Kamis, 11 Oktober 2012

Eksistensi Sanksi Pidana Adat Masyarakat Adat Tau Taa Wana

Oleh: Sutanto Saganta, SH

Kita akan tertarik ketika membaca Tesis, “Sanksi Pidana Adat Masyarakat Tau Taa Wana Dan Kontribusinya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,” yang ditulis oleh salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako, MHR. Tampubolon. Tesis ini, diharapkan akan menjadi kontribusi dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dimana semangat tersebut telah lama di cita-citakan agar kita bisa memiliki peraturan hukum yang bernuansa ke Indonesiaan serta sesuai dengan nilai-nilai dan budaya kita sendiri. Sebagai negara yang pernah di jajah maka kita masih mewarisi hukum yang berasal dari penjajah tersebut termasuk dalam hukum pidana (W,v,S). Hukum yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum kolonial. Sementara itu, Ilmu hukum (sistem hukum) di dalam masyarakat Indonesia mengandung karakteristik yang berbeda karena berdasarkan pada konsep/ide-ide/wawasan yang berbeda juga.


Hukum Adat Sebagai Penyeimbang Terhadap Perilaku Menyimpang


“Ubi Societas, Ibi Lus” (di mana ada masyarakat, disana ada hukum), sepintas mungkin kita akan percaya dengan kata-kata itu bahwa dalam hidup bermasyarakat akan menjamin keadilan dan kepastian hukum, maka dalam masyarakat itu perlu ada aturan-aturan yang sifatnya mengikat yang juga di lengkapi sanksi guna pencapaian tujuan tersebut. Dalam masyarakat yang masih mempraktekkan adat dan tradisinya, biasanya aturan atau hukum yang berlaku ialah hukum adat. Salah satu komunitas yang masih mempraktekkan hukum adat adalah komunitas Tau Taa Wana.

Adapun yang dimaksud dengan aturan adat adalah, seperangkat aturan yang tidak tertulis atau yang biasa di bahasakan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law). Hukum yang hidup atau juga yang dikenal dengan hukum kebiasaan tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Laporan Seminar Hukum Nasional ke VI Tahun 1994 bahwa: Hukum kebiasaan mengandung arti yakni:
a. Dalam arti identik dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat:
b. Dalam arti kebiasaan yang diakui masyarakat dan mengambil keputusan (decision maker) sehingga lambat laun menjadi hukum (gewoonte recht/costomory law). Hukum kebiasaan ini bersifat nasional dimulai sejak proklamasi kemerdekaan, terutama dalam bidang hukum tata negara, hukum kontrak hukum ekonomui dan sebagainya.

Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang penting dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya menjadi aturan semata yang ada dalam masyarakat akan tetapi juga menjadi penyeimbang terhadap perbuatan-perbuatan atau perilaku yang dianggap menganggu keseimbangannya. Dalam komunitas masyarakat adat Tau Taa Wana yang secara internal hukum adatnya masih sangat kuat berlaku dan dipatuhi juga memiliki aturan-aturan sebagai penyeimbang tersebut dan apabila ada yang melakukan pelanggaran norma adat tadi maka, orang tersebut akan diberikan sanksi atau Givu. Givu di yakini oleh masyarakat adat Tau Taa Wana sebagai sarana untuk mengembalikan ketenteraman magis antara alam lahir dan alam gaib, sekaligus meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial (kapali atau pamali). Atau hal lain yang dilakukan adalah upacara tulak bala atau yang dikenal oleh masyarakat adat Tau Taa Wana dengan ritual Pala-mpa yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dari kekuatan magis yang dirasakan telah terganggu.

Eksistensi Pidana Adat Masyarakat Tau Taa Wana Dalam Kehidupan Bermasyarakat.

Seperti yang diuraikan dalam Tesis tersebut, bahwa masyarakat Tau Taa Wana adalah masyarakat yang masih memiliki dan mematuhi nilai-nilai adat serta menjunjung nilai tersebut terjadi pelanggar adat, maka yang berperan adalah perangkat adatnya (Ketua Adat) di mana sanksi atau Givu adat diberikan lewat peradilan adatnya. Masyarakat adat Tau Taa Wana, juga mempersepsikan bahwa perbuatan melanggar hukum adat sebagai aturan (ada) yang diwariskan oleh para leluhur mereka adalah perbuatan tidak menghormati atau menghargai nenek moyang (ntau tua) dalam bahasa Taa disebut Kapali. Sebagai perbuatan yang memalukan atau pantang. Perbuatan yang bermakna kapali, merupakan perbuatan yang jahat dan sangat tercela, (mangingka pogusa) karena dapat mengganggu keseimbangan (ketertiban) sosial, sehingga selayaknya diberi sanksi pidana adat atau givu. Eksistensi hukum adat tersebut menjadi faktor penentu untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan bersama dalam masyarakat Tau Taa Wana yaitu hidup tentram dan damai.

Sanksi/Givu sebagai Faktor Penentu Tegaknya Hukum Adat

Sanksi pidana adat mempunyai peranan penting dalam masyarakat adat, yang tidak saja tindak pidana (delic) adat yang menganggu kehidupan masyarakat yang diberi sanksi, akan tetapi pelanggaran (delic) adat yang menganggu kehidupan perorangpun juga dikenakan. Penerapan sanksi pidana adat berdasarkan konspesi hukum adat, bertujuan untuk mengembalikan dan menjamin keseimbangan kosmis, dimana keseimbangan di fokuskan pada dunia lahir dan gaib, guna mendatangkan rasa damai antara sesama warga masyarakat adat dan masyarakat lainnya. Selain itu tujuan pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum, korban dan masyarakat, sehingga dengan demikian maka gangguan, ketidakseimbangan atau konflik akibat pelanggaran adat akan kembali normal dalam keseimbangan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai adat pada komunitas masyarakat Tau Taa Wana sering kali terjadi, namun, dengan diterapkannya hukum adat serta pemberian Sanksi/Givu kepada pelanggar tersebut keseimbangan dapat di capai dengan mengedepankan rasa keadilan yang memang bersumber dari masyarakat tersebut. Sanksi pidana adat yang dikenal di masyarakat adat Tau Taa Wana seperti Givu ada bayar (denda), Vintasi (ganti rugi), mawali watua (kerja sukarela/kerja). Dalam penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, peranan Ketua Adat (ketua ada) sangatlah penting, sebab, yang akan menjatuhkan sanksi/Givu tersebut adalah ketua adat.

Hukum Adat di Antara Belenggu Hukum Negara

Keberanian masyarakat hukum adat Tau Taa Wana, adalah salah satu lingkungan hukum yang ada di pulau Sulawesi, tepatnya Propinsi Sulawesi Tengah yang secara internal hukum adatnya masih sangat kuat berlaku dan dipatuhi, dan juga merupakan sumber kekayaan hukum pidana nasional. Hukum adat merupakan warisan dari para leluhur yang dalam penjabaran merupakan hukum yang tidak tertulis, sementara, hukum negara adalah aturan yang di buat oleh lembaga yang berwenang mengeluarkan produk hukum dimana, dalam proses pembuatannya bernuansa politis. Tesis tersebut juga menjelaskan bagaimana sistem hukum pidana adat sering terabaikan dalam kebijakan formulasi peraturan perundang-undangan pidana. Sanksi pidana adat yang selama ini hidup dan berkembang tidak menjadi salah satu faktor penentu dalam mengenakan atau menjatuhkan sanksi pidana, memang kita juga harus menyadari sebagai konsekuensi dari negara hukum yang lebih mengedepankan asas legalitas sehingga segala sesuatunya itu harus di atur terlebih dalam produk peraturan yang tertulis, namun hal tersebut tidaklah menjadi alasan terhadap pengakuan hukum adat tersebut yaitu dengan lahir Undang-undang Nomor 14 Tahun Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (1) bahwa: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Tugas hakim tidaklah hanya menjatuhkan putusan di pengadilan melainkan juga mencari dan menggali keadilan yang sejati dapat terwujud.

Bagaimana Dengan Kita?

Besar harapannya Tesis yang ditulis oleh Bapak MHR Tampubolon tersebut dapat memberikan sumbangsih terhadap pembaharuan hukum pidana Indonesia yang mana kita ketahui bersama bahwa semangat untuk melakukan pembaharuan, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1960-an. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai ke Indonesiaan merupakan keharusan. Seperti yang terungkap dalam Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar hukum Nasional I Tahun 1963 yang termuat dalam Resolusi Butir IV.

Indonesia negara besar memiliki hukum yang hidup dalam masyarakat yang sangat plural antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, contohnya masyarakat Tau Taa Wana yang juga memiliki aturan-aturan adatnya sendiri, namun hal tersebut belum mendapat tempat yang strategis dalam peraturan tidak bertentang dengan Undang-undang yang berada di atasnya (lex superior derogot legi inferiori) serta harus mendapatkan pengakuan terlebih dahulu.

Kita sudah seharusnya menghormati nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat adat, sebab nilai kepatutan terhadap hukum di dalam masyarakat adat akan lebih tinggi kepatutan terhadap nilai-nilai adatnya, yang pada hukum positif yang dibuat oleh negara. Proses pembuatan tesis tersebut bukanlah pekerjaan gampang sebab lokasi penelitian harus menelusuri sungai Bongka dan melewati gunung yang terjal, bahkan penulis sendiri sempat sakit Demam maklum di daerah tersebut terkenal dengan nyamuknya namun itu tidak menjadi halangan untuk melakukan penelitiannya.


Tulisan ini, seluruhnya bersumber dari Majalah Silo Edisi 25 Tahun 2007. (Yayasan Merah Putih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar