Upacara Rakeho adalah salah satu upacara dari rangkaian siklus atau daur hidup (life cycle) masyarakat
suku Kulawi yang tinggal di Kabupaten SIGI BIROMARU, Provinsi Sulawesi
Tengah. Rakeho merupakan upacara masa peralihan bagi seorang anak
laki-laki dari masa anak-anak menuju dewasa, yaitu upacara memotong gigi
atau meratakan gigi bagian depan atas dan bagian bawah rata dengan
gusi. Upacara seperti ini juga dilakukan oleh beberapa masyarakat di
daerah lain, seperti di Jawa dan Bali. Di Jawa, upacara daur hidup
seperti ini disebut dengan istilah pangur, sedangkan di Bali disebut mepandes, matatah, atau mesanggih.
Pada suku Kulawi, upacara Rakeho khusus untuk anak laki-laki yang sudah akil baliq (puber),
sedangkan pada masyarakat Bali dan Jawa, upacara ini diselenggarakan
untuk anak laki-laki maupun perempuan. Upacara Rakeho dilaksanakan oleh ntodea
(sebutan untuk orang awam) dan waktu pelaksanaannya pada siang hari,
mulai dari pagi hingga sore. Oleh karena upacara ini membutuhkan biaya
yang cukup besar, maka sebuah keluarga baru bisa melaksanakannya setelah
mendapat hasil panen yang melimpah.
Upacara
Rakeho telah menjadi tradisi di kalangan suku Kulawi yang diwariskan
secara turun-temurun berdasarkan pada kepercayaan asli mereka. Meskipun,
sebagian besar dari suku ini telah memeluk agama Islam dan Kristen,
namun tradisi ini tetap dipertahankan hingga sekarang. Seorang anak
laki-laki yang telah melewati upacara ini berarti sudah dianggap sebagai
orang dewasa sehingga diperbolehkan untuk membentuk sebuah keluarga
atau menikah, dan dianggap memiliki kedudukan maupun hak dan kewajiban
yang sama sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Upacara ini juga
bertujuan untuk mencari keselamatan dan keharmonisan bagi keluarga yang
bersangkutan setelah menikah kelak.
B. Keistimewaan
Upacara
Rakeho tergolong upacara yang beresiko tinggi, terutama pada prosesi
pemotongan gigi. Oleh karena itu, pekerjaan ini harus dilakukan oleh
orang yang mempunyai keahlian khusus, atau di kalangan suku Kulawi
disebut topekeho (dukun) yang sekaligus sebagai pemimpin upacara. Topekeho juga dibantu oleh empat tadulako yang bertugas memegang kedua bahu dan kedua kaki si anak agar tidak bergerak ketika prosesi meratakan gigi berlangsung.
Sebelum
upacara Rakeho dilaksanakan, pihak keluarga si anak terlebih dahulu
menentukan waktu dan tempat pelaksanaan, serta menyiapkan beberapa
peralatan yang diperlukan seperti lida (tikar), luna (bantal), pengoaha (kikir besi), air hangat, putili (ketan putih), parania mavau (sejenis rumput untuk obat), kain nunu,
dan sebutir telur. Pelaksanaan upacara Rakeho terdiri dari beberapa
tahap dan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di dalam rumah dan di bawah
pohon atau di sebuah rumah kosong yang jauh dari keramaian. Upacara ini
diawali dengan pemakaian baju dan paruku berwarna putih kepada si anak oleh topekeho. Pakaian berwarna putih tersebut melambangkan keikhlasan atau kerelaan keluarga untuk di-rakeho anaknya oleh topekeho. Setelah itu, topekeho menyuapi anak itu dengan putili dan telur sebagai simbol keselamatan. Kedua prosesi tersebut dilakukan di dalam rumah si anak.
Selanjutnya, si anak diarak ke suatu tempat yang telah disiapkan. Arak-arakan itu dipimpin oleh topekeho dan diikuti oleh keempat tadulako
besarta seluruh sanak keluarga. Setiba di tempat upacara, seluruh
kerabat si anak dipersilakan kembali ke rumah untuk menunggu hingga
upacara Rakeho selesai. Setelah itu, para tadulako segera menggelar tikar dan bantal lalu menidurkan si anak dengan posisi telentang dan kedua matanya ditutup dengan kain nunu. Keempat tadulako mengambil posisi masing-masing, yaitu dua orang di samping bahu kiri dan kanan anak dan dua tadulako yang lain mengambil posisi di bagian kaki kiri dan kaki kanan.
Topekeho
kemudian melakukan tugasnya, yaitu memegang kikir dengan posisi jongkok
di samping si anak sambil membaca mantera seperti berikut “Ane motomoleko potumpako, ane motumpako patumoleko, bona nemo madea ra mehuko tiroi daka kami".
Artinya, “Bila tidur tengadah dan tengkurap, bila tidur tengkurap dan
tengadah, jangan sampai banyak darah, maka lihatlah kami.”
Usai membaca mantera, topekeho
kemudian memasukkan kikir di antara bagian gigi atas dan bawah si anak.
Pemotongan gigi dimulai dari bagian gigi atas si anak sampai rata
dengan gusi, kemudian dilanjutkan ke gigi bagian bawah. Setelah
pemotongan gigi selesai, si anak diberi air hangat untuk berkumur-kumur
dan diberi rumput parania mavau untuk digigit. Prosesi
pemotongan gigi merupakan puncak dari upacara Rakeho. Si anak kemudian
diarak kembali ke rumah untuk diserahkan kepada keluarganya. Agar
gusinya tidak membengkak, si anak dipantangkan menyantap makanan yang
keras selama tiga hari.
menuju Kota Donggala dengan
menggunakan mobil selama 30 - 45 menit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar