Berbagai problem masyarakat di sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Problem , berupa akses masayrakat terhadap penguasaan dan kepemilikan tanah untuk usaha pertanian. Sebab hampir seluruh sumber sumber ekonomi orang yang tinggal di dataran tinggi berasal dari hasil bumi. Boleh dikata sebagain besar mereka adalah petani, yang sepenuhnya tergatung pada sumber daya tanah pertanian.
Konflik sendiri dapat didefenisikan sebagai dua kelompok atau lebih yang memiliki tujuan yang berbeda, nilai yang berbeda, pandangan yang berbeda tentang sesuatu dan lainnya. Kemudian hal-hal itu dipertetangakan satu sama lainnya sehinggal melahirkan konflik. Konflik bisa posotif dan negative. Konflik terbuka bisa melahirkan berbagai bentuk kekerasan.
Secara garis besar konflik bisa dikategorikan kedalam beberapa bagian, yakni konflik bersenjata, konflik identitas, konflik. Namun secara garis besar konflik dapat ditelaah kedalam beberapa hal, yakni akar masalah konflik, pemicu konflik dan pemercepat konflik. Akar masalah konflik yang meliputi Ketidak adilan; Ekonomi; sumber daya; Tekanan geografi dan lainnya; Pemercepat konflik adal kejadia-kejadian atau tanda-tanda awal sebelum munculnya konflik dengan meningkatnya berbagai pertetangan-pertetangan di dalam komunitas, merupakan satu gejala.
Salah yang paling menonjol dalam kaitannya dengan perebutan sumber daya adalah konflik sumber daya alam, berupa penggunaan sumber daya atanah acapkali bersentuhan dengan berbagai kelompok. Menurut Munir (1998) yang dalam Aditjondro, konflik antara negara dan rakayat, konflik antara rakyat dan rakyat dan konflik anatr pelaku binis dan rakyat.
Dalam kontek pengelolaan sumber daya alam konflik antara rakyat dengan negara berlasung dari aras kebijakan negar dalam pengelolaan sumber daya alam yang tak demokratisi.
Meski usia tetang land reform di Indonesia sudah berlasung lebih dari empat puluh tahun. Problem berbagai masalah dari berbagai sektor masayrakat terus saja mengalami perkembangan yang berhubungan dengan keadilan terhadap kelompok miskin yang tidak memiliki tanah. Seperti negara bekas jajahan lainnya, di Asia Tenggara, Indonesia salah satu negara yang memiliki doktrin, dimana hak menguasai neagra lebih dominan di praktekkan, pad akhirnya kebijakan ini melucuti hak-hak masayrakat terhadap sumber daya tanah.
Konflik disekitar TNLL, acapkali tumpang tindih dengan soal issu hak masyarakat adat, konflik tanah, suku, dan migrasi. Pengalaman menujukkan, keberadaan Taman Nasional Lore Lindu, telah turut memicu klaim tanah oleh pemerintah disatu sisi, sementara sisi yang ada banyak orang yang tinggal di sekitar TNLL kehilangan akses atas tanah.
Dengan kata lain, pemerintah berkepentingan melindungi kawasan konservasi atas nama perlindungan hutan. Disisi lain, otoritas yang dimiliki TNLL sama sekali tidak membolehkan masyarakat masuk merusak TNLL. Apa lagi tinggal di dalamnya untuk mengambil kayu, mengolah lahan untuk usaha pertanian. Padahal masyarakat di sekitarnya TNLL 99% hidup mereka adalah petani dan kekurangan lahan.
Artinya kehadiran Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dengan luas wilayah sebesar 218.000 hektar terletak di antara Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Dari jumlah 67 desa yang berhubungan langsung dengan TNLL dengan jumlah penduduk sekitar 104.631 jiwa berada di dalam otonomi TNLL. Sebagian besar mereka adalah etnik yang sudah sejak lama turun-temurun berdiam di daerah tersebut, seperti: To Lindu, To Kulawi, To Gimpu, To Pili, To Moa, To Bada, To Behoa, To Pekurehua, To Tawaelia, dan lain-lain, selain itu penduduk
pendatang baru yang bermigrasi oleh karena konflik sosial politik, seperti: Orang Rampi (1958), Orang Seko (1958), Orang Pamona dan Poso (1998) atau karena migrasi lokal. Disamping itu penduduk dan desa transmigrasi yang sengaja didatangkan oleh pemerintah melalui proyek transmigrasi (Sangadji, et.el., 2003 ).
Sekiranya keberadaan TNLL dan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah TNLL, mengisyaratkan adanya ketimpangan struktur agraria di wilayah lembah Napu, Doda dan Palolo.
Sementara pada saat yang sama, ditengah terjadinya krisis lahan itu, pemerintah mengizinkan sejumlah usaha yang menguras penggunaan lahan begitu luas disatu pemilik. Contoh yang paling nyata, pemerintah mengizinkan 8.600 hektar konsesi Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Haspam, di Lembah Napu. Belum lagi pemberian izin ini mengundang kotraversi terutama masyarakat yang tinggal lembah itu, mereka datang dari Maholo, Watumaeta, Wanga dan lainnya, sebab mengusai dan mengusir paksa penduduk sebagai pemilik tanah yang dikusai secara adat oleh orang Napu. Contoh lain, ditengah otoritas TNLL melarang masyarakat masuk kedalam TNLL, pada saat yang sama pemerintah telah menyetujui konsesi pertambangan seluas 500.000 hektar diberikan kepada PT Uli Mandar Mineral[1] di dalam TNLL.
Proyek-proyek pembangunan pemerintah dan Ornop yang buruk[2], sekurangnya telah memicu konflik-konflik lahan bagi masyarakat yang tinggal di daratan tinggi Sulawesi Tengah itu. Karena kehadiran proyek itu, selain memicu ekspansi penanam komoditi berorientasi pasar secara besar-besaran juga, pada saat yang sama melakukan marginalisasi masyarakat dengan cara pemindahan dan mega proyek yang merugikan.
Kasus penduduk Desa Katu di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso, misalnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, pernah memaksa orang Katu pindah dari TNLL melalui proyek Central Sulawesi Integrated Area Conservation and Development Project (CSIACDP). Proyek ini di danai dari loan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 1997. Pemerintah menganggap orang Katu mengancam kawasan konservasi itu. Sebaliknya, orang Katu menolak dan menganggap bahwa wilayah yang saat ini mereka tempati merupakan bagian dari milik tradisional yang diperoleh dari para leluhur (Sangaji, 2002a).
Rumitnya permasalahan diatas, bersumber dari pemahaman tetang skla TNLL, antara pemerintah, otoritas TNLL dan masyarakat adat yang tinggal di sekitar TNLL, baik tentang lahan maupun tentang sumber daya yang terdapat di dalam TNLL (Adam, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar