Minggu, 22 Juli 2012

CERITA DARI LEMBAH NAPU


Lemba Napu adalah Dataran Tinggi Sulawesi Tengah yaitu kurang lebih 1200 meter dari permukaan laut, dikelilingi oleh pegunungan sehingga bentuknya seperti kuali besar, ditengahnya mengalir sungai lariang yang berhulu di tawaelia (Desa Sedoa), dan bermuara di sela Makasar Mamuju Sulawesi Selatan. Semua sungai dan anak sungai lembah napu bermuara ke sungai Lairiang sehingga semakin ke Selatan semakin besar dan dalam.
Dataran lembah Napu sebagian terdiri dari padang rumput, dataran perkampungan dan Hutan Rimba.
Menurut hikayat atau cerita turun temurun, ribuan tahun yang lalu lembah napu adalah danau yang luas yang disebut “Rano Raba”. Desekeliling danau diatas bukit/gunung bermukimlah kelompok-kelompok masyarakat berbentuk panguyuban yang dipimpin oleh seorang yang dituakan yang disebut TUANA. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut adalah :
1. To Huku ( Diatas desa Wanga) bahasa yang digunakan adalah bahasa Huku.
2. To Makumba (diatas desa Siliwanga)
3. To Malibubu ( Sebelah Barat desa Watutau, sebelah utara desa Betue)
4. To Urana ( Sebelah Timur desa Talabosa)
5. To Beau ( sebelah selatan desa watutau/ sebelah timur desa Betue)
6. To Atuloi (Sebelah utara desa Dodolo)
7. To Beloka ( Sebelah Timur desa Tamadue)
8. To Kapa ( Sebelah Selatan desa Tamadue)
9. To Wawowula ( Sebelah Selatan desa Tamadue)
Kemudian To’beloka, To’kapa, To’wawula, bergabung membuat pemukiman baru diatas bukit Winua yang mempunyai bahasa sendiri yang disebut bahasa Winua. Tempat ini disebelah Timur Tamadue terdapat patung Pakasele dan Pakatalinga dua kilometer dari desa Tamadue.
Ada banyak lagi kelompok-kelompok masyarakat yang belum diiventarisir tetapi bukti pemukimaqn ditatas bukit/gunung masih ada bekasnya sampai sekarang ini seperti sebelah Utara desa Winowanga Disebelah utara Desa Alitupu dan disebelah Utara desa Wuasa yang disebut dengan POWANUANGA SAE –(Perkampungan Tua).
Kelompok-kelompok masyarakat ini saling mengetahui / mengerti bahasa, yang akhirnya sekarang terkenel dengan bahasa Napu.
Suatu saat Rano Raba (Danau Raba) dikeringkan dengan upacara adat atas petunjuk Alla Ta Ala melalui Tawalia (dukun) dengan mengaliri aliran Danau disebelah selatan desa Torire sekarang, yang akhirmya menjadi sungai lairiang melewati Lore Selatan dan bermuara di Mamuju Sulawesi Barat.
Semakin lama Rano Raba semakin kering dan beberapa ratus tahun kemudian menjadi padang rumput dan hutan rimba, tinggal Rango Wanga (Danau Wanga) dan Rango Ngkio sebelah selatan desa Alitupu sekarang.
Dengan melihat dataran yang baik untuk penggembalaan ternak, dan untuk pertanian, makaa kelompok masyarakat yang tadi turun ke lembah untuk membuat pemukiman baru yang dikenal dengan nama:
1. To Kalide sebelah selatan Desa Tamadue (suku Winua), pada saat itu tibalah seorang Manuru yang kawin dengan seorang perempuan Bangsawan Putri Raba dengan turunan yaitu: Tindarura (Gumangkoana), Madusila, Ralinu, Sadunia, Madikampudu (Kompalio), Pua, Rabuho (perempuan), Rampalili.
2. To Habingka (suku Winua).
3. To Gaa (suku Winua).
4. To Lengaro (suku Huku,To Makumba, To Malibubu).
5. To Pembangu (To Urana, To beau, dan sebagian To Malibubu yang sekarang menjadi Suku Watutau)
6. To Mamboli ( Suku Winua)
7. To Pekurehua (kumpulan masyarakat yang akhirnya menjadi perkampungan besar yang dipimpin oleh seorang Panglima yang bernama Tindarura(Gumangkoana) yang memberi nama Lembah ini dengan PEKUREHUA.
Disetiap pemukiman didirikan Powoha tempat musyawarah masyarakat adat masyarakat setempat. Sedangkan tempat musyawarah seluruh Bangsawan napu dibangunlah Duhuga di Lamba, dan akhirnya Lamba menjadi pemukiman baru yang disebut To’Lamba.
Didalam duhuga Lamba inilah setiap tahun dilaksanakan upacara ritual adat MOENDE bagi arwa jenazah para bangsawan Napu yang tidak dikuburkan, nanti dikuburkan setelah Belanda masuk lembah Napu Tahun 1919.
Sebagaiman telah dipaparkan diatas, bahwa disebelah Utara desa Wuasa ada Powanuanga Sae atau pemukiman /perkampungan tua. Menurut cerita di Perkampungan ini hiduplah sekelompok Masyarakat yang dipimpin oleh seorang yangn dituakan yaitu MPEBIARO kurang lebih ratusan tahun yang lalu, ketika itu masyarakat telah berbudaya.
Mpebiaro adalah seorang yang memiliki sifat suka menantang perang tanding satu lawan satu, suatu saat dia menentang kedaerah “Lemba” (sekarang Sigi Biromaru), disana dia mendapat lawan yang kuat bernama “Latandu” yang sebenarnya adalah sahabatnya sendiri. (jauh sebelumnya Napu telah mempunyai hubungan baik dengan Masyarakat Lemba tidak terkecuali masyarakat dibawa pimpinan Mpebiaro, Jalan yuang mereka tempu adalah lewat Torongkilo, Salu Mparapa, Mamawa. Adale, Susumalindu, kemudian turun ke Banga-banga sampai Dongi-dongi mengikuti sungai dan tiba di Bora atau Lemba).
Untuk menjaga kemungkinan akibat tantangan Mpebiaro ini, maka seluru masyarakatnya dipindahkan ke suatu tempat yang disebut PANGKATUHA sebelah selatan desa alitupu dekat Rano Ngkio. Sebagai tanda bagi masyarakatnya bahwa musunya telah datang maka digantunglah gendang besar yang dipukul sebagai tanda agar masyarakat mencari perlindungan terutama bagi wanita dan anak-anak, karena Mpebiaro sudah merasakan kekuatan Latandu, sebab sudah berbulan-bulan mereka berperang tanding namun belum tanda-tanda ada yang kalah.
Suatu saat mereka melakukan pertandingan yang terakhir di Torongkilo, Gunung disebelah Utara Desa Wuasa / sebelah Barat desa watumaeta dengan perjanjian apabilah tidak ada yang kalah, maka pertandingan ini berakhirlah, sama-sama menang dan sama-sama kalah. Namun ketika mereka bertanding sama-sama menderita luka parah sehingga mereka berpisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar