Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan hutan cukup luas, yaitu 4.394.932 ha atau sama dengan 64,60 % dari luas daratannya. Hutan yang luas ini, di dalamnya mengandung potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang besar diantaranya rotan, persuteraan alam, dan perlebahan.
Beberapa data menyebutkan bahwa Sulawesi Tengah merupakan salah satu sentra penghasil rotan alam terbesar di Indonesia. Produksi rotan alam dari Sulawesi Tengah mencapai 60 persen dari produksi nasional. Potensi dari sisi kualitas, rotan dari Sulawesi Tengah tergolong kualitas prima, sehingga memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan jenis rotan yang sama diluar Sulawesi, dan sangat dibutuhkan oleh industri meubel rotan untuk keperluan ekspor.
Berdasarkan data hasil survey di Sulawesi Tengah terdapat 38 jenis rotan yang telah diidentifikasi potensial untuk di komersilkan. Sedangkan jenis-jenis yang telah dipergangkan meliputi rotan lambang (Calamus sp.), rotan batang (Daemonorops inops Werb.), rotan tohiti (Calamus simpisipus), rotan merah (Calamus panayuga Becc.), rotan ronti (Calamus axilais), rotan susu (Calamus sp.), rotan umbul (Calamus shympsipus).
Persuteraan alam bisa menjadi salah satu potensi unggulan bagi Provinsi Sulawesi Tengah. Mengingat iklim dan kondisi alam di Provinsi Sulawesi Tengah sangat mendukung untuk mengembangkan usaha tersebut. Lahan dengan ketinggian 400-800 meter di atas permukaan laut sebagai media tanam murbei dan pemeliharaan ulat sutera untuk menghasilkan kokon yang baik, tersedia cukup banyak dan tersebar di beberapa daerah. Jenis usaha ini memiliki nilai ekonomi yang cukup baik, dengan skala investasi yang dapat dikelola masyarakat. Pengembangan persuteraan alam ini cukup strategis dikarenakan: (1) menyerap banyak tenaga kerja, termasuk pelibatan petani (2) membuka kesempatan usaha; (3) memberi kesempatan mengembangkan ekonomi kerakyatan; (4) meningkatkan pendapatan petani; (5) meningkatkan devisa; (6) membuka peluang usaha di bidang jasa.
Perlebahan dewasa ini merupakan komponen penting dalam pembangunan sektor kehutanan berkelanjutan. Peran lebah madu dalam penyerbukan tanaman memberikan keuntungan ekologis, khususnya bagi kelestarian flora. Sementara produk yang dihasilkan dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi peternaknya.
Provinsi Sulawesi Tengah menyimpan potensi besar bagi pengembangan usaha perlebahan. Beberapa species lebah madu sudah lama dieksploitasi masyarakat untuk diambil madunya. Dengan hutan yang relatif luas, dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan lebah.
Hasil Hutan Bukan Kayu
Secara umum, Indonesia sebagai negara mega biodiversity, kaya akan keanekaragaman hayati. Data Dephut (2007) menyebutkan bahwa sekitar 30.000 – 40.000 jenis tumbuhan yang tersebar di hutan tropis di tiap pulau dan tersebar di hutan tropis, 20 % diantaranya memberikan hasil hutan berupa kayu dan bagian terbesar yakni 80 % justru memiliki potensi memberikan hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Berbagai manfaat dapat diperoleh dari HHBK ini antara lain; sandang, papan, pewangi, pewarna, pemanis, penyamak, pengawet, bumbu dapur, perekat, kerajinan, bahan obat-obatan, kosmetik dan bahan aneka industri lainnya.
HHBK adalah segala bentuk produk dari ekstraksi dan pemanfaatan sumberdaya hutan baik tumbuhan, hewan dan jasa hutan selain kayu (FAO, 1995).
Dari pembagian golongan, menurut Permenhut No 35/2007, jenis komoditi HHBK digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu:
(1) Kelompok Hasil Hutan dan Tanaman; dan (2) Kelompok Hasil Hewan.
Kelompok Hasil Hutan dan Tanaman meliputi: (1) Kelompok Resin: agatis, damar, embalau, kapur barus, kemenyan, kesambi, rotan jernang, tusam; (2) Kelompok minyak atsiri: akar wangi, cantigi, cendana, ekaliptus, gaharu, kamper, kayu manis, kayu putih; (3) Kelompok minyak lemak: balam, bintaro, buah merah, croton, kelor, kemiri, kenari, ketapang, tengkawang; (4) Kelompok karbohidrat : aren, bambu, gadung, iles-iles, jamur, sagu, terubus, suweg; (5) Kelompok buah-buahan: aren, asam jawa, cempedak, duku, durian, gandaria, jengkol, kesemek, lengkeng, manggis, matoa, melinjo, pala, mengkudu, nangka, sawo, sarikaya, sirsak, sukun; (6) Kelompok tannin: akasia, bruguiera, gambir, nyiri, kesambi, ketapang, pinang, rizopora, pilang; (7) Bahan pewarna: angsana, alpokat, bulian, jambal, jati, kesumba, mahoni, jernang, nila, secang, soga, suren; (8) Kelompok getah: balam, gemor, getah merah, hangkang, jelutung, karet hutan, ketiau, kiteja, perca, pulai, sundik; (9) Kelompok tumbuhan obat: adhas, ajag, ajerar, burahol, cariyu, akar binasa, akar gambir, akar kuning, cempaka putih, dadap ayam, cereme; (10) Kelompok tanaman hias: angrek hutan, beringin, bunga bangkai, cemara gunung, cemara irian, kantong semar, pakis, palem, pinang merah; (11) Kelompok palma dan bambu: rotan (Calamus sp, Daemonorops sp, Korthalsia sp), bambu (Bambusa sp, Giganthocloa sp, Euleptorhampus viridis, Dendrocalamus sp), agel, lontar, nibung; (12) Kelompok alkaloid: kina, dll.
Sedangkan Kelompok Hasil Hewan meliputi: (1) Kelompok Hewan buru, yang terdiri dari Kelas mamalia: babi hutan, bajing kelapa, berut, biawak, kancil, kelinci, lutung, monyet, musang, rusa. Kelas reptilia: buaya, bunglon, cicak, kadal, londok, tokek, jenis ular. Kelas amfibia: bebagai jenis katak. Kelas aves: alap-alap, beo, betet, kakatua, kasuari, kuntul merak, nuri perkici, serindit; (2) Kelompok Hasil Penangkaran: arwana irian, buaya, kupu-kupu, rusa; (3) Kelompok Hasil Hewan: burung wallet, kutu lak, lebah, ulat sutera.
Berbeda dengan hasil hutan kayu, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Kontinuitas produk HHBK tergantung dari kelestarian hutan; (2) Ragam komoditi lebih tinggi di hutan alam dibanding hutan tanaman; (3) Satu jenis HHBK dapat menghasilkan beberapa produk, misalnya: tusam, dgn gondorukem dan terpentin; (4) Teknik pemanenan bervariasi mulai pemungutan langsung, seperti jamur, sampai penebangan seperti cendana cendana; (5) Pemanenan relatif tidak merusak lingkungan; (6) Produk langsung dikonsumsi (buah-buahan) sampai proses manufaktur yang rumit, seperti parfum; (7) Pengusahaan HHBK mulai usaha rumah tangga sampai perusahaan, seperti Perhutani; (8) Investasi usaha lebih kecil daripada bisnis kayu – pro poor; (9) Sistem pasar tertutup dikuasai oleh pedagang besar – luar Jawa – sampai pemasaran langsung –
Perhutani.
Memperhatikan potensi HHBK di atas, maka untuk pengembangannya perlu: (1) Meningkatkan teknologi pengolahan melalui pengembangan pola kerjasama – melalui kemitraan, subsidi, swadaya; (2) Pengembangan teknik budidaya yang lebih modern; (3) Meningkatkan pemasaran; (4) Perumusan kebijakan mempercepat alih teknologi; (5) Menetapkan wilayah pengembangan HHBK dalam bentuk sentra industri; dan (6) Mengutamakan pelibatan petani dan masyarakat setempat dalam pengelolaannya.
Dengan pengembangan HHBK, diharapkan upaya ini dapat berkontribusi nyata terhadap pencapaian tujuan “hutan lestari, masyarakat sejahtera”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar