Sabtu, 01 September 2012
Masjid Kuno Buatan 1804 di Pulau Una-una
Jika menyebut kepulauan Togean yang letaknya di Kabupaten Tojo Una-Una Sulawesi Tengah, ingatan orang pasti menerawang membayangkan indahnya gugusan pulau-pulau dan hamparan batu karang yang menjadi objek wisata. Namun, banyak pula yang langsung mengingat sebuah pulau yang menyimpan sejarah nasional bahkan dunia, yakni Pulau Una-Una yang pernah luluh lantak akibat letusan gunung berapi Gunung Colo tahun 1983. Berikut Catatan perjalanan ke Pulau Una-Una.
Berwisata ke Kepulauan Togean, serasa tidak lengkap kalau tidak menginjakkan kaki ke Pulau Una-Una. Pulau ini dulunya dikenal dengan nama Pulau Ringgit. Seorang tokoh masyarakat Pulau Una-Una mengatakan, pulau itu diberi julukan Pulau Ringgit, karena di wilayah itu dulunya hanya Pulau Una-Una yang paling kaya.
Pulau ini berisi jutaan pohon kelapa yang hasilnya langsung diekspor ke Malaysia. Bahkan, pada tahun 1960-an, transaksi di pulau ini pun menggunakan Ringgit Malaysia dan bukan Rupiah. Bahkan, yang memberi nama pulau ini adalah orang Malaysia. Menurut warga setempat, Una dalam bahasa Malasia artinya kelapa. Karena kelapa di pulau itu sangat banyak maka diberi nama Una-Una (kelapa-kelapa).
Tahun 1918, pulau Una-Una ini adalah pusat Kerajaan Una-Una. Rajanya bernama Abdurrahman Laudjeng Dg Materru (warga menyebutnya dengan Raja Tua). Bukti adanya kerajaan Una-Una, masih terlihat jelas dari Makam raja-raja tepat di belakang Masjid Jami yang dibangun tahun 1804.
Masjid inilah yang menjadi salah satu lambang kebanggaan masyarakat Pulau Una-Una. Selain bentuknya yang sangat berbau eropa, masjid itu juga menyimpan sejuta kisah ghaib yang hanya diketahui oleh masyarakat setempat.
Konstruksi masjid kuno yang diberi nama Masjid Jami itu, terbuat dari kayu Ulin dari Kalimantan (warga setempat lebih suka menebut Kalimantan dengan Borneo). Arsitekturnya perpaduan antara Eropa, China dan Arab. Lantai keramiknya berasal dari Perancis, sedangkan kubahnya berbentuk kopiah Teuku Umar yang kini menjadi Kubah Masjid Teuku Umar di Banda Aceh. Masjid Jami Una-Una itu pun masih terpelihara dengan baik.
Lantai keramik yang dimiliki masjid tua itupun, sangat unik dan konon menurut masyarakat setempat, tidak dimiliki oleh siapapun di wilayah Tojo-Unauna. Motif yang digambarkan dalam setiap lantai buatan eropa itu, adalah kaligrafi Turki yakni bintang segi delapan (mirip kaligrafi dicover album grup band Dewa) yang memaknai tulisan Allah.
Sejak dibangun tahun 1804, masjid itu nyaris tidak tersentuh pemugaran. Hal itu tampak dari kondisi masjid yang masih asli. Atap seng buatan eropa yang tebalnya hampir 1 cm itu, juga sejak dibangun hingga kini, masih digunakan di bagian kubah masjid. ‘’Dia tidak mudah rusak karena kualitas sengnya yang tebal dan tahan terhadap cuaca. Memang sengaja tidak dipugar, karena kondisinya yang masih bagus dan juga menjadi ciri khas masjid ini,’’ kata Diki Lasahido, salah satu warga menjadi tuan tanah di pulau itu pada suatu kesempatan saat bersama-sama berkunjung ke Pulau Ringgit itu beberapa tahun silam.
Salah satu kisah ghaib yang hingga kini masih dipercayai oleh warga Pulau Una-Una terhadap mesjid tua itu, bahwa sejumlah roh ulama masih berada di masjid itu. ‘’Salah satu contoh, pernah warga di sini salat Maghrib sendirian. Pada saat dia membaca Al-Fatihah, tiba-tiba terdengar suara puluhan orang mengucap kata ‘’Amin!’’ secara serentak. Padahal di masjid itu hanya dia seorang diri yang salat,’’ kata Diki.
Salah satu keghaiban yang dimiliki masjid kuno itu adalah, ketangguhannya saat diterpa larva letusan Gunung Colo. Ratusan rumah milik warga yang berada di sekitar masjid itu, rata dengan tanah dihantam panasnya larva yang mengalir dari letusan gunung berapi. Tapi, atas kekuasaan Sang Khaliq, masjid itu nyaris tidak tersentuh oleh panasnya larva dan masih berdiri dengan kokoh hingga kini.
Julukan Pulau Ringgit dan rakyatnya yang sangat sejahtera untuk pulau Una-Una, sayang hanya tinggal sejarah dan cerita turun-temurun dari warga setempat. Sebab, penduduknya telah lari meninggalkan pulau itu.
Ceritanya, pada tahun 1983, Gunung Colo di pulau itu meletus dan menumpahkan lahar panas, batu serta debu. Rumah dan harta benda mereka habis akibat letusan gunung berapi itu. Warga akhirnya eksodus dan enggan kembali lagi. Mereka menjadi transmigran di luar pulau itu dan tidak lagi mengurus harta benda mereka.
Tercatat, yang kembali lagi ke pulau itu tak lebih dari 100 orang. Namun, kehidupan mereka tidak lagi seperti dulu. Di tengah jutaan pohon kelapa dan potensi laut yang kaya, tapi rakyatnya tetap saja tidak kaya seperti dulu. Mereka menjadi terbelakang.(abdee mari)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar