa memerintahkan rakyatnya untuk berkampung disana. Namun karena
tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, seperti
keharusan untuk membayar pajak ditambah keadaan pemukiman baru yang asing buat
Tau Taa Wana, maka mereka pun kembali lari masuk hutan ke tempat asal,
diantaranya Posangke, Uewaju dan Kaju Marangka 15).
Kerajaan-kerajaan lokal yang telah ditaklukkan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda selanjutnya dijadikan Zelfbesturende Landschap
(Pemerintahan Swapraja), yang dalam stuktur pemerintahan negara jajahan Belanda
dimasukkan dalam wilayah administratif Onderafdeling Poso untuk Kerajaan Tojo,
Onderafdeling Kolonodale untuk kerajaan Mori dan Bungku dan Onderafdeling Banggai
(Luwuk) untuk Kerajaan Banggai.
Dalam masa Pemerintahan Nasional Indonesia, wilayah bekas
kerajaankerajaan lokal itu, pada tahun 1949 dimasukkan sebagai wilayah
kekuasaan Pemerintahan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah yang berkedudukan di
Poso. Kemudian ketika Sulawesi Tengah dibagi menjadi 2 wilayah administratif
kabupaten tahun 1951, wilayah kekuasaan keempat kerajaan lokal tersebut
dimasukkan ke dalam wilayah administratif Pemerintah Daerah Poso.
Tetapi pada tahun 1959, bekas wilayah Kerajaan Banggai masuk
dalam wilayah administratif Kabupaten Dati II Banggai, sementara wilayah
kekuasaan Kerajaan Tojo, Bungku dan Mori dimasukkan dalam wilayah administratif
Kabupaten Dati II Poso. Selanjutnya, ketika reformasi mulai bergulir dan trend
pemekaran wilayah atas nama otonomi daerah semakin menguat, maka Kabupaten Dati
II Poso, dimekarkan menjadi 3 kabupaten, yakni Kabupaten Poso sebagai kabupaten
induk dengan wilayah adminitratif meliputi bekas kerajaan Mori; Kabupaten
Morowali (terbentuk 1999) dengan wilayah adminitratif meliputi wilayah bekas
Kerajaan Bungku; serta Kabupaten Tojo Una-Una (terbentuk 2003) yang sebagian
wilayah adminitratifnya meliputi bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Tojo.
(Tambahan - Saya tidak tahu pembagian yg benarnya seperti
apa tapi sepengetahuan saya sekarang ini Kabupaten Poso wilayah adminitratifnya
Kerajaan Poso dan Pamona, untuk Kabupaten Morowali meliputi wilayah Kerajaan
Mori dan Bungku)
Sejarah penaklukan terhadap Tau Taa Wana, membuahkan sikap
yang unik. Sebahagian besar komunitas Tau Taa Wana, sampai saat ini masih
merasa terjajah, bahkan oleh Pemerintah Indonesia. Dasar penilaian tersebut
berangkat pada 3 logika sederhana:
Pertama, keharusan membayar pajak. Karena pada masa
Raja-raja Lokal, Raja Ternate dan Pemerintah Hindia Belanda Tau Taa Wana
diharuskan membayar upeti atau pajak, maka ketika mereka mengetahui bahwa
Pemerintah Indonesia juga mewajibkan hal serupa, mereka pun merasa sebagai
jajahan Pemerintah Indonesia. 16)
Kedua, cara-cara resettlement paksa dengan menggunakan
polisi dan tentara yang acapkali dilakukan oleh Pemerintah Indonesia masa Orde
Baru, semakin memperkuat sikap rasa terjajah mereka. Sebab cara-cara yang sama
juga dilakukan oleh Pemerintah Hinda Belanda. Maka menjadi tak heran jika
mereka umumnya menolak dan membangkang, dengan cara meninggalkan lokasi
resettlement tersebut dan masuk kembali ke dalam hutan melanjutkan kebiasaan
berladang secara rotatif 17).
Ketiga, cara-cara pendudukan wilayah kelola mereka oleh
Perusahaan Perkebunan Besar (Sawit), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan
Transmigrasi, merupakan faktor yang paling memperkuat rasa trauma mereka
sebagai komunitas terjajah 18).
Komunitas di Pedalaman Sulawesi Tengah
TAU TAA WANA
Secara etnografis, Tau (orang) Taa atau To Wana merupakan sub
etnis dari kelompok etnolinguistik Pamona yang mendiami wilayah-wilayah sekitar
sungai Bongka, Ulubongka, Bungku Utara dan Barong. Orang Wana memakai dialek
Wana yang termasuk di dalam rumpun bahasa Pamona sebagai bahasa pergaulan
sehari-hari. Dialek Wana juga disebut dialek Taa, sebuah varian dalam bahasa
Pamona (Atkinson, 1992).
Catatan hasil ekspedisi yang dilakukan oleh Walter Kaudern
pada tahun 1917-1920, menjumpai sebuah komunitas rumpun Poso-Toradja dengan
sebutan To Ampana (Taa) di wilayah pesisir pantai sekitar Tanjung Api
sebagaimana layaknya yang terdapat di kawasan aliran sungai Bongka. Di kawasan
pedalaman di lengan timur laut Sulawesi, tinggallah sekelompok komunitas asli
dari To Ampana (Taa). Juga dijumpai keberadaan mereka di sekitar dan sepanjang
DAS Bongka dengan sebutan To Wana, yang berarti “orang yang memiliki hutan/
tinggal di hutan”. Mereka ini bukanlah komunitas yang berbeda, namun merupakan
komunitas yang sama dengan To Ampana, hanya saja mereka tinggal di kawasan
pedalaman hutan. Selanjutnya menurut Kaudern dengan mengutip catatan Kruyt, To
Wana ini tinggal di kawasan berlembah sepanjang aliran sungai Bongka, dimana
tempat-tempat yang masih terekam dalam catatan tersebut antara lain : Bongka
Soa, Bintori, Karato, ngKananga, Karoepa, dan Bone Bae.
Berdasarkan asal usul orang Taa-Wana, Kruyt (1930) membagi
orang Wana dalam empat suku besar, yakni pertama suku Burangas (dari Luwuk
mendiami desa Lijo, Parangisi, Winanga Bino, Uepakatu dan Salubiro); kedua suku
Kasiala berasal dari Tojo pantai (Teluk Tomini) yang mendiami desa Manyoe, Sea,
juga sebagian desa Winanga Bino, Uepakatu dan Parangisi; ketiga suku Posangke
yang berasal dari Poso, menempati wilayah Kajupoli, desa Toronggo, Opo, Uemasi,
Lemo dan Salubiro; dan keempat suku Untunu Ue (hulu sungai) mendiami lokasi Ue
Waju, Kajumarangka, Salubiro dan Rompi.
Secara linguistik, menurut Alvard (1999) orang Wana bertutur
dalam bahasa Taa yaitu sebuah bahasa yang banyak digunakan disekitar kawasan
pesisir dan dataran rendah di sekitar Cagar Alam Morowali. Orang Wana Posangke
mendiami daerah dataran tinggi yang berlembah di sebelah barat Cagar Alam
Morowali, yang lokasi mukimnya tersebar di sepanjang sungai Salato, sungai
Sumi’i, sungai Uwe Kiumo dan Uwe Waju. Sumber mata air sungai Salato berhulu di
Gunung Tokala dan bermuara di sebelah barat (Teluk Tolo).
Wilayah sebaran utama “Tau Taa Wana”, pada umumnya
membentang dari bagian timur dan dan timur laut Cagar Alam Morowali (Kabupaten
Morowali) sampai di bagian barat Pegunungan Batui (Kabupaten Banggai) dan
Pegunungan Balingara (Kabupaten Poso – sekarang Tojo Una-Una) dalam wilayah
tersebut konsentrasi terbesar pemukiman komunal (lipu) mereka, berada di
sekitar gunung Tokala, Ponggawa, Katopasa dan lumut.
Masyarakat Adat Taa Wana yang dimaksud adalah kelompok
“Wana” yang bermukim di pedalaman hutan dan pegunungan, dengan alasan bahwa
kosa kata tersebut tidak menghilangkan cara mereka mengidentifikasi diri dan
untuk membedakan mereka dengan komunitas “Topa Taa” yang tidak lagi memenuhi
unsur-unsur sebagai masyarakat hukum adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar