ditulis oleh: Toni
Siavu berarti samar-samar. Ini karena puncak pegunungan ini selalu diliputi awan sepanjang waktu, sulit terlihat. Pada akhirnya Siavu identik dengan mereka yang masih mendiami dataran tinggi, tak terlihat, terasing, dan terbelakang. Lauje Siavu masih menjalankan kehidupan suku-suku kuno melintasi masa kini.
Dulu sekali, pernah ada orang asing yang datang ke sini, ia menyuruh Orang Lauje untuk mendirikan sebuah rumah besar untuk ia akan mengajar. Tapi orang asing itu kemudian pergi dan tak kunjung kembali. Namun Pakombe tetap setia menanti, meski waktu jua yang akhirnya mengubur rumah itu rata dengan tanah.
<< Pakombe dan calon penerusnya
Pakombe adalah generasi ke sekian yang telah bersabar menanti, seperti generasi sebelumnya ia pun tetap setia dan menolak beberapa kebudayaan dan pengajaran yang dibawa orang luar yang datang ke desa mereka. “Pada waktunya nanti kamu akan tahu sendiri saat bertemu dengan orang yang tepat,” ulang Pakombe menuturkan pesan leluhurnya.
Wajah Pakombe menyiratkan suatu kebanggaan yang amat sangat. Hal yang telah dinubuatkan oleh para tua-tua Suku Lauje di masa silam dan yang telah diceritakan secara turun-temurun, akhirnya terwujud pada zamannya. Ia sangat merasa bangga bisa mengantarkan suku yang dipimpinnya kepada keselamatan dan peradaban baru yang sangat jauh lebih maju.
Pakombe adalah Kepala Suku Lauje Siavu yang berdiam di pegunungan di sepanjang Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, ia memimpin tiga kelompok klan, seluruhnya empat puluh empat keluarga terdiri dari dua ratus enam orang dewasa dan anak-anak yang masih berjalan dengan peradaban kuno menyusuri masa kini.
Kini setiap pagi sekitar 40 Anak Lauje usia sekolah berlari beriringan menuruni puncak-puncak gunung untuk tiba di sekolah yang didirikan Doni dan Rani. Wajah mereka Nampak ceria dengan selembar buku dan sebuah pena di dalam kantong plastik yang dirangkul di dada. Sekolah darurat Doni dan Rani berdiri sendirian di lereng gunung di bibir lembah yang dalam.
Sekolah itu mengajar banyak hal secara informal, ada pelajaran pola hidup sehat yang mengajarkan bagaimana menggosok gigi, mandi dengan sabun, mencuci pakaian, hingga menggunting rambut dan kuku, lalu belajar membaca dan menulis, latihan memegang pensil, kemudian meningkat dengan pelajaran matematika dasar dan ilmu pengetahuan alam. “Tidak mudah mengajar mereka secara formal pada awalnya, selain tidak berbahasa Indonesia mereka pun belum mengenal budaya tulis-menulis, bayangkan memegang pensil saja mereka tidak bisa, apalagi menulis,” Doni mengisahkan.
Mereka sangat antusias dengan sekolah, ketika awal dibuka anak-anak sampai orang tua ikut serta. Mereka ingin sekolah seprti orang-orang di dataran rendah.
“Semasa kecil saya, dimana semua orang masih
memakai pakaian yang dibuat dari kulit kayu, orang tua saya bercerita
bahwa suatu saat nanti akan datang orang-orang dari tempat yang sangat
jauh yang akan membawa perubahan dan keselamatan kepada kita,” “Saya
senang, karena akhirnya ada sekolah di sini, dan anak-anak bisa belajar
banyak hal, begitu juga dengan semua orang Lauje di gunung ini,” kepala
suku dengan terbata berbicara dalam Bahasa Indonesia bercampur Lauje.
Pakombe sudah
cukup tua, dan baginya ia sudah melihat segala hal yang ingin dilihat
generasi-generasi sebelumnya, ia pun telah menyiapkan seorang pengganti
dirinya yang akan melanjutkan memimpin Suku Lauje melintasi waktu di
antara kabut di puncak-puncak gunung. (toni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar