Jumat, 28 September 2012
Dari Hutan Pakuli untuk Kelestarian Maleo
Hampir sepanjang usianya, Ali Kamisi Raja Pasu berkutat dengan maleo (”Macrocephalon maleo”), hewan endemik Pulau Sulawesi yang terancam punah. Lebih dari sepuluh tahun terakhir ia melakukan penangkaran sebagai upaya menyelamatkan maleo dari kepunahan. Nyaris seorang diri ia melakukan upaya itu, tanpa pamrih.
Ia tak hirau kendati pemerintah hampir tak membantu, bahkan sekadar memperbaiki jembatan kayu yang harus dilaluinya untuk masuk hutan, tempat maleo dan penangkarannya. Ia ikhlas dan diam, kendati kerap bertaruh nyawa melewati sungai berair deras dengan berpegang tali yang diikatnya di salah satu sisi sungai.
Ia tak mengeluh walau harus memutar jalan hingga empat kilometer, karena luapan sungai tak bisa dilaluinya dengan membentang tali. Padahal jarak jika melewati sungai, hanya sekitar 400 meter.
Upaya yang dilakukan Ali tak mudah dan murah. Untuk urusan maleo, dia harus menjadi pengawas, perawat, bapak sekaligus ibu, satpam, hingga pendana. Kalau bukan karena cinta dan kesadaran betapa populasi burung ini kian berkurang, mustahil dia bertahan.
Usahanya tak sia-sia. Memulai dengan 50 pasang burung maleo pada 2001, kini lebih dari 400 maleo sudah dikembangbiakkan dan dilepas di habitatnya, kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu.
”Bahagia sekaligus sedih jika anak-anak maleo yang saya urus mulai dari telur, menetas, lalu hidup, dan besar, saya lepaskan ke hutan sebagai burung dewasa. Kadang saya menangis melepas mereka, seperti melepas anak sendiri,” kata kakek 20 cucu ini saat ditemui di pondok kebunnya di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Kecintaannya pada maleo, burung yang telurnya seukuran tiga kali telur itik atau lima kali telur ayam ini, membuat dia tak berhitung soal tenaga, waktu, dan uang. Di tengah kesibukan mengurus kebun kakao dan tanaman jagungnya, Ali menyempatkan diri masuk ke hutan mengawasi maleo.
Pada musim bertelur, ia lebih banyak menghabiskan waktu menunggui maleo bertelur, mengambil telurnya, dan dipindahkan ke tempat pengeraman yang dia buat.
Tempat pengeraman atau penangkaran itu berupa lubang-lubang dalam tanah berpasir bersuhu 35-40 derajat celsius. Tanah seperti ini tersedia di dekat sumber air panas di hutan Pakuli, berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu. Lubang ini diberi pembatas pagar pengamanan, untuk mencegah pemburu telur maleo yang kerap berkeliaran di hutan.
Butuh 60 hari hingga telur maleo menetas, dan selama itu pula Ali menengok dan menjaganya. Jika sudah menetas, anak maleo dirawatnya sebulan, baru dilepaskan.
Kesibukan Ali bertambah dalam rentang waktu antara telur menetas dan anak burung berusia sebulan. Setiap hari ia memecah kemiri, mengambil dan menghancurkan isinya untuk makanan anak maleo. Untuk 20 ekor anak maleo dibutuhkan biaya Rp 20.000-Rp 30.000 per minggu guna membeli kemiri. Bagi Ali, uang sejumlah itu cukup besar.
”Kalau tak ada uang, saya pinjam tetangga atau keluarga. Kadang saya ambil kemiri ke kebun kemiri, dan bayar kepada pemiliknya waktu ada uang,” katanya.
Sebenarnya, Ali bisa menjual telur maleo yang harganya mencapai Rp 20.000 per butir. Tetapi itu tidak dia lakukan.
Warisan leluhur
Ketertarikan Ali pada burung berbulu hitam dengan warna kuning di dadanya ini dimulai saat ia kanak-kanak. Saat itu, populasi maleo di sekitar Pakuli masih banyak. Kalau di daerah lain di Sulteng maleo umumnya hidup di sekitar pantai. Di Pakuli habitat maleo adalah hutan.
Ini tak lepas dari legenda sejarah tentang anak raja di Pakuli yang dilamar, dan salah satu barang antarannya adalah dua pasang maleo. Satu pasang maleo disimpan di Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa, Sigi, dan satu lainnya disimpan di Pakuli. Kedua pasang maleo ini lalu beranak pinak.
Hingga dewasa, Ali hampir tak lepas dari maleo karena ia sering masuk-keluar hutan. Awalnya ia tertarik pada kehidupan maleo yang antipoligami dan selalu berpasangan. Acapkali ia mengamati bagaimana maleo yang tubuhnya seukuran ayam mengeluarkan telur besar. Maleo betina kerap pingsan, usai bertelur.
Ia melihat bagaimana maleo jantan dengan setia menggali lubang yang akan dipakai betina bertelur dan menungguinya. Usai betina bertelur, maleo jantan menutupi lubang itu dengan mengais dan menginjak tanah menggunakan cakarnya.
Lama-kelamaan Ali sadar, ia kian jarang bertemu maleo. Burung itu terancam punah karena telurnya diburu dan habitatnya rusak. Ia lalu tak sekadar tertarik, tetapi berupaya melestarikannya. Pertemuan dengan sejumlah anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Jambata pada 2001 membuat Ali mendapat masukan dan lebih serius melakukan pelestarian maleo.
Tak hanya di Sigi, Ali kerap diundang ke kabupaten lain terkait pelestarian maleo. Ia antara lain diundang ke wilayah pegunungan Pinjan, perbatasan Kabupaten Tolitoli dan Buol.
Menjaga hutan
Kesadaran Ali tak sebatas mengurusi telur dan anak maleo, tetapi hingga menjaga hutan yang vital untuk kembang biak maleo. Setiap kali mendengar suara gergaji di hutan, ia segera masuk dan mengusir perambah hutan.
Ia membuka tujuh hektar areal untuk habitat maleo yang separuh di antaranya tanah milik Ali. Kawasan ini ditanaminya kemiri dan beragam tanaman sumber makanan maleo, sekaligus tempat hidup burung itu.
Lahan tersebut masuk kawasan Taman Nasional Lore Lindu, dan tak sekalipun pengelola taman nasional mengapresiasi apa yang dilakukan Ali. Di luar habitat maleo, ia menjaga kawasan luar taman nasional yang juga menjadi tempat berkembang biak maleo.
”Kalau urusan hutan, bukan hanya untuk maleo, tapi untuk manusia. Kalau hutan rusak, bukan hanya maleo yang habis, tapi kita semua habis. Kalau kini bukan kami yang kena bencananya, besok atau lusa anak cucu yang akan kena,” tegasnya.
Sampai kapan Ali mau mengurusi maleo? ”Saya menganggap mereka seperti anak sendiri. Kalau populasinya bertambah banyak, anak cucu saya masih bisa melihat maleo, burung langka peninggalan leluhur mereka. Syukur-syukur suatu saat nanti maleo tak lagi menjadi burung langka,” katanya.
Keseriusan Ali melestarikan maleo dan harapannya agar burung ini tak punah, membuat dia mempersiapkan anaknya, Fahmi, sebagai penerus. Setiap kali ia ke hutan, Fahmi dibawa serta. Ali mengajari Fahmi cara melestarikan maleo.
”Mudah-mudahan dia tertarik dan kelak mau menjadi penerus, biar maleo tak jadi hewan langka,” kata Ali.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar