Oleh ; Andi F Alwi
Ada tiga kelompok suku Seasea yang masih tinggal di
hutan.Kelompok kelompok ini bermukin di suatu wilayah hutan yang disebut Lipu.
Tiga kelompok ini berdasarkan pembagiannya meliputi Lipu Tetek, Lipu Bubasak
dan Libu Tuboan. Lipu yang paling jauh dari desa Osan adalah Lipu Bubasak.Di
mana komunitas di Lipu yang paling jauh ini masih berburu dan masih banyak
mengenakan kulit kayu sebagai pakaian sehari hari.
Istilah Lipu merupakan unit paling kecil setingkat desa
sekarang.Lipu sendiri merupakan peristilahan dari warisan Pemerintahan Kerajaan
Banggai dahulu.Masing masing Lipu dipimpin oleh perangkat adat yang digelar
tonggol.Tonggol diakui sebagai pemimpin dalam struktur masyarakat dan diakui
sampai sekarang oleh komunitasnya. Sebagai bagian penting kerajaan Banggai,
Tonggol juga merupakan bagian dari perangkat kerajaan di tingkat paling bawah.
Kepala suku.Begitulah kira kira terjemahannya secara sederhana.
Umumnya kondisi pemukiman di Lipu Tetekmemiliki
jenistopograpi berbukit.Tanahnya mempunyai kandungan kapur yang sangat
tinggi.Tidak ada sungai dan mata air yang kami jumpai di Lipu Tetek.Bisa
dipastikan, komunitasnya sangat kesulitan dalam pemenuhan air bersih.
komunitas setempat bergantung pada curah hujan untuk
kebutuhan air dan berladang.Tak jarang dijumpai di wilayah dataran tinggi
seperti Seasea, pepohonan berdiameter besar dimanfaatkan oleh warga sekitar
untuk mendapatkan air.
Unik dan tradisional.Caranya, mereka mengikat dedaunan di
batang pohon besar.Hasilnya, tetesan air hujan dan embun pada pagi hari yang
menetes di batangdan sedikit demi sedikit tertampung dalam wadah yang
disiapkan. Wadah yang dipakai umumnya merupakan tong yang terbuat dari tempikar
tanah. Orang Seaseamenyebutnya “gumbang.Asli buatan Seasea katanya.
Namun pada saat musim kemarau berlangsung dan persedian
mulai menipis, warga kemudian menempuh cara lain untuk mendapatkan air bersih.
Cara yang dilakukan adalah dengan menebang jenis pohon Meranti dan pohon
Bambu.Dari dua jenis pohon ini, masyarakat dapat mengakses air walaupun dalam
ukuran yang relative kecil dan tak cukup untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
Namun pada saat musim kemarau berlangsung dan persedian
mulai menipis, warga kemudian menempuh cara lain untuk mendapatkan air bersih.
Cara yang dilakukan adalah dengan menebang jenis pohon Meranti dan pohon
Bambu.Dari dua jenis pohon ini, masyarakat dapat mengakses air walaupun dalam
ukuran yang relative kecil dan tak cukup untuk kebutuhan mandi dan mencuci.
legenda orang pertama Seasea.Disebutkan olehnya bahwa orang
pertama yang ada di Seasea bernama Boloki Seasea.Menurut kepercayaan komunitas
Seasea, Boloki Seasea adalah seorang perempuan yang bisa menjelma menjadi
kucing. Sehingga ia diberi gelar Tomundo Sasa, Tomundo artinya Raja dan Sasa
artinya kucing. Boloki Seasea ini kemudian mempunyai tiga orang anak . Dia
inilah kemudian menjadi cikal bakal penerus generasi Seasea, sehingga orang
orang di Seasea biasa juga dikenal dengan sebutan Pau Seasea yang berarti
keturunan Seasea.
Legenda lain adalah Boloki Seasea tidak mempunyai kuburan di
Seasea. Ini terjadi karena Boloki Seasea suatu ketika menghilang di salah satu
puncak gunung di wilayah utara tanah adat Seasea. Itulah kemudian orang Seasea meyakini
kuburannya tidak dapat dijumpai di wilayah Seasea.“Boloki Seasea itu tidak
meninggal seperti manusia biasa, tapi dia itu menghilang”, cerita Tonggol
kepada kami.
Berkaitan dengan legenda Boloki Seasea ini, kami mencoba
membandingkan penuturan Hukum Tua Lembaga Masyarakat Adat Kerajaan Banggai, H
Yusuf Basan di Salakan.Dari beliau, dijelaskan bahwa pada di awal masehi salah
ada salah satu raja dari delapan raja Kerajaan Banggai pada masa itu bernama
Tomundo Sasa atau dijuluki Mbumbu Patola.Mbumbu artinya Raja dan Patola adalah
kucing.Artinya, legenda tentang Boloki Seasea memiliki kemiripan sejarah yang
ada di Kerajaan Banggai dahulu.
Hal laintentang suku Seasea, H Yusuf Basan memberikan
penjelasanbahwa bila dilogikakan tentang kata Seasea adalah uraian kata Sasa,
yang memiliki arti dari kata kucing. Kata Sasa ini kemudian menurut analisa
beliau besar kemungkinan mengalami perubahan dialek di wilayah pesisir.Dari
kata Sasa menjadi Seaseasekarang.
.Di wilayah pegunungan Seasea, tata guna lahan memiliki
pengaturan yang khas.Pondok pondok atau rumah tinggal mereka terletak secara
terpisah.Nampaknya diatur dengan pola yang sama. Bisa saja ini bagian dari
kearifan lokal dalam melakukan penataan dan pengunaan lahan suku Seasea.
Secara kasat, dapat dikatakan bahwa satu topografi yang
berupa gunung terletak satu rumah. Dengan kata lain, satu gunung satu rumah. Di
mana satu rumah atau pondok ini didiami oleh satu keluarga.Bila salah satu
anggota keluarga sudah dewasa dan menikah, maka ia akan membuat pondok atau
rumah yang berpisah dengan orang tuanya. Untuk masing masing keluarga memiliki
rata rata lebih dari satu bidang tanah untuk dijadikan ladang.
Ladang diolah secara bergiliran sesuai aturan lokal
sepanjang tahun.Kami menemukan pembuktian bahwa ternyata anggapan banyak
kalangan bahwa masyarakat yang ada di wilayah pedalaman, khususnya di dataran
tinggi seperti suku Seasea ternyata bukan peladang berpindah.Justru sebaliknya,
ternyata mereka memiliki pola tata guna lahan yang diolah secara bergiliran dan
diatur secara arif.
Pola itu dapat dilihat dengan cara mereka memperlakukan
lahan milik mereka. Di mana satu keluarga mengelola dua atau tiga lahan secara
terpisah.Di mana mereka hanya mengolah satu lahan saja sepanjang musim
tanam.Lahan yang satunya lagi dibiarkan bero.
Dengan di biarkan satu dari dua atau tiga lahan untuk tidak
di olah atau dibiarkan bero memberikan kesempatan lahan bero melakukan
pemulihan unsur hara tanah secara alami.Sumber hara berasal dari tumbuhan liar
dan ilalang yang ada di ladang yang diistirahatkan.Waktu yang dibutuhkan
umumnya satu periode musim tanam.Di periode tanam berikutnya, barulah lahan
bero di olah kembali.Cara ini dilakukan secara bergiliran.Sehingga dengan mudah
kita bisa menyimpulkan bahwa perlakuan bero dan di olahnya lahan berlangsung
secara bergiliran untuk memberikan kesempatan lahan ladang melakukan pemulihan
unsur hara secara alami.
Dari ladang yang mereka olah, umumnya diperuntukkan untuk
kebutuhan pangan sehari hari.Hanya sebagaian saja yang di jual ke pasar.Itupun
hanya di jual di pasar tradisional di desa Osan.Pasar ini juga hanya digelar
sekali seminggu.
Di pasar tradisional ini, mereka masih mengunakan system
barter.Umunya hasil panen warga ditukar dengan kebutuhan sehari hari seperti
garam, ikan asin, minyak tanah untuk kebutuhan penerangan, dan beberapa dari
mereka menukar hasil panen dengan pakaian bekas.
Walaupun kurang melakukan interaksi dengan dunia luar dan
terisolasi dari segi jarak, Suku Seasea nampaknya pernah memiliki puncak
beradaban di masa masa yang lalu.Ini dapat dibuktikan dengan adanya ilmu
pengetahuan mereka yang mengenal seni membakar tembikar, menempa besi dan
menuang tembaga yang diajarkan secara turun temurun. Sisa peradaban ini dapat
dilihat dengan masih dijumpainya beberapa jenis gong dari tembaga, tombak, dan
sebahagian penduduknya memiliki keahlian membuat parang tradisional khas
Seasea.
Umumnya, mereka juga mahir memainkan alat musik tradisional,
gendang, gong, suling bambu.Kami sempat disuguhkan pertunjukan seni
tradisi.Diringi alat music tradisi, penarinya mengelilingi tiang rumah dengan
panas terhunus berkelebat kelebat.Sangat memukau dan terasa daya
magisnya.Tarian Cakalele, begitu mereka menamai tarian ini.
Dialek dan bahasa Seasea turut menjadi perhatian .Selain
khas dalam dialek, juga sepertinya beberapa kosa kata yang digunakan sulit
dipahami
“ada beberapa bahasa yang sulit saya pahami orang sini,
mereka di sini masih pakai bahasa asli Seasea, sedangkan kami yang di bawah
sudah tercampur dengan bahasa lain”, terang Mikus.
Bahasa orang Seasea, tambah Mikus, oleh masyarakat yang
bermukim di desa Osan mengakui ada beberapa kosa kata yang dimiliki oleh
saudara mereka yang ada di gunung justru tidak dimengerti.Terutama mereka yang
berdiam di wilayah lipu Tubuan yang tinggal lebih jauh lagi dalam
hutan.Artinya, bahasa asli memang masih terpelihara.
Menyoal tentang kekhasan Seasea dalam berbahasa.Mari kita
coba mencermati tentang bahasa bahasa yang ada di Banggai dan Banggai
Kepulauan.Adapun bahasa orang Seasea merupakan salah satu bahasa Banggai yang
mempunyai konstruksi genitive bertiga ganda. Salah satu contoh kata aki yang
berarti tidak yang berbeda dengan bahasa Balantak yang mengatakan sian dan
Saluan menyebut madi untuk kata yang bermakna sama. Para pengucap aki di masyarakat
Banggai juga terbagi dalam dua bagian.Satu bagian di wilayah Timur dan satu
kelompok komunitas di wilayah Barat.
Di Pulau Peling, semakin mengarah ke wilayah barat,
nampaknya memiliki perbedaan dialektis dari pengunaan kata di banding dengan
para penguna kata aki di wilayah timur. Di mana komunitas di wilayah barat,
khususnya di Seasea menghilangkan huruf huruf K dan G di tengah kata dengan
mengantinya dengan hamzah.Sehingga kata aki menjadi a’i. Dialek Seasea yang
khas lainnya adalah di setiap kata yang mengandung huruf R dan diganti dengan
huruf L. Sehingga, dalam berbahasa Seasea terdengar cadel.
Ada kemungkinan, perbedaan dialek ini terjadi karena kedua
kelompok komunitas ini terpisah dari sisi wilayah dan aksebilitas.Satu kelompok
berdiam di desa dan satu kelompok masih berdiam di hutan.Kelompok komunitas
yang ada di desa Osan memiliki akses untuk berhubungan dengan dunia luar
sehingga memiliki system transformasi bahasa dan social budaya yang cepat
berubah.
Sedang komunitas yang masih tinggal di hutan masih
terisolasi.Keterisolasian ini kemudian menciptakan sisi positif di mana bahasa
asli orang Seasea yang bermukim di hutan tidak mudah dipengaruhi oleh bahasa
dan dialek lain. Terutama pengaruh bahasa Indonesia yang umumnya menjadi bahasa
sehari hari mayoritas masyarakat yang ada di Pulau Peling.
Terkait soal itu, Komunitas Seasea dalam meneruskan sejarah
dan budayanya, termasuk dalam melestarikan bahasa lokal hanya bergantung pada
budaya tutur. Komunitas Seasea tidak mengenal proses pendokumentasian dalam
bentuk tulis, hanya lisan dari generasi ke generasi. Di komunitas lain di
Indonesia, semisal Kertagama di Jawa dan Lagaligo dan aksara Lontara milik
Bugis Makassar, terbukti mampu melestarikan budaya dan bahasa setempat sampai
saat ini.Adapun Seasea hanya mengenal pendokumentasian bahasa asli hanya dengan
teks berupa tuturan, nyanyian, tanda dan symbol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar