Kamis, 23 Agustus 2012
KOTA DONGGALA DALAM WISATA SEJARAH
.Kota Dongala dikenal sebagai kota tua yang kaya akan sejarah, tak heran bila di kota ini tersisa banyak bangunan tua dan bersejarah, satu diantaranya adalah pelabuhan Donggala. Kota Donggala di awal abad 19 perupakan pusat pemerintahan kolonial belanda, setelah Belanda menguasai Sulawesi Tengah pada Tahun 1905, yang ditetapkan berdasarkan pembagian wilayah yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia, dan oleh pemerintah Kolonial Belanda Pelabuhan ini dijadikan Belanda sebagai pelabuhan niaga dan penumpang
Kejayaan pelabuhan donggala kala itu tertulis jelas dalam buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck milik Buya Hamka, dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer, kedua buku itu menyebut nama Donggala sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan Mancanegara.
Namun sejak pelabuhan Donggala dipindahkan ke Pantoloan, kejayaan kota Donggala perlahan memudar, kota yang dahulunya disebut-sebut sebagai kota pelajar, kota niaga perlahan-lahan semakin hilang dari perbincangan dan peta politik nasional bahkan lokal.
Pemindahan pelabuhan ke Pantoloan sangat bernuansa politis saat itu, padahal rencana pemindahan ini telah pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, kala itu Belanda memindahkan pelabuhan Donggala ke Pantoloan. Tapi lalu mereka kembali lagi ke Donggala. Pertimbangan kembalinya lagi ke Donggala adalah karena mereka memergoki data-data gempa yang diteliti oleh Sarasin bersaudara pada tahun 1901.
Memang cukup berat gempa di pantai selat Makassar, yang terkeras pernah mencapai angka 7 pada Skala Richter yang berangka 8. Dengan getaran setinggi angka 7 tersebut, ombak yang ditimbulkan gempa dapat dengan mudah menggilas sekaligus menyapu perumahan di pantai. Direktorat Geologi di Bandung dengan kerjasama USAID memperkuat hasil penelitian Sarasin bersaudara dengan menunjukkan bahwa rata-rata kedalaman pusat gempa di Selat Makassar adalah antara 36--75 km. (majalah tempo 40/V 06 Desember 1975).
Kini pengelolaan pelabuhan Donggala menjadi tanggung jawab PT. Pelabuhan Indonesia IV (Persero), yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan 18 Kantor Cabang, 2 UPK dan 5 Kawasan yang tersebar di 10 (sepuluh) propinsi yaitu Propinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat.
Saat ini status Pelabuhan Donggala berada pada kasta terendah pelabuhan yang dikelola oleh Pelindo. Klasifikasi pelabuhan dalam wilayah Pelabuhan Indonesia IV dibedakan menurut : a. Pelabuhan Utama, yaitu Pelabuhan Makassar ; b. Pelabuhan Kelas I (satu), yaitu Pelabuhan Balikpapan, Samarinda, Bitung, Ambon dan Sorong ; c. Pelabuhan Kelas II (dua), yaitu Jayapura, Tarakan, pantoloan, Ternate dan Kendari ; d. Pelabuhan Kelas III (tiga), yaitu Pelabuhan Nunukan, Parepare, Biak, Merauke dan Manokwari ; e. Pelabuhan Kelas IV (empat), yaitu Pelabuhan Fakfak dan Gorontalo ; f. Unit Pelayanan Kepelabuhanan, yaitu UPK Sangatta dan UPK Bontang ; g. Pelabuhan Kawasan, yaitu Pelabuhan Paotere, Manado, Tolitoli, Donggala dan Bandanaira.
Selama ini sejumlah tokoh pemerintah dan tokoh masyarakat menyuarakan pentingnya pengambila alihan pengelolaan pelabuhan Donggala oleh Pemda. Padahal Pemerintah kabupaten/kota tidak berhak mengambil alih pengelolaan pelabuhan umum nasional dan internasional yang selama ini dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia, selama Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang pelaksanaan teknis kepelabuhanan-sebagai dasar hukum dalam pengelolaan teknis pelabuhan-belum diubah atau dicabut, pengelolaan pelabuhan di seluruh Indonesia tetap dilaksanakan PT Pelabuhan Indonesia.
Sejarah pelabuhan Donggala, adalah sejarah kejayaan Kota Donggala.
http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1516613
DANAU TAMBING
Bagi anda yang menyukai suasana alam pegunungan, maka Danau Tambing adalah lokasi yang tepat untuk anda kunjungi. Danau yang berada pada ketinggian I .700 mdpl ini merupakan salah satu lokasi wisata yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu terletak di wilayah Kabupaten Sigi dan Poso Sulawesi Tengah. Taman Nasional Lore Lindu sendiri telah ditetapkan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahun dan budaya) sebagai Cagar Biosfir.
Lokasi ini dapat ditempuh dengan mobil atau angkutan umum selama kurang Iebih 2 jam dan kota Palu. Kondisi jalan raya menuju lokasi cukup baik. Pintu masuk kawasan dari jalur utama Palu-Napu. Dari bandara Mutiara palu perjalanan dapat anda lanjutkan ke terminal Petobo
PANTAI KILO5
Obyek wisata ini ramai dikunjungi oleh masyarakat kota Luwuk karena letaknya dekat dari kota. Deretan kios, kafe serta warung makan dalam bentuk rumah panggung menjadi pemandangan khas. Ombak pun sering menghempas pantai mengiringi keceriaan pengunjung. Bersampan, berenang, ski atau selancar merupakan atraksi yang dapat dilakukan di pantai Kilo Lima. Usai atraksi pengunjung dapat melepas kepenatan sambil menikmati makanan khas seperti nasi goreng, pisang goreng atau minuman segar. Disebut kilo 5 karena letaknya yang hanya 5 kilometer sebelah selatan dari pusat kota Luwuk. Pantai dengan hamparan pasir putih, air yang jernih serta beraneka ragam jenis karang yang memukau. Letaknya ditepi jalan raya dan sangat mudah dijangkau dengan semua jenis kendaraan bermotor.
Wisata di kilo 5 adalah lokasi yang baik untuk melihat pemandangan laut dan panoraman indah saat matahari terbit. Jika kita berkunjung ke Luwuk dari jalur udara, maka akan melewati pantai ini. Pemandangan pantai Kilo Lima, walau air laut sampai menyentuh tembok pembatas pantai, tetapi pengunjung tetap bisa bermain dan berenang di pantai ini karena pantainya yang dangkal, jernih dan berpasir putih serta berombak tenang.
Tari Molabot
Tari Molabot merupakan tari pemyambutan yang diangkat dari inti gerak tiga etnis (suku) yang ada di Kabupaten Banggai, yaitu Saluan, Banggai dan Balantak, yang kemudian dirangkum menjadi tari pergaulan. Tari ini meski memiliki gerak dan ranpak yang sama tetapi dalam penyebutan diantara tiga etnis yang ada memang agak sedikit berbeda sebagai pengaruh dari dialeg setiap etnis. Tari ini dalam aksen suku Saluan disebut Molabot, dalam bahasa Balantak disebit Malaboti, sementara dalam Bahasa Banggai disebut dengan Malabok.
Gerak tari tari Molabot banyak didominasi oleh gerak kaki dan tangan yang melingkar, sebagai sinbol kebersamaan dan kekeluargaan dengan syair-syair yang mengungkapkan rasa persauda-raan. Tari Malabot biasanya dimainkan penari-lpenari putri dengan jumlah penari antara 6 sampai 8 orang. Untuk lebih menyemarkkan gerak tari penyambutan ini biasanya para penari Molabot akan diiringi tetabuhan kendang dan gong.
Tari Molabot selain mempunyai makna untuk menyambut para tetamu yang sifatnya komu-nikatif, dilakukan pada penyambutan. Namun demikian tari Molabot sering juga dijadikan sebagai tari pembuka pada malam hari ketika ada acara-acara resmi pembesar. Setelah tari Molabot selesai ditampilkan baru kemudian dilanjutkan dengan acara yang lain. Lazimnya dilanjutkan dengan tari “Modero” yakni tari persaudaraan / pergaulan yang banyak digemari para muda/mudi di Kabupaten Banggai.
Salodik Water Fall
Objek wisata Salodik Water Fall berada di Desa Salodik Kecamatan Luwuk, Berada persis dipinggir jalan trans Sulawesi menuju Palu (Sul-Teng ) berjarak 27 km dari kota Luwuk di lembah Agro wisata karena selain memiliki permandian yang menarik juga ditumbuhi pohon pinus sepanjang jalan,dan merupakan daerah penghasil rempah-rempah dan Buah-buahan. Kabupaten Banggai yang berada pada ketinggian 1500 m di atas permukaan laut dengan memanjang ke timur. Menawarkan kesejukkan alam yang indah dan sejuk, serta air sungai yang melintas sepanjang objek wisata.
Air Terjun Tontouan, Luwuk
Salah satu Objek Wisata yang berada di tengah-tengah Kota Luwuk, memiliki Pesona Keindahan Alam yang indah dan dapat menjadi alternatif Wisata dalam mengisi liburan akhir pekan adalah air terjun mini Tontouan
Objek Wisata alam CM3 (Cepat,murah,menarik,memuaskan). memiliki daya tarik tersendiri karena berada dilembah yang diapit oleh 2 gunung di penuhi tanaman jagung,pisang,pepaya,sayur-sayuran milik masyarakat setempat. Jarak 2 km dari jantung kota dengan waktu tempuh 30 menit.
Pulau Dua Balantak
Pulau dua merupakan maskot pariwisata Kabupaten Banggai, terletak di Desa Kampangar, Kecamatan Balantak. Pulau dua memiliki panaroma yang sangat indah, cantik dan asri. Gunung batu yang tumbuh dari bawah laut menambah exotisnya Pulau dua. Dengan pantainya yang dikelilingi pasir putih serta ditumbuhi pepohonan yang berbaris rapi, membuat suasana di Pulau Dua penuh ketenangan dan kesejukan.
Dari Desa Kampangar kita sudah dapat melihat keindahan Pulau Dua, namun perjalanan Wisata kita akan kurang lengkap tanpa menyebrangi Pulau Dua yang berada di depan Mata Desa Kampangar,Kuntang dan Luok. Hanya butuh waktu 10-15 menit dengan menggunakan Perahu yang ada di sekitar Desa Kampangar kita sudah tiba di Pulau Dua.
Bagi anda pecinta Diving, tentunya Pulo Dua adalah salah satu Tujuan Wisata yang sangta menyenangkan, keindahan bawah laut yang begitu mempesona.
didukung dengan air lautnya yang berwarna jernih dengan Sponge Seafan (karang-karang yang beraneka ragam serta keragaman hayati bawah lautnya menjadikan pulau dua makin menarik untuk dikunjungi dan dinikmati.
PULAU TOGEAN
Taman Nasional Kepulauan Togean adalah sebuah sebuah taman nasional di Kepulauan Togean yang terletak di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah yang diresmikan pada tahun 2004. Secara administrasi wilayah ini berada di Kabupaten Tojo Una-Una.
Kepulauan ini dikenal kaya akan terumbu karang dan berbagai biota laut yang langka dan dilindungi. Beberapa aksi wisata yang dapat dilakukan di Kepulauan Togean antara lain: menyelam dan snorkelling di Pulau Kadidiri, memancing ,menjelajah alam hutan yang ada di dalam hutan yang ada di Pulau Malenge, serta mengunjungi gunung Colo di Pulau Una-una. Wisatawan juga bisa mengunjungi pemukiman orang Bajo di Kabalutan.
Hasil survey Marine Rapid Assessment Program (MRAP) oleh Conservation International Indonesia (CII) tahun 1998 di Kepulauan Togean dan Banggai menunjukkan bahwa kepulauan Togean merupakan salah satu bagian ekosistem terumbu karang penting dari ‘coral triangle’ yang meliputi wilayah Indonesia, Philipina, Malaysia, Papua Nugini, Jepang dan Australia. Terumbu karang di Kepulauan Togean kaya akan keanekaragaman hayati laut dengan 4 type terumbu karang : karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), karang tompok (patch reef), dan karang cincin (atoll).
Air terjun Wera
Air terjun Wera, terletak di daerah Wera, Pegunungan Gawalise, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk ke Wera, dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam dari Kota Palu dengan mobil atau motor, kemudian 45 menit berjalan kaki. Sumber mata air dari air terjun ini juga digunakan oleh masyarakat setempat untuk kebutuhan sehari-hari.
Air terjun ini masih sangat alami, airnya dingin dan jernih serta dikelilingi oleh hutan liar. Belum ada akses jalan baik untuk kendaraan maupun jalan setapak menuju ke lokasi air terjun, sehingga jika Anda berniat datang ke air terjun ini, maka Anda harus siap untuk berkotor-kotor menembus hutan, memanjat batu, dan menyeberangi sungai.
Meski cukup sulit dan lelah untuk menembus hutan Wera, tapi keindahan yang akan Anda dapatkan sungguh mampu menghapus semua lelah dan anda akan benar-benar sadar bahwa God is the greatest artist.
Rabu, 22 Agustus 2012
Air Luncur Sulewana
Sumber Air Luncur Sulewana berasal dari Danau Poso. Jaraknya 12 kilometer dari kota Tentena dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat atau roda dua. Air Luncur Sulewana terkenal karena alirannya sangat deras. Derasnya aliran dapat didengarpadajarak 500 meter. Sebuah penelitian mengeluarkan rekomendasi bahwa Air Luncur Sulewana dapat dijadikan sumber pembangkit tenaga listrik. Daya listrik yang dihasilkan mencapai 800 megawatt dan dapat melayani kebutuhan listrik untuk seluruh pulau Sulawesi.
Lembah Pipikoro
Lembah Pipikoro terletak di kecamatan Pipikoro, kabupaten Sigi dan bisa dijangkau dengan bus selama 2 jam dari Palu ke Gimpu dan dilanjutkan dengan berjalan kaki atau naik kuda. Lembah ini menjadi daerah tujuan wisata alam karena mempunyai panorama yang sangat indah, sekaligus sebagai pembatas antara wilayah propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Perjalanan ke lembah Pipikoro sangat menantang. Pengunjung dapat melakukan trekking dari Gimpu-Tubo-Mapahi-Peana-Towulu dan bisa juga dengan menyusuri sungai Wotiora untuk meneruskan perjalana ke Donggala atau berjalan kaki dari Peana ke Kota-Gimpu.
Di desa Mapahi, pengunjung dapat menyaksikan pembuatan kain dari kulit kayu. Sedangkan di desa Kantewu dan Tuwulu dapat disaksikan pembuatan senjata tradisional seperti sumpit. Daya tarik lain dari lembah Pipikoro adalah tarian tradisional Raego. Tarian ini bisa disaksikan di desai Morui dan Banasu. Pengunjung yang datang ke Pipikoro bisa menginap di rumah penduduk.
Eksotik Kepulauan Banggai
Kabupaten Banggai kepulauan memiliki pulau-pulau sedang dan kecil antara lain Pulau Peleng, Pulau Banggai, Pulau Bangkurung, Pulau Salue Besar, Pulau Labobo dan 116 pulau-pulau kecil lainnya. Kepulauan ini merupakan kawasan yang sangat bagus untuk melakukan berbagai kegiatan air seperti berenang dan menyelam. Di kawasan perairan ini wisatawan mungkin dapat melihat dugong atau sapi laut dan bahkan ikan paus. Walaupun panoramanya sangat bagus namun fasilitas akomodasi di pulau ini masih sangat terbatas tetapi wisatawan masih dapat menginap di rumah-rumah milik penduduk setelah sebelumnya meminta ijin kepada kepala desa setempat. Wisatawan dapat menyewa perahu motor yang dapat ditemui di setiap desa jika ingin mengelilingi kawasan kepulauan ini.
Banggai Kepulauan termasuk dalam kawasan wilayah yang memiliki keunikan tersendiri. Wilayah ini terdiri dari pulau besar, pulau kecil, pegunungan dan perbukitan. Di pedalaman tersebar beraneka ragam flora dan fauna, pesisir pantai kaya akan keanekaragaman ekosistem laut, seperti hutan bakau, padang , tipe-tipe serta biota laut lainnya.
Untuk wisata pantai dan bawah laut maka Pulau Mekelu (Pulau Tikus ), Pulau Lasampung Delopo, Kembongan, merupakan tempat yang di kelilingi pasir putih dan terumbu karang. Keindahan bawah laut Tolobundu di pulau Lo. Bangkurung. Wilayah ini terdiri dari pulau-pulau kecil, tersebar terumbu infsourlamwaessii pteanrgiwahisata nusantara 561 karang, ikan hias dan pasir putih banyak terdapat dipulau ini.
Pulau Kembongan merupakan objek wisata pantai. Kegiatan yang dapat dilakukan yaitu diving, snorkelling, Pulau Sampu-sampuan adalah sebuah pulau kecil yang hanya berukuran 2 kilometer dan untuk mencapainya harus menggunakan perahu motor selama empat jam perjalanan. Pulau ini memiliki pasir putih dan pantainya bergoa-goa. Keindahan bawah lautnya sangat menakjubkan karena memiliki berbagai jenis ikan hias yang unik.
Di Banggai kepulauan ini juga dapat dikunjungi Keraton Raja Banggai peninggalan Raja Banggai yang kondisinya masih terpelihara baik. Obyek wisata budaya ini sekitar 72 kilometer dari Luwuk. Di dalamnya terdapat keris kerajaan, payung kerajaan, alat musik kulintang dan pakaian kebesaran raja lainnya.
Kerajaan Banggai diperkirakan berdiri pada abad ke 13 tahun Saka 1478 atau tahun 1365 Masehi. Kerajaan ini berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate di Maluku Utara. Bentuk bangunan keratonnya seperti yang ada di Tidore dan Ternate karena hubungan historis.
Kerajaan Banggai dikenal sebagai kerajaan paling demokratis di dunia karena tidak mengenal putra mahkota atau ahli waris karena siapapun bisa diangkat sebagai raja atas keputusan Basalo Sangkep yang berfungsi sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat atau wakil rakyat. Banggai juga memiliki bendera berwarna putih bersudun 13 yang merupakan warisan rumpun keramat Paisutobui.
Makam Raja Mandapar menjadi salah satu tujuan wisata di kelurahan Lompio, kota Banggai. Makam yang hanya terbuat dari timbunan batu-batuan terkesan sangat sederhana tetapi banyak dikunjungi wisatawan. Dia adalah sosok yang menyatukan wilayah Banggai Keplauan dan Banggai Darat. Raja ini dimakamkan tahun 1625 atau 25 tahun setelah memerintah.
Pulau Sampu - sampuan
PULAU TIKUS
Kabupaten Banggai Kepulauan adalah salah satu daerah kabupaten paling ujung di Barat Laut Sulteng, terdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan kecil baik yang didiami masyarakat maupun yang tidak, hal inilah yang membuat daerah ini memiliki potensi wisata alam khususnya wisata bahari yang sangat indah. Di daerah ini terdapat satu pulau indah yang kerap dikunjungi wisatawan baik domestik maupun mancanegara, namanya pulau mekelu atau yang lebih popular disebut Pulau Tikus. Pulau tikus tepat berada di antara Banggai darat dan Kabupaten Banggai Kepulauan, Pulau ini tidak berpenghuni, namun di sana sudah dijadikan masyarakat setempat untuk bercocok tanam kelapa dalam, karenanya Pulau itu akan ramai jika musim panen kelapa. Pantainya sangat bersih dengan kemilau pasir putih yang mempesona.
Di pulau ini para wisatawan dapat melakukan berbagai aktifitas menyenangkan diantaranya, berenang di tepian pantai, berjemur dipasir putih dibawah sinar matahari tropis yang hangat, menyelam dan menyaksikan keindahan dunia bawah laut dimana terdapat spesies ikan yang eksotik dan langka yaitu bangai cardinal fish, memancing, atau fhoto hunting.
Selain karena keindahannya , pulau tikus digemari wisatawan atau para pelancong karena suasana alamnya yang masih asli dan terjaga, dengan begitu privasi para pelancong pun akan sangat terjaga, umumnya para wisatawan yang mengunjungi pulau ini berasal dari dua pintu, yakni Walea Kepulauan dan Manado. Para turis itu, setelah menikmati Taman Laut Kepulauan Togian di Kecamatan Walea Kepulauan Toko Una-una, kemudian pindah lagi ke pulau Tikus.
Untuk menuju ke pulau Tikus, para wisatawan harus melalui Luwuk, ibukota Kabupaten Banggai. Untuk menuju pulau Tikus, dapat ditempuh dalam waktu dua jam menggunakan perahu cepat dari Banggai Darat.
SMA Neg 1 Labobo.
Tanpa guru, tanpa laboratorium, tanpa perpustakaan, tanpa WC. Inilah sekolah SMA Neg 1 Labobo. Sekolah ini berlokasi di Desa Lipulalongo, Kec Labobo. Sudah dua tahun berdiri, tetapi sekolah ini hanya memiliki dua ruang kelas. Sekilas bangunan ini tak tampak seperti sekolah, sebab papan nama atau tembok nama tak berdiri di halaman. Satu-satunya penanda jika itu adalah bangunan sekolah hanyalah tiang bambu rapuh dengan bendera merah-putih berkibar di atasnya.
Mula-mula, Masrito Sabina – kepala desa Lipulalongo bersama beberapa warga desa mengobrol, obrolan itu berlangsung di suatu malam di tahun 2007. Inti obrolan tentang harapan mereka akan adanya sekolah menengah atas negeri di desa itu, pasalnya, selama berpuluh-puluh tahun anak-anak di desa itu, usai dari SMP Neg 1 Labobo mesti berangkat jauh-jauh ke kota kabupaten untuk melanjutkan sekolah. Gayung bersambut, Masrito mendengar kabar kalau bupati akan membangun sekolah-sekolah di seluruh kecamatan. Mengantongi harapan itu, Masrito, Imam Desa Lipulalango dan dua warga lainnya berangkat ke Salakan, mereka menemui bupati di sana. Saat itu kondisi sedang sensitif, kantor bupati dijaga ketat sejumlah polisi. Nama bupatinya Irianto Malinggong. Orang nomor satu di Salakan ini, mestinya bertanggung jawab pada pasal tak jelas mengenai pemindahan kabupaten, yang berimbas pada kerusuhan di Kab.Banggai, kota mungil itu penuh dengan darah dan amarah. Korbannya tak lain warga biasa, polisi ketika itu tak tangung-tanggung menembak warga di jalanan.
Ketika ditemui, bupati meminta Masrito dan rekan-rekannya menghadap kepala dinas pendidikan dan Olahraga (Dikpora). Namanya Drs Anwar Hasan. Kata Anwar, sekolah menengah atas negeri bisa didirikan di sana, asal warga desa Lipulalongo menyiapkan lahan seluas dua hektar sekaligus bersertifikat. Masrito dan rekan-rekannya pun kembali pulang ke Desa Lipulalongo. Sebagai kepala desa, ia prihatin dengan anak-anak di desa itu yang mesti lanjut jauh-jauh ke kota kabupaten. Maka ia kumpulkan warga untuk saweran dana. Lahan untuk bangunan sekolah mesti ada terlebih dahulu. Dari Saweran seluruh warga terkumpul 30 juta. Uang itulah yang dipakai untuk pembebasan lahan bersertifikat. Lahan kebun kelapa milik salah-satu warga dibeli swadaya warga satu desa. Warga desa lantas bergotong royong membabat alas, menebang pohon, dan menyensor pohon-pohon kelapa. Setahun kemudian sekolah pun berdiri dengan dua ruang kelas yang diperuntukkan untuk kelas satu dan kelas dua. Tahun 2008 berlalu, 2009 juga berlalu, kondisi bangunan masih sama. Tetap dengan dua ruang kelas. Pemerintah daerah tak peduli.
Siang dengan terik menggigit, saya bertandang ke SMA Neg 1 Labobo, siswa-siswa kala itu sedang belajar. Aroma laut berhembus sekitar satu meter dari belakang sekolah. Ilalang dan pohon-pohon kelapa mengurung sekolah ini. Sekolah ini terletak di pinggiran hutan dan pesisir. Untuk menuju ke sana bisa ditempuh sejauh 5 km dari perkampungan. Tetapi jika ingin cepat sampai, siswa-siswa lebih memilih melewati jembatan bambu sepanjang 150 meter melewati rawa dan hutan bakau. Jembatan bambu itu sudah rapuh. Sewaktu-waktu kaki anak-anak sekolah bisa terperosok di sana. Dua ruang kelas, dengan kantor guru yang beratap daun sagu dan berdinding anyaman bambu. Basrin Yadia S.Pd adalah kepala sekolah di SMA itu. Hanya ia seorang diri yang tercatat resmi bertugas di sekolah itu. SMA ini tak punya satupun guru, agar proses belajar-mengajar berlangsung, guru-guru yang mengajar di SMP Neg 1 Labobo diminta datang membantu mengajar.
Tak heran jika sekolah ini hidup pada jam-jam sembilan hingga sepuluh pagi, guru-gurunya berangkat terlebih dahulu ke SMP barulah ke SMA ini. Sudah dua tahun berlangsung begitu. Guru-guru ini diupah Rp 75 ribu per bulan. Dua tahun ini tak ada subsidi dari pemerintah, honor guru hanya bergantung pada Bantuan Operasional Murid (BOM). Setiap bulan siswa membayar SPP Rp 25 ribu. “Kadang-kadang ada rasa penyesalan bersekolah di sekolah yang tak punya fasilitas ini, tak punya guru, tetapi kalau bukan anak-anak desa ini yang bersekolah di sini, siapa lagi? Dengan kondisi begini maka kita sebagai siswa harus berusaha mencari,” tutur Sulastri (17 tahun) siswa kelas satu di SMA itu. Sulastri juga mengungkapkan guru-guru yang mengajar di sekolah itu, kemampuan mengajarnya masih kurang, lantaran mereka adalah guru SMP bukan guru SMA. “Kemampuan guru-guru dalam mengajar masih kurang lantaran yang mengajar kami adalah guru-guru SMP,” terangnya pada saya.
Di jam-jam istirahat lantaran tak punya perpustakaan, kebanyakan siswa hanya menghabiskan waktu dengan bergosip dan membicarakan pesta kawinan dan sunatan yang mereka datangi, sebagian lainnya duduk di bawah pohon kelapa membaca kembali catatan pelajarannnya. “Sudah banyak janji-janji untuk penambahan ruang di sekolah ini, dulu anggota dewan pernah berjanji menambahkan ruang kelas, dinas pendidikan dan pemda juga berjanji untuk memberikan fasilitas di sekolah ini, tetapi hingga sekarang tak ada buktinya,” ungkap Basrin B Yadia. Sejumlah anak-anak dari desa tetangga, seperti ; Desa Alasan, Desa Padingkian, Desa Lalong, Desa Talas dan Desa Paisulamo juga bersekolah di sekolah ini. Sekolah ini adalah harapan anak-anak desa lainnya. “Harapan saya, pemerintah kabupaten memerhatikan kondisi sekolah ini, tolong sekolah ini difasilitasi dan diberi guru tetap!” ungkap Basrin. Kabar yang beredar, tahun ini pembanguna SMA Negeri 1 Labobo bakal dilanjutkan, tetapi pemerintah-pemerintah yang berasal dari Desa Mansalean tak setuju. Berbicara soal Desa Mansalean dan Desa Lipulalongo serupa mengungkit luka lama.
Konflik politik pernah melanda kedua desa ini. Ibu kota kecamatan yang semula bertempat di Desa Lipulalongo tiba-tiba tanpa arahan resmi dari pemerintah kabupaten dan provinsi beralih ke Desa Mansalean. Pemindahan kecamatan terjadi secara absurd. Pembakaran kantor kecamatan di Desa Lipulalongo, warga hidup dalam selaput ketakutan, kaum lelaki berjaga-jaga sepanjang malam di batas-batas desa. Hingga hari ini kecemburuan sosial desa “tetangga” masih berlangsung, diam-diam sebagian pembangunan yang masuk ke Desa Lipulalongo digunting oleh orang-orang yang mendendam tak jelas.
http://pohonsagu.blogspot.com/search/label/Catatan%20Perjalanan
“Adat tumpe’ Batui
Tak ada orang Batui yang tak mencintai burung maleo. Maleo adalah jejak panjang, keramat, sekaligus kenangan dari leluhur mereka. Dari Sejarah kerajaan Banggai, habitat asli burung yang anti poligami di Sulawesi ini memang bermula di sana.
Seperti berdongeng, Aris menceritakan sejarah itu pada saya. Dulu, ketika Banggai masih dengan sistem kerajaan absolut, Adi Cokro – lelaki Jawa yang berlayar ke Banggai diangkat menjadi raja. Lantas Adi Cokro yang oleh orang Banggai dikenal Adi Soko menikahi putri dari Raja Babulau yang dulunya adalah Raja Matindok di Batui. Nama putri itu adalah Nurusapa. Karena perangai Adi Soko yang baik, Raja Matindok menyayanginya dan memberinya hadiah sepasang burung maleo. Dari Nurusapa, Adi Soko memperoleh seorang putera yang bernama Abu Kasim. Dalam buku babad Banggai, tulisan Machmud H.K yang terbit tahun 1986, masa pemerintahan Adi Soko berlangsung dari tahun 1525-1545.
Suatu ketika Adi Soko kembali ke Kediri. Sepeninggal Adi Soko kerajaan Banggai goyah, seperti rumah yang ditinggali seorang bapak. Singkat sejarah, setelah dewasa Abu Kasim berangkat ke Jawa mencari ayahnya, karena ketika itu Abu Kasim diharapkan menjadi raja sementara dirinya tak siap.
Kembali dari Jawa, Abu Kasim membawa pulang sepasang burung maleo, pemberian dari Adi Soko. Mulanya burung maleo dikembangbiakkan di Banggai, tapi pesisir di Banggai tak begitu lebar, maka burung maleo dikembangbiakkan di Batui, dengan catatan jika burung maleo bertelur, kerabat kerajaan yang ada di Banggai Kepulauan dikirimi telur-telur maleo.
Pengiriman telur ke kerajaan Banggai di Banggai Kepulauan inilah yang dikenal dengan adat tumpe’. Setiap tahun adat tumpe’ ini dihelat di Batui. Batui sebagai daerah pengantar telur maleo dan Banggai Kepulauan sebagai daerah penerima telur maleo. Orang Batui percaya, jika telur burung maleo tak diantar ke Banggai Kepulauan, maka musibah akan turun di Batui.
“Adat tumpe’ harus digelar setiap tahunnya, jika tidak kami di Batui akan terkena musibah, musibah itu rupa-rupa, kalau bukan gagal panen, kemarau panjang, wabah penyakit atau warga akan mengalami kecelakaan,” terang Aris.
Di tahun 70-an, pengantaran telur burung maleo ke Banggai Kepulauan masih berjumlah ribuan, sesuai dengan data statistik jumlah penduduk Batui. Waktu itu, setiap kepala keluarga wajib menyediakan dua butir telur maleo, satu butir untuk di simpan di rumah lurah. Telur yang disimpan ini mereka namakan telur “obat” dan sebutir lagi akan dibawa ke Banggai Kepulauan. Aturan ini sudah berlaku sejak zaman kerajaan. Namun sekarang, tak begitu lagi, telur maleo sudah sulit didapatkan, berarapun telur yang terkumpul, itulah yang akan digunakanan dalam perhelatan adat. Pengiriman telur tak lagi sesuai dengan jumlah penduduk.
Prosesi pengantaran telur bermula dari warga. Warga menyetor dua butir telur maleo di kantir. Kantir adalah rumah dakkanyo. Dakkanyo’ dalam sistem pemerintahan adat setingkat dengan lurah. Kantir juga berfungsi untuk menyimpan segala macam perlengkapan adat. Dari dakkanyo’, telur lantas dibawa ke rumah Bosanyo’, setelah itu telur-telur maleo yang sudah diselubungi dengan daun lontar itu dibawa ke Banggai Kepulauan. Daun lontar dipakai untuk pembungkus telur maleo, agar tak pecah selama perjalanan.
“Dahulu ketika pengantaran tumpe’ masih menggunakan perahu dan telepon genggam belum ada, di tengah perjalanan, pembungkus telur maleo diganti lalu dibuang ke laut. Pembungkus telur yang hanyut itu, akan lebih dulu sampai ke Banggai dan dijadikan tanda bagi orang Banggai. Penanda kalau rombongan pengantar telur sudah di perjalanan,” cerita Aris.
Dari majalah Voice Of Nature yang terbit tahun 1992, dikatakan ritual pengantaran telur maleo dari Batui ke Banggai Kepulauan telah berlangsung sejak tahun 1571.
***
Tahun ini, musim-musim pengumpulan telur pada perhelatan adat tumpe’ sudah berlangsung dari bulan September hingga Oktober. Bulan November adalah waktunya pengumpulan telur burung maleo di rumah-rumah lurah.
Sabtu pagi yang gerah di pertengahan November, saya bertandang ke rumah Aris Apok di Kecamatan Batui. Aris Nampak cemas. Target pengiriman telur burung maleo ke Banggai Kepulauan tahun ini 120 butir. 100 butir untuk diantar ke kerajaan Banggai, 10 butir untuk Bosanyo dan 10 butir lagi untuk Sake. Sake adalah orang yang ditunjuk untuk mengantar telur. Tapi ketika ia mengecek jumlah telur, baru belasan yang terkumpul.
“Semuanya sudah tak sama, dulu telur burung maleo mudah didapatkan warga di setiap kelurahan. Setiap utusan kelurahan secara bergantian mencari telur di pesisir hutan Bakiriang, namun semenjak hutan Bakiriang dicerabut dari adat, burung maleo bukannya lestari malah maleo di sana punah,” ujar Aris.
Samawiah Yahya (63 tahun) adalah saksi mata kepunahan burung maleo di Batui. Perempuan yang berbicara mengebu-ngebu ini bercerita, dulu ketika hutan Bakiriang masih belantara dan senyap, burung maleo masih tetap lestari di Batui meski adat tumpe’ berlangsung setiap tahun. Rata, Bakiriang, Dongin dan Minahaki, sepanjang kawasan itu adalah tempat turunnya burung maleo di musim-musim bertelur. Sekarang, kawasan itu telah menjelma pemukiman transmigrasi, kebun sawit dan kakao.
Hutan Bakiriang kini menjelma hutan industri. Kawasan yang semula dijaga pemangku adat itu, kini beralih ke pemerintah daerah dan perusahaan. Semenjak itu hiruk-pikuk terjadi di sana. Maleo pun tak lagi turun bertelur di kawasan itu, meski ada usaha pemerintah daerah untuk menanam kemiri dan kenari di sana. Kemiri dan kenari adalah makanan burung yang memiliki telur empat kali lipat lebih besar dari telur ayam ini.
Samawiah mengatakan salah-satu penyebab percepatan kepunahan maleo lantaran kawasan tempat maleo bertelur itu sudah berubah menjadi pemukiman transmigrasi. Mereka membuka kebun dan ladang di sana, itulah kenapa hutan di sana tergerus.
“Orang-orang pendatang yang membuka kebun dan membabat hutan di sana tak punya hubungan batin yang kuat dengan burung maleo, kalau maleo punah, tak akan berpengaruh apa-apa kepada mereka, tapi kami Orang Batui, khususnya warga yang masih punya garis keturunan kerajaan Banggai, tak ada yang berani merusak tempat tinggal maleo, kami bahkan takut memakan telurnya, telurnya hanya dibawa ke Banggai pada acara adat, kalaupun kami memakan telurnya, kami harus minta izin pada leluhur, telur itu harus dibacakan doa, diasapi kemenyan, kalau tak begitu maka musibah akan menimpa kami,” tutur Samawiah. Samawiah adalah istri seorang Dakkanyo’. Dalam pemerintahan adat, dakkanyo’ setingkat dengan lurah. Suaminya bernama Yahya Alepu, ia adalah Dakkanyo di kelurahan Tolando.
Samawiah punya pengalaman ajaib tentang telur burung maleo. Tahun 2002 silam, anaknya Hasmiati Yahya yang kuliah di Kendari, Sulawesi Tenggara tengah menghadapi ujian skripsi. Skripsinya tentang upacara tradisional adat maleo dan maknanya bagi orang Batui. Si dosen penguji, meminta Hasmiati harus membawa serta telur burung maleo, sebab ia baru akan percaya dengan keunikan-keunikan maleo yang ditulis Hasmiati di skripsinya kalau ia sudah melihat langsung telur burung maleo.
Demi keperluan ujian skripsi anaknya, Samawiah lantas mengirimkan sebelas butir telur Maleo ke Kendari. Telur-telur itu ia kirim melalui awak Kapal Tilongkabila. Ketika kapal sudah membuang sauh dan meninggalkan pelabuhan Banggai, melalui mikropon pegawai Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KPPP) mengumumkan agar kapal Tilongkabila balik lagi ke pelabuhan, sebab ada 11 orang penumpang tertinggal.
“Ketika kapal balik, sebelas penumpang yang tertinggal ini ternyata tidak ada, semua penumpang bertiket sudah di atas kapal, saya langsung teringat sebelas telur maleo yang saya kirim itu, telurnya belum sempat dibacakan doa, kami orang Batui percaya telur maleo itu dijaga leluhur,” cerita Samawiah.
Samawiah berpikir ada yang salah dengan cara pemerintah daerah melindungi kawasan yang ditempati maleo bertelur itu. Ia mengenang, dulu penjaga kawasan hutan Bakiriang itu seorang pendatang dari Manado. Setiap kali burung maleo turun bertelur, telur-telur maleo itu ia paketkan dan kirim ke Menado.
“Kalau yang mengawasi kawasan Bakiriang adalah pendatang, mereka tak akan peduli, telur-telur maleo justru dikomersilkan. Dulu ketika orang-orang masih buta huruf, hutan Bakiriang masih terjaga, sekarang banyak sarjana, tapi hutan Bakiriang rusak,” imbuhnya lagi.
Ilyas Lagade (66 tahun) dan Dadeng Siah (53 tahun) adalah penyaksi bagaimana warga Batui memprotes kerusakan hutan Bakiriang. Kata Ilyas, warga bahkan sudah turun dengan parang untuk memprotes kerusakan kawasan itu, namun yang terjadi warga adat selalu kalah dengan kekuasaan pejabat dan pengusaha yang mencengkram di sana.
“Kita yang berniat untuk kebaikan dengan mempertahankan kelestarian maleo, justru kami yang diangkut ke penjara, tanah-tanah di kawasan itu telah dimiliki pejabat dan pengusaha, kami tak bisa berbuat apa-apa,” kata Ilyas.
Sekarang ini untuk keperluan perhelatan adat tumpe’, warga Batui kesulitan memperoleh telur maleo. Ko Asem – seorang warga peranakan Tionghoa yang telah lama bermukim di Batui mengatakan, beberapa tahun belakangan, setiap jelang perhelatan adat tumpe’, keluarganya membeli telur maleo. Tahun ini harga telur maleo Rp. 35.000 per butir, tahun lalu Rp. 20.000.
“Semakin tahun, sepertinya harga telur maleo akan semakin tinggi, bisa jadi satu atau dua tahun lagi, telur maleo akan seharga Rp. 100 ribu,” katanya.
Menurut Ko Asem, penebangan pohon, bunyi sensor dan pengoperasian alat-alat berat seperti buldozer, ekskavator perusahaan-perusahaan yang masuk hutan membuat burung maleo bermigrasi ke daerah-daerah lain yang masih punya hutan senyap.
“Burung maleo itu lebih suka tinggal di hutan-hutan yang senyap, burung itu lebih suka kondisi yang tenang, sementara di Batui tak ada lagi hutan yang senyap, akhirnya maleo bermigrasi hingga ke Balantak bahkan ke Morowali, dimana ada hutan yang nyaman, kesanalah burung itu,” katanya lagi.
Kepunahan maleo yang cepat ini menyisakan rasa cemas pada warga Batui, sebab setiap kali perhelatan tumpe’, warga mesti menyediakan telur maleo. Lantas jika maleo benar-benar punah, petuah leluhur bisa jadi terabaikan.
Karena Habitat Tak Lagi Senyap
Siang Senin (28/11), saya menelpon Wilianita Selviana. Perempuan berumur 26 tahun ini adalah direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng. Ia bermukim di Palu. Saya bermukim di Luwuk, maka wawancara berlangsung hanya lewat kabel telepon. Wilianita mengatakan kerusakan hutan Bakiriang sebagai habitat burung maleo mestinya bisa dicegah lebih awal. “Hutan Bakiriang adalah kawasan konservasi, jadi izin perusahaan atau pemukiman mestinya tak boleh diberikan kepada siapa pun,” ungkapnya.
Wilianita mengungkapkan, dari data Walhi Sulteng, saat ini kerusakan kawasan itu telah mencapai 30 persen, hal itu lantaran adanya kebun sawit, jalur pipa migas, serta pemukiman dan sarana umum. Baru-baru ini Wilianita mengikuti pembahasan revisi tata ruang Sulawesi Tengah dalam rakorda BKPRD Provinsi. Ibu satu anak ini khawatir revisi penataan ruang Sulawesi Tengah berakhir kompromi.
“Kabupaten Banggai contohnya, mengusulkan pelepasan sebagian kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang untuk pemukiman penduduk yang sudah eksis beberapa tahun terakhir sementara ada fakta lain kawasan SM Bangkiriang sudah dirambah oleh perusahaan sawit seluas 500Ha,” ungkapnya.
Sementara itu, dari data analisis dan digitalisasi peta citra quickbird tahun 2009 lalu, kerusakan Bakiriang seluas 2.491,44 hektar atau 20,52 persen dari luas keseluruhan. Luasan kerusakan ini dikarenakan adanya permukiman seluas 13,85 hektar, kebun 1.717,47 hektar, kebun campuran 66,67 hektar, tegalan 22,18 hektar, perkebunan kelapa sawit 532,06 hektar, tebangan liar 8,88 hektar, dan areal sumur gas Sukamaju-1 seluas 4,2 hektar.
“Pemerintah daerah selama ini tak punya niatan untuk menyelesaikan persoalan Suaka Margasatwa Bakiriang, pemda selama ini membiarkan dan mengabaikan kerusakan Bakiriang. Sebetulnya selain revisi RTRW yang ditempuh Walhi, selama ini Walhi sudah berjuang dengan melaporkan pelaku pelanggaran tata ruang. Namun sampai saat ini, tak ada tanggapan dari pihak kepolisian, Walhi juga melakukan penggalangan dukungan publik agar bersama-sama Walhi menyuarakan masalah lingkungan di Sulawesi Tengah, termasuk kawasan Bakiriang,” terang Willianita.
Menurut I Nyoman Ardika ( 34 tahun) seorang petugas lapangan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), sepanjang pengetahuannya, pemukiman juga ekploitasi investor di kawasan Bakiriang, sama sekali tak memiliki izin.
“Sepanjang pengetahuan saya, tak ada izin yang dikeluarkan untuk pemukiman dan investor di kawasan Bakiriang, namun yang terjadi di lapangan ya seperti itu, kami selama ini telah mencoba menjaga keutuhan fungsi kawasan itu dengan melakukan penangkaran, patroli, penyuluhan dan operasi gabungan, tahun 2002 hingga 2004, BKSDA telah melakukan pemindahan pemukiman perambah di Kawasan Bakiriang ke Batui Lima,” terang I Nyoman pada saya. Menurut I Nyoman saat ini belum ada data terbaru mengenai kerusakan Bakiriang, data terakhir yakni pada tahun 2009. BKSDA sudah pernah melaporkan masalah kawasan Bakiriang ke Jakarta, namun hingga saat ini tak ada titik terang.
Minggu pagi, di akhir November, saya bertandang ke Kawasan Bakiriang. Kondisi suaka margasatwa itu benar-benar telah disulap menjadi desa. Kawasan itu telah dihuni sekitar 800 jiwa. Sebagian besar mereka adalah transmigran dari Jawa dan perantau dari Sulawesi Selatan. Mereka memiliki Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) untuk pekarangan, kebun dan sawah antara 1 sampai 2 hektar. Selain rumah penduduk, di kawasan itu juga sudah berdiri dua unit sekolah dasar, satu unit sarana PLN, balai desa dan enam unit rumah ibadah baik masjid maupun gereja. Sampai saya meninggalkan kawasan itu, saya tak berpapasan dengan seeokor pun burung maleo.
Sebetulnya, setiap tahun luas kawasan Bakiriang selalu saja berubah. Semula, berdasarkan keputusan Raja Banggai tahun 1936, hutan Bakiriang yang membentang dari selatan hingga pesisir Teluk Tolo memiliki luas 3.500 hektar. Luas itu kemudian ditetapkan dengan rekomendasi Bupati Banggai pada tahun 1982.
Tahun 1989, luas kawasan itu kembali berubah. Perubahan itu berdasarkan SK Gubernur Sulteng pada tahun 1989 tentang penunjukkan SM Bakiriang seluas 3.900 hektar. Kemudian lewat Tata Guna Hutan Kesepakatan Tahun 1993, luas Bakiriang bertambah menjadi 9.800 hektar.
April 1998, perubahan kembali terjadi. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) luas Bakiriang menjadi 12.500 hektar. Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional), Bakiriang dikategorikan sebagai Kawasan Lindung Nasional dan dikelompokkan dalam kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam, dan Cagar Budaya seluas kurang lebih 12.500 hektar.
Suatu siang yang terik di awal Desember, saya bertandang lagi ke Desa Batui. Itu kali ke-empat saya ke sana. Hari itu adalah hari pengantaran telur maleo, sebelumnya warga dan pemangku adat telah berkumpul di rumah adat dan akan berangkat bersama-sama ke pelabuhan untuk menaikkan telur-telur maleo ke dalam kapal.
Rumah adat dipadati warga, bupati Kab. Banggai dan anggota DPRD juga ada di sana. Dari sebuah baliho yang dipajang di depan pagar rumah adat, tertera bahwa ritual adat itu disponsori PT Donggi Senoro (DS) LNG – perusahaan gas yang beroperasi di Batui. Perusahaan lainnya yang turut mensoponsori perhelatan adat itu adalah PT JGC Indonesia, sebuah perusahaan gas dan minyak.
Ketika menyampaikan pidato, Bosanyo’ Aris Apok menyebutkan kedua perusahaan itu telah menyumbangkan karpet untuk rumah adat Batui, semua warga yang hadir di tempat itu bertepuk tangan. Di antara riuh rendah tepuk tangan itu, saya tercenung, bisa jadi satu dua tahun ke depan habitat maleo di Batui tinggal kenangan.***
http://pohonsagu.blogspot.com/search/label/Catatan%20Perjalanan
PULAU DALAGAN
menempuh jarak 150 km dari Luwuk untuk sampai ke desa ini. PuloDalagan namanya, terletak di Kecamatan Nuhon. PuloDalagan masih banyak ditutupi hutan dan lahan yang tak diolah. Rumah-rumah rata-rata belum memiliki jamban. Listrik menyala pada malam hari, dan hanya sampai pada jam 12. Warganya masih banyak yang belum menikmati fasilitas listrik. Untuk mencharge HP warga biasa membayar Rp 2000 rupiah pada orang yang dirumahnya ada listrik. PuloDalagan yang masih banyak ditutupi belukar itu, menjadikan tempat pelarian buronan yang di penjara dari Luwuk.
Saya ke PuloDalagan, sebab sebelumnya, dari cerita yang saya dengar, PuloDalagan punya pulau berpasir putih, namanya Pulau Tikus. Hanya butuh 15 menit untuk mendayung perahu dari PuloDalagan menuju ke sana. Pulau itu tak berpenghuni. Kadang-kadang ada pejabat dari Luwuk yang datang ke pulau itu dan menggelar acara bakar-bakar ikan di sana.
Maka siang yang melelahkan itu setelah melewati puluhan desa, tibalah saya di PuloDalagan. Saya langsung dijemput suami sepupu saya di pinggir jalan. Rumah sepupu saya terletak diantara rimbunan pohon kelapa. Saya mampir ke rumahnya. Mertua sepupu saya sudah menyambut kami dengan makan siang. Nasi yang masih mengepul, ikan batu bakar, sambal juga ikan kuah woku. Sambil menemani saya makan, sepupu saya bercerita perihal buronan yang lari dari penjara di Luwuk dan bersembunyi di PuloDalagan. “Di sini, ada buronan yang lari dari penjara di Luwuk, anak-anak dilarang keluar, orang-orang desa ketakutan, waktu lalu buronan itu dicari polisi, tapi kabarnya ia punya ilmu tinggi sehingga kebal senjata tajam apapun,” cerita sepupu saya. Ia juga bercerita mengenai masalah PNPM mandiri, masalah proyek jalan di PuloDalagan dengan anggaran miliaran rupiah namun hanya menghasilkan jalan setapak di pinggir-pinggir rumah warga, bukan jalan menuju kebun, sesekali ia juga mengeluhkan soal uang simpan pinjam perempuan (SPP) di PuloDalagan yang hanya diberikan pada orang-orang mampu saja, bahkan ada satu orang memakai lima nama untuk meminjam agar uang yang ia pinjam lebih banyak. Saya menyimak ceritanya.
Usai makan siang, saya bertandang ke rumah kepala Desa PuloDalagan. Namanya Yusran Balahanti. Yusran bercerita di desa itu masyarakatnya masih banyak yang belum sadar pentingnya pendidikan. Lulusan SMA hanya bisa dihitung jari. Sekolah SMA yang berjarak 11 kilometer dari desa itu, membuat remaja malas melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika saya menyinggung perihal PNPM dan masalah-masalah yang terjadi di desa itu, Yusran bilang di sini sama sekali tak ada masalah.
Kaum lelaki di PuloDalagan kebanyakan bekerja sebagai nelayan, ada juga yang mencari rotan. “Di desa ini, orang-orang masih banyak yang belum sadar pendidikan, kebanyakan hanya tamatan sekolah dasar, apalagi jarak sekolah lanjutan cukup jauh,” terang Yusran.
Menurut Nita Bakring– warga di PuloDalagan, masih banyak warga di desa itu yang melek huruf. Sayangnya, hal itu luput dari perhatian pemerintah. Hanya sebentar saya berbincang dengan kepala desa dan warga, setelah itu saya ditemani kepala desa menuju Pulau Tikus.
Yusran Balahanti bercerita pada saya, sebetulnya nama pulau itu bukanlah Pulau Tikus melainkan Pulau Pasir Putih, oleh anak-anak remaja di kampung yang sering ke pulau itu, lalu menengak minuman keras cap tikus di sana, menamai pulau itu dengan Pulau Tikus. Lama-lama Pulau Tikus menjadi akrab di telinga warga dan pelancong.
Ketika hendak berperahu ke Pulau Tikus, kami berjumpa dengan Nuni (60 tahun) dan Taher Kandatjo (50 tahun). Nuni baru saja pulang berburu Gorango, begitu nama lokal ikan Hiu di kampung itu dan Taher barulah pulang berburu Pujit – nama lokal anak gurita. Nuni bersuku Bajo, Taher bersuku Saluan. Nuni bercerita, sudah bertahun-tahun ia melakoni pekerjaan berburu Hiu. Kalo lagi mujur dua atau tiga ekor Hiu akan didapatnya, kalau lagi apes, kadang tak dapat tangkapan sama sekali. Rombongan Hiu biasanya bermain-main di depan Batu Langkai – ini adalah lautan luas di depan PuloDalagan.
Sirip, ekor dan daging ikan Hiu bernilai ekspor. Hiu buruan Nuni dibeli seorang pedagang dari Makassar yang datang tiga bulan sekali mengambilnya di rumah Nuni. Namun, tak sembarang sirip yang akan dibeli pedagang dari Makassar itu, hanya sirip berukuran 40 cm saja yang dibeli dengan harga 200-300 ribu. Meski harga sirip Hiu lumayan tinggi, namun Nuni mengaku kebutuhan hidupnya belum tercukupi. “Uang sejumlah itu hanya habis untuk ongkos bensin.” Ungkapnya. Di rumahnya, Nuni harus menanggung hidup dua rumah tangga. Pola hidup suku Bajo memang begitu. Dalam satu rumah kadang-kadang dihuni dua rumah tangga.
Taher Kandtajo juga melakoni pekerjaan yang sama dengan Nuni. Beruntungnya mereka, tak harus berburu Hiu hingga jauh ke perairan Australia. Bertemu Nuni dan Taher saya teringat para pemburu Hiu di Desa Wawoangi, Kecamatan Sampelawa, Buton. Tahun 2007, saya meneliti untuk Oxfam di pulau-pulau kecil di Buton. Di sana, di Desa Wawoangi, para pemburu hiu berburu jauh hingga ke perairan Australia. Mereka berada di laut selama 3 sampai 6 bulan. Para pemburu Hiu di sana meninggalkan anak istri dan hutang jutaan rupiah – hutang kapal dan alat tangkap Hiu.
Mereka berharap ketika kembali bisa melunasi hutang. Istri-istri mereka terpaksa berkerja serabutan selama ditinggal suami, untuk menafkahi anak-anak. Sedihnya tak banyak pemburu Hiu di sana yang pulang dengan selamat. Banyak yang di penjara di Australia, lantaran mereka tak tahu batas laut Indonesia dan Australia. Mereka yang tak mengenyam bangku pendidikan tinggi berpikir perairan Australia adalah perairan Indonesia. Sudah begitu, polisi Australia kadang membakar duit dan alat tangkap mereka, lalu oleh pemerintah Australia mereka dipulangkan dengan baju di badan.
Di musim-musim Hiu tak mampir di Batu Langkai, Taher dan Nuni hanya memancing ikan karang. Satu cucu ikan, mereka jual 10 ribu. Kadang-kadang mereka membuat rompong. Ikan lajang, katombo, solisi dan cakalang akan mampir di rompong. Tiga bulan sekali mereka memanen rompong. Para Nelayan miskin di PuloDalagan ini hanya berharap kebaikan pemerintah, kelak ada pemerintah yang memerhatikan nasib mereka.
Bahrun Balahanti (67 tahun) bercerita, dulu PuloDalagan ini dibuka pertamakali oleh orang-orang Bajo. Merekalah penghuni pertama di desa itu. waktu itu kampung masih ditutupi hutan dan bakau. Tahun 1963, hanya ada tiga rumah di PuloDalagan. Lama-lama, orang-orang Saluan, Balantak, Bugis dan Banggai berdatangan ke desa itu.
Setelah bercerita dengan Nuni, Taher dan Bahrun, Yusran Balahanti – kepala desa PuloDalagan pun menemukan perahu pinjaman yang akan kami kayuh ke Pulau Tikus. Pulau ini berpasir putih dan warna lautnya biru tosca. Kawan seperjalanan saya langsung menceburkan diri di laut. Saya sibuk memotret.
Pulo Tikus sebetulnya berpotensi untuk kawasan wisata, sayangnya pulau ini tak dijaga dengan baik. Terumbu karangnya sudah banyak yang rusak. Menurut Yusran Balahanti, nelayan-nelayan dari Desa Bala’ang biasa datang melakukan pemboman di sana.
“Nelayan-nelayan dari desa tetangga, yakni Desa Bala’ang yang biasa melakukan pemboman, itulah kenapa terumbu karangnya telah rusak,” terang Yusran. Yusran bilang, pernah ada seorang peneliti kelautan yang datang ke PuloDalagan, peneliti itu bilang butuh 20 tahun barulah terumbu karang di PuloDalagan kembali seperti semula. Tak hanya itu di PuloDalagan marak sekali pembalakan kayu ilegal.
Menanggulangi masalah itu, pemerintah desa PuloDalagan membuat peraturan desa (Perdes) mengenai ketertiban lingkungan. Perdes ini dibuat Oktober 2009 lalu. Saya bilang pada Yusran, Pulau Tikus ini jika dikelola dengan baik akan mendatangkan pendapatan daerah. Namun sayangnya, tak ada pemeliharaan yang dilakukan pemerintah desa dan kabupaten. Parahnya lagi pulau berpasir putih itu hanya dijadikan tempat buang hajat oleh warga sekitar.
Air Terjun Sigelang - Tolitoli
Terletak di Desa Oyom, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Tolitoli, Propinsi Sulawesi Tengah.
Berjarak 15 kilometer dari kota Tolitoli, dan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer dari desa Oyom. Sebagai tempat rekreasi yang dikelola masyarakat setempat, air terjun ini banyak dikunjungi khususnya oleh kaum remaja di hari-hari libur.
Berjarak 15 kilometer dari kota Tolitoli, dan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer dari desa Oyom. Sebagai tempat rekreasi yang dikelola masyarakat setempat, air terjun ini banyak dikunjungi khususnya oleh kaum remaja di hari-hari libur.
Pulau Lutungan
Pulau Lutungan adalah pulau kecil yang berada tepat didepan kota Tolitoli. Bila kita datang dengan menggunakan kapal, maka kapal akan melewati pulau ini sebelum memasuki Pelabuhan Tolitoli. Pulau ini memiliki pantai pasir putih dan taman laut yang memiliki aneka ragam terumbu karang dan ikan. Aktifitas yang dapat dilakukan adalah snorkeling, diving, berenang, serta menikmati sunrise dan sunset. Di pulau ini juga terdapat makam Raja Tolitoli. Untuk mencapai pulau ini dapat menggunakan motorboat dari Tolitoli selama kurang lebih 20 menit.
Pulau Lutungan merupakan pulau yg sgt indah dan bernilai sejarah, letaknya pun strategis. sy usulkan agar pulau ini ditata dg baik, dibuatkan konsep yg lebih baik lagi termasuk penataan master plannya, ada 2 nilai yg perlu diangkat disini yaitu:
1. keindahannya secara Natural
2. sejarahnya
konsepnya paling baik klu dijadikan wisata bahari dan wisata sejarah, sy kira sgt mendukung perkembangannya untuk pemasukan daerah dan dijadikan Icon kota Tolitoli yg conec dg tanjung batu. jd sistem pengelolaannya menggunakan uang negara lwt usulan kepusat. jd sy kira Dinas pariwisata harusnya konsen disatu lokasi dlu sampai bs beroperasi, dan Lutungan yg paling tepat untuk diutamakan.
PUALU MAKAKATA
Terletak di Desa Boyantongo dengan jarak tempuh ± 9, 5 km dalam wakut ± ½ jam dari Parigi ( Ibu Kota Kabupaten ), dan memiliki jarak tempuh ± 3 km dari Kota Kecamatan dan dari Pantai Boyantongo ke Pulau di tempuh ± 15 menit dengan menggunakan Perahu Motor.
Obyek wisata ini memiliki potensi dan keunggulan sebagai berikut :
- Luas lokasi obyek wisata ± 2 km².
- Telah tersedia lokasi khusus yang dapat digunakan sebagai tempat Atraksi hiburan masyarakat.
- Saat ini telah tersedia 1 ( satu ) buah Cottage oleh Dinas Parsenibud.
- Obyek wisata Tanjung Makakata terletak ditengah laut, yang berdekatan dengan Pulau Lindu.
- Jarak lokasi obyek wisata sangat dekat dengan Ibu Kota Kabupaten ( Parigi ).
- Panorama bawah laut dengan Terumbu Karang dan Ikan Hias yang indah.
- Disekitar Tanjung Makakata terdapat hamparan pasir putih yang membentuk lingkaran.
- Kondisi laut disekitar Tanjung Makakata dapat digunakan berenang, memancing, selancar, dll.
PULAU BUSAK
Terletak berhadapan dengan desa Busak maka disebut dengan nama pulau Busak yang berpasir putih. Jarak pulau ini dari Buol ± 23 kilometer dan dapat dijangkau dengan kendaraan roda empat dan dilanjutkan dengan perahu dayung selama 15 menit.
Di pulau ini terdapat pohon kelapa dan kebun buha-buahan milik masyarakat. Sejak dahulu hingga sekarang, pulau Busak dijadikan sebagai tempat musyawarah bagi anggota masyarakat dalam merundingkan suatu permasalahan penting.
POHON KAILI
Pohon Kaili yang merupakan tanaman khas Sulawesi Tengah terancam punah karena banyak dimanfaatkan masyarakat tanpa memperhatikan proses budidaya selanjutnya.
Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Sigi Agus Rahmat Lamakarate di Sigi, Senin, mengajak masyarakat setempat untuk menanam dan melestarikan pohon yang dalam bahasa setempat disebut rego.
"Bolehlah kita menebang pohon, tapi yang sudah tua atau mau mati saja," katanya usai menanam sejumlah bibit pohon kaili dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup se-Dunia.
Dia mengatakan, masyarakat banyak menebang pohon kaili untuk dijadikan arang, kayu bakar, atau keperluan lainnya. "Ini yang terus kita coba untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan agar terhindar dari bencana," kata Agus.
Menurutnya, pohon kaili merupakan kebanggaan masyarakat Sulawesi Tengah karena tanaman tersebut juga merupakan nama suku terbesar di Sulawesi Tengah. "Jangan biarkan pohon ini punah. Kasihan anak cucu kita jika harus melihat pohon kaili melalui foto atau buku pelajaran di sekolah," kata Agus.
Pohon kaili saat ini susah ditemukan, kalaupun ada hanya tumbuh liar di tepian sungai atau di dataran rendah. Pohon kaili diperkirakan jumlahnya sekitaran ratusan batang saja.
Pohon kaili bisa tumbuh setinggi hingga 50 meter dengan diameter satu meter. Pohon ini memiliki batang lurus dengan sedikit cabang.
Selain pohon kaili, di Sulawesi Tengah juga tumbuh pohon endemik yang juga menjadi kebanggaan masyarakat yakni pohon eboni yang berkayu hitam.
Melayang di Atas Pegunungan Matantimali
REPUBLIKA.CO.ID, PALU - Kejurnas Paralayang kali ini diselenggarakan di Pegunungan Matantimali. Lokasi itu terletak di wilayah Pegunungan Matantimali sekitar dua kilometer dari Desa Wayu, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi atau sekitar 30am kilometer arah Selatan Palu.
Warga Palu, mahfum dengan 'surga' di dekat rumah mereka. Untuk mencapai lokasi tersebut bisa dengan menggunakan sepeda motor, dan mobil. Dari Palu menempuh perjalan lebih dari satu jam.
Jalan dari Desa Porame, Kecamatan Marawola menuju ke Desa Wayu sudah dilapisi aspal, tetapi ada beberapa tempat badan jalannya sudah hancur.
Dari Desa Wayu, kita harus melewati jalan yang belum beraspal menyusuri lereng Pegunungan Matantimali.
Saat berada di lokasi, kita bisa langsung melihat dengan jelas Kota Palu, dan sebagian desa di Kecamatan Marawola, dan Biromaru dan Dolo.
Setiap hari atmosfir di atas Pegunungan Matantimali diramaikan atlet paralayang yang tampak dengan indah melakukan atraksi melayang-layang di udara.
Setiap mata yang memandang ke atas pegunungan itu seperti tidak ingin beranjak dari situ, karena terpesona melihat para atlet dengan warna-warni payung yang mereka gunakan.
Salah seorang pehobi paralayang, Sebastian, mengatakan lokasi ini benar-benar bagus dan cocok untuk olah raga paralayang. "Wah, sangat indah dan mengagumkan," kata Sebastian, salah satu dari sejumlah atlet luar negeri yang berlaga di "event" itu.
Menurut atlet kelahiran Swiss yang kini tinggal di Nepal itu, lokasi paralayang Matantimali sangat cocok untuk kegiatan olah raga paralayang. Lokasinya bagus dan alam serta kondisi cuaca sangat menantang bagi atlet.
"Saya sangat suka. Saat melayang-layang di atmosfir dengan payung rasanya tidak ingin cepat-cepat mendarat," kata Sebastian yang juga salah satu instruktur tim Pelatnas Sea Games.
Ketua Pengda Federasi Aerosport Seluruh Indonesia (FASI) Sulteng FX Murdjianto mengatakan, lokasi lepas landas (take off) yang berada di wilayah Desa Wayu berada pada ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut. "Jadi sangat bagus untuk tempat kegiatan olah raga paralayang tingkat nasional dan internasional," katanya.
Semula, katanya, lokasi take off pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Tapi sayang sekali sudah dijadikan areal kebun kemiri oleh warga.
Makanya, kata Murdjianto, untuk pelaksanaan kegiatan ini terpaksa dipindahkan ke sini, dan menurut tim dari Federasi Aerosport Internasional (FAI) justru lokasi ini yang paling cocok.
Hanya saja dalkam mempersiapkan lokasi tersebut, panitia lokal harus membuka lahan dan jalan baru
Balia, Ritual Pengobatan ala Suku Kaili
Liputan6.com, Donggala: Angin dingin berdesir pada suatu malam di Desa Nupa Bomba, Kecamatan Tawaili, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dalam suasana seperti inilah, kediaman keluarga Darlan kedatangan sejumlah tamu. Mereka adalah kerabat dan tetangga yang datang untuk menjenguk adik Darlan, Muklis yang tengah sakit. Telah berbulan-bulan Muklis hanya bisa berbaring di tempat tidur. Berulang kali dia berobat ke dokter. Malang, sakitnya tak kunjung sembuh. Bahkan, badannya makin lama kian kurus.
Melihat kondisi Muklis yang seperti itu, para kerabat dan tetua kampung menyarankan agar Darlan segera menggelar upacara pengobatan setempat, yakni Balia. Untuk maksud ini, Darlan mesti menghubungi sando atau dukun Balia terkenal yang bernama Indoni. Sando ini seorang perempuan berusia 52 tahun. Kesehariannya adalah petani biasa yang memproduksi dan menjual langsung dagangannya. Namun di balik itu, Indoni adalah seorang sando yang terkenal seantero Tawaili atau Tavaili. Sejak berumur 18 tahun, Indoni memiliki kemampuan mengobati si sakit melalui upacara Balia.
Atas petunjuk itulah, keesokan harinya, Darlan segera menyambangi rumah Sando Indoni. Sesampai di sana, Darlan yang disertai sejumlah kerabatnya menyampaikan keinginan menggelar upacara Balia bagi kesembuhan Muklis. Sando Indoni bersedia menolong Muklis asalkan Darlan mendatangi juga lima sando lainnya. Ada syarat lainnya. Darlan harus pula menemui beberapa pendamping sando yang disebut bule.
Darlan pun bersedia memenuhi syarat-syarat tersebut. Dia bersama para kerabatnya segera mendatangi lima sando dan bule yang dimaksud Indoni. Salah seorang bule yang harus dikunjungi adalah Yarisatu. Lelaki yang berusia sekitar 70 tahun inilah yang nantinya bertugas mencari daun go untuk ritual Balia.
Seluruh sando dan bale telah didatangi Darlan. Mereka semua juga setuju menggelar Balia dan segera mempersiapkan diri. Bule Yarisatu, misalnya. Lelaki tua ini menjalankan tugasnya untuk mencari daun go yang dianggap sebagai daun suci. Namun tak segampang itu. Yarisatu terlebih dahulu mesti melakukan semacam ritual kecil. Apalagi daun go tak mudah dijumpai di sembarang tempat. Setelah upacara kecil dilakukan, barulah Yarisatu memetik daun suci tersebut.
Seluruh syarat dan tahapan awal upacara Balia telah dilewati bersamaan dengan tenggelamnya sang surya di ufuk barat. Malam pun tiba. Para sando dan bule segera berkumpul di sebuah lokasi. Sejak siang, keenam sando dibantu beberapa bule memang telah mempersiapkan tempat ini sebagai pusat upacara. Daun go yang melambangkan kekuatan dipasang tepat di tengah arena Balia, bersama sang pasien, Muklis.
Gong dan gendang yang disebut gindam pun ditabuh. Ini menandakan upacara Balia dimulai. Bunyi kedua alat musik juga diselingi dering suara piring, serta sedikit kidung dari para bule. Perpaduan ini dipercaya sebagai sarana untuk memanggil roh-roh leluhur. Beberapa jam alunan gindam ditabuh mengiringi malam hingga sebuah pertanda muncul. Tubuh Muklis yang tadinya tenang, kini mulai bergetar. Tanda-tanda masuknya roh halus ke dalam dirinya mulai terlihat. Para sando pun segera memulai prosesi.
Mereka mengerti betul tugas masing-masing. Ada yang memasang bambu kuning. Ada pula yang menyiapkan ketan aneka warna dan telur ayam. Kendati rata-rata berusia lanjut, mereka sanggup menyelesaikan upacara Balia yang biasanya berlangsung hingga tiga malam.
Sebagian masyarakat Suku Kaili di Sulteng memang percaya bila seseorang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh meski sudah berobat ke dokter, maka penyakit itu bukanlah penyakit biasa. Namun akibat gangguan roh jahat. Dan, dengan Balia-lah penyakit demikian bisa disembuhkan. Caranya dengan mengusir roh jahat dari tubuh si sakit.
Untuk mengenyahkan roh jahat, Muklis dimandikan. Sampai di sini, prosesi belum berakhir. Malam kembali menjelang, Balia pun berlanjut. Kali ini kidung Nondolu untuk memanggil roh leluhur dilantunkan. Sekonyong-konyong dan di luar kesadaran, para sando mulai menari. Bersama si sakit mereka bergerak menuju seekor kambing, simbol pengorbanan kepada roh leluhur. Mereka mencekoki kambing dengan ketan. Sesudah itu, kaki kambing ditusuk dengan tombak. Kepala kambing kemudian dipenggal. Kepala kambing bersama sesaji lainnya selanjutnya dilarung ke sungai.
Pada malam ini, tubuh Sando Indoni dirasuki roh leluhur dari Desa Bantira. Sang roh nampaknya marah kepada Kepala Desa Nupa Bomba lantaran malam sebelumnya tak hadir. Setelah terjadi dialog, roh itu akhirnya mendesak kepala desa makan bersamanya.
Di hari terakhir, Balia diawali dengan ritual menguatkan raga di sungai. Satu demi satu, para sando, bule, dan si sakit harus mengikuti prosesi ini. Dan ketika roh-roh kembali memasuki raga, para sando menari di luar kesadaran mereka. Dengan menghunus golok, mereka mengitari Muklis dan kemudian memecahkan kendi di tubuhnya. Sementara para bule menabuh gong dan gindam. Irama musik yang kian cepat pun seakan mengiringi mereka ke dunia lain. Si sakit mulai dicecoki daging ayam.
Tahapan selanjutnya adalah membakar tumpukan daun kelapa. Balia diyakini telah sempurna begitu kaki-kaki para sando memadamkan api membara yang bermakna memusnahkan amarah roh jahat. Upacara Balia selesai. Sekarang tinggal Muklis menanti terwujudnya harapan hilangnya penyakit yang sekian lama mendera.(ANS/Tim Potret)
Mambotas, Membuka Ladang buat Anak Laki-Laki
Liputan6.com, Donggala: Musim panen mulai tiba di Desa Ogo Alas di Pegunungan Tinombo, Donggala, Sulewesi Tengah. Saat persediaan makanan menipis, datangnya panen memang memberi harapan dan keceriaan. Panen tak lagi membuat mereka mengkhawatirkan kelaparan. Kebahagiaan ini juga dirasakan Saman, warga Suku Lauje dari Desa Ogo Alas. Hasil panen yang melimpah membuat dia bisa menggelar upacara mambotas dan mamaras untuk anaknya yang baru lahir.
Mambotas dan mamaras sebenarnya adalah rangkaian upacara yang dilakukan untuk membuka ladang. Dalam tradisi Suku Lauje, ketika seorang anak lelaki lahir, orang tuanya wajib menyediakan ladang yang kelak digarap oleh sang jabang bayi. Mambotas dilakukan untuk menandai petak tanah yang dipilih. Sementara mamaras adalah membuka ladang atau membersihkan tanah hutan dengan bantuan warga desa lain agar bisa dijadikan ladang.
Bayangan wajah istri dan anaknya membuat Saman bersemangat untuk segera menyudahi musim panen kali ini. Saman beruntung karena buah hatinya lahir di menjelang masa panen. Pasalnya, dia tidak perlu repot mencari Tosi, Kepala Suku Lauje, untuk memberkati anaknya. Tosi yang sehari-hari tinggal jauh memang selalu datang ke Ogo Alas setiap habis memanen jagung atau ubinya. Kehadiran Tosi pada setiap kelahiran anak memang selalu diperlukan orang Lauje. Usapan tangan sang kepala suku ke kepala bayi dianggap memberi berkah keselamatan sang bayi.
Suku Lauje adalah salah satu kelompok etnis di daerah Donggala. Mereka tinggal di sekitar Teluk Tomini dan Pegunungan Tinombo di sebelah pantai timur Kabupaten Donggala. Mereka masih hidup terisolir dari dunia modern mengingat lokasi geografisnya yang sulit dijangkau. Untuk sampai ke sana harus berjalan kaki selama 12 jam dan menyeberangi delapan sungai. Ogo Alas adalah pusat persebaran Suku Lauje di Pegunungan Tinombo. Desa ini menjadi tempat berkumpulnya orang Lauje saat mereka tak ke ladang.
Kebiasaan berladang inilah membuat warga Lauje mempunyai dua tempat tinggal. Saat musim panen dan tanam, mereka tinggal terpencar di rumah-rumah yang dibangun dekat ladang. Jika tak ada aktivitas di ladang, mereka akan berkumpul di Ogo Alas. Tak heran, setelah musim panen seperti sekarang, Ogo Alas lebih ramai dari biasanya. Sedikit rezeki yang tersisa dari hasil panen membuat desa ini menjadi lebih bergairah. Pedagang-pedagang kagetan yang hanya berjualan di musim panen mulai menggeliat. Pasar-pasar sederhana muncul sebagai tempat belanja berbagai keperluan mereka. Ikan asin dan beras yang masih dianggap barang mewah menjadi incaran warga.
Kesempatan berkumpul seusai panen juga dimanfaatkan beberapa pemuda untuk berburu. Kegiatan di alam terbuka ini adalah salah satu mata pencaharian yang mulai ditinggalkan oleh orang Lauje. Dahulu daging binatang buruan adalah satu-satunya sumber protein terpenting bagi mereka. Uniknya, cara mereka berburu tak menggunakan insting sebagai pemburu. Tapi, lebih banyak memanfaatkan kemampuan anjing pelacak. Tak heran, kepiawaian orang Lauje kian rendah. Ini tampak dari lamanya mereka berburu. Hampir empat jam, tak ada satu hewan buruan yang didapat. Para pemuda pemburu babi hutan baru muncul dengan buruannya di waktu senja. Selain babi hutan, binatang yang kerap diburu adalah rusa dan anoa. Binatang hasil buruan tak selalu dimakan. Kadang mereka lebih suka menjual atau menukarnya dengan barang-barang yang diperlukan.
Akhirnya, saat bagi Saman dan Tosi untuk menggelar upacara mambotas dan mamaras pun tiba. Saman telah menyiapkan seekor ayam putih sebagai sesaji. Kehadiran Tosi dalam upacara ini juga diperlukan untuk membacakan mantera-mantera dan melepas ayam putih sebagai sesaji untuk kesuburan tanah. Jika ayam tersebut menghilang di balik semak hutan, menjadi pertanda bahwa tanah yang dipilih Saman telah diberkati.
Saat menunggu ayam menghilang, Tosi bersama dua kerabatnya melepas lelah di pinggir hutan. Sedang Saman mengumpulkan warga untuk mamaras. Tak berapa lama, puluhan warga desa mulai sibuk mamaras hutan. Berbeda dengan mambotas, mamaras dilakukan dengan bantuan hampir seluruh laki-laki desa yang ada. Karena itu, mamaras lebih sering dilakukan saat usai musim panen. Ketika hampir seluruh warga desa telah meninggalkan ladangnya. Di sini, Tosi juga memiliki peranan penting. Tosi akan menentukan pohon-pohon yang boleh dipotong dan yang tak boleh disentuh.
Dalam konsep orang Lauje, pohon dan tanah harus dipelihara baik-baik agar tetap memberi kesuburan pada ladang. Beberapa pohon harus ditebang untuk memberi kesuburan. Tapi, ada juga pohon yang tak boleh ditebang. Demikian juga dalam pemilihan lahan untuk ladang. Ada beberapa tanah hutan di sana yang tak boleh dibuka. Mereka percaya jika hutan tersebut dijadikan ladang, bencana akan melanda desa. Tak berapa lama, pekerjaan mamaras telah usai. Kini, sebuah lahan untuk anak Saman telah tersedia. Lahan ini menunggu cucuran keringat si bayi jika telah dewasa kelak.
Upacara mambotas dan mamaras pun usai. Keceriaan seusai panen di Ogo Alas masih berlangsung hingga malam. Dengan bekal uang Rp 1.000, warga bisa menikmati satu-satunya hiburan modern yang ada di kampung ini adalah menonton video compact disk. Seorang warga yang kaya dan pemilik satu-satunya rumah batu di desa ini rupanya menangkap peluang bisnis yang cukup menguntungkan di Ogo Alas. Dengan modal sebuah VCD player, beberapa VCD, televisi, dan mesin diesel, sebuah rumah setiap malamnya disulap menjadi gedung bioskop kecil. Dan jangan heran peminatnya ternyata selalu membludak. Apalagi, saat musim panen tiba.(ORS/Tim Potret)
Ekspedisi To Wana
Liputan6.com, Morowali: Satu lagi masyarakat Indonesia yang hidup dalam kawasan hutan alam tropis, yaitu etnik To Wana atau orang rimba. Etnik To Wana tinggal dan hidup tersebar di dalam kawasan hutan cagar alam Morowali, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Tak diketahui secara persis bagaimana etnik To Wana ini berada dalam hutan. Yang pasti, pada 2001 seorang arkeolog Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Iwan Sumantri pernah melakukan ekspedisi singkat ke pedalaman cagar alam Morowali untuk meriset kehidupan Suku Wana.
Berdasarkan catatan eksepedisi terdahulu, Iwan membuat kesimpulan Suku Wana adalah kelompok masyarakat perburu-peramu. Artinya, mereka hidup di tengah rimba Morowali sebagai komunitas adat yang� menafkahi kebutuhan hidupnya dari berburu dan mengolah binatang liar. Karena itu, Suku Wana memiliki berbagai perlengkapan dan teknik berburu yang khas. Suku Wana juga terkenal sebagai masyarakat adat yang sering berpindah-pindah tempat atau nomaden. Tak heran, mereka tak memiliki rumah permanen di suatu tempat dan dihuni hingga puluhan tahun.
Suku Wana juga diketahui memiliki kepercayaan khalaik. Mereka percaya adanya Sang Maha Pencipta yang disebut Pue. Pue mengutus Poloisong dan menurunkannya di lahan Tundungtana di daerah Uewaju serta berkembang menjadi Suku Wana. Kepercayaan khalaik juga mengenal kehidupan abadi setelah fase kematian yang disebut Saruga. Bentuk kedekatan warga Suku Wana dengan Sang Maha Pencipta bisa dibuktikan melalui upacara Momago. Sang dukun yang disebut Walia akan memohon kepada Tuhan untuk diberikan kekuatan menyembuhkan seseorang dengan cara menari di antara warga lainnya.
Kurun lima tahun, bisa jadi akan merubah tata-cara kehidupan unik itu. Untuk mendapatkan bukti-bukti perubahannya, kali ini Iwan bersama sejumlah mahasiswanya kembali berekspedisi ke cagar alam Morowali. Perjalanan nan jauh dan meletihkan akan mewarnai ekspedisi kali ini. Namun, tim ekspedisi meyakini akan terhibur, tatkala mendapati pemandangan eksotis saat melintasi jalan raya, danau, laut, gunung, dan padang ilalang.
Pada perjalanan pertama, tim ekspedisi harus melintasi jalan Transsulawesi antara Makassar dan Malili sekitar 12 jam. Meski kota-kota dan kabupaten yang dilalui menawarkan beragam suasana, tapi rasa jenuh dan letih tetap merasuki seluruh anggota tim ekspedisi. Bahkan, lagu-lagu yang didengar dari tape di dalam mobil pun terasa menjemukan.
Hari kedua, tim ekspedisi kembali berada di jalan. Kali ini, tim ekspedisi bersiap-siap memasuki Soroako, gerbang antara Sulsel dan Sulteng. Setelah melintasi jalan antara Malili-Soroako selama sekitar tiga jam, tim ekspedisi tiba di Danau Matana, Sulteng. Danau Matana adalah perbatasan antara Sulsel dan Sulteng. Jalan air dipilih karena dinilai lebih dekat dibandingkan jalan darat yang harus memutar dan melalui jalan buruk. Selain itu, mengarungi danau dengan ponton diharapkan bisa memberikan suasana baru bagi anggota tim eskpedisi.
Beruntung, tim ekspedisi tiba di dermaga sebelum jam 12 siang. Pasalnya, selepas jam satu siang, biasanya pemilik ponton menolak mengantarkan penumpang. Alasannya, mereka khawatir akan ombak dan badai danau. Iwan termasuk salah seorang korban yang merasakan keganasan badai di danau ini. Soalnya, pada ekspedisi terdahulu nyawanya nyaris terengut saat ponton yang ditumpangi hancur diterjang badai danau. Dan kali ini, suasana nyaman begitu terasa selama perjalanan sekitar tiga jam. Singkat cerita, tim eskpedisi akhirnya memasuki Dermaga Nuha yang sekaligus menjadi gerbang menuju Morowali, Sulteng.
Tim eskpedisi pun kembali harus melintasi jalan darat. Selepas senja, tim ekspedisi tiba di Kota Kolonodale, Sulteng. Perjalanan sekitar empat jam antara Nuha dan Kota Kolonadale seakan terbayar ketika tim eskpedisi memasuki rumah seorang pengurus Yayasan Sahabat Morowali. Terlebih lagi, mereka pun mendapat sambutan hangat dari para pengurus inti yayasan, Jabar Lahaji dan Tanwir.
Selama 20 tahun ini Yayasan Sahabat Morowali menjadi pendamping Suku Wana untuk terus menjaga keaslian budaya dan tata cara hidup tradisionalnya. Terlebih lagi, setelah pemerintah menetapkan kawasan Hutan Morowali sebagai cagar alam. Suku Wana dikhawatirkan akan dimukimkan secara permanen dan membuat tata cara hidupnya berubah besar-besaran.
Para pengurus Yayasan Sahabat Morowali sangat akrab dengan wilayah Morowali dan kehidupan Suku Wana. Karena itu, tim ekspedisi pun menyertakan Jabar Lahaji untuk memandu dan menceritakan perubahan-perubahan yang terjadi pada Suku Wana.
Pada perjalanan hari ketiga, tim ekspedisi harus menggunakan sebuat perahu bermesin ganda untuk melintasi Teluk Towari. Transportasi air ini adalah satu-satunya kendaraan yang bisa mengantarkan tim ekspedisi ke kawasan cagar alam Morowali. Bagi anggota tim ekspedisi, hal itu memberikan kebahagiaan tersendiri.
Kali ini, mereka benar-benar mendapatkan tenaga dan suasana baru. Bahkan, diam-diam Iwan meminta Jabar untuk singgah ke sebuah pulau terdekat yang memiliki lukisan cetakan tangan di dinding tebing. Bagi para anggota tim, kejutan itu menjadi hiburan berharga bagi catatan ilmiah sebelum memasuki kawasan cagar alam Morowali dan mendapati kehidupan Suku Wana.(ORS/Syaiful H. Yusuf dan Budi Sukmadianto)
Melihat Alquran Tertua di Sulteng
Kita suci Alquran yang diperkirakan berusia 150 tahun tersimpan di museum daerah Sulawesi Tengah di Jalan Kemiri, Palu Barat. Kuat dugaan, Alquran ini menjadi salah satu petunjuk masuknya Islam di Sulteng.
Menurut Iksam, pengelola museum, baru-baru ini, Alquran ditulis dengan tangan di atas kertas terbuat dari kulit kayu beringin. Namun, hingga kini, pihaknya tidak mengetahui penulis Alquran tersebut.
Iksam memperkirakan, Alquran dibuat di Lembah Palu oleh Datok Karama, mubaliq asal Sumatra Barat, pada abag ke-16. Belakangan, sang mubaliq juga meninggal dan dimakamkan di Palu.
Banyak keunikan pada Alquran itu. Setiap halaman terakhir pada setiap juz, terdapat lukisan flora dengan warna merah dan kuning. Bahkan, pada bagian surat Al Isra atau juz pertengahan, terdapat lukisan flora berupa dedaunan. Secara keseluruhan, Alquran memiliki tebal 502 halaman dengan berat lima kilogram.
Iksam menambahkan, Alquran tak hanya dipajang di museum. Tapi juga kerap dipamerkan dalam kegiatan seni budaya Islam di Sulteng
Pesona Pantai Bunga yang Tersembunyi
Salah satu yang membanggakan dari Indonesia adalah kekayaan alamnya. Misalnya saja, Pantai Bunga.
Sekilas dari atas bukit, pantai ini tampak seperti bulan sabit. Perpaduan warna hijau kebiruan menghiasi Pantai Bunga. Dinamai Pantai Bunga ternyata bukan karena banyak bunganya, namun pantai ini terletak di Desa Bunga, Kota Luwuk, Sulawesi Tengah.
Letak pantai itu tersembunyi sekitar 20 meter dari jalan raya dan tertutup pepohonan kelapa. Suasananya pun lengang. Dari kejauhan tampak beberapa kapal nelayan tengah melaut. Ternyata tekstur pasirnya berbeda dengan pantai pada umumnya.
Bongkahan batu karang dan pohon yang terdampar menambah eksotis pantai yang berjarak 20 kilometer dari Kota Luwuk. Anda perlu setengah jam perjalanan dari pusat Kota Luwuk, untuk menikmati keindahan Pantai Bunga.
Menikmati Matahari Terbenam di Lalos
Wisata alam, khususnya pantai, memang menjadi salah satu andalan Kabupaten Tolitoli. Dua pantai yang terkenal di Tolitoli adalah Pantai Sabang dan Lalos. Di kedua pantai ini, matahari terbenam menjadi daya tarik tersendiri yang bisa dinikmati setiap hari. Kelebihan lain, pasirnya bersih dan pantainya landai.
Ada pula pulau-pulau berpasir putih dengan beragam keunikan dan keindahan. Di antara sekian banyak pulau, Pulau Lutungan merupakan salah satu pulau yang menarik karena peninggalan bersejarah. Di pulau ini terdapat makam raja-raja Tolitoli. Ramai dikunjungi warga yang berziarah.
Secara umum, Tolitoli adalah kabupaten di bibir perairan Laut Sulawesi. Adapun ibu kota Tolitoli dan beberapa kecamatan di sekitarnya berada di sepanjang pesisir Teluk Dondo. Seperti lembah, kota ini dikelilingi gugusan pegunungan dengan Teluk Dondo di tengah-tengah dan berbatasan dengan Laut Sulawesi di mulut teluk.
Tak heran, pantai menjadi pemandangan di sepanjang jalan di Tolitoli. Adapun hamparan pegunungan menghijau dipenuhi tanaman cengkeh. Tak kurang 12.000 hektar areal tanaman cengkeh yang menghampar di gugusan pegunungan, yang oleh masyarakat setempat disebut lembah cengkeh.
Keindahan pantai di Tolitoli memang belum setenar Pantai Kuta di Bali atau Pantai Bira di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Namun, keindahan ini memikat hati wisatawan mancanegara. Tahun 2007 saja setidaknya tiga kali pantai-pantai di Tolitoli dikunjungi rombongan wisatawan dari Belanda, Filipina, dan beberapa negara lain.
”Rombongan ini masuk ke Tolitoli menggunakan kapal pesiar. Rombongan wisatawan ini melakukan perjalanan laut mulai dari Manado, Gorontalo, Tolitoli, Palu, dan ke Majene, Sulawesi Barat. Mereka mengagumi keindahan pantai ini, apalagi dengan matahari terbenamnya,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tolitoli Hasan Daeng Manipi.
Selebihnya, pengunjung pantai di Tolitoli adalah wisatawan lokal warga setempat dan warga dari kabupaten tetangga. Dari Palu, perjalanan menuju Tolitoli bisa ditempuh dengan dua cara, melalui darat dan udara. Melalui udara, perjalanan menggunakan pesawat perintis dengan waktu tempuh 45 menit dengan jadwal penerbangan dua kali sepekan.
Adapun perjalanan darat, terutama melalui pantai timur, kendati cukup jauh—sekitar 12 jam mengendarai mobil—sebenarnya mengasyikkan. Palu-Tolitoli akan melalui Kabupaten Parigi Moutong. Ini artinya akan melewati pesisir Teluk Tomini.
Perjalanan juga akan menempuh pendakian dan penurunan di Pegunungan Tinombala. Kendati ada bagian jalan di Tinombala yang rusak, hal itu tidak mengurangi dan mengganggu keindahan sepanjang jalan. Kabut di antara pepohonan, udara segar, dan pemandangan lembah yang luas nan hijau, perkebunan cengkeh, adalah keindahan yang bisa dinikmati dalam perjalanan menembus Gunung Tinombala.
Masih terkendala
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tolitoli Hasan Daeng Manipi mengakui, betapapun kaya potensi keindahan yang dimiliki Tolitoli, tetap saja banyak kendala di sana-sini dalam mengembangkan dan menjualnya.
Selain fasilitas yang masih terbatas, jarak tempuh yang bagi sebagian orang dinilai masih jauh, promosi juga masih sangat terbatas. Dengan anggaran untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang tahun 2007 ini hanya Rp 1 miliar, pembenahan dan promosi sekaligus menjadi lambat.
”Terlebih pengelola biro perjalanan di Palu juga kurang membantu mempromosikan Tolitoli. Padahal, kalau mau dipromosikan, selain pantai, Tolitoli juga punya beberapa pulau dan kebun cengkeh yang sangat luas yang bisa menarik wisatawan,” kata Hasan.
Dari sarana atau fasilitas penunjang, hotel dan penginapan di Tolitoli masih terbatas, tak sampai 20. Itu pun belum ada hotel berbintang. Soal perjalanan darat yang memakan waktu, menurut Hasan, bagi wisatawan berjiwa petualang, perjalanan itu justru akan lebih menantang dan menjadi nilai lebih tersendiri.
Soal hotel, pemerintah setempat juga terus mendorong pengusaha lokal dan luar untuk menanam modal membangun hotel yang lebih baik. Hotel yang sudah ada didorong agar terus berbenah, termasuk dalam meningkatkan fasilitas hingga pelayanannya.
”Kami juga berharap (pemerintah) pusat mau membantu dalam hal anggaran dan promosi. Kami sendiri cukup rajin mengirim brosur dan pamflet ke berbagai pihak, termasuk di luar negeri, untuk terus memperkenalkan Tolitoli dan potensi wisatanya,” ujar Hasan.
Tanpa bermaksud sombong, Hasan mengatakan, potensi pantai di Tolitoli pantas dijual. ”Kalau dibandingkan dengan Kuta di Bali, Pantai Lalos tak kalah indah. Hanya saja, dalam soal nama dan promosi, Lalos kalah bersaing,” katanya.
Tak bisa dimungkiri, Lalos memang indah. Keindahannya bisa membuat siapa saja yang berkunjung betah berlama-lama, bahkan hingga matahari hilang berganti malam.
Menikmati Teluk Tomini
Salah satu teluk terluas di Indonesia yang kaya akan potensi ikan serta pulau-pulau dengan pasir putihnya. Bahkan bila tak ingin ke pulau-pulau, keindahannya bisa dinikmati di hampir sepanjang pesisir pantainya. Teluk Tomini membentang di 13 kabupaten yang meliputi tiga provinsi msing-masing Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara. Dari 13 kabupaten ini, Parigi Moutong (82 km arah Timur Palu), adalah salah satu kabupaten di Sulteng yang garis pantainya terpanjang di Teluk Tomini.
Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong, wilayah pesisir dan laut daerah ini membentang sepanjang 472 km garis pantai Teluk Tomini. Luas perairannya sekitar 3.483,36 km2 dengan 13 pulau kecil. Dari Palu, ibukota Provinsi Sulteng, tak sulit untuk sampai ke Parigi. Ada banyak kendaraan umum dari yang biasa hingga yang berpendingin udara. Waktu tempuh Palu-Parigi sekitar dua jam.
Perjalanan Palu-Parigi juga tidak akan membosankan karena akan melewati daerah puncak yang terkenal dengan sebutan kebun kopi, dengan pemandangannya yang indah dan udara sejuk. Bila ingin menikmati perjalanan yang lebih berkesan, perjalanan Palu-Parigi bisa dilanjutkan ke Provinsi Gorontalo. Boleh dikata, sepanjang perjalanan menuju Gorontalo dari Parigi, kita akan melewati pesisir Teluk Tomini. Tentu saja dengan suguhan pemandangan pantai dan perkampungan penduduk di sepanjang jalan yang dilalui.
Sesungguhnya, hampir semua bagian Parigi Moutong berada di pesisir Teluk Tomini. Karena itu di hampir semua bagian atau kecamatan di salah satu kabupaten terluas di Sulteng ini, keindahan Teluk Tomini bisa dinikmati. Kita mulai saja perjalanan dari Kecamatan Sausu dan Torue yang berbatasan dengan Kabupaten Poso. Di Sausu, kita bisa menikmati pantai Tumpapa di Desa Matakosa dengan pasirnya yang putih. Kita juga bisa melihat industri pengolahan ikan yang masih tradisional.
Yang lebih menarik, adalah tempat penangkaran burung maleo, salah satu satwa langka dan hanya ada di beberapa tempat di Sulteng. Sementara di Torue, perjalanan menikmati keindahan Teluk Tomini akan berbeda karena kita melewati perkampungan masyarakat Bali. ''Rumah-rumah masyarakat, adat istiadat Bali, hingga tradisi bercocok tanam di Torue, tak ada bedanya dengan di Bali. Berada di Torue seolah-olah berada di salah satu bagian di Bali. Ini yang membuat daerah ini unik dan pantas dikunjungi,'' ujar Jafar, warga Parigi.
Bila ingin melanjutkan perjalanan dan menikmati keindahan yang lain, perjalanan bisa dilanjutkan ke Parigi Selatan. Di kecamatan ini kita bisa menikmati Teluk Tomini dengan cara berbeda. Di Parigi Selatan terdapat Tanjung Makakata dengan luas dua km2. Perjalanan dari pantai ke tanjung dapat ditempuh sekitar 15 menit menggunakan perahu motor. Objek wisata ini terdapat di tengah laut, dekat dengan Danau Lindu. Dari Tanjung Makakata, kita dapat melihat gunung yang ada di seberang. Selain itu juga bisa menikmati pasir putih, berenang, memancing, berselancar, dan berbagai kegiatan air lainnya.
Masih ada lagi bagian lain dari Parigi yang bisa jadi tempat menikmati Teluk Tomini. Sekitar 60 km dari kota Parigi, terdapat Pulau Kelelawar di Desa Tomoli Kecamatan Toribulu. Pulau yang diapit oleh dua tanjung hutan bakau yang membentuk pintu gerbang ini, adalah tempat berkembang biaknya habitat kelelawar.
Keunikan kelelawar di pulau ini adalah terdiri atas tiga warna masing-masing kuning, cokelat, dan hitam. Satu lagi yang tak boleh dilewatkan adalah Desa Khatulistiwa di Kecamatan Tinombo Selatan. Di desa ini terdapat Monumen Tugu Khatulistiwa yang merupakan titik ordinat dari Garis Khatulistiwa. Di ujung Parigi, berbatasan dengan Provinsi Gorontalo, sekitar 271 km sebelah Utara Parigi, terdapat Kecamatan Moutong. Kecamatan ini adalah kota tua yang banyak terdapat bangunan bersejarah peninggalan Kerajaan Moutong.
Di Moutong, terdapat Pantai Moian dan Pulau Lalayo. Pulau Moian cukup luas dengan hamparan pasir putih dan lokasi pembuatan garam serta bentangan empang milik warga. Matahari terbenam, Tanjung Santigi yang membentang di latar belakang Pantai Moian, adalah suguhan pemandangan elok lainnya. Tidak usah khawatir soal makan maupun penginapan. Di sepanjang jalan, banyak rumah makan yang menawarkan beragam makanan. Yang paling banyak adalah sajian ikan berbagai jenis yang tentu saja masih segar. Ikan-ikan yang disajikan tentu saja hasil tangkapan dari Teluk Tomini.
Langganan:
Postingan (Atom)