Selasa, 09 Oktober 2012

Senandung Reigo di Pipikoro


“Mbak Ade mau ke Pipikoro?!!” Tiga lelaki itu hampir terlompat dari kursinya. “Itu mustahil mbak. Sekarang musim hujan. Taruhannya nyawa.”

Aku sempat ciut, namun segera teringat kami punya fasilitator yang live in di sana. “Lalu bagaimana fasilitator kita bisa bertahan dalam keadaan seperti itu? Bukankah mereka harus mengunjungi desa-desa untuk pendampingan? “

“Buat kami, apalagi mereka yang tinggal di sana, kondisi itu sudah biasa. Tapi mbak Ade kan belum pernah ke sana, belum tahu kondisinya seperti apa?” katanya sambil menatapku, tampak ragu.

Aku tersenyum. Kalau kalian bisa, kenapa aku tidak bisa? Aku membatin.

****

Pipikoro terletak di kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Di Palu kami bertemu dengan dua mitra lokal yang akan mendampingi perjalanan kami ke sana. Lagi-lagi mereka meragukan keteguhan kami untuk mengunjungi Pipikoro, dan berkali-kali mengatakan, “Tak apa-apa membatalkan monitoring mbak, sebagai gantinya bisa berdiskusi dengan mitra pendamping di Palu saja.” Aku menelan ludah. Separah itukah lokasinya? Atau separah itukah mereka menilai nyali kami?

Untuk menjawab keraguan mereka, aku segera mengepak barang dan belanja perbekalan untuk persiapan di sana.

Lalu dimulailah perjalanan yang memacu adrenalin itu.

Pertama kami menyewa mobil menuju ke Gimpu. Gimpu adalah tempat berakhirnya jalan aspal yang menghubungkan Palu dengan wilayah dataran tinggi Pipikoro. Itulah ‘terminal’ terakhir bagi semua kendaraan roda empat. Untuk sampai Gimpu kita membutuhkan waktu sekitar 4 jam, melintasi hutan perawan di kawasan Taman Nasional Lorelindu. Yup, Gimpu memang terletak dibalik rerimbunan Lorelindu yang termasyur itu. Jalan aspal yang menjadi berkah masyarakat di kawasan ini sudah bolong-bolong dan di beberapa bagian sudah tak ada lagi jejak-jejak aspalnya. Berubah menjadi jalanan tanah yang berdebu. Sepanjang perjalanan kami dimanjakan dengan udara yang sangat sejuk, hutan lindung yang hijau sejauh mata memandang, pohon-pohon tinggi besar dan binatang hutan yang berkeliaran. Jalan yang kami lalui terus menanjak, berkelok-kelok, membuat tubuh kami terlonjak-lonjak ke kiri dan kanan. Dalam hati aku menggumam, “Pemandangan indah begini kok ditakuti!”

Setelah makan siang di Gimpu kami segera mencari tukang ojek yang akan membawa kami ke Pipikoro. Oya, sebelum tahun 2005, satu-satunya cara mencapai Gimpu adalah dengan mengendarai kuda. Saat ini, jalan setapak dari tanah dan kerikil sudah bisa dilalui kendaraan bermotor. Setelah tawar menawar alot kami mendapat harga yang ‘menakjubkan’. Satu motor dihargai Rp. 400.000 untuk pergi pulang. Kami pergi berempat, jadi kami membayar Rp. 1,6 juta untuk perjalanan dari Gimpu (Kec. Kulawi Selatan) ke Kecamatan Pipikoro yang sebenarnya adalah kecamatan terdekat. Ini mungkin harga termahal yang pernah kubayar untuk mengunjungi kecamatan sebelah. Aku mulai meraba-raba seperti apakah perjalanan kami nanti. Bismillah.

Ojek motorku seorang pemuda tanggung berusia dua puluhan, tapi telah memiliki dua anak. Rambutnya panjang sebahu dan sangat pendiam. Satu-satunya kalimat yang diucapkan adalah, “Pegangan yang erat Bu.”

Baru setengah jam berjalan, aku sudah menahan nafas berkali-kali. Jalan berkelok-kelok dengan kiri kanan jurang menganga. Terkadang kami menukik dengan permukaan nyaris vertikal. Kali lain, tiba-tiba kami seperti meluncur dengan kecepatan yang sulit dipercaya. Tanpa sadar kami menjerit-jerit seperti anak-anak menaiki halilintar. Jika sudah tak tahan, --dan harus kuakui ada rasa takut mendera--, aku meminta berhenti. Kawan kami berujar, saking nyaris vertikal permukaan tanah di Pipikoro, jika menanam kopi, petani tidak menunduk seperti para petani di Jawa, tapi berdiri dengan lahan yang ditanami berada tepat di dada. Jadi jika musim tanam tiba, kita akan melihat petani berdiri berderet-deret seperti sedang menulis di papan tulis. Ya itulah papan tulis mereka. Tempat mereka menuliskan masa depan melalui kopi dan coklat.

Kali lain kami menerabas sungai berarus deras. Para ojek kami beramai-ramai menuntun dan mengangkat motornya sambil terengah menyeberang ke tepi. Ada kalanya kami harus mendorong motor dengan sepenuh tenaga karena kondisi jalan telah melebihi ambang kemampuannya. Sempat pula aku berdiri gamang, mengukur seberapa kemungkinan aku selamat melihat jalan berkelok patah dan jurang terjal di kanannya. Jalan yang kami lalui hanya mampu menampung satu motor. Sedikit saja kehilangan keseimbangan, nyawa kami betul-betul menjadi taruhan. Kulirik mbak Endang yang berjalan tersendat di belakang motor, tak berani menaikinya. Ada rasa sesal menggumpal. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengannya? Titik-titik keringat dingin membasahi telapak tanganku. Aku memang masih bisa menghalau rasa takut, tapi kenyataan bahwa aku mengajak kawanku ke sini sungguh menyiksaku.

Satu setengah jam perjalanan, kami masih melintasi kondisi jalan yang sama. Lalu kulihat tiang pancang dari bambu ditancapkan di tepi jalan. Di sekelilingnya terlihat tetumbuhan yang layu, seperti baru saja kerubuhan sesuatu.

“Apa itu?” tanyaku.

Ojekku yang pendiam menjawab pendek, “Kemarin bapa pendeta jatuh di situ.”

Jleb!

Aku bergidik ngeri. Setelah itu aku tak bertanya lagi ketika melihat beberapa tongkat yang sama tertancap di tepi jalan. Dengan ujung jilbabku, aku menyeka peluh yang terkadang bercampur dengan air mata. Aku teringat saat aku menagih laporan mitra kami di lapangan dengan menulis tanggal deadline tebal-tebal dengan huruf besar. Padahal aku hanya menanti di belakang meja, sementara mereka harus melalui jalan terjal berliku seperti ini hanya untuk melakukan kegiatan dan mendapatkan data untuk dilaporkan.

Kawan, coba bayangkan bagaimana perasaanku. Seorang manager program yang duduk manis di Jakarta, sementara sekitar 44 kawan fasilitator kami berpeluh, berdarah seperti ini tersebar dari Sumatera hingga Papua. Dadaku sesak dihinggapi perasaan malu. Separuh ragaku mengeluh lelah dan takut, tapi separuh lagi menggelegak penuh semangat. Dalam hati aku bersyukur ngotot mengunjungi daerah ini. Jika aku menyerah, bagaimana aku bisa menghargai kerja keras kawan-kawanku ini? Aku tak ingin menjadi manusia pongah di Jakarta yang semena-mena meminta laporan, sementara aku dibisu-tulikan dengan kondisi lapangan. Aku tak tahan lagi. Aku pun tergugu di punggung motor tua yang berderik-derik menaklukkan jalan setapak mengelilingi gunung-gunung kopi di jantung Sulawesi ini.

****

Pukul lima sore kami tiba di perkapungan. Terlihat rumah-rumah sederhana dari kayu. Hanya sedikit dan jarang-jarang. Sebagian lain terkurung pepohonan tinggi yang baru terlihat saat mendekat. Salah seorang ojek meminta kami berhenti dan menunggu. Kami pun beristirahat sejenak. Tak berapa lama, ojek yang merangkap guide itu datang lagi.

“Ibu ade dan Ibu Endang silakan berjalan di depan. Bapak Anto dan bapak Oyong (nama teman kami dari Palu) di belakangnya. Kami akan iringi paling belakang,” katanya serius.

Haduh. Apa pula ini?

Terdengar sayup-sayup suara musik tradisional mengalun. Makin dekat makin keras, berdentam-dentam. Suara nyanyian dengan nada tinggi menyobek ketenangan senja itu. Dari jarak sekitar 20 meter, terlihat ratusan masyarakat menyemut menghadap kami. Beberapa tetua adat mengenakan pakaian khusus tampak menari sambil mengacung-acungkan golok. Penari ini berbaris dan melompat-lompat menuju tempat kami. Senyumnya terkembang. Tangan kanan mengayunkan golok, tangan kiri melambai kepada kami. Kami berhenti di persimpangan jalan dan guide kami berbisik, “Itu tarian selamat datang. Kami sudah menyiapkan sejak seminggu yang lalu.”

Ya Allah.

Acara tari-tarian masih berlanjut. Kelak aku mengetahui, tarian selamat datang itu dikenal dengan nama “Reigo”. Reigo dibawakan untuk menyambut tamu atau syukuran hasil panen. Kulirik Mbak Endang yang berdiri terpaku di sebelahku. Sesekali punggung tangannya menyeka air mata yang meluncur tanpa mampu ditahan.

Seorang pendeta maju memimpin doa. Doanya sangat panjang, namun aku hanya mengingat kalimat awalnya yang menyentuh hati. “Ya Tuhan yang bersemayam di dalam kerajaan surga. Terima kasih telah menyertai tamu-tamu kami yang pemberani ini. Terutama nona-nona dari Jakarta ini. Sungguh Tuhan, hanya syukur kepadamulah yang tak henti-henti kami lantunkan. Engkau yang maha baik, mohon berkatilah pertemuan kami ini……. “

Entah bagaimana aku menanggapi sambutan yang gegap gempita ini. Kelak aku tahu, desa Porelea ini memang sangat jarang dikunjungi tamu. Jangankan tamu dari Jakarta, petugas pemerintahan dari kecamatan atau Kabupaten saja bisa dihitung dengan jari yang datang ke sini. Saking terpencilnya, desa ini hanya memiliki satu SD swasta yang muridnya masuk sekali atau dua kali seminggu. Guru aktif yang mengajar adalah istri kepala desa dan seorang gadis muda yang tidak memiliki kualifikasi sebagai pengajar. Ketika ibu kepala desa mengikuti pertemuan dengan kami di balai desa, sekolahpun libur. Anak-anak berlarian dan berjinjit-jinjit menonton kami. Lulus SD mereka akan menikah dan memiliki anak. Amat sangat sedikit yang meneruskan hingga SMP, karena melanjutkan sekolah berarti harus tinggal sendirian di kota.

Di depan SD tua itu ada rumah kayu yang nyaris rubuh. Aku bertanya bangunan apa itu?

Anak-anak menjawab, “Rumah itu dibangun untuk ibu guru yang mau mengajar di sini. Tapi sejak dibangun sampai sekarang, tak ada satupun guru dari kota yang mau ke sini.”

Ya Tuhanku….

Pendidikan dan kesehatan adalah masalah paling serius di wilayah ini. Tak ada bidan apalagi dokter. Semua penyakit, ringan atau berat, juga kelahiran bayi semua ditangani oleh dukun. Dalam pertemuan di balai desa terungkap, jika kehamilan bermasalah, bisa dipastikan baik ibu maupun bayi tidak selamat. Tak ada peralatan yang memadai. Jika di bawa ke puskesmas, membutuhkan waktu berjam-jam dengan kondisi jalan yang mengerikan. Dengan tubuh sehat dan segar bugar saja, aku nyaris menyerah, bagaimana seorang ibu hamil atau orang sakit bisa menjalaninya?

Mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan memadai di Porelea- Pipikoro ini ibarat si pungguk merindukan bulan.

Aku menyaksikan bagaimana fasilitator kami, Budiansyah, asal Gorontalo tengah menyemangati ibu-ibu untuk menyampaikan usulan. Ya, hari itu kami memang berdiskusi mencari jalan keluar bagi keterisolasian desa ini. Sekolah tak ada. Klinik kesehatan tak ada. Sementara kami bukan pemerintah yang bisa menyediakan fasilitas publik itu. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah menjembatani usulan dan menyediakan alternatif kesehatan dan pendidikan yang murah dan memungkinkan untuk sementara, sampai pemerintah melirik dan memberi perhatian kepada desa ini.

Budi dan kawan-kawan kini telah mengembangkan sanggar pelayanan masyarakat yang melayani pendidikan dan kesehatan cuma-cuma. Dukun-dukun bayi yang ada di desa-desa dilatih selama beberapa hari mengenai standar persalinan dan penanganan penyakit sederhana. Percuma saja kami mengharapkan pelayanan dari bidan atau dokter, karena seperti yang disampaikan dalam pertemuan desa, tak ada satu bidan atau dokter yang mau tinggal di sini. Kader-kader desa yang penuh semangat juga dilatih untuk menjadi sukarelawan yang mengajar anak-anak putus sekolah, membantu Budi dan kawan-kawan. Toh Fasilitator kami tak selamanya bisa tinggal di sana. Ada saatnya mereka kembali atau berpindah ke tempat pengabdian yang lain. Kader desalah yang harus meneruskan.

Kini sanggar layanan masyarakat telah berdiri. Ibu-ibu hamil bisa memeriksakan kehamilan dan mendapatkan makanan tambahan. Obat-obatan tersedia, meski masih terbatas jumlahnya. Anak-anak putus sekolah belajar menulis dan berhitung. Mereka berebutan membaca buku cerita yang masih sangat sedikit jumlanya. Sebuah doa terucap di dalam hati. Mudah-mudahan banyak penerbit yang berbaik hati membantu kami.

Di saat yang sama teman kami di Palu terus berjuang untuk menghubungi dinas pendidikan dan kesehatan. Hasil terakhir, lokakarya digelar dan menghasilkan beberapa kesepakatan untuk ditindaklanjuti.

Setelah tiga hari menginap di rumah kepala desa yang sangat sederhana dan mengunjungi desa lain (Lonebasa) yang berjarak satu jam perjalanan dengan motor, kami kembali.

Ketika motor kami mencapai Gimpu dan menyadari diriku tetap utuh sehat walafiat, kujatuhkan lututku ke tanah. Terima kasih ya Allah, ucapku penuh syukur. Kupeluk mbak Endang erat-erat. Perjalanan ke Pipikoro telah memberinya pengalaman pertama yang menyentuh hatinya. Dan entah mengapa, ia menjadi lebih pendiam setelah itu.

Masih panjang jalan yang harus dilalui. Tapi melihat semangat teman-teman di lapangan, aku tahu, misi ini akan berhasil. Insha Allah.

http://adesiti.multiply.com/journal/item/137?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar