Jumat, 17 Agustus 2012
DEVOLUSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI DATARAN TINGGI PIPIKORO
Rahmat Saleh
Lebih setengah dari sekitar 1400-an desa di sulawesi tengah, terletak di dekat hutan. Menunjukan bahwa masalah pengelolaan hutan, tidak dapat dipisahkan dari dinamika perdesaan dan masyarakatnya. Konteks ini dirasa semakin krusial ketika diangkat kedataran tinggi Pipikoro. Karena secara geografis 13 desa disana bukan hanya dekat, melainkan juga dikelilingi kawasan hutan (berada di dalam kawasan hutan). Lebih dari itu, bagi Topo uma, yang memukiminya, ekosistem hutan merupakan sumberdaya yang terintegrasi pada hampir setiap segi kehidupannya. Itulah mengapa pengaturan atas tata cara penguasaan, pemanfaatan hutan, pengalokasian sumberdaya hutan serta masalah akses dan kontrol terhadap kawasan hutan mereka lembagakan dalam sistem sosial dan budayanya.
Sistem yang sama telah mengalami benturan dengan berbagai konsepsi dan praktik-praktik penguasaan dan pengelolaan hutan oleh Negara. Mengakibatkan terjadinya komplikasi klaim, atas sumberdaya hutan yang memperhadapkan Topo Uma disatu sisi dan Negara di sisi yang berbeda.
Sejarah Pipikoro mencatatkan banyaknya peristiwa-peristiwa pemindahan penduduk, pengusiran, pembatasan akses, dan kriminalisasi terkait dengan pengaturan kawasan hutan, yang dilakukan di masa pemerintahan kolonial, hingga rezim pemerintahan Republik Indonesia. Upaya-upaya restriktif ini menjadi bagian dari upaya Negara untuk mengukuhkan kekuasaannya atas sumberdaya hutan.
Keadaan tersebut menimbulkan ketegangan berkepanjangan dan ketidak pastian dalam penguasaan lahan, selain melemahkan motivasi institusi lokal dalam mengurus sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Kelestarian sumberdaya hutan di Pipikoro saat ini merupakan bukti atas kemampuan Topo Uma dalam mengelola sumberdaya hutan secara arif. Oleh karenanya untuk memastikan keberlanjutan sumberdaya hutan, sekaligus mengeliminir konflik atas sumberdaya diwilayah tersebut menjadi penting bagi pemerintah untuk mengembalikan peran, tanggung jawab dan kewenangan dalam pengurusan sumberdaya hutan di Pipikoro ke pada Topo Uma yang bermukim di dalam dan sekitarnya.
Pipikoro terletak di jajaran pegunungan Tokalekaju yang membentang di tengah-tengah perut pulau Sulawesi. secara fisiografis wilayah ini didominasi pegunungan sedikit perbukitan serta lembah-lembah sempit diatas ketinggian 500 mdpl, dan terletak di sepanjang aliran sungai Lariang. Itulah mengapa penduduk setempat menamainya Pipikoro, yang berarti “Tepian Sungai Koro”. Koro adalah sebutan penduduk setempat bagi sungai Lariang, sungai terpanjang di pulau sulawesi yang mengalir lintas provinsi sulawesi tengah hingga sulawesi barat. Secara administratif Pipikoro merupakan sebuah kecamatan yang termasuk dalam wilayah kabupaten donggala, provinsi sulawesi tengah. Letak geografis pipikoro tergolong strategis, karena menjadi pusat pesinggungan batas wilayah bagi tiga provinsi sekaligus, yaitu provinsi Sulawesi tengah, Sulawesi selatan, dan Sulawesi barat.
Pipikoro adalah daerah pegunungan yang sangat terpencil, wilayahnya yang luas baru dapat dijangkau sepeda motor dengan melewati jalanan setapak, yang melingkar-lingkar di lereng pegunungan yang terjal dan membelah kelebatan belantara hutan hujan tropis yang basah. Jalanan setapak ini menghubungkan desa-desa yang disebut ngata di Pipikoro maupun antara dengan wilayah lain diluar Pipikoro.
Secara tradisional desa-desa di Pipikoro dikelompokan dalam 3 satuan geografis ; Pipikoro timur, terdiri dari desa Mapahi, Banasu, Mamu dan Kalamanta, Pipikoro tengah yang terdiri dari desa Peana, Morui, Koja, Kantewu, Onu, Lonebasa dan Lawe serta Pipikoro Barat yang terdiri dari desa Lonca, Winatu dan desa-desa di gugusan pegunungan Tobaku, Desa Siwongi, Rantewulu dan Towulu. Namun, secara administratif wilayah Pipikoro hanya meliputi 11 desa di Pipikoro Timur dan Tengah. Desa-desa itu dihuni sekitar 7000-an Jiwa, yang merupakan penduduk asli Kulawi yang menggunakan dialek Uma, sehingga mereka disebut Topo Uma. Bahasa Kulawi mempunyai empat macam dialek yaitu Moma, Tado, Ompa dan Uma.
Topo uma yang bermukim di dataran tinggi Pipikoro merupakan petani tradisional umumnya mereka mengusahakan tanaman pangan dan perkebunan secara bersama-sama. Budidaya tanaman pangan diusahakan melalui pola usaha tani padi sawah maupun ladang, sementara usaha perkebunan, dengan komoditi utama Kopi dan Kakao di budidayakan melalui sistem wanatani, yang disebut Pokopia untuk
Dari 11 desa yang ada di Pipikoro hanya 7 desa yang memiliki areal persawahan dengan luasan 100 – 400 Ha. Disamping itu penduduk di desa-desa itu masih mengusahakan perladangan berotasi. Ada dua faktor yang mempengaruhi pembentukan ekologi sawah di wilayah ini. Faktor, pertama adalah pengaruh pemerintah kolonial
Belanda, yang menginjeksikan sistem sawah kepada masyarakat di Pipikoro, antara tahun 1908 sampai dengan 1917. Dampak intervensi pemerintahan kolonial tidak sama besar bagi desa-desa di Pipikoro. Apalagi, tidak semua pengaruhnya bisa diterima penduduk setempat. Bahkan seringkali intervensi pemerintah kolonial ini mendapat resistensi dari masyarakat setempat. Yang ditunjukan dengan berbagai cara yang pada dasarnya merupakan ekspresi untuk menolak atau membebaskan diri dari cengkraman pemerintahan kolonial.
Hal ini dapat dilihat dalam sejarah pembentukan desa Koja dan Morui yang tidak dapat dipisahkan dengan perlawanan terhadap pengaruh Hindia Belanda. Sebelumnya penduduk dari kedua desa berasal dari Pangana, tempat yang dianggap sebagai kampung tertua di dataran tinggi Pipikoro. Sekitar, 1917 Belanda memindahkan mereka ke Kantewu dan memaksanya untuk bertani di sawah. Akibatnya banyak penduduk meninggal dunia karena serangan malaria. Sisanya memutuskan untuk melarikan diri dan dan membangun permukiman baru yang dikenal sebagai desa Koja dan desa Morui saat ini. Sampai sekarang kedua desa ini masih tetap mempertahankan sistem perladangan berotasi, dan termasuk diantara empat desa yang tidak memiliki areal persawahan.
Pilihan-pilihan untuk mengembangkan persawahan juga dipengaruhi oleh bentuk bentang alam desa. Umumnya desa-desa bersawah dibangun di sekitar bantaran sungai-sungai yang landai. Ini memungkinkan para penduduk untuk mencetak sawah dengan teknik dan peralatan sederhana, serta menyadap air dari sungai-sungai besar (Ue) maupun anak sungai (Halu) untuk keperluan irigasi.
Desa Kalamanta, Mamu, Peana dan Kantewu adalah tipikal desa yang memperoleh pangaruh besar dari sistem persawahan, oleh karenanya memiliki struktur yang cenderung mengumpul dan memusat, sebagai akibat dari adanya mekanisme mobilisasi sumber daya dan konsolidasi sosial, politik untuk menjawab tuntutan ekologis kultur budidaya sawah, yang memang menuntut suatu organisasi dan teknik-teknik mobilisasi sumber daya yang massif dan intensif.[1] Sulit mengenali batas-batas antara dusun (boya) yang satu dengan lainnya, karena bentuk permukimannya mengerumun, sehingga jarak antara dusun biasanya hanya disenjangi ruas jalan, atau halaman rumah penduduk.
Kontras sekali jika dibandingkan dengan desa-desa yang mendapat pengaruh dari sistem perladangan. Seperti Desa Mapahi, Banasu, serta sebagaian besar desa di Pipikoro bagian tengah; Onu, Koja, Lawe, Lonebasa, Morui. Di desa-desa ini satuan-satuan permukiman penduduk baik yang tergabung dalam unit-unit rumah tangga maupun dusun saling terpisah dan terdispersi. Sehingga kesenjangan jarak antara desa antara dusun di desa-desa ini dapat berkisar ratusan meter hingga puluhan kilometer jauhnya.
Meskipun sawah dan ladang itu bukanlah satu-satunya sistem yang ada di Pipikoro, namun kedua sistem ini merupakan sistem yang paling penting, karena menjadi tempat untuk meletakan kerangka ekonomi pertanian, sistem sosial, pola-pola penguasaan serta pemanfaatan sumberdaya alam. Kedua sistem pertanian ini memberikan tanggapan yang berlawanan terhadap kekuatan - kekuatan yang menimbulkan kenaikan jumlah penduduk, yang satu bersifat menyebarkan (dispersive) dan tak elastis, sementara yang lain bersifat memusatkan (concentratif) dan dapat diperkecil besar. Dari aspek ini, baik sawah maupun ladang terlibat dalam pembentukan struktur penduduk. Di sinilah terletak penjelasan terhadap distribusi penduduk yang tak merata dan terpencar-pencar di wilayah pegunungan Pipikoro.
Perhubungan dalam desa maupun antara desa di dalam serta luar Pipikoro baru di dihubungkan dengan satu ruas jalan setapak yang hanya dapat dilalui oleh sepeda motor. Kondisi ini kurang menguntungkan bagi penduduk di Pipikoro. Karena mereka harus menanggung beban biaya pemasaran yang tinggi. Sebaliknya, tingginya biaya pengangkutan barang dari luar Pipikoro menyebabkan barang-barang dari luar dijual dengan harga lebih mahal di Pipikoro. Konstruksi pasar seperti ini menempatkan penduduk Pipikoro untuk senantiasa membeli dengan harga lebih tinggi dan menjual dengan harga lebih rendah. Sehingga menekan tingkat pendapatan keluarga petani disana. Beruntung keperluan barang subsitusi tidak begitu banyak, karena lebih banyak keperluan yang dapat diproduksi sendiri.
Hubungan antara Topo Uma dengan tanah dan sumberdaya hutan sangat erat. Topo Uma memandang hutan bukan hanya sebagai hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang memiliki hubungan satu sama lain. Mereka juga memandang hutan sebagai bagian dari konstruksi sosial, ekonomi, budaya bahkan religinya. Dalam hal ini hutan merupakan basis moril maupun materiil bagi mereka.
Dengan demikian pembicaraan diseputar hutan, terlebih lagi tindakan-tindakan yang membawa akibat pada terjadinya ; perubahan hubungan ekologis dengan hutan ataupun perubahan bentuk-bentuk pengelolaan, apalagi perubahan yang berdampak pada pergeseran struktur penguasaan atas sumberdaya hutan di dataran tinggi Pipikoro, sama sekali tidak boleh dipisahkan dari Topo Uma. Karena hutan merupakan bagian yang terintegrasi dalam kehidupan mereka, sehingga berurusan dengan hutan disana berarti berurusan dengan hidup mereka.
2. Intervensi Negara terhadap ruang dan struktur demografi di Pipikoro
Hubungan antara penduduk Pipikoro dengan tanah dan sumberdaya hutan mulai mendapat pengaruh sehubungan dengan meluasnya kekuasaan pemerintah Kolonial Hindia Belanda di sulawesi bagian tengah, khususnya di daerah pegunungan Kulawi. Persitiwa itu terjadi sekitar tahun 1905. Belanda berhasil memasuki Kulawi setelah memukul dari belakang tentara rakyat kulawi dalam perang Bulu Momi pada tahun 1904.
Empat tahun berselang (1908), pemerintah Hindia Belanda berhasil mendapatkan Kortje Verklaring (pernyataan singkat) dari pemimpin Kulawi, Towualangi. Penandatanganan pernyataan ini menandai dimulainya babak baru dalam tatanan politik dan pemerintahan di Kulawi, karena menjadi dasar bagi pemerintah hindia belanda untuk menerapkan politik buiten gewesten (indirect rule).
Sistem ini dengan segera mensubordinasikan posisi kulawi dari suatu kesatuan masyarakat yang memiliki kedaulatan sendiri menjadi bagian dari suatu kesatuan wilayah, politik dan pemerintahan yang terintegrasi secara vertikal dalam suatu tatanan politik dan pemerintahan hirarkis, di bawah kontrol pemerintah Hindia Belanda. Tata pemerintahan ini juga mentransformasikan hubungan-hubungan bilateral antara desa yang sebelumnya berdiri sejajar dan otonom, menjadi saling bawah membawahi, memusat dan bersifat impersonal.
Dalam struktur pemerintahan kolonial ini 17 kampung di Pipikoro secara administrasi di integrasikan ke dalam Landscap Kulawi, di bawah pimpinan seorang Magau, yang berkedudukan di Bolapapu. Fungsi pemerintahan dijalankan oleh seorang Maradika[2]. Untuk memperkuat kontrol terhadap wilayah-wilayah pegunungan di bagian selatan Kulawi (Pipikoro), pemerintah Hindia Belanda mengangkat seorang Maradika Malolo (perwakilan) yang ditempatkan di desa Peana (1917). Babakan ini menandai dimulainya reposisi Desa Peana menjadi pusat pemerintahan di Pipikoro.
Di bawah kendali Maradika Malolo, pemerintah Hindia Belanda mulai mengefektivkan kebijakan-kebijakan kolonisasi dan dekolonisasinya yang berdampak pada perubahan struktur demografi, bentang alam dan bentang budaya di Pipikoro. Kebijakan-kabijakan ini di operasionalisasikan melalui program-program pemukiman kembali penduduk, introduksi pola usaha tani menetap melalui pengembangan sistem pertanian hidrolik dan budidaya tanaman komoditi, perdagangan hasil hutan, pendidikan dan kesehatan, serta kerohanian. Sebagian program ini dilaksanakan secara restriktif, sehingga banyak menimbulkan ketegangan di dataran tinggi tersebebut.
Pemerintah hindia belanda mempunyai anggaapan yang buruk terhadap praktek-praktek perladangan berpindah. Mereka menganggap praktek ini tidak efisien dan menimbulkan kerusakan hutan. Itulah sebabnya perladangan dilarang dan didorong-dorong ke sawah.
Peralihan pola pertanian dari sawah ke ladang tentunya membutuhkan sejumlah prasyarat, teknis, sosial, cultural serta prasyarat-prasyarat bersifat biofisik. Prasyarat-prasyarat inilah yang tidak sepenuhnya dipunyai oleh Topo uma pada masa itu. Sehingga, kebijakan pemerintah kolonial tidak dapat diterima begitu saja. Resistensi Topo uma memaksa pemerintah kolonial menggunakan cara-cara yang keras untuk menjalankan kehendaknya terhadap penduduk setempat. Sehingga peristiwa-peristiwa penggusuran yang di ikuti dengan jatunya korban di pihak warga kerapkali dialami oleh penduduk Pipikoro.
Umumnya para penjajah menganggap bahwa perladangan berpindah merupakan penyebab kerusakan hutan . Prejudis ini mencerminkan ketidak tahuan kaum penjajah eropa yang terbiasa dengan system pertanian menetap di daerah 4 musim beriklim sedang. Selain itu mereka juga tidak menyukai praktek perladangan yang berpindah-pindah, sehingga menyulitkan kontrol, selain menyulitkan atau tidak mungkin dapat menarik pajaknya[3]. Karenanya pemerintah hindia memiliki cukup alasan untuk berusaha mempengaruhi dan mengubah perilaku dan pola pertanian itu.
Oleh pemerintah hindia belanda pengaruh-pengaruh ini dilaksanakan dibawah dalih “politik etis”. Para pengarang Memories van Overgave sering menggambarkan, secara tersirat, intervensi terhadap bentang budaya yang dilakukan dibawah pemerintahan mereka sebagai termotivasi secara etis. Namun demikian fakta yang muncul dalam penjelasan mereka menunjukan sebaliknya, yaitu berupa upaya eksploitasi barang ekspor dan perlindungan terhadap keberlanjutan koloni melalui administrasi yang tepat. Karenanya politik etis harus dilihat dalam pangsa yang luas sebagai kamuflase untuk memberi kesan “non-imperialistik”.[4]
Sayangnya, cara pandang penjajah itu masih sering dipergunakan untuk menilai cara-cara yang dilakukan oleh Topo Uma untuk bercocok tanam, menghasilkan pangan dan surplus produksi. Sehingga dinas kehutanan juga ikut melarang praktek perladangan berotasi, tanpa mau tahu apakah di tempat yang sama usaha pertanian sawah dapat dilakukan atau tidak. Padahal sejauh ini bagi Topo Uma, sistem ladang merupakan teknik yang cocok dengan struktur dan tekstur tanah yang terletak di lereng-lereng bukit dan pegunungan.
Dengan cara pandang demikian, maka topo uma dengan kultur ladangnya akan selalu anggap sebagai hama bagi keberadaan kawasan hutan negara di dataran tinggi tersebut. Oleh karenanya, , sesaat setelah terbitnya Undang-undang nomor 41 tentang Pokok Pokok Kehutanan, tahun 1967, seluruh kepala desa di kecamatan kulawi (termasuk Pipikoro) di undang ke kulawi untuk mendengarkan pengarahan yang berisi larangan membuka dan tinggal didalam kawasan hutan negara.
Larangan ini menyebabkan lebih separuh dari penduduk Morui eksodus ke dataran Lindu[5]. Perpindahan itu diikuti gelombang migrasi penduduk lainnya, baik melalui fasilitas proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) yang digelar Dinas Sosial, maupun melalui inisiatif sendiri. Saat ini koloni-koloni orang kulawi dapat di temui dibanyak wilayah di kabupaten donggala hingga Poso. Seperti di Lemba tongoa, Sintuvu, Kamarora, Kadidia dan Rahmat.
Pengukuhan Kawasan Hutan Negara Vs Akses Topo Uma atas Hutan
Pada tahun 1999, departemen kehutanan mengeluarkan SK No 757/kpts-II/1999 mengenai Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan propinsi sulawesi tengah. Penunjukan kawasan hutan merupakan tahapan pertama dalam serangkaian kegiatan pengukuhan kawasan hutan yang terdiri dari ; penunjukan, pemetaan, penataan batas dan penetapan. Hasil penunjukan itu dituangkan kedalam peta yang dikeluarkan oleh Badan Planologi departemen kehutanan tahun pada tahun 2002. dalam peta itu nampak bahwa kawasan hutan di Pipikoro di kelompokan sebagai ; 1). Hutan Produksi terbatas, 2). Hutan Lindung dan, 3). Hutan Produksi, dan 4). Hutan Produksi yang dapat di Konversi.
Proses pengukuhan kawasan hutan ini menjadi masalah krusial di Pipikoro, Karena, wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan Negara itu mencaplok lahan-lahan yang dikuasai secara bersama (Huaka) maupun lahan-lahan yang telah dilekati dengan hak perseorangan (Dodoha).
Di Pipikoro, lahan-lahan yang ditutupi dengan tegakan Hutan Primer, di dalam wilayah keadatan suatu komunitas biasanya dikuasai bersama oleh anggota-anggota komunitas itu. Beradasarkan kondisi fisiologis dan susunan vegetasinya, hutan primer dikategorikan dalam tiga kelas, yaitu ; Ponulu, Wana, dan Wanangkiki. Dari dalam kawasan hutan inilah mayoritas Penduduk Pipikoro memperoleh beberapa kebutuhan pangan, bahan baku rumah, perabot rumah tangga, serta tanah-tanah pertanian yang subur. hutan juga membantu penduduk setempat mempertahankan sumber-sumber air yang penting serta menjaga komplek-komplek permukiman mereka dari ancaman banjir dan tanah longsor serta melindungi tanah dari proses pengikisan.
Kegiatan bercocok tanam dilakukan di Dodoha, atau tanah-tanah perseorangan. Dimana petani membudidayakan tanaman pangan, sayur-sayuran, maupun tenaman perkebunan. Secara fisik kebun-kebun penduduk yang diisi dengan tanaman perdagangan, buah-buahan, kayu-kayu ramuan rumah seringkali lebih mirip hutan dibandingkan dengan kebun. dan sebagian besar kawasan itu juga telah ditatabatas sebagai kawasan hutan Negara. Sehingga membuat para petani senantiasa di landa kecemasan karena merasa sewaktu-waktu dapat saja diusir dari tanahnya.
Pengukuhan kawasan hutan juga menyebabkan ; 1). Lembaga-lembaga lokal menjadi enggan untuk mengurusi masalah-masalah yang terkait dengan hutan, 2). Menurunnya kualitas tanah dan hasil pertanian karena pemotongan masa bera ladang yang dipicu oleh perubahan siklus perladangan; 3). Menurunnya jaminan atas penguasaan dan pemilikan lahan, 4) Konflik penguasaan sumberdaya hutan antara masyarakat dengan pihak Dinas Kehutanan.
Karena akibat-akibat yang ditimbulkannya demikian besar, maka kebijakan pengukuhan kawasan hutan Negara ini adalah patut dianggap sebagai tindak kejahatan terhadap Hak Azasi Manusia. karena bertentangan dengan nilai-nilai yang terkadung dalam deklarasi universal tentang Hak-hak Azasi Manusia (majelis umum PBB tahun 1984) menetapkan bahwa tak seorangpun dapat kehilangan kepemilikannya bahkan jika hal itu tidak terdokumentasi pada surat-surat resmi. Selain itu, Konvensi ILO 169, mengandung peraturan tentang hak-hak masyarakat asli dan masyarakat adat yang mensyaratkan penghormatan terhadap kedudukan adatnya serta menyediakan instrument untuk mengakui dan melindungi hak-hak tersebut. Dinyatakan bahwa kepemilikan masyarakat adat atas tanah harus diakui (ILO 1989). Komisi PBB untuk Pemberantasan Diskriminasi Rasial juga merekomendasikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan tanah-tanah, wilayah dan sumberdaya komunalnya (CERD 1997)
Sistem Penguasaan Tanah Dan Hutan Di Dataran Tinggi Pipikoro
Secara tradisional wilayah Topo Uma meliputi wilayah daratan dan perairan yang membentang dari pegunungan To Baku di pegunungan bagian barat, hingga puncak Tutu Walu Ongu (Gunung dengan delapan puncak) [7] dan Bulu Kanantautu di bagian timur. sisi utara di batasi aliran Sungai Lariang, sedangkan selatan (sekaligus menjadi batas dengan wilayah provinsi sulawesi barat) batas wilayah ini ditandai dengan barisan pegunungan Pangeda, Kapou, Tirolawe, Panopa dan Bulu Bake.
Wilayah itu di bagi lagi dalam unit yang diidentifikasi mengikuti nama komunitas yang menguasainya. Saat ini huaka itu di bagi dalam 11 Huaka yaitu huaka To Kalamanta, Huaka To Mamu, Huaka To Banasu, Huaka To Mapahi, Huaka To Peana, Huaka To Kantewu, Huaka To Onu, Huaka To Morui, Huaka To Koja, Huaka To Lonebasa dan Huaka To Lawe.
Berdasarkan fungsinya, peruntukan dan penggunaan lahan di dalam huaka di kategorikan dalam 3 kelompok fungsi; pertama, untuk menjamin fungsi-fungsi ekologis, dan Hidrologis, seperti Koolo, Wana, Wanangki; kedua, untuk melangsungkan kegiatan produksi dan budidaya, seperti Pobonea, Polidaa, Pangale, Pokopia, Pampa, Ponulu; dan ketiga untuk keperluan sosial dan budaya, seperti pongataa.
Bentang alam Pipikoro di dominasi hutan primer. Berdasarkan perbedaan keadaan fisiknya kawasan hutan ini dikelompokan, sebagai ; Ponulu, Wana, Wanangkiki dan Koolo. Sementara hutan sekunder, berdasarkan usia suksesinya dibedakan sebagai Bilingkia, Oma Bou, Oma nete, dan Oma Tua. Selanjutnya, difererensiasi ini oleh para petani di Pipikoro dijadikan sebagai indicator biologis yang mendasari pengambilan keputusannya untuk memulai suatu siklus perladangan berotasi.
System tenurial[8] Topo Uma mengenal adanya dua jenis Hak, yaitu Hak pemilikan perseorangan atau Dodoha, yang meliputi permukiman, lahan-lahan pertanian (bonea, lidaa, pokopia, pocoklat, pampa), bekas-bekas ladang (Oma Ntua, Oma Nete, Oma Bou, Bilingkia) dan peternakan (poevua). Serta Hak pemilikan komunal, yang meliputi Huaka atau bagian-bagian dari Huaka yang tidak dapat dibebani Hak milik perseorangan Seperti wanangkiki, ko’olo, lamara, popada, kana dan potampoa, maupun bagian dari Huaka yang belum di konversi menjadi hak milik perseorangan, seperti sebagian besar ponulu dan wana.
Hak pemilikan (property right) merupakan klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Hak pemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak. Karakteristik tersebut menyangkut ketersediaan manfaat, kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat eksklusifitas dari hak, dan durasi penegakan hak (enforceability).
Terkait dengan pengertian itu bentuk kepemilikan secara umum dapat dikategorikan dalam 4 jenis yang pada hakikatnya mengandung perbedaan sifat antara satu dengan lain yaitu : kepemilikan private, kepemilikan komunal, Open akses, kepemilikan Publik atau Negara (FAO, 2002)[9]
Jenis hak yang melekat pada suatu sumberdaya akan mempengaruhi sifat akses yang terdapat pada sumberdaya itu. Akhmad Fauzi menyebutkan ada 3 bentuk akses yang dapat melintasi setiap rezim pemilikan sumberdaya yaitu akses tertutup, terbatas, dan terbuka. Kemunculan sifat akses seperti ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik setiap hak pemilikan. Terkait dengan hal ini, menurut Hanley (1997) Hak Pemilikan memiliki karakteristik sbb; 1). Hak milik tersebut dikukuhkan pemilikannya baik secara individu maupun kolektif; 2). Eksklusif, artinya seluruh keuntungan dan biaya dari penggunaan sumberdaya sepenuhnya menjadi Hak (tanggung jawab) pemilik sumberdaya; 3). Transferable (dapat dipindah tangankan) karena Hak pemilikan yang transferable akan menimbulkan insentif untuk mengkonservasi (melestarikan) sumberdaya tersebut; 4). Terjamin (secure), dengan adanya jaminan memiliki, maka akan timbul insentif untuk memperbaiki atau memperkaya sumber daya tersebut selama masih dalam pemilikannya.
Tentu saja karakteristik pemilikan yang berlaku pada masyarakat Kulawi uma tidak sama persis dengan rumusan Hanley. Perbedaan utamanya terletak pada derajat ekslusifitas hak pemilikan pada Topo uma yang sifatnya lebih lentur. Dalam hal ini, ada kalanya manfaat juga biaya yang timbul diatas objek yang di haki di tanggung oleh pihak lain, baik secara individual maupun bersama-sama. Ini dimungkinkan karena pada pada dasarnya sifat hak pemilikan disana mengandung fungsi-fungsi social. Kandungan fungsi ini selaras dengan asas dan prinsip pemilikan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yang memprioritakan fungsi-fungsi sosial tanah dalam keadaan apapun juga (Njondronegoro, 1999)[10].
Asas yang dimaksud termaktub dalam pasal 6 UUPA.: hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidaklah dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bagi masyaakat dan Negara.[11]
Dalam prakteknya, manivestasi dari karakter yang demikian itu dapat dijumpai antara lain pada sistim poevua atau penggembalaan yang memungkinkan si pemiliki ternak untuk menggembalakan ternaknya pada lahan-lahan tertentu yang telah dibebani hak orang lain. Selain itu, penduduk Pipikoro juga dapat memanfaatkan hasil-hasil hutan yang terdapat di lahan-lahan yang dikategorikan sebagai Oma Tua, Oma nete maupun Bilingkia meskipun lahan-lahan itu sebenarnya telah dimiliki oleh anggota masyarakat yang lain.
Pada hakikatnya konsepsi hak pemilikan diatas menggaris bawahi dua hal pokok, Pokok pertama adalah apa yang disebut sebagai “klaim yang sah”, yang berhubungan dengan sumber legitimasi, serta yang terkait dengan salah satu watak terpenting pada hak pemilikan yaitu penegakan hak (enforceability). Taylor (1988, et.al.,) menegaskan bahwa penegakan property rights dapat dilakukan melalui sistem hukum formal (formal procedurs) dan penegakan aturan yang ada dalam masyarakat (social customs), Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, misalnya karena biaya penegakannya terlalu mahal dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh maka sumberdaya akan menuju ke “open access”.
Otoritas pengaturan atas tanah maupun hutan ditentukan oleh status pemilikan atas sumberdaya itu. Sumberdaya milik bersama, pengaturannya dimandatkan pada lembaga adat, sedangkan sumber daya dibawah rezim pemilikan perseorangan kebanyakan diatur sendiri oleh individu atau unit-unit keluarga pemilik lahan, kecuali, ketika ia bersentuhan dengan kepentingan individu atau kelompok lain. Pada hakikatnya, kedua rezim penguasaan ini saling mengalami persinggungan, baik pada tataran ruang fisik, maupun pada tataran nilai-nilai, norma dan aturan. Apalagi secara embriologis, hak milik individual umumnya dikonversi dari hak-hak komunal.
Asal usul tanah milik perorangan adalah dari pembukaan hutan primer atau Ponulu. Proses ini disebut “Mo ponulu”. Pelakunya bisa terdiri dari satu keluarga atau beberapa keluarga sekaligus yang disebut Topo Ponulu. Kegiatan Mo Ponulu atau membuka hutan rimba sangat penting artinya dalam sistem tenurial masyarakat adat kulawi Uma, fase ini lebih dari sekedar permulaan dari suatu proses produksi, melainkan juga merupakan tonggak peletakan klaim individual atas bidang lahan tertentu.
Dengan demikian mo ponulu ada sebuah proses konversi hak, dari hak Penguasaan Bersama (Komunal) menjadi hak milik perseorangan. Melalui mekanisme ini pula legitimasi fundamental atas pemilikan tanah dan sumberdaya hutan dimobilisasikan dan memperoleh ruang kognitifnya. Secara demikian legalitas pemilikan menjadi tidak bersifat administratif, dan karenanya menjadi tidak memerlukan kerangka pengakuan yang tekstual dan fisikly. Legalitas hak pemilikan pada Komunitas Uma dibangun dalam kerangka relasi sosial, yang dipandu dengan norma-norma, nilai-nilai dan aturan-aturan yang bersumber dari kebiasaan dan kepercayaan yang berlangsung sejak masa lampau dan dikeliling oleh konstruksi-konstruksi simbolik.
Sebagaimana yang diketengahkan Wolf (1983)[12], Relasi sosial dari jenis apapun tidak pernah semata-mata bersifat utiliter dan instrumental. Tiap hubungan sosial selalu dikelilingi konstruksi-konstruksi simbolik yang menjelaskan, membenarkan, dan mengaturnya. Dengan cara demikian pulalah Komunitas Uma di Pipikoro melakukan peletakan atribusi “resmi/legal” dalam hak pemilikan atas tanah dan sumberdaya hutan, yaitu melalui rangkaian konstruksi-konstruksi simbolik dalam kegiatan Mo Ponulu.
Ritus-ritus dalam Mo Ponulu melibatkan sebanyak mungkin anggota komunitas, termasuk Tokoh-tokoh pemerintah, tokoh agama serta adat. Karenanya ritus itu secara social menjadi media untuk menyatakan klaim atas suatu sumberdaya dan sebaliknya menggalang kesaksian secar massif, hal ini menjadikan klaim itu begitu kuat keabsahannya, sehingga sangat sulit untuk disangkali oleh orang atau kelompok lain dari dalam terlebih luar komunitas itu, kecuali dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Cara-cara seperti ini secara eksplisit juga diatur dalam Pasal 22 UUPA yang menjelaskan terjadinya hak milik atas tanah. Pasal tersebut menjelaskan bahwa hak milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara; 1) Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat, 2) Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah dan 3) Hak Milik atas tanah terjadi karena ketentuan undang-undang. Lebih jauh, Budi Harsono (dalam Santoso, 2005) menguraikan bahwa hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (Aanslibbing).[13]
Secara kronologis, Po panulua seyogyannya menempati bagian paling ujung dalam urut-urutan tata cara perolehan hak atas tanah. Karena sebelum tiba pada tahapan ini setiap anggota masyarakat wajib melakukan konfirmasi sosial “mepekune, mopahibali” maksudnya anggota masyarakat menyampaikan kepada lembaga adat kebutuhannya atas lahan, dan jika memungkinkan bagian-bagian mana dari ponulu yang dapat diolahnya. Proses ini tidak berdimensi permisiv semata-mata. Menurut salah seorang petani di desa Mapahi, mereka tidak hanya meminta izin, melainkan juga harus menyampaikan alasan-alasan untuk membuka hutan. Hal ini dibenarkan [Nardus Tarusu] ketua lembaga adat Banasu.
“Huaka ini bukan milik kami di lembaga. Kita hanya dipercaya untuk mengatur. Kita juga harus ingat anak cucu kita, kalo semua ini kita pake sekarang. Kita ini juga dinilai oleh masyarakat, jadi tidak bisa sembarang kita kasihkan tanah untuk orang, lebih-lebih kalau itu keluarga dekat kita sendiri, tidak baik kita dimata orang, tidak orang percaya lagi kita. itu sebabnya setiap masyarakat mau minta tanah kita harus cari tahu dulu apa sebabnya, kita juga tahu didesa ini siapa-siapa yang punya tanah dan yang belum. Dan nantinya kita akan pertanggung jawabkan ini ke masyarakat”.
Dengan demikian keputusan-keputusan yang diambil oleh lembaga adat terkait dengan transformasi hak atas lahan dan hutan memperoleh atribusi moral dan rasionalitas-rasionalitas yang memungkinkannya untuk memperoleh dukungan dan legitimasi dari anggota komunitas atas keputusan-keputusan itu. Dalam hal ini posisi lembaga adat sebagai transmisi peralihan hak komunal ke individual secara transcendental telah menyentuh segi-segi politis dalam dimensi relasi-relasi sosial dan distribusi atas alat-alat produksi.
Peralihan/perolehan hak atas tanah dapat juga dilakukan melaui jual beli (pe ali, tanah ditukar dengan sejumlah mata uang rupiah, mekanisme yang relative muda usia, kalaupun lama dikenal mungkin jarang sekali digunakan) tukar (atau sua) dapat dilakukan dengan objek yang sama, tanah tukar tanah, oma tukar oma, atau dengan objek yang berlainan tanah dengan kerbau atau tanah ditukar tidak dengan barang melainkan jasa, memperbaiki rumah misalnya, atau mereparasi sejumlah barang elektronik), maupun pemberian sebagai hadiah (tanah diberikan secara cuma-cuma oleh seseorang kepada orang lain dengan alasan-alasan tertentu yang biasanya berhubungan dengan hutang budi) Sedangkan peralihan kuasa atas lahan yang lebih bersifat temporer dapat dilakukan melalui mekanisme pinjam pakai (pe bolo) gadai, sewa, tukar lokasi.
Dalam hal ini lembaga adat memainkan peran sebagai transmisi dalam setiap peralihan rezim-rezim pemilikan maupun penguasaan. Dengan demikian tidak salah jika, seorang tokoh kulawi, Andreas Lagimpu (2002) menyatakan bahwa dalam komunitas adat kulawi umumnya lembaga adat merupakan pusat dari seluruh kegiatan pemanfaatan sumber daya alam ataupun transaksi-transaksi yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam[14].
Secara fungsional, sistem pemilikan dan penguasaan Lahan dan Hutan di Pipikoro lebih menggambarkan legitimasi fundamental dari masyarakat itu sendiri dari pada yang berasal dari Negara. Hal ini dialami oleh seluruh bagian wilayah yang secara kultural memperoleh klaim territorial (huaka) oleh komunitas tersebut, tidak peduli apakah itu diatas tanah-tanah maupun kawasan hutan yang statusnya dikuasai langsung oleh Negara ataupun tanah-tanah dan hutan yang telah dibebani dengan hak milik dan penguasaan perorangan maupun swasta. Sistem pemilikan dan penguasaan yang bersandar pada legitimasi sosio cultural ini menempatkan lembaga adat, sebagai organisasi kepemimpinan tradisional yang berakar kuat pada sistem budaya dan struktur sosial masyarakat setempat tetap menempati posisi yang penting untuk mengoperasionalisasikan kuasa dalam pengaturan sumberdaya bersama diantara seperangkat peran-peran lainya yang meliputi simbol-simbol identitas dan integrasi sosial, penyelenggara ritus-ritus adat, pelaksana peradilan adat, pengakumulasi dan redistribusi asset-aset komunitas.
Hal ini menjadikan sistem pengelolaan sumberdaya alam di yang dilakukan oleh Topo Uma, menjadi memiliki ciri sistem hutan kerakyatan yang otentik, yang menurut Sallatang (1999) dan Campbell (2003) dapat ditunjukan dengan pelembagaan mekanisme penyelesaian konflik yang telah berkembang selama bertahun-tahun berdasarkan adat istiadat sosial dan budaya yang mendukungnya. Lebih jauh mereka menekankan bahwa berfungsinya sistem kelembagaan masyarakat merupakan salah satu factor penentu keberhasilan masyarakat dalam menjaga kelestarian fungsi sumberdaya alam. Factor kunci keberhasilannya berkaitan dengan adanya aturan (rules) yang jelas, serta norma-norma (norms) adat yang disepakati dan diimplementasikan dengan baik[15].
Sistem penguasaan serta praktek pengelolaan hutan ini juga terbukti memberi jaminan yang kokoh bagi pelestarian sumberdaya hutan di dataran tinggi Pipikoro Hasil analisis citra satelit dan pengukuran melalui pemetaan partisipatif yang di lakukan oleh Perkumpulan Karsa, 2006, membuktikan bahwa prejudis-prejudis yang disangkakan terhadap praktek perladangan Topo tidak sepenuhnya dapat dibenarkan Sebagai contoh, dari sekitar 5400 Ha Huaka Toi Mapahi, hanya terdapat sekitar 300 Ha lahan yang dilintasi rotasi perladangan yang berlangsung sejak tahun 1960.
Saat ini kondisi lahan bekas-bekas ladang ini memiliki variasi tutupan lahan yang berbeda-beda, mulai dari yang baru ditumbuhi vegetasi muda dan alang-alang, sampai dengan yang telah menghutan kembali. Disamping itu tidak kurang dari 500 Ha bekas ladang sebelumnya telah menjelma menjadi Pokopia (wanatani kopi), yang mempunyai tutupan lahan diatas 40% per hektarnya . Bandingkan dengan pendefinisian FAO: Sebuah kawasan untuk disebut sebagai hutan harus memiliki paling sedikit 10% tutupan tajuk pohon pada wilayah dengan luas diatas 0,5 hektar, tidak peduli apakah pohon tersebut merupakan hasil upaya penanaman atau bukan[16].
Dengan demikian, stigmatisasi Topo uma sebagai penyebab kerusakan hutan sama sekali tidak dapat dibenarkan. Karenanya tidak cukup alasan bagi pemerintah untuk menghalagi akses mereka apalagi sampai memindahkan mereka dari dalam maupun sekitar hutan. Realitas ini juga menunjukan bahwa jalan terbaik untuk menjamin kelestarian sumberdaya hutan di dataran tinggi Pipikoro adalah dengan cara mengembalikan kewenangan, peran dan tanggungjawab pengurusan hutan ketangan Topo Uma di dataran tinggi Pipikoro.
3. Kesimpulan
1. Keberadaan hutan terintegrasi dalam pada hampir setiap segi kehidupan Topo Uma, sehingga menjadikannya sebagai basis moril maupun materiil bagi komunitas yang hidup di dataran tinggi Pipikoro.
2. Negara selalu mempunyai kecenderungan untuk memperluas dan memperkuat klaim penguasaannya atas sumberdaya hutan, termasuk pada wilayah-wilayah yang telah dibebani hak oleh masyarakat setempat. Hal mana merupakan pemicu konflik atas lahan dan sumberdaya hutan. Dalam konstalasi keberadaan masyarakat senantiasa menempati posisi yang lemah dan dirugikan.
3. Topo Uma di Pipikoro memiliki sistem pemilikan dan penguasaan atas tanah dan hutan. Sejak masa kolonial sistem ini telah memperoleh tekanan dari kekuatan hegemonik. Sistem tersebut, meskipun mulai mengalami pergeseran namun tetap mampu menjalankan perannya sebagai pengatur distribusi sumberdaya secara adil dan berkelanjutan.
4. Kelestarian sumberdaya hutan di Pipikoro saat ini merupakan garansi atas kemampuan Topo Uma dalam mengelola sumberdaya hutan. oleh karenanya untuk memastikan keberlanjutan sumberdaya hutan, sekaligus mengeliminir konflik atas sumberdaya diwilayah tersebut menjadi penting bagi pemerintah untuk mengembalikan peran, tanggung jawab dan kewenangan dalam pengurusan sumberdaya hutan di Pipikoro ke pada Topo Uma yang bermukim di dalam dan sekitarnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar