Jembatan Lobu....jembatan kayu itu tersimpan kenangan sejarah perkembangan masyarakat dan wilayah di sepanjang Sungai Lobu. Menurut cerita dan kesaksian yang dihimpun dari penduduk setempat, jembatan kayu itu dibangun sejak tahun 1940. Dan baru rampung serta resmi digunakan oleh kolonial Belanda pada tahun 1942. Buktinya bisa dilihat pada monumen kecil di ujung timur jembatan yang bertuliskan angka tahun 1942.
Dari cerita-cerita itu pula, diketahui bahwa desainernya adalah orang Belanda, serta mandornya berasal dari Manado. Di sebelah utara jembatan, masih bisa dijumpai sumur tua, tempat para pekerja dan mandor mengambil air untuk diminum dan memasak. Seluruh pekerja berasal dari kampung-kampung terdekat. Seluruh bahan baku jembatan yang terbuat dari kayu, bersumber dari hutan tropis di hulu Sungai Lobu. “Waktu itu, hutan di hulu masih lebat dan terjaga, banyak cadangan kayu tropis yang berkualitas, sehingga mudah dapat bahan baku kayu”, ujar Pak Jarhan dari Desa Lobu.
Jembatan itu pula, pernah dilalui oleh konvoi Laskar Merah Putih (LMP) Lobu menuju Bunta, untuk menjembut Komandan Laskar Merah Putih dari Gorontalo, Nani Wartabone. Setelah bergabung dengan laskar pejuang kemerdekaan LMP, pimpinan Nani Wartabone, tahun 1943 di tepi pantai Lobu, masyarakat dari sepanjang Sungai Lobu mengibarkan bendera Merah Putih. “Jadi, kami di wilayah Sungai Lobu lebih duluan mengibarkan bendera Merah Putih dibandingkan orang Jakarta”, ujar Andong, pemuda dari Bolobungkang. Itulah sejumput nilai historis yang bersentuhan langsung dengan keberadaan jembatan kayu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar