Sabtu, 15 Desember 2012
Kerajaan Banawa (Donggala) di Sulawesi Tengah
Kerajaan Banawa adalah salah satu kerajaan Melayu yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kerajaan ini sering disebut Kerajaan Donggala Banawa karena lahir di wilayah Donggala. Kerajaan yang berdiri pada medio abad ke-15 Masehi ini terlahir berkat andil tokoh legendaris yang berpetualang dari tanah Bugis, yaitu Sawerigading. Sejak pertama kali didirikan, kerajaan ini mampu mempertahankan eksistensinya hingga era pascakemerdekaan Republik Indonesia. Saat ini, Banawa menjadi wilayah kecamatan yang merupakan ibukota dari Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.
1. Sejarah
Penduduk Donggala adalah percampuran dari berbagai ras dan suku bangsa, hasil persilangan ras Wedoid dan Negroid yang berkembang menjadi suku bangsa baru menyusul datangnya orang-orang Proto-Melayu pada tahun 3000 SM. Aroma Melayu semakin kental ketika pada era 300 SM kaum perantau yang berasal dari ras Deutro-Melayu juga menyambangi Donggala dan tempat-tempat di Sulawesi Tengah lainnya (www.sejarahbangsaindonesia.co.cc). Mayoritas penduduk Kerajaan Banawa adalah orang-orang dari Suku Kaili.
a. Cikal-Bakal Berdirinya Kerajaan Banawa
Pendahulu Kerajaan Banawa adalah suatu perabadan monarki milik Suku Kaili yang bernama Kerajaan Pudjananti atau yang sering juga disebut sebagai Kerajaan Banawa Lama. Kerajaan ini diperkirakan masih eksis pada abad ke-11 hingga 13 M, sezaman dengan Kerajaan Singasari yang dilanjutkan oleh Majapahit. Diperkirakan, Kerajaan Pudjananti mengalami masa kejayaan antara kurun tahun 1220 sampai 1485 M. Kerajaan Pudjananti menjadi salah satu dari tiga kerajaan tua yang terdapat di Sulawesi Tengah, yaitu Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi (Jamrin Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Versi legenda, diceritakan bahwa raja yang paling terkenal dalam riwayat Kerajaan Pudjananti bernama Raja Lian. Sang penguasa dikisahkan menikahi seorang wanita dipercaya datang dari alam gaib. Perkawinan ini membuahkan seorang anak perempuan bernama Gonenggati yang memberi Raja Lian tujuh orang cucu, masing-masing enam cucu laki-laki dan satu cucu perempuan. Keenam cucu laki-laki tersebut kemudian menyebar ke daerah-daerah lain, menikah dengan wanita setempat, dan menjadi penguasa di daerah-daerah baru tersebut (http://infokom-sulteng.go.id).
Sesuai namanya, pusat pemerintahan Kerajaan Pudjananti diduga kuat berlokasi di daerah yang bernama Pudjananti atau Ganti. Jarak Pudjananti tidak begitu jauh dari Donggala, yang kelak menjadi ibukota Kerajaan Banawa, hanya sekitar 2 kilometer. Pudjananti merupakan kawasan tua yang sudah lama berpenghuni (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Donggala sudah kesohor sebagai salah satu kota perdagangan yang ramai. Bahkan, Donggala merupakan kota pelabuhan tertua di Sulawesi Tengah (Agustan T. Syam, dalam http://portal.cbn.net.id). Kota pelabuhan ini oleh orang Eropa disebut dengan nama Banava, yang boleh jadi merupakan akar dari kata Banawa (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Ketenaran bandar niaga Donggala sempat disebutkan dalam lembaran naskah catatan perjalanan yang ditulis oleh pengelana dari negeri Cina. Seorang pedagang Eropa, bernama Antonio de Paiva, pada kurun tahun 1542-1543 bertolak ke Donggala dengan maksud untuk mencari kayu cendana. Pada saat itu, wilayah Banawa memang banyak ditumbuhi pohon cendana. Hal tersebut dikuatkan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Dr. Boorsman di mana ia menemukan batang-batang pohon cendana di pegunungan di sekitar Palu dan Donggala (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Penamaan Banawa sebagai kerajaan dimungkinkan juga terkait erat dengan nama kapal yang ditumpangi Sawerigading untuk mengarungi samudera, termasuk mengunjungi Ganti dan Donggala. Sawerigading adalah seorang pangeran dari Kerajaan Luwu Purba, putera dari Sang Raja Batara Lattu. Nama Sawerigading dikenal melalui cerita dan kisah dari epik sastra Bugis yang legendaris, yakni La Galigo (http://id.wikipedia.org).
Di suatu tempat yang tidak jauh dari Ganti dan Donggala, kapal yang ditumpangi rombongan Sawerigading terpaksa berlabuh karena mengalami sedikit kerusakan. Menurut kepercayaan masyarakat lokal di sana, tempat di mana Sawerigading menyangga bahteranya itu lantas dikenal dengan nama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis-Donggala berarti “galangan perahu” (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Langgalopi termasuk wilayah kekuasaan milik Kerajaan Pudjananti. Sawerigading kemudian memutuskan untuk mengunjungi kerajaan itu. Bukti bahwa rombongan Sawerigading pernah melalukan pelayaran sampai ke wilayah kekuasaan Kerajaan Pudjananti termaktub dalam Kitab Bahasa Bugis. Dalam kitab itu disebutkan bahwa salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananti (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Sawerigading sempat berkunjung ke Kerajaan Sigi di Teluk Kaili dan bermaksud menyunting Ratu Ngilinayo, pemimpin Kerajaan Sigi, untuk dijadikan istrinya. Akan tetapi, pernikahan itu tidak pernah terjadi karena terjadi gempa bumi pada saat pembicaraan pinang-meminang dilangsungkan sehingga rencana tersebut menjadi kacau-balau. Akibat bencana itulah, seperti yang diyakini dalam legenda, perairan Teluk Palu menjadi kering. Orang-orang yang semula berdomisili di pegunungan pun mulai turun dan mendirikan permukiman baru di lembah bekas laut itu serta beranak-pinak hingga sekarang (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Singkat cerita, dari hasil kunjungan ke Kerajaan Pudjananti itu muncul gagasan untuk menikahkan anak lelaki Sawerigading, yakni La Galigo, dengan puteri Kerajaan Pudjananti yang bernama Daeng Malino Karaeng Tompo Ri Pudjananti. Dari perkawinan itu, La Galigo dikarunai dua orang anak, masing-masing laki-laki dan perempuan. Cucu laki-laki Sawerigading diberi nama Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro, yang artinya “pergi menantang, menang, dan akhirnya semua menyembah kepadanya”. Sedangkan anak yang perempuan diberi nama Wettoi Tungki Daeng Tarenreng Masagalae Ri Pudjananti, yang bermakna “bintang tunggal yang diikuti semua orang” (Iin Ainar Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro dinikahkan dengan I Badan Tassa Batari Bana, puteri dari kakak Raja Bone. Setelah pernikahan itu, Sawerigading dan La Galigo mulai menggagas pendirian pemerintahan baru sebagai pengganti Kerajaan Pudjananti. Dibuatlah kesepakatan dari raja-raja yang menurunkan darah bangsawan murni kepada kedua mempelai menghadiahkan seluruh wilayah Kerajaan Pudjananti. Sejak saat itu, sebuah pemerintahan hasil afiliasi Bugis dan Kaili dengan nama baru, yaitu Kerajaan Banawa (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
b. Masa Awal dan Eksistensi Kerajaan Banawa
Kerajaan Banawa resmi berdiri di bawah kepemimpinan seorang ratu, yakni I Badan Tassa Batari Bana yang bertahta sejak tahun 1485 hingga 1552 M (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com). Penerus kepemimpinan I Badan Tassa Batari Bana juga seorang perempuan, bernama I Tassa Banawa. Ratu ke-2 Kerajaan Banawa ini memerintah sejak tahun 1552 sampai dengan 1650 M. Pada masa pemerintahan I Tassa Banawa, wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa semakin bertambah luas. Selain itu, kabinet I Tassa Banawa juga berhasil merumuskan tata cara atau sistem pemerintahan dan membentuk Dewan Adat Pittunggota atau semacam lembaga legislatif kerajaan (http://infokom-sulteng.go.id).
Masa pemerintahan I Tassa Banawa berakhir pada tahun 1650 M. Penerus I Tassa Banawa adalah cucu perempuannya, yaitu Puteri Intoraya. Ratu ke-3 Kerajaan Banawa ini menikah dengan dengan seorang lelaki bernama La Masanreseng Arung dari Cendana Mandar. Pernikahan pasangan ini dikaruniai empat orang anak, masing-masing dua laki-laki dan dua perempuan, yang diberi nama La Bugia, La Lotako, Puteri Nanggiwa, dan Puteri Nanggiana (Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pada era kepemimpinan Ratu Intoraya, pengaruh Islam mulai masuk ke wilayah Donggala. Penyebaran dan perkembangan ajaran Islam di lingkungan Kerajaan Banawa, dan juga di seluruh wilayah Sulawesi Tengah, pada medio abad ke-16 M itu dipelopori oleh kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan yang sudah terlebih dulu memeluk Islam. Pelopor syiar Islam di kawasan Sulawesi Tengah adalah orang-orang dari Kerajaan Bone dan Wajo (www.sejarahbangsaindonesia.co.cc).
Sejalan dengan itu, Ratu Intoraya pun menjadi penguasa Kerajaan Banawa pertama yang memeluk Islam. Tindakan yang dilakukan oleh Ratu Intoraya dan segenap keluarga Kerajaan Banawa itu membuat sebagian besar rakyat juga turut berbondong-bondong masuk Islam.
Tidak cuma masuknya ajaran Islam saja yang mewarnai dinamika kehidupan Kerajaan Banawa pada masa pemerintahan Ratu Intoraya, melainkan juga pengaruh bangsa-bangsa asing yang datang dari Eropa. Portugis adalah wakil dari kaum Barat pertama yang memasuki wilayah ini, kemudian disusul oleh Spanyol dan Belanda lewat kongsi niaganya yakni Vereniging Oost-indische Compagine (VOC). Namun dalam perkembangan selanjutnya, peta kekuatan di kawasan tersebut berada dalam dominasi pengaruh kompeni Belanda.
Memasuki tahun ke-19 pemerintahan Ratu Intoraya, VOC sudah menjalin mitra niaga dengan sejumlah kerajaan di kawasan Sulawesi Tengah, termasuk dengan Kerajaan Banawa, dan kerajaan-kerajaan Suku Kaili lainnya seperti Kerajaan Tawaeli, Palu, Loli, dan Sigi. VOC mengadakan kontrak penambangan emas dengan masing-masing penguasa kerajaan tersebut (http://infokom-sulteng.go.id).
Belanda menawarkan kepada raja-raja lokal yang bersemayam di wilayah itu untuk pemberian bantuan dalam bidang penanggulangan keamanan. Peluang Belanda terbuka kian lebar karena pada waktu itu wilayah Kerajaan Banawa dan kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Tengah sedang rawan kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan perompak dari wilayah Mindanao, Filipina, itu seringkali menganggu kawasan perairan di Selat Makassar (www.sejarahbangsaindonesia.co.cc).
Kaum kompeni kian mendapat angin dengan diizinkannya membangun benteng atau loji. Pemerintahan Ratu Intoraya sebagai orang nomor satu di Kerajaan Banawa berakhir pada tahun 1698 M. Putra sulung Ratu Inoraya, yakni La Bugia, naik ke puncak kekuasaan tertinggi kerajaan. Dengan demikian, La Bugia adalah laki-laki pertama yang menempati singgasana Kerajaan Banawa di mana tiga penguasa sebelumnya adalah perempuan. Setelah ditabalkan sebagai raja, La Bugia menyandang gelar kehormatan sebagai La Bugia Pue Uva (Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pada era kepemimpinan Raja La Bugia Pue Uva, kemakmuran warga masyarakat Kerajaan Banawa semakin maju. Bandar niaga Donggala semakin mendapat perhatian dari berbagai kalangan sebagai salah satu sentra jaringan perniagaan di nusantara. Bahkan, saking kondangnya citra Donggala, pada masa pemerintahan Raja La Bugia Pue Uva ini datang gangguan dari bangsa Portugis yang berambisi untuk merebut pelabuhan dagang Donggala sehingga terjadi pertempuran melawan pihak Kerajaan Banawa. Dalam peperangan laut ini, Raja La Bugia Pue Uva berhasil mempertahankan Donggala dari ancaman Portugis (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Periode pemerintahan Raja La Bugia Pue Uva usai pada tahun 1758 M. Sebagai anak pertama, Puteri I Sabida adalah orang yang paling berhak untuk meneruskan tahta ayahandanya. Dengan demikian, Kerajaan Banawa kembali dipimpin oleh seorang perempuan. Ratu I Sabida mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang pejabat kerajaan yang bernama Madika Matua Banawa. Pernikahan ini membuahkan tiga orang putera dan seorang puteri, masing-masing bernama La Bunia, Kalaya, Lauju, dan Puteri I Sandudongie.
Sosok Ratu I Sabida digambarkan sebagai tokoh wanita yang pemberani dan sakti mandraguna. Ia memimpin dengan penuh wibawa, tegas, disegani oleh kawan maupun lawan, dan berhasil membawa Kerajaan Banawa menjadi peradaban yang sejahtera. Selain itu, Ratu I Sabida juga membuka ruang interaksi dengan kaum pedagang asing yang singgah di pelabuhan Donggala dan yang menetap untuk sementara di wilayah Kerajaan Banawa. Pada masa ini, mulai diperkenalkan cara merajut tenun sutra, yang kini dikenal sebagai kain tenun Donggala, oleh para saudagar dari Gujarat (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Dalam urusan pewarisan tahta, Ratu I Sabida tampaknya cenderung memilih Puteri I Sandudongie sebagai calon penerusnya kendati ketiga anaknya yang lain adalah laki-laki, termasuk anak yang paling sulung. Setelah Ratu I Sabida meninggal dunia, puteri bungsunya itulah yang diangkat sebagai pelanjut tahta Kerajaan Banawa. I Sandudongie naik jabatan sebagai ratu pada tahun 1800. Raja perempuan terakhir dalam sejarah Kerajaan Banawa ini menikah dengan Magau Lando Dolo dan memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama La Sa Banawa (Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pada masa kuasa Ratu Kerajaan Banawa yang ke-6 ini, Belanda juga berhasil memaksa Ratu I Sandudongie untuk menandatangani sejumlah kesepakatan yang tentu saja merugikan pihak Kerajaan Banawa. Kontrak perjanjian yang disodorkan oleh Belanda kepada Ratu I Sandudongie pada tahun 1824, misalnya, memuat isi yang pada intinya semakin menguatkan dominasi Belanda dalam monopoli perdagangan di Donggala. Salah satu keuntungan istimewa yang diperoleh Belanda dengan kontrak tersebut adalah bahwa Belanda diperbolehkan mendirikan Kantor Bea dan Cukai (Doane), beserta macam-macam fasilitas, dengan dalih memperlancar kegiatan ekonominya (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Setelah menjadi ratu selama 45 tahun, Ratu I Sandudongie wafat pada tahun 1845. Putera semata wayangnya, La Sa Banawa, ditetapkan selaku pemimpin Kerajaan Banawa yang berikutnya. Setelah ditahbiskan menjadi raja, La Sa Banawa memperoleh nama kehormatan La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera dan menyandang gelar adat Mpue Mputi. Penguasa ke-7 Kerajaan Banawa ini mengawini I Palusia dan dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama I Tolare dan La Marauna (Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Di era kepemimpinan Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera, meski masih berada di bawah bayang-bayang pengaruh Belanda, populeritas Donggala kian menjulang. Donggala tidak hanya sebagai kota pelabuhan saja, tetapi juga sebagai kota pelajar, kota perdagangan, kota pemerintahan, kota perjuangan, dan kota budaya yang sering menjadi rujukan dan didatangi oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia. Josep Condrad, pengelana sekaligus penulis berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan yang dilakoninya. Selama masa kunjungan ke Kerajaan Banawa sejak tahun 1858, Condrad menjalin persahabatan yang erat dengan Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Kepala pemerintahan Kerajaan Banawa yang berikutnya adalah La Makagili yang tidak lain adalah cucu dari Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera. Penguasa Kerajaan Banawa yang ke-8 ini menduduki puncak singgasana sejak tahun 1888 dengan gelar La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu dan dikenal sebagai sosok pemimpin yang paling berani dan gigih melawan penjajah Belanda.
Tepat pada tanggal 23 Juli 1893, pusat pemerintahan Kerajaan Banawa yang selama ini berlokasi di Pudjananti alias Ganti dipindahkan ke Donggala. Penetapan Donggala sebagai ibukota Kerajaan Banawa ini bertahan hingga Kerajaan Banawa bersatu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sementara itu, tahta Raja La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu berakhir pada permulaan abad ke-20, tepatnya pada tahun 1902 (Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com)
c. Kerajaan Banawa pada Era Kemerdekaan RI
Memasuki abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin kuat menancapkan pengaruhnya terhadap kerajaan-kerajaan yang terdapat di Sulawesi Tengah, tidak terkecuali Kerajaan Banawa. Kerajaan-kerajaan lokal tersebut telah diikat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan berbagai macam kontrak politik dan ekonomi (http://infokom-sulteng.go.id). Pada periode tahun 1902 hingga 1926, pemimpin Kerajaan Banawa adalah La Marauna dengan gelar La Marauna Pue Totua dan mendapat julukan kehormatan sebagai Mpue Totua (Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pengemban estafet kepemimpinan Kerajaan Banawa yang ke-10 ialah Raja La Gaga Pue Tanamea yang bertahta sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 1932. Raja La Gaga Pue Tanamea adalah anak dari kakak kandung Raja La Marauna Pue Totua yang telah menjabat sebelumnya. Setelah Raja La Marauna Pue Totua mangkat, yang diangkat sebagai penggantinya adalah putera keempat almarhum raja, bernama La Ruhana Lamarauna. Pada masa pemerintahan Raja Banawa ke-11 ini, terjadi pertempuran sengit antara Belanda dengan Jepang yang mendarat di wilayah Sulawesi Tengah pada tanggal 15 Mei 1942. Akhirnya, Jepang berhasil mengambil-alih penguasaan wilayah Kerajaan Banawa (www.sejarahbangsaindonesia.co.cc).
Raja La Ruhana Lamarauna harus menjalankan pemerintahannya dengan waspada dan berhati-hati selama era penjajahan Jepang. Pada masa ini, Kerajaan Banawa nyaris tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan secara politik lagi dan hanya sekadar menjalani kehidupan sembari menunggu terjadinya perubahan. Harapan itu terwujud ketika pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Raja La Ruhana Lamarauna pun leluasa dapat menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Banawa hingga tutup usia pada tahun 1947 (Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pemangku tahta Kerajaan Banawa yang selanjutnya adalah putera bungsu Raja La Ruhana Lamarauna, bernama La Parenrengi Lamarauna. Selain sebagai pemangku tahta, Raja Banawa ke-12 ini juga berkecimpung di ranah perpolitikan nasional dengan merangkap jabatan sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) yang pertama di Sulawesi Tengah. Suami dari Hajja Sania Tombolotutu ini merupakan raja terakhir Kerajaan Banawa dan memungkasi riwayat hidupnya pada tahun 1986. Raja La Ruhana Lamarauna menghembuskan nafas terakhirnya di Palu (Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Raja La Parenrengi Lamarauna disebut sebagai raja terakhir Kerajaan Banawa karena sejak tanggal 12 Agustus 1952, Donggala ditetapkan sebagai salah satu dari dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, selain Kabupaten Poso (Edi Wicaksono, dalam http://ediwicak.blogspot.com). Status daerah Banawa pun dialihkan menjadi kecamatan dan ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Donggala. Sejak saat itu, kehidupan Banawa selaku pemerintahan kerajaan dinyatakan usai.
2. Silsilah
I Badan Tassa Batari Bana (1485-1552 M).
I Tassa Banawa (1552-1650 M).
I Toraya (1650-1698M).
La Bugia Pue Uva (1698-1758 M).
I Sabida (1758-1800).
I Sandudongie (1800-1845).
La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888).
La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu (1888-1902).
La Marauna Pue Totua (1902-1926).
La Gaga Pue Tanamea (1926-1932).
La Ruhana Lamarauna (1932-1947).
La Parenrengi Lamarauna (1947-1959)
(Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com; Lawide, http://iinainarlawide.blogspot.com).
3. Sistem Pemerintahan
Kerajaan Banawa mengadopsi sistem pemerintahan yang telah diberlakukan dalam tata cara pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Kemiripan pola pengaturan kehidupan di Kerajaan Banawa dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan tersebut terlihat dari bentuk bangunan dan pemakaian gelar kehormatan untuk bangsawan.
Bangunan adat khas Kerajaan Banawa dikenal dengan sebutan baruga yang merupakan lambang kewibawaan dan kekuasaan kerajaan (Marahalim Siagian, dalam www.masagala.co.cc). Sedangkan gelar-gelar kehormatan kerajaan yang dianugerahkan kepada para bangsawan di Kerajaan Banawa juga nyaris persis dengan gelar bangsawan di Sulawesi Selatan, sebut saja pemakaian gelar yang berawalan La, Daeng, Andi, dan sebagainya.
Di samping itu, format dan struktur pemerintahan yang dijalankan di Kerajaan Banawa juga memakai gaya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yakni dengan menganut sistem Pitunggota. Pitunggota adalah suatu susunan pemerintahan kerajaan dan lembaga legislatif yang dipimpin oleh seorang Baligau. Keanggotaan Pitunggota terdiri dari tujuh pejabat tinggi kerajaan, termasuk menteri dan pejabat daerah, yaitu antara lain Madika Malolo, Madika Matua, Ponggawa, Tadulako, Galara, Pabicara, dan Sabandara (http://linosidiru.blog.friendster.com).
Madika Malolo adalah sebutan untuk raja muda sebagai wakil dari Raja Banawa dalam mengurusi persoalan-persoalan tertentu. Pengangkatan Madika Malolo dilakukan langsung secara adat oleh raja dan harus mendapat restu dari dewan kerajaan. Madika Matua merupakan jabatan perdana menteri yang merangkap sebagai pejabat urusan luar negeri dan ekonomi. Seorang Madika Matua diangkat dan diberhentikan oleh raja atas persetujuan Baligau. Anggota Pitunggota lainnya yakni Ponggawa atau menteri dalam negeri, Tadulako atau menteri pertahanan dan keamanan, Galara atau menteri kehakiman, Pabicara atau menteri penerangan, dan Sabandara alias menteri perhubungan kelautan (http://infokom-sulteng.go.id).
Tata cara pemerintahan di Kerajaan Banawa juga terdapat dua lembaga tinggi, yakni Libu Nu Maradika (semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Libu Nto Deya (semacam Dewan Permusyawaratan Rakyat). Tugas Libu Nu Maradika adalah mengesahkan penobatan raja terpilih. Sedangkan Libu Nto Deya ialah dewan yang mewakili tujuh penjuru wilayah atau Kota Pitunggota. Bentuk Kota Pitunggota ditetapkan berdasarkan luas wilayah kerajaan yang memiliki perwakilan Soki (kampung). Selain itu, dalam tradisi Kerajaan Banawa dikenal tingkat penggolongan strata sosial masyarakat, antara lain yaitu Madika/Maradika (kaum raja dan bangsawan), Totua Nungata (keturunan tokoh-tokoh masyarakat), To Dea (rakyat biasa), dan Batua yang merupakan kasta hamba atau budak (http://id.wikipedia.org).
4. Wilayah Kekuasaan
Sejak era pemerintahan Raja La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888) hingga Raja La Ruhana Lamarauna (1932-1947), Kerajaan Banawa memiliki luas wilayah sekitar 460.000 hektare yang terbagi atas tiga daerah. Pertama adalah kawasan Banawa Selatan yang memiliki area wilayah dari Loli Watusampu sampai Surumana yang berbatasan dengan daerah Mamuju. Berikutnya adalah kawasan Banawa Tengah yang membentang dari Pantoloan sampai Sindue. Bagian ketiga adalah kawasan Banawa Utara dengan cakupan daerah yang terhampar dari Balaesang hingga Dampelas Sojol, termasuk Pulau Pasoso dan Pangalasing (Lawide, http://iinainarlawide.blogspot.com).
Daerah-daerah yang dahulu termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa pada masa sekarang menjadi desa-desa yang bernaung di wilayah administratif Kecamatan Banawa. Daerah-daerah itu meliputi Ganti, Bambarimi, Boneoge, Boya, Gunling Bale, Kabonga Besar, Kabonga Kecil, Kola-Kola, Labuanbajo, Lalombi, Limboro, Lolioge, Lolitasiburi, Lumbudolo, Lumbumarara, Maleni, Mbuwu, Powelliwa, Salengkaenu, Salubomba, Salumpaku, Surlimana, Tanahmea, Tanjung Batu, Tolongano, Tosale, Towale, dan Watatu (http://id.wikipedia.org).
(Iswara N. Raditya/Ker/021/10-2010)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar