Jumat, 12 Oktober 2012
Kearifan Lokal Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Palu, Sulawesi Tengah, dalam Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Oleh Taswirul Afiyatin Widjaya, dkk.
Pendahuluan
Secara ekologis Sulawesi Tengah memiliki bentang alam yang rentan bencana banjir dan erosi. Hampir 52% wilayah Sulawesi Tengah memiliki tingkat kemiringan di atas 40%, kondisi topografi daratan didominasi pegunungan dengan kontur lipatan bumi yang rumit serta lereng-lereng yang curam. Selain itu, wilayah ini memiliki tingkat curah hujan yang tinggi mencapai 800-3000 mm pertahun (April-September), serta 22 sungai besar dan sedang yang mengalir dari lipatan bumi (Yayasan Merah Putih, 2002). Namun, di antara kondisi alam yang seperti ini, hidup masyarakat adat yang mampu beradaptasi dan menjaga kelestarian ekosistem hutan. Mereka memiliki kearifan tradisional yang konservatif terhadap lingkungan hidup. Kearifan tradisional ini dapat dilihat pada masyarakat adat Ngata Toro, masyarakat adat Mataue, dan masyarakat adat Dataran Lindu, yang tinggal di dalam atau berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Kearifan tradisional adalah pengetahuan secara turun-temurun yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungan yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan (Purnomohadi, 1985). Bagi masyarakat adat, kearifan tradisional merupakan peraturan yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi. Kepatuhan ini ada karena kearifan tradisional berakar kuat dalam kebudayaan mereka dan mendarah daging dalam keseharian hidup mereka.
Masyarakat lokal yang hidup seimbang berdampingan dengan alam memiliki pengetahuan yang diwariskan turun-temurun tentang bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa merusak alam. Hal ini didukung oleh pendapat Nygrin (1999) dalam Shohibuddin “A Local Community Who Lives in Ecological Balance with Nature, is Regarded as an Environmental Expert and The Keeper of The Wisdom of an Equitable and Sustainable Traditional Resource Management System”. Berdasarkan hal itu, apakah masyarakat adat Toro, Mataue, dan Dataran Lindu memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan sumber daya alam? Bagaimanakah kearifan lokal yang ada?
Kearifan Lokal Masyarakat Toro
Toro terletak sekitar 120°1` BT - 120°3`30” BT dan 1°29`30” LS - 1°32` LS, dengan luas wilayah 229,5 km2 (22.950 ha) dan ketinggian rata-rata 800 m di atas permukaan laut (dpl). Toro berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah, Masyarakatnya dikenal sebagai komunitas yang memiliki pranata sosial dan kelembagaan adat yang sangat kuat. Struktur masyarakatnya telah teratur sejak zaman nenek moyang mereka. Masyarakat Toro memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur segala bentuk kehidupan mereka, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahannya ada tiga unsur yang sama tinggi, yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata. Ketiganya memiliki fungsi masing-masing tapi tidak berjalan sendiri-sendiri (Andrian, 2006).
Totua Ngata adalah dewan para totua kampung yang menjalankan kepemimpinan kolektif atas seganap urusan pemerintahan desa. Maradika adalah keturunan bangsawan yang dipilh oleh Totua Ngata dan berperan sebagai kepala suku dari masyarakat bersangkutan. Sedangkan Tina Ngata adalah ibu bagi masyarakat yang terbentuk atas dasar pengakuan masyarakat. Tina Ngata terbentuk karena peran perempuan yang penting bagi masyarakat, yaitu sebagai penyimpan adat dan pemilik otoritas pengeloaan warisan orang tua (Golar, 2007).
Sebelum adanya TNLL, masyarakat Toro sudah membagi alam menjadi zona-zona tertentu, di antaranya adalah:
Wana Ngkiki, merupakan zona inti atau hutan primer, dimana pada daerah ini tidak boleh dilakukan aktifitas eksploitasi hutan. Zona ini terletak pada ketinggian 1000 mdpl dengan luas 2300 Ha, didominasi oleh rerumputan, lumut, dan perdu. Zona ini dianggap sebagai sumber udara segar sehingga keberadaannya dianggap sangat penting.
Wana, merupakan hutan primer yang merupakan habitat bagi hewan, dan tumbuhan langka. Selain itu juga merupakan zona tangkapan air.di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Zona ini dimanfaatkan untuk kegiatan mengambil getah dammar, wewangian, obat-obatan, dan rotan. Seluruh sumber daya di zona ini dikuasai secara kolektif. Kepemilikan pribadi hanya berlaku pada pohon damar yang diberikan kepada orang yang pertama kali mengambil dan mengolah getah damar itu. Kawasan wana merupakan hutan yang terluas di wilayah adat Ngata Toro dengan luas 11.290 Ha.
Pangale, merupakan hutan bekas tebang (5-15 tahun yang lalu) yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat. Zona Pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bangunan dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian. Kesemuanya harus berdasarkan izin dari lembaga adat atau pemerintah desa terlebih dahulu. Luas zona ini adalah 2950 Ha.
Pahawa Pongko, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun ke atas, yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat.
Oma, merupakan hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem peladangan bergilir. Di zona ini hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.
Pongata, merupakan wilayah pemukiman masyarakat, biasanya berada pada dataran yang lebih rendah.
Polidae, merupakan lahan usaha pertanian masyarakat, berupa sawah dan lahan pertanian kering.
Berdasarkan zona-zona tersebut masyarakat Toro membentuk sistem pengolahan tanah bergilir. Lahan hutan yang telah di buka disebut popangalea, orang yang membukanya pertama kali memiliki hak kepe milikan lahan. Lahan terbuka yang produktif disebut bone. Setelah beberapa kali masa tanam, kesuburan tanah akan menurun seiring dengan menurunnya nutrisi yang terkandung di dalam tanah, tanah jenis ini disebut balingkea. Apabila memungkinkan balingkea ditanami lagi untuk satu atau beberapa kali masa tanam (mobalingkea). Balingkea yang tidak ditanami lagi, dan ditinggalkan (1-25 tahun) untuk mengembalikan kesuburan tanah disebut Oma.
Selain itu, adat Toro juga melarang adanya perburuan terhadap Anoa (Anoa Quarlesi dan Anoa Deoressicornis), Babirusa (Babyrousa Babyrusa), Enggang (Alo/rangkong) (Rhyticeros Cassidix), Maleo (Macrochepalon Maleo). Hal ini dikarenakan Anoa merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya boleh dimakan dalam upacara adat, Babirusa dilindungi karena bentuk fisiknya yang unik, Enggang dilindungi karena warnanya yang indah, sementara Maleo dilindungi karena telurnya yang unik.
Kearifan lokal masyarakat Toro dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat terlihat dari kegiatan seperti dibawah ini:
Pembukaan Lahan.
Dalam aturan masyarakat adat Toro, lahan yang dapat dibuka adalah oma, terutama Oma Ngura (telah ditinggalkan 3-5 tahun), dan Oma Ntua (telah ditinggalkan 5-25 tahun) sedangkan lahan yang tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun adalah Pangale. Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA (Lembaga Masyarakat Adat) disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan dan luasan yang dibutuhkan. Setelah izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat ”Mohamele manu bula”.
Pengambilan Kayu.
Izin pengambilan kayu dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu untuk bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal. setelah mendapatkan izin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat ”Mowurera pu kau”. Selain itu perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang berdiameter minimal 60 cm, dan tidak melakukan penebangan di daerah Taolo, yaitu lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di tempat yang rawan longsor dan erosi.
Pemanenan Rotan (Calamus sp).
Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra ombo). Selain itu, terdapat larangan untuk menarik rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir.
Masyarakat Toro hingga kini masih menjalankan tradisinya. Perusak hutan dan pemburu hewan yang dilindungi akan dikenakan hukum adat. Pada mulanya, hukuman adat yang diberikan berupa satu kerbau, satu kain besa, dan 10 dulang. Namun saat ini hukuman yang diberikan berupa denda uang disesuaikan dengan kesalahan yang ada. Dari keseluruhan kondisi hutan Lore Lindu, hutan di Toro termasuk hutan yang paling terlindungi. Perekonomian masyarakat Toro dapat berkembang tanpa harus merusak hutan ataupun alam. Kehidupan masyarakat Toro yang selaras dengan alam dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas.
Kearifan Lokal Masyarakat Dataran Lindu
Enclave Lindu merupakan kawasan pemukiman yang terletak di dalam kawasan TNLL. Enclave Lindu yang terdiri dari empat desa, yaitu Puroo, Langko, Tomado, dan Anca, sering disebut sebagai dataran Lindu masih termasuk ke dalam Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Masyarakat dataran Lindu menyakini sebagai satu rumpun adat (etnik Lindu) yang mempunyai aturan terhadap lingkungan dataran kehidupannya. Seperti halnya dengan masyarakat Ngata Toro, masyarakat dataran Lindu telah membagi kawasan hutan di sekitar mereka ke dalam suaka-suaka/kawasan-kawasan, di antaranya adalah:
Suaka Maradika, merupakan zona inti hutan yang tidak diperbolehkan adanya eksploitasi.
Suaka Todea, merupakan zona hutan pemanfaatan, boleh dilakukan kegiatan pemanfaatan berdasarkan peraturan adat.
Suaka Tontonga, merupakan zona rimba yang pemanfaatannya sangat terbatas.
Suaka Lambara, merupakan daerah penggembalaan.
Suaka Parabata, merupakan zona khusus untuk pemanfaatan danau Lindu yaitu pengkaplingan pada lokasi ikan di tepi danau Lindu.
Selain dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat adat Dataran Lindu pun memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya perairan. Masyarakat adat Dataran Lindu memberlakukan pelarangan (ombo) apabila ada salah satu tokoh masyarakat yang meningal dunia. Kearifan lokal ini harus tetap dilestarikan untuk mendukung upaya pengelolaan TNLL dalam menjaga dan melindungi kawasan agar tetap lestari dan berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu penguatan kelembagaan adat sangat penting untuk menjaga kearifan lokal masyarakat tetap eksis, sehingga dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap perubahan hutan.
Kearifan Lokal Masyarakat Mataue
Desa Mataue berbatasan langsung dengan kawasan TNLL, terletak di wilayah Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Mayoritas masyarakat desa Mataue berasal dari suku Kaili, yang merupakan suku asli Sulawesi Tengah. Desa ini memiliki potensi air yang sangat besar untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat baik untuk konsumsi rumah tangga, maupun irigasi. Sumber daya air yang ada di Mataue dimanfaatkan oleh masyarakat di empat desa, yaitu Desa Mataue, Desa Bolapapu, Desa Boladangko, dan Desa Sungku.
Masyarakat Desa Mataue memiliki kearifan lokal yang unik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air. Dalam hal pengelolaan sumber daya air masyarakat desa pengguna mempercayakannya kepada tokoh adat Desa Mataue yang merupakan desa terdekat dengan sumber mata air. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan adalah kegiatan monitoring ke areal hulu yang hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Mataue. Selain itu dalam pengelolaan lahan pertanian yang berada di sepanjang aliran air tidak diperkenankan mengunakan pupuk kimia dan pestisida.
Bentuk partisipasi masyarakat desa sekitar Mataue yang memanfaatkan sumber daya air adalah dengan membayar sejumlah uang kepada pemerintahan Desa Mataue sebagai petugas pengelola. Untuk pemungutan jasa retribusi air sendiri pemerintahan Desa Mataue menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintahan desa masing-masing. Berdasarkan kesepakatan masing-masing desa, masyarakat yang konsumsi air untuk kebutuhan rumah tangga dikenakan biaya sebesar Rp 2000,-/bulan, sedangkan untuk irigasi sawah dikenakan biaya sebesar 1-1,5 blek gabah ketika masa panen.
Kearifan lokal lain yang terlihat adalah dalam hal pemanfaatan kulit kayu pohon beringin sebagai bahan baju adat (kain fuya). Untuk mendapatkan kulit kayu masyarakat tidak diperbolehkan menebang pohon beringin. Perubahan Lingkungan dan Respon Masyarakat Adat, Contoh Kasus Masyarakat Adat Toro Perubahan lingkungan yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal menimbulkan respon dari masyarakat yang berimplikasi terhadap kestabilan sumber daya alam. Pada contoh kasus masyarakat Toro, faktor-faktor tersebut adalah intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik menyangkut ketidakseimbangan hak penguasaan lahan.
Intervensi ekonomi pasar berdampak pada perubahan intensitas pemanfaatan lahan di Toro. Permintaan pasar yang tinggi terhadap tanaman komersil seperti kakao, kopi, dan vanila berpengaruh terhadap preferensi ekonomi masyarakat yang berdampak pada konversi lahan unuk ditanami dengan tanaman komersil. Dinamika politik masyarakat Toro diwarnai oleh ketidakseimbangan hak penguasaan akan lahan. Ditetapkannya 80% wilayah Toro sebagai bagian TNLL (sesuai SK. Menteri Kehutanan No.593/Kpts-II/1993) berimplikasi pada melemahnya kontrol lembaga adat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Faktor-faktor di atas membuat masyarakat merespon dengan melakukan revitalisasi kelembagaan adat sebagai penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan. Gerakan revitalisasi di Toro diwarnai dengan pendokumentasian sejumlah pengetahuan lokal, sistem nilai, norma sosial, dan hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Gerakan revitalisasi terus berlanjut hingga pembuatan peta partisipatif yang menggambarkan lokasi, batas-batas kawasan serta hak kepemilikan (bersama atau pribadi) dan restrukturisasi lembaga pemerintahan Desa Toro.
Implikasi Kearifan Lokal Adat bagi Zonasi Taman Nasional Lore Lindu
Dalam Undang-Undang No. 5 tahun1990 (tentang KSDAH dan Ekosistemnya terutama yang berkaitan dengan sistem zoning taman nasional) taman nasional terbagi ke dalam zona-zona sebagai berikut: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona pemanfaatan intensif (non budidaya), dan zona rehabilitasi. Berdasarkan konsep ini, maka zona-zona di atas diatur sedemikian rupa secara konsentris dengan bagian tengah zona inti. Pembagian zona bersifat eksklusif (tidak mengenal wilayah enclave di dalam kawasan taman nasional).
Sementara itu, pada dasarnya, sistem zonasi pada kearifan lokal dapat digunakan sebagai pendekatan untuk sistem zonasi taman nasional. Berdasarkan pendekatan ini zonasi tidak bersifat konsentris tetapi menyebar tergantung pada wilayah adat yang ada, serta bersifat inklusif (mengenal adanya wilayah enclave dalam kawasan taman nasional).
Kesimpulan
Masyarakat adat Desa Toro, Desa Mataue dan Dataran Lindu yang hidup di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu merupakan masyarakat lokal yang telah memiliki kearifan tradisional warisan nenek moyang mereka dalam mengelola lanskap hutan dan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar tempat tinggal mereka. Kearifan masyarakat lokal ini telah ada sebelum ditetapkannya kawasan ini menjadi taman nasional.
Perubahan lingkungan adalah tantangan yang dapat melunturkan nilai-nilai kearifan tradisional yang berimplikasi negatif pada kestabilan sumber daya alam. Respon masyarakat Toro dalam mengatasi krisis perubahan lingkungan, yaitu dengan revitalisasi kelembagaan desa dapat menjadi contoh bagi masyarakat adat lain. Kearifan lokal masyarakat adat berimplikasi terhadap zonasi TNLL. Zonasi tradisional digunakan sebagai pendekatan pada zonasi TNLL. Berdasarkan pendekatan ini zonasi tidak bersifat konsentris tetapi menyebar dan inklusif.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar