Sabtu, 15 Desember 2012
Kota Tua di Ujung Teluk Palu
detikTravel Community -
Kota Donggala, Sulawesi Tengah menyajikan banyak tawaran pelesiran. Mulai dari menonton para penenun Buya Sabe atau sarung sutra, menikmati indahnya pantai pasir putih Tanjung Karang, hingga menyicipi Kaledo, makanan khas Donggala, yang terbuat dari kaki dan daging lembu. Semuanya bisa dinikmati dalam sekali jalan. Ibarat sekali dayung, dua tiga pulau terlampui.
Pagi baru merekah, masih tersisa langit yang memerah saga di ufuk timur. Mentari tentu saja baru saja sedikit melewati ufuk. Tontonan panorama alam itu lebih indah bila dinikmati dari pesisir laut Teluk Palu atau dari ujung teluk, tepatnya di Kota Donggala.
Bila Anda belum pernah mendengar namanya, bolehlah membaca buku "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" milik Buya Hamka, ulama dan budayawan tersohor di masanya. Atau bacalah "Tetralogi Pulau Buru" milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Di kedua buku itu, nama Donggala disebut sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan mancanegara. Ya, Donggala identik dengan pelabuhan lautnya.
Kota tua ini pernah menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda pada abad ke-18. Oleh Belanda pelabuhan ini dijadikan sebagai pelabuhan niaga dan penumpang. Tidak heran masih banyak bangunan tua tersisa di kota ini.
Rasanya perjalanan ke kota ini tidak boleh dilewatkan. Dari Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah perjalanan menuju Donggala bisa ditempuh tidak lebih dari satu jam. Jaraknya hanya 40 kilometer. Pilihan kendaraannya terserah kita.
Jika ada wisatawan yang mau datang dari Jakarta, bisa dengan pesawat Lion Air, Wings Air, Batavia Air, Sriwijaya Air atau Merpati dengan waktu tempuh selama 2 jam. Lalu transit di Makassar atau Balikpapan, dan 55 menit kemudian akan tiba di Bandara Mutiara Palu. Diteruskan lagi dengan menumpang mobil kijang dari Bandara Mutiara Palu dengan tarif Rp100.000,- hingga Rp150.000,- dengan lama perjalanan antara 30 menit hingga 45 menit.
Lalu hendak ke mana kita di sana? Tenang saja, tawarannya, mau ke pantai pasir putih Tanjung Karang dulu atau menonton para penenun di Banawa Tengah atau Banawa Selatan atau menikmati makanan khas Kaledo?
Rasa-rasanya kita boleh memulai perjalanan dari Banawa Tengah. Jaraknya hanya 2 kilometer arah barat Kota Donggala. Yuk, kita ke sana!
Dari jauh bunyi hentakan balida yang bertemu dengan pasak alat tenun tradisional sudah terdengar bunyinya. Itu tandanya kita sudah dekat dengan Desa Limboro, Kecamatan Banawa Tengah, Donggala. Balida itu, sebuah kayu panjang yang menjadi pemberat di tengah lipatan kain tenun saat penenun memasukkan benang-benang. Biasanya terbuat dari kayu ulin atau ebony.
Mungkin, selama ini orang hanya mengenal kain tenun Songket dari Palembang atau Ulos dari Sumatera Utara. Padahal, di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, ada sarung tenun yang sangat terkenal. Namanya Buya Sabe atau Sarung Tenun Donggala.
Salah satu pusat Buya Sabe berada di Desa Limboro. Di sana tidak kurang 100 penenun setiap hari bekerja. Menariknya, tidak cuma para perempuan paruh baya berusia 50–60 tahun yang menjadi penenun tapi juga pada gadis remaja berusia 12-20 tahun. Itu lah yang menyebabkan tradisi tenun Buya Sabe ini terus terlestarikan.
Biasanya mereka bekerja sejak pukul 09.00–12.00 WITA. Lalu diteruskan lagi pukul 13.00–17.00 WITA. Ada pula yang menenun di malam hari mulai pukul 19.00 – 22.00 WITA.
Jadi bagi ibu rumah tangga, mereka menyelesaikan dulu urusan masak-memasak dan mengatur rumah tangganya, lalu kemudian menenun. Sementara bagi gadis remaja, ada yang pergi ke sekolah, ada pula yang membantu orang tuanya. Untuk setiap satu helai Buya Sabe mereka dibayar Rp150.000,-. Meski tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka tetap tekun menenun dan tentu saja melestarikan tradisi.
Rata-rata masyarakat Limboro adalah petani tapi ada pula satu dua yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Karenanya, bertani dan menenun tentu saja adalah sumber mata pencaharian mereka yang utama. Berada di tengah para penenun tradisional ini, seperti membuat kita tercerabut dari alam digital ke zaman kayu. Peralatannya sangat sederhana. Terbuat dari kayu dan bambu.
Pembuatan tenun Buya Sabe ini, hampir sama dengan pembuatan tenun-tenun yang ada di daerah lain. Baik dari proses pewarnaan benang hingga penenunan. Coraknya pun beragam. Antara lain, kain palekat garusu, buya bomba, buya sabe, kombinasi bomba dan sabe. Dari sekian corak tersebut, buya bomba yang paling sulit, hingga membutuhkan waktu pengerjaan satu hingga dua bulan. Berbeda dengan corak lainnya yang hanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu saja.
"Untuk Buya Bomba, kami mengerjakannya dengan sangat hati-hati. Karena corak yang akan dihasilkan sangat banyak. Biasanya pembuatannya sampai dua minggu atau sebulan. Biasa ada yang bilang corak bunga mawar," kata Habona, perempuan penenun di Limboro berusia 56 tahun.
Kalsum, seorang gadis remaja berusia 21 tahun, juga berkata senada. “Susah juga awalnya, setelah terbiasa kita jadi menikmatinya,� aku Kalsum yang belajar menenun dari ibunya.
Tenun Buya Sabe bisa ditemukan di sepanjang Limboro, Salu Bomba, Tosale, Towale dan Kolakola. Desa-desa itu berada di sebelah barat Kota Donggala. Selain pewarisan turun temurun, tenun Buya Sabe juga dilindungi dengan Peraturan Daerah oleh Pemerintah Kabupaten Donggala. Bahkan di tingkat Provinsi Sulawesi Tengah, setiap Sabtu, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) diwajibkan memakai batik yang terbuat dari Buya Sabe.
"Perda itu untuk menjaga agar tenun Donggala itu bisa lestari dan tidak diduplikasi oleh pihak lain," kata Habir Ponulele, Bupati Donggala.
Buya Sabe, banyak digunakan pada cara-cara tertentu. Seperti pakaian pesta untuk orang tua, untuk menjamu tamu dari luar daerah, serta pakain untuk acara kedukaan. Harganya tergantung coraknya. Harga termurah mencapai Rp300.000,- dan paling mahal seharga Rp650.000,-.
Nah, sudah puaskan menonton para penenun di Limboro. Sekarang saatnya kita menuju Tanjung Karang. Jaraknya dari Limboro tinggal 3 kilometer.
Saat sampai di tempat yang satu ini mata kita langsung tertumbuk pada pasir putih yang menghiasi bibir pantainya. Dari atas jalanan di bukit Donggala, terlihat jelas hamparannya, juga kumpulan kapal niaga dan perahu nelayan di Pelabuhan Donggala. Indah dan luar biasa! Itu ungkapan yang tepat untuk menggambarkannya.
Sekitar 20 tahun silam, Pantai Tanjung Karang ini hanya dikenal sebagai tempat istirahat sementara para nelayan setelah lelah melaut. Saat itu, belum ada jalan masuk ke Pantai Tanjung Karang, padahal hamparan pasir putih di pantai itu sungguh indah. Perkebunan kelapa milik masyarakat juga tumbuh subur di sekitar pantai ini.
Tapi sekarang, Pantai Tanjung Karang sudah berubah menjadi objek wisata favorit bagi warga Palu dan sekitarnya. Di musim libur, pantai ini dipadati wisatawan lokal, bahkan turis mancanegara. Rata-rata berasal dari Eropa.
Agus, salah seorang petugas di pintu masuk Tanjung Karang, mencatat setiap hari libur, sedikitnya 200 kendaraan roda empat dan dua masuk-keluar di objek wisata Tanjung Karang ini. Bahkan angka ini meningkat pesat setelah Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mencanangkan lima hari kerja sejak pertengahan April 2007 lalu.Untuk setiap pengunjung dikenai biaya hanya Rp1.000,-.
"Pengunjung pada Sabtu, Minggu, dan hari libur, paling banyak. Ratusan orang biasanya," kata Agus.
Untuk memberikan pelayanan bagi para wisatawan, yang umumnya wisatawan keluarga, penduduk setempat membangun dan menyewakan puluhan penginapan sederhana, yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia. Tarifnya relatif murah, antara Rp100.000,- hingga Rp300.000,- semalam untuk masing-masing cottage yang memiliki satu kamar tidur, satu ruang terbuka sebagai teras, dan satu kamar mandi. Tarif ini tidak termasuk makan dan minum.
Menu yang disajikan para pengelolanya beraneka ragam, namun umumnya berupa makanan laut, seperti ikan bakar, cumi-cumi goreng, dan lobster rebus. Ada juga kopi panas, teh, dan sarabba (minuman khas terbuat dari jahe dan gula aren yang direbus serta diberi susu kental), serta pisang goreng panas. Pengunjung juga dapat menikmati makanan, minuman, dan penganan lainnya di cafe-cafe sederhana di area penginapan dan sepanjang bibir pantai Tanjung Karang.
Di Tanjung Karang, ada pula sebuah cottage milik Pieter, seorang warga Jerman yang beristrikan seorang perempuan asal Sulawesi Utara. Ia menamai kawasan cottagenya dengan Prince John Dive Resort. Cottage yang dikelilingi pagar kayu dan tembok dengan luas halaman sekitar 60 x 50 meter tersebut dilengkapi berbagai fasilitas memadai, seperti cafe dan lapangan voly pantai.
Pemilik cottage ini juga melengkapinya dengan kapal pesiar dan peralatan diving serta snorkeling yang memang diminati wisatawan mancanegara.
"Wisatawan yang datang rata-rata berasal dari Jerman, Australia dan Austria. Mereka sangat suka menyelam," kata Junaidi Kariso, Manager Public Relation di Prince John Dive Resort.
Nah, jika ingin bersnorkeling, cukup merogoh kocek Rp10.000,-. Snorkel bisa kita sewa pula pada penduduk setempat. Harga itu tidak dipatok per jam, tapi per hari. Murah, bukan?
Jika ingin menyelam kita bisa menyewa scuba diving milik Prince John Dive Resort. Dengan harga sekitar dengan Rp338.000,-. Pengelolanya memang memakai kurs Euro, karena wisatawannya rata-rata dari Eropa. Kalau beruntung bisa mendapatkan scuba diving dari penduduk lokal seharga Rp100.000,-.
Kalau kemahalan cukup snorkeling saja. Tuwo, perempuan penduduk lokal berusia 40 tahun menyewakan snorkelnya Rp10.000 per hari.
Mau snorkeling? Yuk! Wow, ternyata memang luar biasa indah. Hanya selangkah dari bibir pantai dan masih dari atas permukaan kita sudah dapat menikmati indahnya terumbu karang dan ikan hias yang menari-nari di atas dan di sela-sela karang.
"Di sini asyik sekali. Ada karang warna-warni dan ikan yang cantik-cantik," tutur Muhammad Nizam, anak berusia 9 tahun yang dipandu ibunya bersnorkeling.
Bagi wisatawan asal Jerman, Hillmart, ia memilih Tanjung Karang lantaran belum tertalu ramai dan masih alami. "Di sini sangat tenang, belum banyak orang. Jadi saya pilih di sini melewatkan akhir pekan," kata dia.
Rasa-rasanya setelah puas bermain-main di Tanjung Karang, sekarang waktunya makan. Tentu saja, menunya adalah Kaledo atau biasa orang menyebutkan kaki lembu Donggala. Ya, karena memang bahan utamanya adalah kaki lembu.
Ada anekdot dari seorang kawan, katanya, suatu waktu ada pemotongan lembu. Lalu orang Jawa, orang Makassar dan orang Donggala bergiliran mengambil dagingnya. Orang Jawa yang pertama mengambil semua daging lembu, mereka lalu membuat bakso. Lalu yang kedua adalah orang Makassar yang mengambil jeroannya dan kemudian membuat Coto Makassar. Tertinggalah tulang-tulang dan sedikit dagingnya, maka jadilah Kaledo.
Menurut Hajjah Rahma, yang sejak 1970-an berjualan Kaledo, tidak ada makanan seperti ini di daerah lain di Indonesia.
"Ini beda dengan sup daging atau coto Makassar atau Sop Konro. Ini memang pakai kaki lembu utuh," kata Hajjah Rahma.
Kaledo terbuat dari tulang kaki lembu dan dagingnya, dicampur asam Jawa mentah, dengan bumbu cabe rawit, garam dan jeruk nipis. Setelah masak Kaledo seperti sup dengan kaki lembu dan sedikit daging. Jika kurang pedas, kita bisa menambahnya dengan sambal cabe rawit. Agar terasa wangi, bolehlah ditambahkan bawang goreng.
Dalam sehari Hajjah Rahmah menghabiskan 10 kaki lembu, 5 kilogram tulang leher, dan 5 kilo daging. Harganya dijual Rp25.000,- per porsinya.
Mau tahu cara memasaknya? Coba diperhatikan. Awalnya tentu saja daging dan tulang kaki lembu dibersihkan. Lalu jerang air hingga mendidih, setelah itu masukkan daging dan tulang sapi, masak hingga empuk. Lalu buang air rebusan daging dan kaki sapi tadi agar lemaknya tidak bercampur dan jerang lagi air sampai mendidih, lalu daging dan kaki lembu tadi dimasukkan ke jerangan air yang baru itu. Kemudian masukkan garam, cabe rawit hijau, penyedap rasa dan asam jawa. Setelah dagingnya tanak, sajikan panas-panas.
Kaledo bisa dinikmati bersama dengan nasi putih, singkong rebus atau jagung rebus. Tinggal pilih, sesuai selera. Ada banyak warung Kaledo di sepanjang perjalanan dari Palu ke Donggala. Memang tidak semua warung menyediakan makanan ini, karena penjual Kaledo tidak mau mencampurnya dengan makanan lain.
Dari arah Palu kita bisa menemukan warung Kaledo Abadi di Jalan Diponegoro, lalu warung Kaledo Stereo di depan Pantai Taman Ria. Lalu warung Kaledo Megaria di poros Jalan Palu-Donggala di Tumbelaka. Mendekati Kota Donggala, kita akan menemukan warung Kaledo Lolioge, ini dia yang Kaledonya paling yummi. Setidaknya begitu pengakuan banyak penggemarnya.
"Kalau saya rasakan, Kaledo di Lolioge itulah yang paling enak. Rasanya nikmat dan tidak ada lemak yang menempel di dagingnya," aku Junaidi Kariso, Manager Public Relation Prince John Dive Resort.
Cukupkan perjalanan kita menyusuri Kota Donggala dan pernak-perniknya? Jika belum, bisalah disambung lain waktu. Masih banyak keelokan Donggala yang kabarnya tidak tersiar ke luar daerah, seperti pemandian air panas Mantikole, pantai penyu hijau di Pasoso atau air terjun di Wera.
Kapan-kapan jika ada waktu berkunjunglah ke Donggala. Anda bisa pula menyaksikan keindahan alam pegunungan, pantainya dan aktivitas budaya warganya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar