Dalam bahasa lisan orang Tompu,
dulunya, luas daratan masih sebesar telur ayam kampung. Oleh Tupu Atala (sang
pencipta), diturunkanlah Tana Sanggamu
(tanah segenggam) bersama seekor ayam jantan warna putih. Peristiwa itu terjadi
menjelang sore, di puncak Gunung Kalinjo, Tompu.
Ayam itu kemudian mengais-ngaiskan cakarnya di atas Tana Sanggamu sehingga berubah menjadi daratan luas yang ditumbuhi sejumlah pepohonan seperti, bambu kuning, lampeuju, peliu, lambuangi, ganaga, tea, beringin dan lanjo.
Selain itu, bekas cakaran ayam jantan tersebut kemudian nebete (menjelma) menjadi manusia, tapi wujudnya belum sempurna, masih berupa badan tanpa kepala. Untuk proses penyempurnaan, Tupu Atala kemudian mengambil tanah dari Bulili, suatu tempat di sebelah utara Kalinjo yang masih termasuk dalam wilayah ke–adat-an Tompu sekarang ini.
Dari manusia pertama itulah yang kemudian menurunkan generasi suku Kaili sub etnis Ledo yang mendiami sejumlah Boya di Tompu. Lambat laun, mereka menyebar luas ke Lembah Palu dan beberapa daerah lainnya di Sulawesi Tengah.
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, orang Tompu masih mengandalkan tradisi perladangan padi. Sebab menurut keyakinan mereka, padi itu adalah merupakan jelmaan leluhur yang harus selalu di jaga. Kisah tentang asal-muasal padi ladang itu, menurut Papa Reni (62), salah satu warga setempat, bermula dari cerita sepasang suami isteri yang hidup di Tompu. Mereka memiliki dua orang anak, laki dan perempuan. Suatu ketika dua orang anaknya itu menangis minta makan.
Karena tidak tahan mendengar tangisan anaknya, Si Ibu kemudian pergi ke suatu tempat dan memohon kepada Tupu Alatala agar diberikan makanan. Tak lama kemudian, permohonan doa ibu tersebut dikabulkan. Diturunkanlah padi, tapi jumlahnya agak terbatas. Oleh Si Ibu, padi tersebut dibuat menjadi bubur untuk dimakan anaknya.
Keesokan harinya, anak itu kembali menangis minta makan. Tak tahan mendengar anaknya menangis, suaminya meminta lagi pada istrinya agar bermohon pada Tupu Alatala. Si Isteri pun kembali berdoa dan memohon agar diberikan makanan. Dan permintaan itu kembali dikabulkan.
Hari berikutnya, sang anak menangis lagi. Melihat anaknya menangis, Si Ibu bingung dan merasa malu untuk minta makanan secara terus menerus pada Tupu Alatala. Karena itu, suaminya kemudian menawarkan diri untuk pergi berdoa minta makanan pada Tupu Alatala. Namun sebelum pergi, dia berpesan pada isterinya, ”Jika seminggu lamanya saya tidak kembali, tidak perlu dicari. Tetapi pergi saja ke ladang kita yang baru, saya ada di sana,” kata Sang Suami pada istrinya.
Setelah seminggu pergi, suaminya tak kunjung datang. Maka, Sang Isteri pergi ke ladang mereka yang baru dibuka, sesuai pesan suaminya.
Betapa terkejutnya dia sesampai di ladang. Ternyata tempat itu sudah ditumbuhi padi, yang tidak lain adalah jelmaan dari suaminya.
Sejak saat itu, orang Tompu tidak pernah meninggalkan tradisi menanam Padi.
Sebab jika tidak menanam padi ladang, sama saja memutuskan hubungan spiritual dengan leluhur. Karenanya proses itu dianggap suatu religi.
Untuk menjaga ketersediaan pangan, setiap rumah tangga membuat Gampiri (lumbung padi). Karenanya, kata Papa Reni, sehebat apapun kemarau panjang saat itu, warga Tompu tidak pernah mengalami kekurangan pangan. Bahkan, mereka menjadi penyuplai beras ke desa-desa tetangga.
Saat itu, ada enam puluh lebih jenis varietas lokal di Tompu. Tapi sekarang ini, tidak sampai sepuluh jenis yang tersisa. Karena kampung ini sempat kosong, akibat di bubarkan secara paksa oleh pemerintah pada tahun 1975. Pernah diupayakan warga mencari di tempat lain varietas padi tersebut, tapi sudah tidak tersedia lagi di tempat itu.
Penekanan terhadap Orang TompuAyam itu kemudian mengais-ngaiskan cakarnya di atas Tana Sanggamu sehingga berubah menjadi daratan luas yang ditumbuhi sejumlah pepohonan seperti, bambu kuning, lampeuju, peliu, lambuangi, ganaga, tea, beringin dan lanjo.
Selain itu, bekas cakaran ayam jantan tersebut kemudian nebete (menjelma) menjadi manusia, tapi wujudnya belum sempurna, masih berupa badan tanpa kepala. Untuk proses penyempurnaan, Tupu Atala kemudian mengambil tanah dari Bulili, suatu tempat di sebelah utara Kalinjo yang masih termasuk dalam wilayah ke–adat-an Tompu sekarang ini.
Dari manusia pertama itulah yang kemudian menurunkan generasi suku Kaili sub etnis Ledo yang mendiami sejumlah Boya di Tompu. Lambat laun, mereka menyebar luas ke Lembah Palu dan beberapa daerah lainnya di Sulawesi Tengah.
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, orang Tompu masih mengandalkan tradisi perladangan padi. Sebab menurut keyakinan mereka, padi itu adalah merupakan jelmaan leluhur yang harus selalu di jaga. Kisah tentang asal-muasal padi ladang itu, menurut Papa Reni (62), salah satu warga setempat, bermula dari cerita sepasang suami isteri yang hidup di Tompu. Mereka memiliki dua orang anak, laki dan perempuan. Suatu ketika dua orang anaknya itu menangis minta makan.
Karena tidak tahan mendengar tangisan anaknya, Si Ibu kemudian pergi ke suatu tempat dan memohon kepada Tupu Alatala agar diberikan makanan. Tak lama kemudian, permohonan doa ibu tersebut dikabulkan. Diturunkanlah padi, tapi jumlahnya agak terbatas. Oleh Si Ibu, padi tersebut dibuat menjadi bubur untuk dimakan anaknya.
Keesokan harinya, anak itu kembali menangis minta makan. Tak tahan mendengar anaknya menangis, suaminya meminta lagi pada istrinya agar bermohon pada Tupu Alatala. Si Isteri pun kembali berdoa dan memohon agar diberikan makanan. Dan permintaan itu kembali dikabulkan.
Hari berikutnya, sang anak menangis lagi. Melihat anaknya menangis, Si Ibu bingung dan merasa malu untuk minta makanan secara terus menerus pada Tupu Alatala. Karena itu, suaminya kemudian menawarkan diri untuk pergi berdoa minta makanan pada Tupu Alatala. Namun sebelum pergi, dia berpesan pada isterinya, ”Jika seminggu lamanya saya tidak kembali, tidak perlu dicari. Tetapi pergi saja ke ladang kita yang baru, saya ada di sana,” kata Sang Suami pada istrinya.
Setelah seminggu pergi, suaminya tak kunjung datang. Maka, Sang Isteri pergi ke ladang mereka yang baru dibuka, sesuai pesan suaminya.
Betapa terkejutnya dia sesampai di ladang. Ternyata tempat itu sudah ditumbuhi padi, yang tidak lain adalah jelmaan dari suaminya.
Sejak saat itu, orang Tompu tidak pernah meninggalkan tradisi menanam Padi.
Sebab jika tidak menanam padi ladang, sama saja memutuskan hubungan spiritual dengan leluhur. Karenanya proses itu dianggap suatu religi.
Untuk menjaga ketersediaan pangan, setiap rumah tangga membuat Gampiri (lumbung padi). Karenanya, kata Papa Reni, sehebat apapun kemarau panjang saat itu, warga Tompu tidak pernah mengalami kekurangan pangan. Bahkan, mereka menjadi penyuplai beras ke desa-desa tetangga.
Saat itu, ada enam puluh lebih jenis varietas lokal di Tompu. Tapi sekarang ini, tidak sampai sepuluh jenis yang tersisa. Karena kampung ini sempat kosong, akibat di bubarkan secara paksa oleh pemerintah pada tahun 1975. Pernah diupayakan warga mencari di tempat lain varietas padi tersebut, tapi sudah tidak tersedia lagi di tempat itu.
Sejarah penekanan terhadap orang Tompu sebenarnya telah berlangsung lama. Menurut Papa Jani, proses itu dimulai tahun 1927, ketika kolonial Belanda mulai menduduki Sigi Biromaru.
Kekayaan alam yang dimiliki warga Tompu memancing reaksi Belanda untuk datang menguasainya. Akan tetapi, niat buruk kompeni itu mendapat tentangan dari warga. Dan, terjadilah pertempuran hebat pada saat itu.
Tapi karena hanya bersenjatakan seadanya, orang Tompu pun kuwalahan. Korban mulai berjatuhan di pihak warga. Oleh mereka, dikuburkan secara massal di Boya Sidima, Tompu.
Sejak saat itu, pemerintah kolonial dengan leluasa bisa mengambil seluruh kekayaan alam yang ada di Tompu, seperti damar, cendana, kayu manis dan kemiri. Untuk mempermudah proses pengangkutan, mereka memaksa penduduk untuk membuat jalan lingkar menuju ke kantong-kantong hutan kayu manis dan damar.
Selain itu, para warga juga diminta untuk membayar blasting (pajak) ke pihak kompeni atas penggunaan tanah di tempat itu.
Hal itu mendapat reaksi keras dari warga. Menurutnya, mereka tidak pernah berutang dengan pemerintah Belanda. Karena menolak bayar pajak, sebagian dari mereka kemudian memilih untuk meninggalkan perkampungan tersebut dan masuk ke hutan di daerah Manggalapi, dekat perbatasan Kabupaten Parigi Moutong hingga sekarang ini.
Menurut Papa Asa (69), salah seorang tokoh adat setempat, sebelum tahun 1927, Tompu sudah otonom dan punya sistem pemerintahan sendiri. Terhitung, ada tujuh Kapala Ntina (setingkat dengan kepala kampung) yang sempat menjadi pemimpin di tempat itu. Yang pertama adalah, Rapeyangga Ngata, kedua Yabakita, ketiga Kitanava, keempat Lamatoti, kelima Silinava, keenam Yavaringgi, dan ketujuh adalah Manasele.
Manasele menjabat dari tahun 1945 sampai 1975. Setelah itu, tidak ada lagi kepemimpinan baru di Ngata Tompu. Karena sejak tahun 1975, perkampungan itu telah dibubarkan secara paksa oleh pemerintah dengan alasan masuk dalam kawasan hutan lindung.
Melalui dinas kehutanan dan aparat keamanan, pemerintah mendesak warga untuk mengosongkan perkampungannya. Mereka dipaksa pindah ke beberapa desa yang telah disiapkan oleh pemerintah. Beberapa pemukiman warga di Boya Bulili dibakar oleh Badu, salah seorang anggota kepolisian dari sektor Palu Timur.
”Kami tidak bisa berbuat apa-apa pada saat itu, kecuali pasrah. Karena mereka mengancam akan memasukkan kami ke penjara jika membangkang,” ungkap Papa Santa, salah seorang warga Tompu,
Dengan mobil truk, mereka diangkut ke Desa Rahmat, Kecamatan Palolo –jaraknya sekitar 50 km dari Tompu. Di tempat baru ini, pemerintah telah menyiapkan sebuah rumah panggung sederhana dan lahan seluas 2 hektar untuk setiap keluarga. Disamping itu, pemerintah juga memberikan bahan makanan selama beberapa bulan serta peralatan kerja, seperti parang dan cangkul.
Meskipun diberi sejumlah fasilitas oleh pemerintah, warga Tompu tidak merasa betah di tempat itu. Karena di perkampungan baru itu mereka sudah berbaur dengan masyarakat dari komunitas lain, jadi mereka tidak bisa leluasa mengembangkan tradisinya. Hal lain, menurut penuturan warga, lahan yang diberikan pemerintah adalah lahan basah yang hanya cocok buat sawah. Sedangkan mereka tidak punya keterampilan bertani di lahan basah.
Pada beberapa kasus, malah tanah milik penduduk lain yang diberikan pemerintah pada warga Tompu. Dan ini seringkali menimbulkan konflik antar sesama warga. ”Untuk menghindari terjadinya konflik, kami selalu mengalah,” ujar Kobo, warga Tompu.
Atas persetujuan Efendi Dg. Pawara, Camat Sigi Biromaru pada saat itu, warga Tompu akhirnya menyingkir ke Vatubose, masih dalam wilayah desa Rahmat. Di tempat itu, mereka mulai menanam beberapa tanaman produksi, seperti kakao dan kopi. Ketika tanaman mereka sudah berbuah, muncul lagi soal baru. Kali ini datang dari pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL).
Lembaga konservasi milik pemerintah itu memasang patok-patok pal batas tepat di lokasi perkebunan warga. Secara sepihak, tempat itu ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Akibatnya, warga Tompu semakin tersingkir. Dan, itu kemudian membuat kerinduan di hati mereka untuk segera kembali ke kampung leluhur.
Untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan, tahun 1998, “Kami dan sejumlah warga lainnya sepakat untuk pulang ke Tompu hingga sekarang ini,” kata Papa Jani.
Saat mereka kembali, ada banyak perubahan yang terjadi di kampung itu. Sejumlah hutan mulai rusak akibat adanya penebangan kayu yang dilakukan pihak luar. Hal itu kemudian menyebabkan keringnya mata air. ”Padahal dulu tempat itu sangat kami jaga, karena itu adalah penghidupan kami,” ungkapnya.
Sementara itu, pengetahuan mereka tentang perbintangan juga sudah mulai
hilang. Karenanya, mereka bertekad untuk mencari segala sesuatu yang hilang dari perkampungan itu, baik sistem sosial, religi ataupun lainnya. Hal itu mereka lakukan demi untuk menata kehidupan Tompu yang lebih baik ke depan. ”Sebab perjuangan kami saat ini adalah adanya pengakuan dari negara terhadap orang Tompu,” tegas Papa Jani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar