Minggu, 22 Juli 2012

Menjejaki Komunitas Suku Seasea diDataran Tinggi Pulau Peling




Oleh ; Andi F Alwi

Ada tiga kelompok suku Seasea yang masih tinggal di hutan.Kelompok kelompok ini bermukin di suatu wilayah hutan yang disebut Lipu. Tiga kelompok ini berdasarkan pembagiannya meliputi Lipu Tetek, Lipu Bubasak dan Libu Tuboan. Lipu yang paling jauh dari desa Osan adalah Lipu Bubasak.Di mana komunitas di Lipu yang paling jauh ini masih berburu dan masih banyak mengenakan kulit kayu sebagai pakaian sehari hari.

Istilah Lipu merupakan unit paling kecil setingkat desa sekarang.Lipu sendiri merupakan peristilahan dari warisan Pemerintahan Kerajaan Banggai dahulu.Masing masing Lipu dipimpin oleh perangkat adat yang digelar tonggol.Tonggol diakui sebagai pemimpin dalam struktur masyarakat dan diakui sampai sekarang oleh komunitasnya. Sebagai bagian penting kerajaan Banggai, Tonggol juga merupakan bagian dari perangkat kerajaan di tingkat paling bawah. Kepala suku.Begitulah kira kira terjemahannya secara sederhana.

Umumnya kondisi pemukiman di Lipu Tetekmemiliki jenistopograpi berbukit.Tanahnya mempunyai kandungan kapur yang sangat tinggi.Tidak ada sungai dan mata air yang kami jumpai di Lipu Tetek.Bisa dipastikan, komunitasnya sangat kesulitan dalam pemenuhan air bersih.

komunitas setempat bergantung pada curah hujan untuk kebutuhan air dan berladang.Tak jarang dijumpai di wilayah dataran tinggi seperti Seasea, pepohonan berdiameter besar dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mendapatkan air.

Unik dan tradisional.Caranya, mereka mengikat dedaunan di batang pohon besar.Hasilnya, tetesan air hujan dan embun pada pagi hari yang menetes di batangdan sedikit demi sedikit tertampung dalam wadah yang disiapkan. Wadah yang dipakai umumnya merupakan tong yang terbuat dari tempikar tanah. Orang Seaseamenyebutnya “gumbang.Asli buatan Seasea katanya.

Namun pada saat musim kemarau berlangsung dan persedian mulai menipis, warga kemudian menempuh cara lain untuk mendapatkan air bersih. Cara yang dilakukan adalah dengan menebang jenis pohon Meranti dan pohon Bambu.Dari dua jenis pohon ini, masyarakat dapat mengakses air walaupun dalam ukuran yang relative kecil dan tak cukup untuk kebutuhan mandi dan mencuci.

Namun pada saat musim kemarau berlangsung dan persedian mulai menipis, warga kemudian menempuh cara lain untuk mendapatkan air bersih. Cara yang dilakukan adalah dengan menebang jenis pohon Meranti dan pohon Bambu.Dari dua jenis pohon ini, masyarakat dapat mengakses air walaupun dalam ukuran yang relative kecil dan tak cukup untuk kebutuhan mandi dan mencuci.

legenda orang pertama Seasea.Disebutkan olehnya bahwa orang pertama yang ada di Seasea bernama Boloki Seasea.Menurut kepercayaan komunitas Seasea, Boloki Seasea adalah seorang perempuan yang bisa menjelma menjadi kucing. Sehingga ia diberi gelar Tomundo Sasa, Tomundo artinya Raja dan Sasa artinya kucing. Boloki Seasea ini kemudian mempunyai tiga orang anak . Dia inilah kemudian menjadi cikal bakal penerus generasi Seasea, sehingga orang orang di Seasea biasa juga dikenal dengan sebutan Pau Seasea yang berarti keturunan Seasea.

Legenda lain adalah Boloki Seasea tidak mempunyai kuburan di Seasea. Ini terjadi karena Boloki Seasea suatu ketika menghilang di salah satu puncak gunung di wilayah utara tanah adat Seasea. Itulah kemudian orang Seasea meyakini kuburannya tidak dapat dijumpai di wilayah Seasea.“Boloki Seasea itu tidak meninggal seperti manusia biasa, tapi dia itu menghilang”, cerita Tonggol kepada kami.

Berkaitan dengan legenda Boloki Seasea ini, kami mencoba membandingkan penuturan Hukum Tua Lembaga Masyarakat Adat Kerajaan Banggai, H Yusuf Basan di Salakan.Dari beliau, dijelaskan bahwa pada di awal masehi salah ada salah satu raja dari delapan raja Kerajaan Banggai pada masa itu bernama Tomundo Sasa atau dijuluki Mbumbu Patola.Mbumbu artinya Raja dan Patola adalah kucing.Artinya, legenda tentang Boloki Seasea memiliki kemiripan sejarah yang ada di Kerajaan Banggai dahulu.

Hal laintentang suku Seasea, H Yusuf Basan memberikan penjelasanbahwa bila dilogikakan tentang kata Seasea adalah uraian kata Sasa, yang memiliki arti dari kata kucing. Kata Sasa ini kemudian menurut analisa beliau besar kemungkinan mengalami perubahan dialek di wilayah pesisir.Dari kata Sasa menjadi Seaseasekarang.

.Di wilayah pegunungan Seasea, tata guna lahan memiliki pengaturan yang khas.Pondok pondok atau rumah tinggal mereka terletak secara terpisah.Nampaknya diatur dengan pola yang sama. Bisa saja ini bagian dari kearifan lokal dalam melakukan penataan dan pengunaan lahan suku Seasea.

Secara kasat, dapat dikatakan bahwa satu topografi yang berupa gunung terletak satu rumah. Dengan kata lain, satu gunung satu rumah. Di mana satu rumah atau pondok ini didiami oleh satu keluarga.Bila salah satu anggota keluarga sudah dewasa dan menikah, maka ia akan membuat pondok atau rumah yang berpisah dengan orang tuanya. Untuk masing masing keluarga memiliki rata rata lebih dari satu bidang tanah untuk dijadikan ladang.

Ladang diolah secara bergiliran sesuai aturan lokal sepanjang tahun.Kami menemukan pembuktian bahwa ternyata anggapan banyak kalangan bahwa masyarakat yang ada di wilayah pedalaman, khususnya di dataran tinggi seperti suku Seasea ternyata bukan peladang berpindah.Justru sebaliknya, ternyata mereka memiliki pola tata guna lahan yang diolah secara bergiliran dan diatur secara arif.

Pola itu dapat dilihat dengan cara mereka memperlakukan lahan milik mereka. Di mana satu keluarga mengelola dua atau tiga lahan secara terpisah.Di mana mereka hanya mengolah satu lahan saja sepanjang musim tanam.Lahan yang satunya lagi dibiarkan bero.

Dengan di biarkan satu dari dua atau tiga lahan untuk tidak di olah atau dibiarkan bero memberikan kesempatan lahan bero melakukan pemulihan unsur hara tanah secara alami.Sumber hara berasal dari tumbuhan liar dan ilalang yang ada di ladang yang diistirahatkan.Waktu yang dibutuhkan umumnya satu periode musim tanam.Di periode tanam berikutnya, barulah lahan bero di olah kembali.Cara ini dilakukan secara bergiliran.Sehingga dengan mudah kita bisa menyimpulkan bahwa perlakuan bero dan di olahnya lahan berlangsung secara bergiliran untuk memberikan kesempatan lahan ladang melakukan pemulihan unsur hara secara alami.

Dari ladang yang mereka olah, umumnya diperuntukkan untuk kebutuhan pangan sehari hari.Hanya sebagaian saja yang di jual ke pasar.Itupun hanya di jual di pasar tradisional di desa Osan.Pasar ini juga hanya digelar sekali seminggu.

Di pasar tradisional ini, mereka masih mengunakan system barter.Umunya hasil panen warga ditukar dengan kebutuhan sehari hari seperti garam, ikan asin, minyak tanah untuk kebutuhan penerangan, dan beberapa dari mereka menukar hasil panen dengan pakaian bekas.

Walaupun kurang melakukan interaksi dengan dunia luar dan terisolasi dari segi jarak, Suku Seasea nampaknya pernah memiliki puncak beradaban di masa masa yang lalu.Ini dapat dibuktikan dengan adanya ilmu pengetahuan mereka yang mengenal seni membakar tembikar, menempa besi dan menuang tembaga yang diajarkan secara turun temurun. Sisa peradaban ini dapat dilihat dengan masih dijumpainya beberapa jenis gong dari tembaga, tombak, dan sebahagian penduduknya memiliki keahlian membuat parang tradisional khas Seasea.

Umumnya, mereka juga mahir memainkan alat musik tradisional, gendang, gong, suling bambu.Kami sempat disuguhkan pertunjukan seni tradisi.Diringi alat music tradisi, penarinya mengelilingi tiang rumah dengan panas terhunus berkelebat kelebat.Sangat memukau dan terasa daya magisnya.Tarian Cakalele, begitu mereka menamai tarian ini.

Dialek dan bahasa Seasea turut menjadi perhatian .Selain khas dalam dialek, juga sepertinya beberapa kosa kata yang digunakan sulit dipahami
“ada beberapa bahasa yang sulit saya pahami orang sini, mereka di sini masih pakai bahasa asli Seasea, sedangkan kami yang di bawah sudah tercampur dengan bahasa lain”, terang Mikus.

Bahasa orang Seasea, tambah Mikus, oleh masyarakat yang bermukim di desa Osan mengakui ada beberapa kosa kata yang dimiliki oleh saudara mereka yang ada di gunung justru tidak dimengerti.Terutama mereka yang berdiam di wilayah lipu Tubuan yang tinggal lebih jauh lagi dalam hutan.Artinya, bahasa asli memang masih terpelihara.

Menyoal tentang kekhasan Seasea dalam berbahasa.Mari kita coba mencermati tentang bahasa bahasa yang ada di Banggai dan Banggai Kepulauan.Adapun bahasa orang Seasea merupakan salah satu bahasa Banggai yang mempunyai konstruksi genitive bertiga ganda. Salah satu contoh kata aki yang berarti tidak yang berbeda dengan bahasa Balantak yang mengatakan sian dan Saluan menyebut madi untuk kata yang bermakna sama. Para pengucap aki di masyarakat Banggai juga terbagi dalam dua bagian.Satu bagian di wilayah Timur dan satu kelompok komunitas di wilayah Barat.

Di Pulau Peling, semakin mengarah ke wilayah barat, nampaknya memiliki perbedaan dialektis dari pengunaan kata di banding dengan para penguna kata aki di wilayah timur. Di mana komunitas di wilayah barat, khususnya di Seasea menghilangkan huruf huruf K dan G di tengah kata dengan mengantinya dengan hamzah.Sehingga kata aki menjadi a’i. Dialek Seasea yang khas lainnya adalah di setiap kata yang mengandung huruf R dan diganti dengan huruf L. Sehingga, dalam berbahasa Seasea terdengar cadel.

Ada kemungkinan, perbedaan dialek ini terjadi karena kedua kelompok komunitas ini terpisah dari sisi wilayah dan aksebilitas.Satu kelompok berdiam di desa dan satu kelompok masih berdiam di hutan.Kelompok komunitas yang ada di desa Osan memiliki akses untuk berhubungan dengan dunia luar sehingga memiliki system transformasi bahasa dan social budaya yang cepat berubah.

Sedang komunitas yang masih tinggal di hutan masih terisolasi.Keterisolasian ini kemudian menciptakan sisi positif di mana bahasa asli orang Seasea yang bermukim di hutan tidak mudah dipengaruhi oleh bahasa dan dialek lain. Terutama pengaruh bahasa Indonesia yang umumnya menjadi bahasa sehari hari mayoritas masyarakat yang ada di Pulau Peling.

Terkait soal itu, Komunitas Seasea dalam meneruskan sejarah dan budayanya, termasuk dalam melestarikan bahasa lokal hanya bergantung pada budaya tutur. Komunitas Seasea tidak mengenal proses pendokumentasian dalam bentuk tulis, hanya lisan dari generasi ke generasi. Di komunitas lain di Indonesia, semisal Kertagama di Jawa dan Lagaligo dan aksara Lontara milik Bugis Makassar, terbukti mampu melestarikan budaya dan bahasa setempat sampai saat ini.Adapun Seasea hanya mengenal pendokumentasian bahasa asli hanya dengan teks berupa tuturan, nyanyian, tanda dan symbol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar