Jumat, 12 Oktober 2012
Amphibians - Sulawesi Tengah;Taman Nasional Lore Lindu
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap keanekaragaman fauna Amphibia yang hidup di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Lokasi penelitian adalah Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Tepatnya di Seksi Wilayah Konservasi Kulawi. Kegiatan di lapangan adalah mengumpulkan spesimen amphibia yang dilakukan pada malam hari. Untuk dapat mengamati amphibia dengan jelas digunakan alat bantu senter besar. Hewan yang terlihat ditangkap dengan tangan dan disimpan dalam kantong kain. Contoh hewan dibius dengan chloroform kemudian disuntik dengan larutan formalin 10% melalui rongga perut. Spesimen kemudian diawetkan dalam stoples spesimen yang diisi larutan formalin 10%. Namun demikian sebelum diawetkan, spesimen terlebih dulu dipotret dengan kamera digital. Spesimen yang diperoleh dari lapangan diidentifikasi dengan buku acuan Menzies (1975), Iskandar (1998) dan Berry (1 975). Setelah itu diproses menjadi spesimen koleksi mengikuti prosedur Suhardjono (1999), yaitu spesimen amphibia direndam dalam air dengan perbandingan volume 1:10 selama 1-2 hari sampai bau formalin hilang. Setelah perendaman sehari, air diganti dengan yang baru. Selanjutnya spesimen dishpan dalam botol koleksi dan diisi dengan larutan alkohol70%. Dari hasil kegiatan koleksi specimen di kawasan Taman Nasional Lore Lindu diperoleh 5 spesies amphibian. Ke lima spesies yang ditemukan tersebut adalah: Bufo melanosticfus, Bufo celebensis, Fejervarya cancrivora, Rana (Hylarana) eryfhraea, dan Kaloula baleata Muller.
Tempayan Purba Ditemukan di Lore Lindu
tempayan purba berhasil ditemukan tim peneliti Puslitbang Arkenas di Taman Nasional Lore Lindu tepatnya di Lembah Bada, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Hasil penemuan penelitian tahun 2010 ini diberi label Komplek Situs Tempayan Kolori dan Mungku Ilu.
Selain tempayan purba dari tanah liat yang diperkirakan sebagai tempayan kubur, penelitian bertajuk Megalitik Lembah Bada ini berhasil menemukan beberapa arca megalitik dan kalamba (stones vats) yang mempunyai kemiripan dengan arca-arca megalitik yang ada di Laos.
“Kalamba bentuknya memang seperti tempat air padahal dulunya digunakan untuk menempatkan tulang-belulang orang mati. Ukuran kalamba bermacam-macam. Satu kalamba ada yang berkapasitas untuk 1 sampai dengan 12 orang. Tutup kalamba ada yang berhias dengan motif hewan seperti monyet, binatang melata, dan juga muka manusia. Ada juga yang polos, tidak bermotif,” kata Dwi Yani Yuniwanti, ketua tim peneliti Megalitik di Lembah Bada dari Puslitbang Arkenas di Jakarta beberapa waktu lalu.
Puslitbang Arkenas baru kali ini mengadakan penelitian lagi di Lore Lindu khususnya di Lemba Bada. “Pertama kali meneliti tahun 1995 di Lemba Lore. Setelah itu tidak ada penelitian karena daerah tersebut ketika itu masih ada konflik Poso,” jelas Dwi.
Terkait tentang pemberian label pada sejumlah situs di Lore Lindu yang menuai kritikan, Dwi menjelaskan itu memang pernah terjadi dan kesalahan dalam pemberian label. “Ketika itu ukuran label terlalu besar di situsnya hingga dikritik terutama oleh fotografer bukan ahli arkeologi. Tapi kini label itu sudah terhapus. Ada juga yang diberi tapi dalam ukuran kecil. Tapi saya akui itu tetap kesalahan,” akunya.
Untuk penelitian kali ini, pengumpulan data arkeologisnya melalui survei dan ekskavasi di situs-situs terpilih di kawasan Lembah Bada yakni Situs Kolori dan Mungku Ilu.
Penelitian ini, lanjut Dwi diharapkan dapat memberikan sumbangan data mengenai karakter-karakter budaya penutur bahasa Austronesia-Protosejarah. Dan juga memberikan tambahan data terhadap peta dan jalur-jalur migrasi lanjutan (Austronesia-Protosejarah), dalam hubungannya dengan kebijakan pemerintah. ”Hasil penelitian ini akan menjadi masukan dalam upaya pelestarian lingkungan maupun pelestarian warisan budaya bangsa guna memberikan identitas jati diri bangsa,” ungkapnya.
Dari hasil penelitian ini Dwi berharap segera ada penanganan untuk pelestarian dan pengamanan Komplek Situs Tempayan Kolori dan Mungku Ilu. “Penelitian ini harus berkesinambungan dengan menentukan batas luasan situs, karakter situs, pertanggalan, dan untuk mengetahui hubungan dengan megalitik lainnya. Di samping untuk pengembangan museum situs (open site museum),” terangnya.
Lembah Bada, Besoa, dan Lembah Napu di TN Lore Lindu kaya akan peninggalan megalitik. “Ketiga lembah tersebut dulu pernah diusulkan menjadi salah satu world heritage ke UNESCO. Namun entah kenapa sekarang tidak diusulkan lagi,” kata Dwi dengan nada menyayangkan.
ANALISIS VEGETASI HUTAN DI DESA SALUA DAN KADUWAA TAMAN NASIONAL LORE LINDU, SULAWESI TENGAH
Muhammad Mansur
Guna mengetahui struktur dan komposisi vegetasi hutan di Taman Nasional
Lore Lindu Sulawesi Tengah telah di laksanakan pada bulan Mei 2002. Studi dilakukan di 2 lokasi yakni desa Salua (0,5 ha pada 550-640 m dpl.),
kabupaten Donggala, and desa Kaduwaa (0,5 ha pada 1100-1150 m dpl),
kabupaten Poso. Penelitian dengan “Quadrate-methode” ini mengungkapkan bahwa vegetasi hutan di Salua memiliki jumlah pohon, spesies, jenis dan famili lebih besar daripada di Kaduwaa; namun demikian kepadatan di Salua lebih rendah daripada di Kaduwaa. Vegetasi tersebut di Salua didominasi oleh Palaquium obtusifolium, Toona sureni, Pterospermum celebicum, dan Canarium hirsutum; sedangkan di Kaduwaa oleh Santiria laevigata, Ficus sp., Cryptocarya tomentosa, Semecarpus longifolia, dan Syzygium operculata. Selanjutnya penelitian ini mengungkapkan bahwa komposisi vegetasi pohon di Salua dan Kaduwaa adalah berbeda, tetapi memiliki struktur yang relative sama. Dan akhirnya diungkapkan bahwa komunitas tumbuhan di dua lokasi penelitian adalah berbeda (Indeks kesamaan Sorensen 19)
Kearifan Lokal Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Palu, Sulawesi Tengah, dalam Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Oleh Taswirul Afiyatin Widjaya, dkk.
Pendahuluan
Secara ekologis Sulawesi Tengah memiliki bentang alam yang rentan bencana banjir dan erosi. Hampir 52% wilayah Sulawesi Tengah memiliki tingkat kemiringan di atas 40%, kondisi topografi daratan didominasi pegunungan dengan kontur lipatan bumi yang rumit serta lereng-lereng yang curam. Selain itu, wilayah ini memiliki tingkat curah hujan yang tinggi mencapai 800-3000 mm pertahun (April-September), serta 22 sungai besar dan sedang yang mengalir dari lipatan bumi (Yayasan Merah Putih, 2002). Namun, di antara kondisi alam yang seperti ini, hidup masyarakat adat yang mampu beradaptasi dan menjaga kelestarian ekosistem hutan. Mereka memiliki kearifan tradisional yang konservatif terhadap lingkungan hidup. Kearifan tradisional ini dapat dilihat pada masyarakat adat Ngata Toro, masyarakat adat Mataue, dan masyarakat adat Dataran Lindu, yang tinggal di dalam atau berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Kearifan tradisional adalah pengetahuan secara turun-temurun yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungan yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan (Purnomohadi, 1985). Bagi masyarakat adat, kearifan tradisional merupakan peraturan yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi. Kepatuhan ini ada karena kearifan tradisional berakar kuat dalam kebudayaan mereka dan mendarah daging dalam keseharian hidup mereka.
Masyarakat lokal yang hidup seimbang berdampingan dengan alam memiliki pengetahuan yang diwariskan turun-temurun tentang bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa merusak alam. Hal ini didukung oleh pendapat Nygrin (1999) dalam Shohibuddin “A Local Community Who Lives in Ecological Balance with Nature, is Regarded as an Environmental Expert and The Keeper of The Wisdom of an Equitable and Sustainable Traditional Resource Management System”. Berdasarkan hal itu, apakah masyarakat adat Toro, Mataue, dan Dataran Lindu memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan hutan dan pemanfaatan sumber daya alam? Bagaimanakah kearifan lokal yang ada?
Kearifan Lokal Masyarakat Toro
Toro terletak sekitar 120°1` BT - 120°3`30” BT dan 1°29`30” LS - 1°32` LS, dengan luas wilayah 229,5 km2 (22.950 ha) dan ketinggian rata-rata 800 m di atas permukaan laut (dpl). Toro berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah, Masyarakatnya dikenal sebagai komunitas yang memiliki pranata sosial dan kelembagaan adat yang sangat kuat. Struktur masyarakatnya telah teratur sejak zaman nenek moyang mereka. Masyarakat Toro memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur segala bentuk kehidupan mereka, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahannya ada tiga unsur yang sama tinggi, yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata. Ketiganya memiliki fungsi masing-masing tapi tidak berjalan sendiri-sendiri (Andrian, 2006).
Totua Ngata adalah dewan para totua kampung yang menjalankan kepemimpinan kolektif atas seganap urusan pemerintahan desa. Maradika adalah keturunan bangsawan yang dipilh oleh Totua Ngata dan berperan sebagai kepala suku dari masyarakat bersangkutan. Sedangkan Tina Ngata adalah ibu bagi masyarakat yang terbentuk atas dasar pengakuan masyarakat. Tina Ngata terbentuk karena peran perempuan yang penting bagi masyarakat, yaitu sebagai penyimpan adat dan pemilik otoritas pengeloaan warisan orang tua (Golar, 2007).
Sebelum adanya TNLL, masyarakat Toro sudah membagi alam menjadi zona-zona tertentu, di antaranya adalah:
Wana Ngkiki, merupakan zona inti atau hutan primer, dimana pada daerah ini tidak boleh dilakukan aktifitas eksploitasi hutan. Zona ini terletak pada ketinggian 1000 mdpl dengan luas 2300 Ha, didominasi oleh rerumputan, lumut, dan perdu. Zona ini dianggap sebagai sumber udara segar sehingga keberadaannya dianggap sangat penting.
Wana, merupakan hutan primer yang merupakan habitat bagi hewan, dan tumbuhan langka. Selain itu juga merupakan zona tangkapan air.di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Zona ini dimanfaatkan untuk kegiatan mengambil getah dammar, wewangian, obat-obatan, dan rotan. Seluruh sumber daya di zona ini dikuasai secara kolektif. Kepemilikan pribadi hanya berlaku pada pohon damar yang diberikan kepada orang yang pertama kali mengambil dan mengolah getah damar itu. Kawasan wana merupakan hutan yang terluas di wilayah adat Ngata Toro dengan luas 11.290 Ha.
Pangale, merupakan hutan bekas tebang (5-15 tahun yang lalu) yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat. Zona Pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bangunan dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian. Kesemuanya harus berdasarkan izin dari lembaga adat atau pemerintah desa terlebih dahulu. Luas zona ini adalah 2950 Ha.
Pahawa Pongko, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun ke atas, yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat.
Oma, merupakan hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem peladangan bergilir. Di zona ini hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.
Pongata, merupakan wilayah pemukiman masyarakat, biasanya berada pada dataran yang lebih rendah.
Polidae, merupakan lahan usaha pertanian masyarakat, berupa sawah dan lahan pertanian kering.
Berdasarkan zona-zona tersebut masyarakat Toro membentuk sistem pengolahan tanah bergilir. Lahan hutan yang telah di buka disebut popangalea, orang yang membukanya pertama kali memiliki hak kepe milikan lahan. Lahan terbuka yang produktif disebut bone. Setelah beberapa kali masa tanam, kesuburan tanah akan menurun seiring dengan menurunnya nutrisi yang terkandung di dalam tanah, tanah jenis ini disebut balingkea. Apabila memungkinkan balingkea ditanami lagi untuk satu atau beberapa kali masa tanam (mobalingkea). Balingkea yang tidak ditanami lagi, dan ditinggalkan (1-25 tahun) untuk mengembalikan kesuburan tanah disebut Oma.
Selain itu, adat Toro juga melarang adanya perburuan terhadap Anoa (Anoa Quarlesi dan Anoa Deoressicornis), Babirusa (Babyrousa Babyrusa), Enggang (Alo/rangkong) (Rhyticeros Cassidix), Maleo (Macrochepalon Maleo). Hal ini dikarenakan Anoa merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya boleh dimakan dalam upacara adat, Babirusa dilindungi karena bentuk fisiknya yang unik, Enggang dilindungi karena warnanya yang indah, sementara Maleo dilindungi karena telurnya yang unik.
Kearifan lokal masyarakat Toro dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat terlihat dari kegiatan seperti dibawah ini:
Pembukaan Lahan.
Dalam aturan masyarakat adat Toro, lahan yang dapat dibuka adalah oma, terutama Oma Ngura (telah ditinggalkan 3-5 tahun), dan Oma Ntua (telah ditinggalkan 5-25 tahun) sedangkan lahan yang tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun adalah Pangale. Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA (Lembaga Masyarakat Adat) disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan dan luasan yang dibutuhkan. Setelah izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat ”Mohamele manu bula”.
Pengambilan Kayu.
Izin pengambilan kayu dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu untuk bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal. setelah mendapatkan izin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat ”Mowurera pu kau”. Selain itu perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang berdiameter minimal 60 cm, dan tidak melakukan penebangan di daerah Taolo, yaitu lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di tempat yang rawan longsor dan erosi.
Pemanenan Rotan (Calamus sp).
Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra ombo). Selain itu, terdapat larangan untuk menarik rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir.
Masyarakat Toro hingga kini masih menjalankan tradisinya. Perusak hutan dan pemburu hewan yang dilindungi akan dikenakan hukum adat. Pada mulanya, hukuman adat yang diberikan berupa satu kerbau, satu kain besa, dan 10 dulang. Namun saat ini hukuman yang diberikan berupa denda uang disesuaikan dengan kesalahan yang ada. Dari keseluruhan kondisi hutan Lore Lindu, hutan di Toro termasuk hutan yang paling terlindungi. Perekonomian masyarakat Toro dapat berkembang tanpa harus merusak hutan ataupun alam. Kehidupan masyarakat Toro yang selaras dengan alam dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas.
Kearifan Lokal Masyarakat Dataran Lindu
Enclave Lindu merupakan kawasan pemukiman yang terletak di dalam kawasan TNLL. Enclave Lindu yang terdiri dari empat desa, yaitu Puroo, Langko, Tomado, dan Anca, sering disebut sebagai dataran Lindu masih termasuk ke dalam Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Masyarakat dataran Lindu menyakini sebagai satu rumpun adat (etnik Lindu) yang mempunyai aturan terhadap lingkungan dataran kehidupannya. Seperti halnya dengan masyarakat Ngata Toro, masyarakat dataran Lindu telah membagi kawasan hutan di sekitar mereka ke dalam suaka-suaka/kawasan-kawasan, di antaranya adalah:
Suaka Maradika, merupakan zona inti hutan yang tidak diperbolehkan adanya eksploitasi.
Suaka Todea, merupakan zona hutan pemanfaatan, boleh dilakukan kegiatan pemanfaatan berdasarkan peraturan adat.
Suaka Tontonga, merupakan zona rimba yang pemanfaatannya sangat terbatas.
Suaka Lambara, merupakan daerah penggembalaan.
Suaka Parabata, merupakan zona khusus untuk pemanfaatan danau Lindu yaitu pengkaplingan pada lokasi ikan di tepi danau Lindu.
Selain dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat adat Dataran Lindu pun memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya perairan. Masyarakat adat Dataran Lindu memberlakukan pelarangan (ombo) apabila ada salah satu tokoh masyarakat yang meningal dunia. Kearifan lokal ini harus tetap dilestarikan untuk mendukung upaya pengelolaan TNLL dalam menjaga dan melindungi kawasan agar tetap lestari dan berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu penguatan kelembagaan adat sangat penting untuk menjaga kearifan lokal masyarakat tetap eksis, sehingga dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap perubahan hutan.
Kearifan Lokal Masyarakat Mataue
Desa Mataue berbatasan langsung dengan kawasan TNLL, terletak di wilayah Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Mayoritas masyarakat desa Mataue berasal dari suku Kaili, yang merupakan suku asli Sulawesi Tengah. Desa ini memiliki potensi air yang sangat besar untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat baik untuk konsumsi rumah tangga, maupun irigasi. Sumber daya air yang ada di Mataue dimanfaatkan oleh masyarakat di empat desa, yaitu Desa Mataue, Desa Bolapapu, Desa Boladangko, dan Desa Sungku.
Masyarakat Desa Mataue memiliki kearifan lokal yang unik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air. Dalam hal pengelolaan sumber daya air masyarakat desa pengguna mempercayakannya kepada tokoh adat Desa Mataue yang merupakan desa terdekat dengan sumber mata air. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan adalah kegiatan monitoring ke areal hulu yang hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Mataue. Selain itu dalam pengelolaan lahan pertanian yang berada di sepanjang aliran air tidak diperkenankan mengunakan pupuk kimia dan pestisida.
Bentuk partisipasi masyarakat desa sekitar Mataue yang memanfaatkan sumber daya air adalah dengan membayar sejumlah uang kepada pemerintahan Desa Mataue sebagai petugas pengelola. Untuk pemungutan jasa retribusi air sendiri pemerintahan Desa Mataue menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintahan desa masing-masing. Berdasarkan kesepakatan masing-masing desa, masyarakat yang konsumsi air untuk kebutuhan rumah tangga dikenakan biaya sebesar Rp 2000,-/bulan, sedangkan untuk irigasi sawah dikenakan biaya sebesar 1-1,5 blek gabah ketika masa panen.
Kearifan lokal lain yang terlihat adalah dalam hal pemanfaatan kulit kayu pohon beringin sebagai bahan baju adat (kain fuya). Untuk mendapatkan kulit kayu masyarakat tidak diperbolehkan menebang pohon beringin. Perubahan Lingkungan dan Respon Masyarakat Adat, Contoh Kasus Masyarakat Adat Toro Perubahan lingkungan yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal menimbulkan respon dari masyarakat yang berimplikasi terhadap kestabilan sumber daya alam. Pada contoh kasus masyarakat Toro, faktor-faktor tersebut adalah intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik menyangkut ketidakseimbangan hak penguasaan lahan.
Intervensi ekonomi pasar berdampak pada perubahan intensitas pemanfaatan lahan di Toro. Permintaan pasar yang tinggi terhadap tanaman komersil seperti kakao, kopi, dan vanila berpengaruh terhadap preferensi ekonomi masyarakat yang berdampak pada konversi lahan unuk ditanami dengan tanaman komersil. Dinamika politik masyarakat Toro diwarnai oleh ketidakseimbangan hak penguasaan akan lahan. Ditetapkannya 80% wilayah Toro sebagai bagian TNLL (sesuai SK. Menteri Kehutanan No.593/Kpts-II/1993) berimplikasi pada melemahnya kontrol lembaga adat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Faktor-faktor di atas membuat masyarakat merespon dengan melakukan revitalisasi kelembagaan adat sebagai penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan. Gerakan revitalisasi di Toro diwarnai dengan pendokumentasian sejumlah pengetahuan lokal, sistem nilai, norma sosial, dan hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Gerakan revitalisasi terus berlanjut hingga pembuatan peta partisipatif yang menggambarkan lokasi, batas-batas kawasan serta hak kepemilikan (bersama atau pribadi) dan restrukturisasi lembaga pemerintahan Desa Toro.
Implikasi Kearifan Lokal Adat bagi Zonasi Taman Nasional Lore Lindu
Dalam Undang-Undang No. 5 tahun1990 (tentang KSDAH dan Ekosistemnya terutama yang berkaitan dengan sistem zoning taman nasional) taman nasional terbagi ke dalam zona-zona sebagai berikut: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona pemanfaatan intensif (non budidaya), dan zona rehabilitasi. Berdasarkan konsep ini, maka zona-zona di atas diatur sedemikian rupa secara konsentris dengan bagian tengah zona inti. Pembagian zona bersifat eksklusif (tidak mengenal wilayah enclave di dalam kawasan taman nasional).
Sementara itu, pada dasarnya, sistem zonasi pada kearifan lokal dapat digunakan sebagai pendekatan untuk sistem zonasi taman nasional. Berdasarkan pendekatan ini zonasi tidak bersifat konsentris tetapi menyebar tergantung pada wilayah adat yang ada, serta bersifat inklusif (mengenal adanya wilayah enclave dalam kawasan taman nasional).
Kesimpulan
Masyarakat adat Desa Toro, Desa Mataue dan Dataran Lindu yang hidup di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu merupakan masyarakat lokal yang telah memiliki kearifan tradisional warisan nenek moyang mereka dalam mengelola lanskap hutan dan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar tempat tinggal mereka. Kearifan masyarakat lokal ini telah ada sebelum ditetapkannya kawasan ini menjadi taman nasional.
Perubahan lingkungan adalah tantangan yang dapat melunturkan nilai-nilai kearifan tradisional yang berimplikasi negatif pada kestabilan sumber daya alam. Respon masyarakat Toro dalam mengatasi krisis perubahan lingkungan, yaitu dengan revitalisasi kelembagaan desa dapat menjadi contoh bagi masyarakat adat lain. Kearifan lokal masyarakat adat berimplikasi terhadap zonasi TNLL. Zonasi tradisional digunakan sebagai pendekatan pada zonasi TNLL. Berdasarkan pendekatan ini zonasi tidak bersifat konsentris tetapi menyebar dan inklusif.
Tipe-tipe hutan di Taman Nasional Lore Lindu
Tipe hutan dan vegetasi sangat bergantung pada faktor lingkungan, seperti ketinggian, temperatur, curah hujan, drainase, dan kondisi-kondisi tanah. Pembatasan tipe-tipe yang ada dapat menjadi sulit karena transisi-transisi ini tidak terlihat dengan kasat mata. Selain itu, interaksi antara faktor-faktor lingkungan dapat menciptakan variasi-variasi yang besar pada batas-batas penyebaran tipe–tipe tersebut.
Karena kurangnya informasi terpercaya yang tersedia saat ini tentang komposisi spesies dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi distribusi tipe-tipe vegetasi dalam wilayah TN. Lore Lindu, sistem klasifikasi sederhana tetapi cukup memadai dikembangkan sampai sistem yang lebih disempurnakan dan detail dapat dibuat berdasarkan informasi yang utuh. Sistem taksonomi asal untuk zona-zona tinggi yang diajukan oleh van Steenis (1950b) memberikan titik awal dan menjadi dasar penelitian yang dilakukan oleh Wirawan (1981).
Sembilan tipe vegetasi utama berikut, dikenal dalam wilayah TNLL, banyak berisi sub-divisi lebih lanjut:
Rawa – wilayah-wilayah tidak terairi dengan baik pada berbagai tipe tanah dan pada beberapa ketinggian;
Hutan kerangas – hutan kering musiman pada pojok baratlaut TNLL pada ketinggian rendah (300-700 m dpl);
Dataran rendah – hutan yang terairi baik di sekitar batas-batas dari TNLL di bawah 900 m dpl;
Pegunungan rendah – hutan antara 900-1.500 m dpl, pada wilayah yang terairi baik sampai tanah yang lembab;
Pegunungan – hutan antara 1.300-1.800 m dpl;
Pegunungan tinggi – hutan di atas 1.700 m dpl;
Hutan semak belukar – hutan yang terhalang pada tanah kering dengan akumulasi humus yang signifikan, terdapat pada beberapa ketinggian tetapi seringkali berada di atas ketinggian 1.800 m dpl;
Hutan awan – hutan basah terhalang di atas 1.900 m dpl;
Anthropogenik – variasi jenis yang luas, dari hutan-hutan tua sekunder, biasanya di bawah 1.500 m dpl, untuk membuka padang rumput.
Geologi Lore Lindu
Geologi TNLL berdasarkan peta-peta geologi yang diproduksi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Indonesia, lembar kuadrangel Poso oleh Simanjuntak et al. (1997) edisi kedua dan lembar kuadrangel Pasangkayu oleh Sukido et al. (1993). Informasi latar belakang tambahan pada dasarnya diambil dari Whitten et al. (1987) dan Hall (1998).
Diistilahkan dengan “demented spider shape” dari pulau Sulawesi yang sering digunakan adalah hasil dari sejarah geologi yang sangat kompleks serta belum sepenuhnya digali. Wilayah ini dianggap sebagai salah satu wilayah geologi paling kompleks di muka bumi. Pemahaman yang ada saat ini adalah secara geologis pulau ini terbentuk dari beberapa bagian. Satu bagian membentuk Sulawesi bagian utara dan sebagian bagian barat, satu bagian membentuk bagian timur dan daerah-daerah selatan – tengah. Wilayah yang lebih kecil dari pulau ini, seperti Banggai-Sula di sebelah timur dibentuk dari bagian dari daerah lain. Lempengan-lempengan geologi ini bertabrakan satu sama lain yang diakibatkan oleh pergerakan tektonik.
Dalam literatur geologi secara luas, diketahui bahwa wilayah sebelah timur daratan Sulawesi berasal dari sebuah pecahan Gondwanaland. Banyak pendapat berbeda atas daerah asal dari wilayah Barat Daratan Sulawesi. Pendapat yang lama yang ada cenderung menganggapnya sebagai bagian yang pernah menjadi bagian dari Laurasia, seiring dengan bagian yang lebih besar dari wilayah Barat Indonesia. Baru-baru ini, banyak penulis geologi seperti Whitten berpendapat bahwa daerah tersebut merupakan patahan zaman Jurassic dari Gondwanaland. Laporan di bawah ini sejalan dengan pendapat Whitten. Terdapat pula beberapa diskusi yang mengarah pada asal dari cabang wilayah utara Sulawesi. Hal tersebut masih dianggap sebagai bagian dari daratan Sulawesi Barat/lempeng mikro, tetapi kemungkinan pernah terpisah.
• Jurassic/200-250 Juta Tahun yang Lalu
Wilayah Barat Sulawesi (bersama-sama dengan Thailand, Malaysia, Burma dan Sumatera) merupakan patahan besar Gondwanaland sebagai hasil dari pembukaan daerah lautan utama sebelah timur-barat yang terletak di bagian utara Australia. Daerah sebelah Barat Sulawesi, bersama-sama dengan sebagian besar pulau yang membentuk kepulauan Indonesian, pada saat itu berada di sebelah utara dari daerah tersebut. Daerah sebelah Utara Sulawesi dan Banggai-Sula terletak di Selatan patahan batas plat Indo-Australian, terletak dekat dengan daratan luas yang kemudian menyatu menjadi Papua New Guinea.
• Cretaceous 145-70 Juta Tahun yang Lalu
Dengan rotasi yang terus-menerus dari Australia dalam arah berlawanan jarum jam dan gerakan umum tektonik, daerah sebelah Utara Sulawesi terbawa ke arah Barat laut dan mulai melapisi di bawah daerah sebelah Barat Sulawesi.
• Palaeocene (70-60 Juta Tahun yang Lalu)-Eocene (60-40 Juta Tahun yang Lalu)
Pelapisan bertingkat berlanjut dan pembentukan daerah vulkanis di Barat Sulawesi dimulai karena daerah Sulawesi Timur didesak ke wilayah Barat Sulawesi pada kecepatan berkisar 10 cm/tahun. Banyak dari energi yang dikeluarkan karena strata terangkat, berubah bentuk dan pecah. Ssedangkan batu-batuannya bermetamorfosis. Penelitian baru-baru ini menyimpulkan bahwa bagian-bagian utama dari Sulawesi masih merupakan bagian yang agak jauh pada akhir dari zaman Eocene dan sebagian besar dari daratan yang pada akhirnya akan menjadi Sulawesi masih berada di bawah permukaan air.
• Oligocene 40-25 Juta Tahun yang Lalu
Daerah Banggai-Sula bergerak ke arah barat dan pelapisan sebelah Timur Sulawesi berlanjut. Wilayah sebelah Barat Sulawesi kurang lebih mencapai posisinya saat ini. Pada zaman pertengahan Oligocene, sekitar 30 juta tahun lalu, bagian-bagian utamanya membentuk sebuah bentuk bulan sabit dengan pergerakan daerah sebelah timur Sulawesi ke selatan, Sulawesi Barat hanya ke utara dengan porosnya bergerak ke arah daya-timur laut dan wilayah yang akan menjadi cabang sebelah utara Sulawesi terbentang ke arah barat timur laut. Pada akhir zaman Oligocene daerah timur Sulawesi melanjutkan untuk bergerak ke arah utara dan bertabrakan dengan daerah barat Sulawesi. Akan tetapi, patahan-patahan besar dan kecil yang membentuk cabang sebelah utara mungkin masih terpisah. Diagram-diagram Hall menyarakankan bahwa pada saat ini wilayah- wilayah dari daerah barat Sulawesi masih di bawah permukaan air, sementara sebagian besar dari daerah utara berada di atas permukaan air.
• Middle-Miocene 16.5-11 Juta Tahun yang Lalu
Daerah utama akhirnya bersatu. Batu-batuan dari sebelah Barat Sulawesi sebagian menolak batu-batuan dari Banggai-Sula. Pembentukan wilayah vulkanik menyebar melebihi daerah sebelah Barat Sulawesi dan terobosan-terobosan aktivitas vulkanik bawah laut terjadi di wilayah dimana Taman National Lore Lindu saat ini berada.
Dari zaman Pertengahan Miocene sampai memasuki Pliocene, terobosan-terobosan dari endapan tipe mollase tersimpan sepanjang daerah utama.
• Pliocene (10-1 juta tahun yang lalu)
Intrusi batuan granit yang utama terjadi sepanjang daerah yang telah bersatu. Batuan plutonik Kambuno granit dan gronodiorit yang banyak mendasari TNLL terbentuk dalam periode ini pada sekitar 3 juta tahun yang lalu (Sukamto, 1975). Pergerakan yang ada mengarah ke pembentukan dari jenis daratan saat ini, juga terjadi pada periode ini.
Sulawesi bertabrakan dengan Kalimantan pada akhir zaman Pliocene – kurang lebih 3 juta tahun BP. Pulau ini pada waktu itu sangat dekat dengan tetangganya yang lebih besar selama masa-masa permukaan laut masih rendah. Hal ini juga telah diketahui bahwa pada saat monyet-monyet tiba di Sulawesi dari Kalimantan, binatang-binatang seperti tarsier/tarsius mungkin telah menyeberang antara Sulawesi dan Kalimantan atau sebaliknya melalui rantai pulau yang berhubungan dengan Filipina. Hal yang sama juga mungkin benar terjadi pada anoa yang memiliki hubungan yang paling dekat, tumaraw (Bubalus mindorensis) sebuah species yang ditemukan di Filipina.
• Quaternary (Pleistocene 1 juta tahun -10,000 tahun yang lalu) dan Holocene (10,000 tahun yang lalu sampai sekarang)
Deposit-deposit endapan terletak sepanjang pantai barat Sulawesi dan deposit-deposit danau – endapan tanah liat, pasir dan batu kerikil – terbentuk di lembah-lembah yang ada. Deposit-deposit tersebut membentuk dasar-dasar horisontal di dalam daerah sebelah Barat Sulawesi dan sekarang menutupi wilayah-wilayah penting dari TNLL.
Sedikitnya 7.000 tahun lalu, permukaan laut kira-kira 180 meter lebih rendah dari permukaan yang ada saat ini. Pada masa ini, Selat Makassar lebih dalam sampai 2.000 meter, tetapi sangat sempit. Hal ini menimbulkan spekulasi-spekulasi sampai sejauh mana spesies yang ada mampu menyeberangi dua daratan yang terpisah. Spesies tersebut secara jelas menyeberang, tetapi hal ini umumnya diterima bahwa tidak pernah ada koneksi daratan kering. Secara jelas jalur laut tidak akan menimbulkan masalah bagi spesies burung dan mamalia. Species amphibi di lain pihak akan menemui kesulitan lebih besar pada saat menyeberang disebabkan karena kondisi salinitas yang ada.
Sebagai hasil dari penyatuan empat daerah, mungkin juga lima, untuk membentuk pulau Sulawesi, sebuah geologi yang kompleks berdiri saat ini. TNLL biasanya diduga berada di sebelah utara akhir dari daerah sebelah Barat Sulawesi. Wilayah ini memiliki kompleksitas yang tinggi, dimana tiga daerah utama (sebelah Barat, Timur dan Utara) bertabrakan satu sama lain. Terdapat juga faktor tambahan pada dasar cabang sebelah utara yang lebih kecil dan telah bergabung diantara tiga bagian yang lainnya. Hal ini mungkin saja terjadi karena TNLL dapat membentuk sedikitnya sebagian dari unit yang kecil ini. Tidak mengherankan, banyak terdapat lipatan dan perubahan bentuk dari massa daratan sejak pulau ini terbentuk pertama kali dan hal ini telah membentuk pegunungan di wilayah TNLL.
TNLL dan wilayah sekitarnya merupakan Zona Tektonik Palu. Menurut laporan ANZDEC tahun 1997, daerah ini secara aktif dan mengandung banyak garis patahan. Patahan Palu-Koro (Fossa Sarasina) mencatat gerakan yang perlahan beberapa sentimeter dalam setahun.
Gempa bumi dahsyat terakhir di wilayah ini terjadi pada tahun 1902. Gempa bumi-gempa bumi kecil dan getaran-getaran bumi sering terjadi dan sebuah analisa dari gerakan saat ini sepanjang garis-garis patahan utama Sulawesi memberikan prediksi bahwa pulau ini akan mengalami fragmentasi di masa depan. Batu-batuan vulkanis Miocene terjadi di TNLL, tetapi tidak ada kegiatan aktif gunung berapi di daerah tersebut. Walaupun demikian, terdapat banyak sumber mata air panas (geothermal), beberapa di antaranya diindikasikan pada peta geologi (lihat lampiran). Kegiatan vulkanis yang terdekat terletak pada ujung dari cabang akhir sebelah utara dari pulau Sulawesi.
Pegunungan TNLL dibentuk pada zaman Pliocene dan Miocene sekitar 25-3 juta tahun lalu, sebagai hasil dari aktivitas plat tektonik yang menyebabkan pergerakan naik massa daratan. Permukaan lembah-lembah yang datar, besar, dan subur, seperti Besoa dan Napu adalah ciri dari TNLL dan wilayah sekitarnya. Terjadi perubahan luas karena bertambahnya endapan. Danau Lindu sebelumnya lebih luas dari sekarang, hal ini terlihat dari endapan tanah alluvial yang dihanyutkan air membentuk daerah dengan materi deposit berpasir sampai berbatu. Tanah pegunungan kebanyakan terbentuk dari proses pelapukan batuan induk atau batu granit, batu-batu metamorphis schists dan batu gneiss yang membentuknya.
Taman Nasional Lore Lindu diikat oleh tiga ciri utama:
Patahan Palu Koro:
Merupakan patahan strike-slip utama barat laut-tenggara. Bersifat komposit yang pada peta-peta geologi ditunjukkan sebagai beberapa garis patahan sub-paralel. Di dalamnya termasuk patahan Fossa Sarasina, menetapkan tiga jalan lembah sungai yang menandai ujung panjang sebelah barat Taman Nasional: Sungai Palu, mengalir ke barat laut, Sungai Haluo, mengalir ke barat daya, Sungai Lariang, mengalir ke barat laut. Pada umumnya, batas Taman Nasional Lore Lindu berjalan paralel dengan sungai-sungai di atas pada jarak 1 sampai 5 km.
Patahan Dorongan Poso:
Patahan utama utara-selatan ini menandakan garis pembagian antara Daerah sebelah Barat dan Utara Sulawesi. Batas sebelah utara Taman Nasional, antara Sedoa dan Lelio, terletak kira-kira paralel ke arah patahan pada jarak antara 5 sampai 15 km. Dorongan Poso mempengaruhi topografi yang dekat dengan Taman Nasional. Patahan besar Tawaelia saat ini adalah sebuah ciri berhubungan yang menerangkan jalan dari Lembah Sungai Lariang karena melewati bagian yang lebih rendah dari sebelah utara Taman Nasional. Batas Taman Nasional terutama mengikuti bagian barat dari lembah sungai ini pada jarak 1 sampai 5 km.
Lembah Palolo-Sopu:
Lembah-lembah sungai ini mengikat Taman Nasional Lore Lindu sepanjang ujung bagian utaranya. Wilayah ini merupakan salah satu daerah pertanian utama yang bersebelahan dengan Taman Nasional.
Taman Nasional Lore Lindu dan wilayah sekitarnya terletak di dalam Zona Tektonik Palu. Daerah ini secara seismik aktif dan mengandung banyak garis patahan. Patahan Palu-Koro (Fossa Sarasina) mencatat gerakan yang perlahan beberapa centimeter dalam setahun (ANZDEC 1997/no 5). Sepanjang ujung sebelah barat dari Taman Nasional, orientasi patahan adalah barat laut-tenggara. Bergerak dalam arah utara dan timur, patahan-patahan tersebut secara bertahap membentuk sebuah orientasi arah timur-barat.
Gempa bumi dahsyat terakhir di wilayah ini terjadi pada tahun 1902. Gempa bumi-gempa bumi kecil dan getaran-getaran bumi sering terjadi dan sebuah analisa dari gerakan saat ini sepanjang garis-garis patahan Sulawesi utama memberikan prediksi bahwa pulau ini akan, pada masa yang akan datang mengalami fragmentasi. Batu-batuan vulkanis Miocene terjadi di Taman Nasional Lore Lindu, tetapi tidak ada kegiatan aktif gunung berapi di daerah tersebut. Walaupun demikian, terdapat banyak sumber mata air geothermal, beberapa di antaranya diindikasikan pada peta geologi. Kegiatan vulkanis yang terdekat terletak pada ujung dari cabang akhir sebelah utara dari pulau Sulawesi.
TREE DIVERSITY IN PRIMARY FOREST OF THE LORE LINDU NATIONAL PARK CENTRAL SULAWESI, INDONESIA
Ramadhanil Ramadhanil
Abstract
Telah dipelajari keanekaragaman jenis pohon pada hutan primer yang terdapat di sekitar desa Toro yang terletak di bagian barat pinggiran Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Area penelitian terletak pada ketinggian 1000-1100 m dpl (tergolong pada tipe hutan sub-montana). Pohon-pohon yang mempunyai dbh >10 cm diteliti pada 4 plot yang lokasinya sebagai berikut; Kalabui 1, Bulu Lonca, Kalabui 2, dan Kolewuri. Setiap plot berukuran 50 m X 50 m (0.25 ha). Penelitian dilakukan dari bulan April 2004 hingga Maret 2005. Proses identifikasi specimen “voucher” dan specimen herbarium dilakukan di Herbarium Celebense (CEB) Universitas Tadulako dan Herbarium Bogor (BO). Hasil menunjukkan bahwa total species pohon yang tercatat adalah sebanyak 133 jenis pohon yang tergolong 49 famili. Jumlah species pada plot penelitian berkisar 51-63 jenis pohon (dbh >10 cm) yang tergolong dalam 20-29 famili per 0.25 ha. Jenis pohon yang dominan di Kalabui 1 adalah Palaquium quercifollium (de Vriese) Burck. (Sapotaceae) dan diikuti oleh Chionanthus laxiflorus Blume (Oleaceae) dan Dysoxyllum densiflorum Miq. (Meliaceae), sedangkan Castanopsis accuminatisima (Blume) Rehder, Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder (kedua-duanya Fagaceae) dan Ficus sp1 (Moraceae) adalah jenis dominan di Bulu Lonca, Kalabui 2 dan Kolewuri. Hutan primer di lokasi penelitian di dominasi oleh famili Fagaceae, Sapotaceae, Meliaceae dan Lauraceae. Jumlah individu pohon di Kalabui 1 adalah 592 perhektar sedangkan di Bulu Lonca, Kalabui 2 dan Kolewuri berturut-turut adalah 616, 600 dan 424 batang per hektar. Basal area yang tertinggi didapatkan pada plot Kolewuri (A4) yaitu sebesar 80,2 m² /ha dan diikuti oleh plot Kalabui 1, Bulu lonca dan Kalabui 2 dengan nilai masing-masingnya 58,4, 52,0 dan 36,3 m²/ha. Indek keanekaragaman Shanon-Whiener hutan primer pada lokasi penelitian ini tergolong tinggi (3,4 - 3,7). Di daerah penelitian tercatat beberapa jenis pohon yang bersifat endemik Sulawesi seperti Horsfieldia costulata, Pandanus sarasinorum, Neonauclea ventricosa, Beilschmidia gigantocarpa, Pigafetta elata, Pinanga aurantiaca, Mussaendopsis celebica, Neonauclea intercontinentalis dll.
KAJIAN PEMANFAATAN ZONA PANYANGGA TAMAN NASIONAL LORE LINDU UNTUK PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT
Ketahanan pangan merupakan salah satu masalah yang menjadi prioritas akhir-akhir ini. Pertambahan penduduk yang tidak disertai peningkatan produksi pangan, menurunnya daya beli masyarakat, aksesibilitas yang terbatas dan perubahan iklim merupakan beberapa faktor penyebab menurunnya tingkat ketahanan pangan atau dengan kata lain terjadi rawan pangan. Hutan merupakan sumber keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan sehari-hari termasuk kebutuhan pangan. Adanya pemanfaatan keanekaragaman hayati di kawasan daerah penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) sebagai sumber pangan merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah rawan pangan, terutama terjadi pada kelompok masyarakat yang hidup di dekat kawasan hutan. Untuk mengurangi tekanan terhadap eksploitasi kawasan hutan di TNLL, perbaikan kawasan daerah penyangga lebih ditingkatkan sehingga masyarakat sekitar kawasan lebih menitik beratkan pemanfaatan di daerah penyangga, bukan pada kawasan di dalam TNLL. Dengan memperhatikan hal tersebut diatas maka dipandang perlu untuk melakukan enelitian dengan judul "Kajian pemanfaatan zona panyangga Taman Nasional Lore Lindu untuk peningkatan ketahanan pangan masyarakat".
Penelitian akan dilaksanakan pada Bulan Januari sid Desember 2010. Lokasi penelitian di kawasan daerah penyangga TNLL. Peneltian dilakukan dengan menginventarisir tumbuhan dan satwa hutan yang dijadikan sumber pangan dengan melakukan wawancara dan penyebaran kuisioner. Berdasar hasil wawancara, dilakukan pendugaan potensi tumbuhan dan satwa sebagai sumber pangan. Untuk pendugaan potensi sumberdaya tumbuhan dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat. Untuk pendugaan potensi satwa sebagai sumber pangan dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu metode transek untuk serangga, reptilia dan mamalia, metode track count untuk mamalia, metode IPA untuk burung dan metode concentration count untuk satwa yang hidup berkelompok.
Hasil penelitian menunjukkan tumbuhan hutan di daerah penyangga TNLL yang berlokasi di Desa Anca dan Tomado yang dimanfaatkan masyarakat sebanyak 60 jenis, sedangkan untuk satwa yang dimanfaatkan sebanyak 39 jenis. Hasil analisis vegetasi menyatakan bahwa tumbuhan penyusun hutan di kawasan daerah penyangga TNLL yang berlokasi di Desa Tomado terdiri atas semai sebanyak 10 jenis, pancang sebanyak 9 jenis, tiang sebanyak 10 jenis dan pohon sebanyak 16 jenis, sementara di Desa Anca terdiri atas semai sebanyak 24 jenis, pancang sebanyak 24 jenis, tiang sebanyak 21 jenis dan pohon sebanyak 41 jenis. Hasil pengamatan terhadap keanekaragaman jenis burung menyatakan bahwa secara keseluruhan dapat diidentifikasi 52 jenis burung dengan status 8 spesies (15,38%) termasuk dalam kelompok dilindungi, dan 44 spesies (84,61 %). Hasil nilai indeks keanekaragaman jenis burung di Desa Tomado sebesar 2,94 sedangkan untuk Desa Anca sebesar 2,93.
Melestarikan Lore Lindu Bersama Masyarakat
Kawasan Lore Lindu sudah dihuni oleh masyarakat sejak ribun tahun yang lalu. Jejak kebudayaan animisme dan dinamisme berupa artefak megalith dan gerabah yang tersebar di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) usianya beragam dari 3000 tahun sampai ratusan tahun yang lalu. Kebudayaan primitif ini berangsur hilang dengan datangnya Albert C. Kruytt seorang misionaris yang pada awal abad 20 mulai mengenalkan agama monotheis kepada penduduk asli. Penduduk asli di Lore Lindu secara garis besar meliputi suku Behoa, Bada, Pekurehua, Kaili, Kulawi, serta beberapa sub-etnis lain seperti To Lindu di Enklave Lindu.
Interaksi masyarakat sekitar kawasan TNLL dengan hutan yang sudah terjalin sedemikian lama melahirkan produk kebudayaan yang sering disebut dengan kearifan lokal . Pola pengelolaan hutan secara tradisional sudah dikenal oleh masyarakat dengan pembagian hutan dalam zonasi tradisional seperti wana kiki, wana, pangale, pahawa dan oma.
Seiring dengan perkembangan pembangunan, saat ini kawasan TN.Lore lindu dikelilingi dan langsung berbatasan dengan desa-desa yang jumlahnya sekitar 68 buah dan populasi penduduk sekitar 45.000 individu dengan etnisitas yang beragam.
Keberadaan Taman Nasional Lore Lindu sendiri mempunyai peran dan fungsi strategis, disamping untuk melindungi keanekaragaman hayati, juga sebagai daerah tangkapan air dan pengendali bencana mengingat struktur geologinya yang labil. Dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yang penting yaitu DAS Gumbasa dan DAS Lariang. Dari kedua DAS ini, DAS Gumbasa mempunyai nilai ekonomi yang besar untuk keperluan pengairan sawah, ternak dan kebutuhan sehari-hari. Studi yang dilakukan TNC pada tahun 2001 mencatat nilai komersial air dari DAS Gumbasa mencapai 89,9 Milyar per tahun. Hasil ini berdasarkan pada nilai ekonomi yang dihasilkan dari perhitungan masyarakat pengguna utama; yakni dari sejumlah� 68.377 orang dari 16.600 rumah tangga yang berasal dari 61 desa dari 5 Kecamatan.dan masyarakat pengguna sekunder sejumlah 236.230 orang dari 50.560 rumah tangga di Kota Palu, termasuk 8.860 rumah tangga petani. Sehingga didapat total pengguna air dari kawasan Lore lindu ini adalah 304.607 orang dari 67.160 rumah tangga. Kira-kira 15,7% dari penduduk Sulawesi Tengah.
Fakta di lapangan menunjukkan sebelum ditetapkannya TNLL banyak kebun masyarakat yang berada dalam kawasan dan banyak aktivitas masyarakat seperti mencari rotan dan mengambil kayu untuk keperluan domestik. Hal ini menjadi masalah tersendiri manakala ditetapkannya kawasan Lore Lindu menjadi taman nasional. Kepentingan konservasi yang berhadapan vis a vis dengan kepentingan masyarakat memang sering terjadi tidak hanya di Indonesia juga di negara-negara lain.
Kesepakatan Konservasi Masyarakat
Dalam kerangka menjembatani permasalahan konflik pemanfaatan sumberdaya hutan, batas, dan memberdayakan masyarakat dalam konservasi TNLL, The Nature Conservancy sejak tahun 2002 membangun Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) yang diawali pada lima desa (Sedoa, Watutau,Wuasa,Betue, Kaduwaa) di kecamatan Lore Utara bersama Forum Wilayah Penyangga (FWP) Lore Utara.
Pengertian KKM adalah suatu kesepakatan masyarakat tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) Taman Nasional yang diakui oleh Balai TN. Lore Lindu dan merupakan komitmen masyarakat dengan prinsip berbagi peran tanggung jawab pengelolaan dan konservasi yang menjamin keberlanjutan konservasi dan kesejahteraan masyarakatnya. Prinsip utama dalam KKM adalah 1) Konservasi area, mempertahankan luasan kawasan taman nasional. 2) Konservasi fungsi, mempertahankan fungsi konservasi keanekaragaman hayati dan penyangga kehidupan. 3) Konservasi jenis, mempertahankan keaslian jenis biodiversitas Taman Nasional Lore Lindu.
Sebagai pengawal proses dan pelaksana aturan KKM di desa, dibentuk Lembaga Konservasi Desa yang disingkat LKD pada tiap desa. Sampai saat ini KKM telah berkembang di 26 desa sekitar TNLL. Kesepakatan Konservasi Masyarakat (KKM) dan Lembaga Konservasi Desa (LKD) merupakan pilar dasar dari pengelolaan kolaboratif TN. Lore Lindu.
Implementasi Kesepakatan Konservasi Masyarakat
Pelaksanaan Kesepakatan Konservasi Masyarakat berbeda untuk setiap wilayah/desa, tergantung pada potensi dan permasalahan serta kebutuhan spesifik masing-masing desa.
Contoh implementasi Kesepakatan Konservasi Masyarakat di desa antara lain :
1. Pembatasan pengambilan sumberdaya Alam untuk waktu yang ditentukan. Bagi masyarakat desa dikenal dengan sebutan “ OMBO “
2. Pengembangan jenis tanaman asli TNLL : Eucalyptus deglupta (leda), Agathis sp (damar), Aleurites moluccana (kemiri).
3. Pembuatan Batas hidup TNLL (living boundary) dengan pengembangan Tanaman Kemiri dan Damar, sekaligus memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat sekitar TNLL.
4. Monitoring partisipatif wilayah kesepakatan, yang melanggar diproses melalui sidang adat oleh lembaga adat desa.
5. Pengembangan obat-obatan tradisional, madu hutan, bahan kerajinan pandan hutan dan tanaman produktif lain diwilayah penyangga TNLL.
6. Mengembangkan pola pengelolaan multipihak untuk Danau Lindu dan DAS Miu.
7. Monitoring kesehatan hutan secara partisipatif dan ilmiah.
LORE LINDU SEBAGAI SALAH SATU CAGAR BIOSFER DUNIA
A. SEKILAS CAGAR BIOSFER LORE LINDU
Cagar Biosfer (CB) Lore Lindu adalah salah satu dan enam cagar biosfer yang ada di Indonesia (CB P Siberut, CB Komodo, CB Tanjung Putting, CB Cibodas, dan CB Leuser). yang diresmikan oleh Man And The Biosphere UNESCO (MAB UNESCO) pada tahun 1977. CB Lore Lindu merupakarn kawasan konservasi ekosistem daratan yang secara internasional diakui keberadaannya oleh MAB — UNESCO untuk mempromosikan keseimbarigan hubungan antara manusia dan alam.
Selaras dengan fungsi Cagar Biosfer yang ditetapkan oleh MAB — UNESCO, CB Lore Lindu mempunyai tiga fungsi utama yaitu : pelestarian dan keanekaragaman biologi dan budaya: penyedia model pengelolaan lahan dan lokasi eksperimen urituk pembangunan berkelanjutan; dan penyediaan tempat untuk riset, pemantauan lingkungan, pendidikan dan pelatihan.
Untuk mengintegrasikan berbagai fungsi tersebut, kegiatan diatur menurut sistem pembagian wilayah (zonasi), yang meliputi area inti (core zone) untuk pelestarian, zona penyangga (buffer zone), dan kawasan luar yang merupakan area transisi (transition area) atau kawasan untuk kerjasama dengan masyarakat lokal, Area inti pada Cagar Biosfer Lore Lindu berstatus sebagai taman nasional (Taman Nasional Lore Lindu) di bawah pengelolaan Balai Besar Taman Nasional Lore Undu, yang menginduk ke Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) — Departemen Kehutanan.
Taman Nasional Lore IJndu ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464!Kpts-II/1 999 tanggal 23 Juni 1999, dengan luas 217.991,18 ha. Taman nasional yang menjadi sumber air utama Kota Palu ini membentang melintasi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Paso dan Kabupaten Donggala. Zona penyangga CB Lore Lindu terdiri dan 140 desa berada di sekitar area inti dan 64 desa berbatasan langsung dengan area inti. Zona penyangga ini dalam kontek zonasi taman nasional setara dengan daerah penyangga taman nasional Untuk area transisi CB Lore Lindu belum ada batasan definitifnya, namun jika dilihat dari definisi area transisi, maka wilayah ini mencakup tiga kabupaten yaitu Kabupaten Poso, Kabupaten Donggala, Kabupaten Pangi dan Kota Palu. Gambar 1. Menunjukkan zoriasi Cagar Biosfer Lore Lindu.
B. POTENSI CAGAR BIOSFER LORE LINDU
Menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 Ayat (12), Cagar Biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dan ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. CB Lore Lindu memiliki banyak potensi dan keunikan yang bisa menjadi tempat demonstrasi keterkaitan manusia dengan alamnya.
Banyak sekali potensi yang dimiliki oleh CB Lore Lindu, khususnya yang terdapat di area inti dan zona penyangga berupa potensi keanekaragaman hayati. kebudayaan, pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal, serta potensi sejarah.
Potensi yang dimiliki oleh Lore Lindu sudah diakui oleh banyak pihak, diantaranya adalah Lore Lindu dikenal sebagai Kawasan Burung Endemik. merupakari habitat berbagai jenis burung khas daerah Wallacea Sekitar 224 jenis burung ditemukan di Sulawesi. 97 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi dan 83% diantara burung endemik tersebut terlihat di Taman Nasional Lore Lindu. Diantara burung tersebut adalah Nun Sulawesi (Tanygnatus sumatrana), Rangkong (Rhyticeros cassidix), Burung Maleo (Macrocephalon maleo) dan lain-lain. Lore Lindu juga diakui sebagai pusat keanekaragamari hayati Sulawesi, yang memiliki berbagai tipe vegetasi. Lore lindu dikenal sebagai Kawasan Ekologi (G 200 Es) karena dipandang sebagai contoh bagus untuk ekosistem terrestrial dunia, karena kawasan ini kaya akan spesies dan spesies endemik, memiliki keunikan taksonomi yang tinggi, fenomena ekologis dan evolusi yang luar biasa dan merrIiki habitat-habitat penting spesies utama Beberapa fauna endemiknya adalah Anoa (Anoa quades), Kera Hitam (Macaca tonkeana), Tarsius Sulawesi (Tarsius spectrum) dan Rusa (Cervus timorensis). Potensi Flora endemiknya antara lain Wanga (Pige fete titans), Leda (Eucalyptus deglupta), dan berbagai jenis Anggrek alam.
Potensi lain yang ada di kawasan Lore Lindu adalah adat istiadat, pengetahuan lokal dan kearifan masyarakat lokal yang mendukung pelestarian kawasan Lore Lindu. Suku Kaili, Pekurehua (Napu), Behoa dan Bada mempunyai tradisi dan hukum adat yang masih fungsional. Desa Toro sebagai salah satu desa model di Taman Nasional Lore Lindu tetap menjaga kelestarian sumberdaya hutan di sekitarnya, sehingga pemerintah baik lokal maupun nasional memberikan penghargaan atas kearifan yang mereka pertahankan, dan Tahun 2004 masyarakat Toro mendapat penghargaan equator Initiative 2004 pada saat COP VII di Malaysia.
Sekitar 430 obyek artefak budaya berupa megalith turut menambah potensi keunikan yang dimiliki oleh Lore Lindu. Situs budaya yang usianya mencapai ribuan tahun (Thn 3000 SM) ini diakui secara internasional sebagai batu terbaik diantara patung-patung sejenis di Indonesia. Patung-patung ini tersebar di Lore Utara, Lore Selatan dan Kulawi. Sebanyak 40 buah Batu Dako merupakan situs yang paling dikenal berada di Lembah Besoa.
Potensi yang tidak kalah pentingnya dan Lore Lindu adalah fungsinya sebagai sumber mata air bagi daerah di sekitarnya terutama masyarakat dart Kabupaten Paso, Donggala dari Kota Palu. Dari hasil penelitian The Nature Conseivancy, perkiraan tata nilai air yang berasal dan Taman Nasional Lore Lindu adalah Rp 89,9 milyar per tahun, yang dihitung dan kebutuhan pertanian, perkebunan, petemakan, industri dan kebutuhan rumah tangga. Fakta menunjukkan, meskipun Lembah Palu dikenal sebagai daerah paling kering di Indonesia, namun sawah irigasi masih dapat tumbuh subur menghiasi bentang alam wilayah ini. Disinilah fungsi Taman Nasionai Lore Lindu, yaitu sebagai daerah tangkapan air yang mengaliri Sungai Gumbasa yang akan melayani kebutuhan air masyarakat Palu.
C. UPAYA PENGELOLAAN CAGAR BIOSFER LORE LINDU
C.1 Pengelolaan Area Inti
Tujuan hakiki sebuah area intl adalah untuk melestarikan keanekaragarnan hayati melalui perlindungan penuh dan ketat. Karena area Inti CB Lore Lindu berstatus taman nasional, maka upaya pengelolaannya selama ini dilakukan oleh otorisasi Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu yang dilaksanakan dengan rnekanisme kolaborasi dengan pihak lain. Upaya yang telah dilakukan antara lain inventanisasi dan monitoring potensi flora, fauna dan pengetahuan yang ada di dalam kawasan. Pengembangan konservasi insitu berupa penangkaran Burung Maleo, pembinaan habitat Kera Hitam, dan tarsius, Melakukan upayaupaya perlindungan dan pengawetan potensi kawasan dengan melibatkan masyarakat yang ada di zona penyangga. Upaya lain adalah pengembangan ekowisata untuk menunjang perekonomiam masyarakat sekitar, Beberapa potensi wisata yang sudah dikembangkan di area inti ini adalah pemanfaatan sumber air panas untuk pemandian di Kadidia, Pemanfaatan Sungai Lariang untuk arung jeram, pemandian dan tempat memancing di Sungai Miu, air terjun di daerah Kamarora dan Wuasa, wisata budaya (berupa patung megalith, kuburan kuno, dan wisata danau). lokasi pengamatan burung (bird wathcing) di Kadidia, proses pembuatan kain kulit kayu di Pakuli dan Toro, dan masih banyak potensi lainnya yang belum dikembangkan. Saat ini Balai Besar TN Lore Lindu sedang melakukan finalisasi penyusunan Rencana Pengembangan Pariwisata Alam dan Site Plan untuk pengembangan ekowisata TN Lore Lindu.
Upaya pengelolaan lain yang dilakukan adalah pengembangan pendidikan dan penelitian. Dalam hal ini Balai Besar TN Lore Lindu bekerja sarna dengan STORMA (Stability for Tropical Rain Forest Margin) yaitu lembaga penelitian internasional hasil kerjasama Universitas Gottingen dan Kassel Jerman. Institut Pertanian Bogor dan Universitas Tadulako Palu. Selain itu rnasih ada penelitian - penelitian skala kecil Iainnya yang dilakukan oleh LSM lokal. Saat ini Balai Besar TN Lore Lindu sedang membangun hutan pendidikan di Desa Pakul, untuk tujuan pendidikan khususnya bagi pelajar dan mahasiswa.
C.2 Upaya Pengelolaan Zona Penyangga
Zona penyangga dimaksudkan untuk menjamin perlindungan area inti maupun pemanfaatan berkelanjutan dan sumberdaya alamnya, Di Zona penyangga ini, kegiatari manusia yang kompatibel dengan pelestanian keanekaragaman hayati sekaligus mempunyai nilai-nilai ekonomi dan sosial senta memiliki dimerisi eksperimental dapat dilakukan. Konsep zona penyarigga versi UNESCO selaras dengan konsep daerah penyangga pada UU No 5 Tahun 1990 Pasal 16 Ayat (2). dimana disebutkan daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam dan mampu menjaga keutuhan kawasan suaka alam.
Pengelolaan zona penyangga CB Lore Lindu selama ni lebih banyak dilakukan oleh Balai Besar TN Lore Lindu, diantaranya melalui program pernberdayaan masyarakat daerah penyangga. Kegiatan ini berupa penguatan lembaga lokal, pelatihan. sosialisasi pertauran dan bantuan untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Pihak lain yang tenlibat dalam upaya pengelolaan zona penyangga adalah The Nature Conservancy rnelalui pembangunan Kesepakan Konservasi Masyarakat, merupakan dokumen partisipatif yang mengakui wilayah kelola masyarakat adat serta penguatan ekonomi masyarakat. Upaya lain juga dilakukan oleh LSM lokal seperti jambata yang melakukan periguatan ekonomi masyarakat melalui pelahhan — pelatihan dan pendampingan. Pemerintah daerah membenikan perhatian terhadap pengelolaan daerah penyangga melalui perietapan Peraturan Daerah teritang Daerah Penyangga Lore Lindu.
C.3 Pengelolaan Area Transisi
Area transisi berkaitan dengan area pembangunan. Di area inilah pengelola cagar biosfer hendaknya menerapkan hasil pengujian penidekatari pembangunan berkelanjutan. Area ini merupakan suatu kawasan kerjasama yang aktif antara para peneliti,pengelola, penduduk lokal dan pemangku kepentingari lainnya. Namun sayarig dalam pengelolaan area transisi ini belum terdapat kesepemahaman antar parapihak tersebut. Bahkan sebagian pihak tidak mengetahui tentang status cagar biosfer bagi daearh mereka, sehingga pengelolaan area transisi berjalan sendiri-sendiri.
Namun sebagai pemangku kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Balai Besar TN Lore Lindu bekerja sama dengan The Nature Conservancy telah berupaya membentuk forum kolaborasi ditingkat Propinsi Sulawesi Terigah yang disebut dengan Forum Pengelolaan Bersama Tn Lore Lindu (FPB — TNLL), yang beranggotakan multipihak. Di tingkat Kecamatan telah di bentuk Forum Wilayah Penyangga TN Lore Lindu (FWP — TNLL)
Kamis, 11 Oktober 2012
Catatan Perjalalan: Gunung Sojol: Antara Kelelahan Dan Keindahan
Oleh: Bebi, MK 90 153 10
(Penulis adalah Koordinator Bidang Danlog Mapala Kumtapala)
Desa Bobalo adalah salah satu Desa di Kecamatan Palasa, Kabupaten Parigi Moutong. Dengan luas wilayah mencapai 5.100 Ha. Kondisi alamnya mempunyai curah hujan sedang. Sehingga, cocok untuk lahan pertanian dan perkebunan. Desa Bobalo menjadi titik star pendakian Gunung Sojol dari arah timur. Mapala Kumtapala Fakultas Hukum Universitas Tadulako, yang juga tergabung dalam tim ekspedisi jalur timur itu, menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Yang mana tim ekspedisi kali ini terdiri dari tiga organisasi Pecinta Alam.
Bebi dengan, nama lapangan Pledoi, menjadi utusan Mapala Kumtapala untuk menjajaki keindahan dan panorama alam di Gunung Sojol, bagian timur. Melangkahkan kaki, dimulai dari titik 0 Mdpl, menjadi suatu keharusan yang tidak bisa ditolak untuk mencapai puncak gunung tertinggi di Sulawesi Tengah itu. Berdiri tegak, mengimbangi carier yang, sepertinya sebanding dengan berat badan ini, telah menghelaikan nafas yang, tidak ber-spasi.
Dari titik nol itu, tim ekspedisi bergerak, menuju pos 1, sebagai target awal dalam pendakian itu. Biasanya para pendaki, menggunakan kendaraan roda dua menuju, hampir ke pos 1. Namun, tim ekspedisi kali ini, berjalan, menantang tingginya emosi dan, teriknya matahari. Burung-burung penghibur, berkicau memekik telinga, menjadi penambah daya semangat tim ekspedisi saat itu. Lagu-lagunya yang merdu, seakan membawa kami kepersimpangan deker yang, berhiaskan lampu malam berwarna-warni. Daya pikat Gunung Sojol semakin menjerat. Dimana, tubuh yang membawa barang-barang berat tadi, semakin jauh semakin tidak terasa beban beratnya. Hingga, tim tiba di pos I dengan, jarak tempuh kurang lebih 7 jam. Desa Pebounang juga, merupakan salah satu desa di Kecamatan Palasa yang, harus dilewati ketika kita menempuh dijalur timur.
Disinilah pos I ditetapkan dan, tim ekspedisi menginap. Keramahan dari warga Pebounang semakin nampak, sambutan tangan yang terbuka lebar menenangkan hati dan jiwa yang begitu lelah. Esoknya, tim ekspedisi Gunung Sojol, kembali melanjutkan perjalanan. Setelah makan, packing, tim ekspedisi berdoa sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing. Jalur yang kami tempuh kali ini, merupakan bukit-bukit yang indah, pemukiman warga-pun sesekali kami temui. Jarak antara pos I dan pos II begitu berdekatan, hanya memakan waktu kurang lebih 3 jam. Sehingga, tim memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, menuju ke pos III. Hingga, sekitar pukul 17.32 wita, tim ekspedisi Gunung Sojol sampai di pos III. Rasa lelah, letih, kini semakin terasa, tapi rasa semangat yang tinggi seakan menguatkan mental tim ekspedisi. Canda tawa-pun hadir disela-sela kesibukan mempersiapkan tidur nantinya. Suasana persaudaraan kini semakin erat, ibarat pohon yang melekat pada tanah yang subur di pegunungan Sojol itu. Remang-remang, bulan sesekali
mengintip disela-sela pohon yang sedikit agak basah.
Foto Bareng. Dok; Mapala Kumtapala
Membutuhkan waktu untuk melihat seutuhnya, begitu juga dengan masakan, sudah tidak sabar lagi melahapnya. Seperti hari kemarin, pagi ini anggota tim bangun, sebelum matahari terbit dari balik gunung arah barat. Suhunya yang dingin menyebabkan kami, harus bergegas, bergeser dari rambu-rambu berbentuk panah. Pos IV menjadi sasaran tim ekspedisi kali ini. Tim berangkat sekitar pukul 07.58 wita. Membutuhkan tenaga ekstra untuk melalui jalur ini, sebab jalurnya sangat terjal dan licin. Sehingga, beberapa orang dari tim ekspedisi terjatuh, terpontang-panting, tidak dapat mengimbangi tubuh mereka.
Di pertengahan perjalanan mendapatkan punggungan yang memiliki dua jalur, yaitu: jalur mudah dilalui dan, yang sangat susah dilalui. Tapi kali ini tim memutuskan untuk melalui jalur yang susah itu, sebab banyak pendaki-pendaki lain, hanya melalui jalur yang mudah. Dijalur ini, tim menemui tiga punggungan yang, teramat menguras tenaga. Namun, satu hal yang membuat tim terpaku, adalah pemandangan alam yang begitu indah, awan-awan saling kejar tak punya finish. Belum lagi lautan luas, kebiru-biruan telah menghipnotis kami dipunggungan itu. Dari punggungan itu, jalur mengarahkan tim untuk turun ke sungai. Di sungai ini tim sejenak merendam sekujur tubuh yang, sejak dua hari lalu hanya di basahi oleh keringat. “Jangan senang dulu yah..!!! satu punggungan lagi yang, sedang menunggu kita di depan,” ungkap Ical, yang merupakan salah satu anggota tim ekspedisi. Kembali mengambil cariel, melanjutkan perjalanan dengan bermodalkan semangat tinggi.
Pos IV telah kami raih, dengan tantangan medan dan emosi yang sempat kami lumpuhkan. Disinilah kami menginap, disamping gereja, salah satu dusun di Desa Pebounang. Warga menawarkan beranekaragam makanan: ubi, talas, jagung dan, menawarkan rica. Perbincangan dengan warga makin serius, makin akrab, apalagi perbincangan itu menyangkut cara bercocok tanam mereka. Suku Lauje yang mendiami wilayah itu, semenjak dahulu suku Lauje bercocok tanam dengan melihat kondisi cuaca. Tanaman seperti apa yang cocok, ketika musim setiap bulannya berganti. Sampai pada waktunya istirahat, warga meninggalkan kami. Pagi tim ekspedisi terbangun, kembali melanjutkan perjalanan menuju ke pos V. jalur kali ini adalah jalur menurun dan, menuju ke sungai.
Suasana di Gunung Sojol. Dok: Mapala Kumtapala
Sungai itu mengarahkan tim ekspedisi ke jalur tanjakan sekaligus berbatu. Batu-batu itu menusuk telapak kaki, meskipun bervariasi, namun batu itu telah memperlambat langkah kami. Hal lain yang membuat langkah kami slow adalah lumpur. Lumpur bercampur tanjakan, sesekali membuat kami mundur beberapa langkah. Telah lama tim menunggu moment seperti ini, yaitu matahari terbenam di ufuk barat, dibayang-bayangi oleh awan yang, semakin lama semakin menipis. Pancarannya terbagi beberapa arah: utara, utara timur laut, timur laut, timur-timur laut, timur, timur menenggara, tenggara, selatan menenggara, selatan, selatan barat laut, barat daya, barat-barat daya, barat, barat laut, barat-barat laut, utara barat laut dan, utara. Tuhan telah menunjukkan hasil ciptaannya yang begitu indah.
Fenomena yang begitu jarang kami temukan, sehingga tidak ingin berpaling pandangan sebelum, pancaran sinarnya lenyap dan, digantikan dengan bulan. Akhirnya tim tiba di pos V. Meraihnya memang tidak mudah, cukup menguras tenaga. Saat itu matahari kelihatannya ingin menghilang di sisi Barat Daya arah kami. Tim pun bergegas mendirikan tenda, dengan kapasitas 6 orang. Suhu semakin dingin saja, sehingga memaksa kami untuk membuat api unggun, sebagai pengusir dinginnya alam yang, beraromakan persaudaraan. Pagi hari seperti biasanya tim berangkat menuju pos 6 yang merupakan pos terakhir dari ekspedisi itu, setelah selesai packing semua perbekalan tim berdoa dan melanjutkan perjalanan. Medan yang dilalui pun tak berbeda jauh dengan medan-medan yang dilalui sebelumnya namun hutan disekitar itu lebih rapat dari sebelumnya.
Pukul 03.30 tim sampai di pos 6, dan memutuskan untuk menginap. Malam itu tak sabar untuk menunggu datangnya pagi karena tinggal sehari lagi berjalan untuk mencapai puncak. Setelah pagi tiba tim menyiapakan perlengkapan yang akan di gunakan dan selesai berdoa tim berangkat menuju puncak, medan yang di lalui tentunya berbeda dengan medan sebelumnya yang berlumpur dan berbatu, medan itu lebih banyak menemukan lumut dan licin. Daya dukung semangat semakin besar, didorong oleh “khayalan” akan triangulasi, yang beberapa hari telah menunggu kami. Rasa penasaran yang semakin tinggi, sehingga spasi langkah makin tak teratur. Pukul 12.30 tim sampai di puncak Sojol. Puncak yang didengung-dengunkan oleh setiap pendaki. Triangulasi, yang seakan-akan ingin berbicara denganku “selamat datang” saat itu. Pancaran sinar matahari, memang terlihat di gunung paling tinggi di Sulawesi Tengah itu. Namun, dinginnya suhu seakan tak terhindari yang, senantiasa merasuki tubuh kami. Tim sebagian besar, hanya menghabiskan waktu untuk mengabadikan jejak kaki kami di samping triangulasi.
Setelah selesai ambil dokumentasi, tim kembali dengan perasaan legah. Tim harus bergegas pulang, setelah puas mengambil moment terendah dan berkesan itu. Di dalam perjalanan pulang, tak sedikit anggota tim terpeleset, karena medan yang licin, sangar, menantang, juga berlumpur. Akhirnya, tim tiba di pos VI, sekitar pukul 03.00, dan memutuskan untuk menginap semalam lagi. Pagi pukul 07.00, tim berangkat menuju perjalanan pulang, sekitar 3 jam berjalan menurun, pos V sudah di depan mata. Tim memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, karena melihat waktu masih cukup untuk melanjutkan. Sebelum tiba di pos 4 tim sejenak membersihkan diri disungai. Tepat jam 12.00, akhirnya tim sampai di pos 4, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan menginap di samping gereja.
Desa Pebounang nama yang telah disebutkan diatas. Malam itu banyak warga yang antusias untuk menanyakan tentang perjalanan tim. Komunikasi kami dan warga sangat lancar karena semua warga senang dan sangat ramah. Tiba waktu istirahat warga pun meninggalkan kami. Dan perjalan besok di lanjutkan lebih awal. Pagi hari. Pagi yang cerah menurutku, kicauan burung mulai memekik telinga, setelah semalaman tertidur lelap. Dipohon rindang, berdiri kokoh tempat mereka bersarang. Burung-burung itu terlihat senang, karena rumah mereka tidak terancam oleh suara gauman sensor, yang akan menghilangkan sumber kehidupan mereka. Pada pukul 06.00, tim berangkat meninggalkan Desa Pebounag dan semua warganya. Dalam perjalan pulang tim memilih jalur yang lebih mudah di lalui. Jalur “sumpit” adalah penyebutan jalur itu. Jalurnya agak sedikit licin, dibasahi oleh embun pagi, maklum, masih dalam ketinggian.
Indah, suasana yang mungkin tak terlupakan bagiku, sebab ada beberapa anggota tim bergantian menyambarkan pantatnya di tanah, yang agak sedikit basah. Yahhh…!!! Itulah moment, yang teramat lucu bagiku. Pecahan-pecahan suara tertawa terdengar dari arah belakang dan depan. Akhirnya, sekitar pukul 02.00, tim sampai di pos I, yang merupakan tempat nginap pertama. Tim hanya menghabiskan waktu untuk beristirahat kurang-lebih 30 menit. Dan melanjutkan perjalanan menuju Desa Bobalo. Sekitar pukul 04.00 tim sampai di Desa Bobalo. Di desa itu kami berbagi cerita, bersama warga dan kawan-kawan lain.
Sedikit bercerita mengenai perjalanan, yang sangat berkesan. Walaupun belum akurat, namun bisa dipastikan akan bermanfaat, terutama bagiku.
Eksistensi Sanksi Pidana Adat Masyarakat Adat Tau Taa Wana
Oleh: Sutanto Saganta, SH
Kita akan tertarik ketika membaca Tesis, “Sanksi Pidana Adat Masyarakat Tau Taa Wana Dan Kontribusinya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,” yang ditulis oleh salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako, MHR. Tampubolon. Tesis ini, diharapkan akan menjadi kontribusi dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dimana semangat tersebut telah lama di cita-citakan agar kita bisa memiliki peraturan hukum yang bernuansa ke Indonesiaan serta sesuai dengan nilai-nilai dan budaya kita sendiri. Sebagai negara yang pernah di jajah maka kita masih mewarisi hukum yang berasal dari penjajah tersebut termasuk dalam hukum pidana (W,v,S). Hukum yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum kolonial. Sementara itu, Ilmu hukum (sistem hukum) di dalam masyarakat Indonesia mengandung karakteristik yang berbeda karena berdasarkan pada konsep/ide-ide/wawasan yang berbeda juga.
Hukum Adat Sebagai Penyeimbang Terhadap Perilaku Menyimpang
“Ubi Societas, Ibi Lus” (di mana ada masyarakat, disana ada hukum), sepintas mungkin kita akan percaya dengan kata-kata itu bahwa dalam hidup bermasyarakat akan menjamin keadilan dan kepastian hukum, maka dalam masyarakat itu perlu ada aturan-aturan yang sifatnya mengikat yang juga di lengkapi sanksi guna pencapaian tujuan tersebut. Dalam masyarakat yang masih mempraktekkan adat dan tradisinya, biasanya aturan atau hukum yang berlaku ialah hukum adat. Salah satu komunitas yang masih mempraktekkan hukum adat adalah komunitas Tau Taa Wana.
Adapun yang dimaksud dengan aturan adat adalah, seperangkat aturan yang tidak tertulis atau yang biasa di bahasakan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law). Hukum yang hidup atau juga yang dikenal dengan hukum kebiasaan tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Laporan Seminar Hukum Nasional ke VI Tahun 1994 bahwa: Hukum kebiasaan mengandung arti yakni:
a. Dalam arti identik dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat:
b. Dalam arti kebiasaan yang diakui masyarakat dan mengambil keputusan (decision maker) sehingga lambat laun menjadi hukum (gewoonte recht/costomory law). Hukum kebiasaan ini bersifat nasional dimulai sejak proklamasi kemerdekaan, terutama dalam bidang hukum tata negara, hukum kontrak hukum ekonomui dan sebagainya.
Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang penting dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya menjadi aturan semata yang ada dalam masyarakat akan tetapi juga menjadi penyeimbang terhadap perbuatan-perbuatan atau perilaku yang dianggap menganggu keseimbangannya. Dalam komunitas masyarakat adat Tau Taa Wana yang secara internal hukum adatnya masih sangat kuat berlaku dan dipatuhi juga memiliki aturan-aturan sebagai penyeimbang tersebut dan apabila ada yang melakukan pelanggaran norma adat tadi maka, orang tersebut akan diberikan sanksi atau Givu. Givu di yakini oleh masyarakat adat Tau Taa Wana sebagai sarana untuk mengembalikan ketenteraman magis antara alam lahir dan alam gaib, sekaligus meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial (kapali atau pamali). Atau hal lain yang dilakukan adalah upacara tulak bala atau yang dikenal oleh masyarakat adat Tau Taa Wana dengan ritual Pala-mpa yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dari kekuatan magis yang dirasakan telah terganggu.
Eksistensi Pidana Adat Masyarakat Tau Taa Wana Dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Seperti yang diuraikan dalam Tesis tersebut, bahwa masyarakat Tau Taa Wana adalah masyarakat yang masih memiliki dan mematuhi nilai-nilai adat serta menjunjung nilai tersebut terjadi pelanggar adat, maka yang berperan adalah perangkat adatnya (Ketua Adat) di mana sanksi atau Givu adat diberikan lewat peradilan adatnya. Masyarakat adat Tau Taa Wana, juga mempersepsikan bahwa perbuatan melanggar hukum adat sebagai aturan (ada) yang diwariskan oleh para leluhur mereka adalah perbuatan tidak menghormati atau menghargai nenek moyang (ntau tua) dalam bahasa Taa disebut Kapali. Sebagai perbuatan yang memalukan atau pantang. Perbuatan yang bermakna kapali, merupakan perbuatan yang jahat dan sangat tercela, (mangingka pogusa) karena dapat mengganggu keseimbangan (ketertiban) sosial, sehingga selayaknya diberi sanksi pidana adat atau givu. Eksistensi hukum adat tersebut menjadi faktor penentu untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan bersama dalam masyarakat Tau Taa Wana yaitu hidup tentram dan damai.
Sanksi/Givu sebagai Faktor Penentu Tegaknya Hukum Adat
Sanksi pidana adat mempunyai peranan penting dalam masyarakat adat, yang tidak saja tindak pidana (delic) adat yang menganggu kehidupan masyarakat yang diberi sanksi, akan tetapi pelanggaran (delic) adat yang menganggu kehidupan perorangpun juga dikenakan. Penerapan sanksi pidana adat berdasarkan konspesi hukum adat, bertujuan untuk mengembalikan dan menjamin keseimbangan kosmis, dimana keseimbangan di fokuskan pada dunia lahir dan gaib, guna mendatangkan rasa damai antara sesama warga masyarakat adat dan masyarakat lainnya. Selain itu tujuan pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum, korban dan masyarakat, sehingga dengan demikian maka gangguan, ketidakseimbangan atau konflik akibat pelanggaran adat akan kembali normal dalam keseimbangan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai adat pada komunitas masyarakat Tau Taa Wana sering kali terjadi, namun, dengan diterapkannya hukum adat serta pemberian Sanksi/Givu kepada pelanggar tersebut keseimbangan dapat di capai dengan mengedepankan rasa keadilan yang memang bersumber dari masyarakat tersebut. Sanksi pidana adat yang dikenal di masyarakat adat Tau Taa Wana seperti Givu ada bayar (denda), Vintasi (ganti rugi), mawali watua (kerja sukarela/kerja). Dalam penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, peranan Ketua Adat (ketua ada) sangatlah penting, sebab, yang akan menjatuhkan sanksi/Givu tersebut adalah ketua adat.
Hukum Adat di Antara Belenggu Hukum Negara
Keberanian masyarakat hukum adat Tau Taa Wana, adalah salah satu lingkungan hukum yang ada di pulau Sulawesi, tepatnya Propinsi Sulawesi Tengah yang secara internal hukum adatnya masih sangat kuat berlaku dan dipatuhi, dan juga merupakan sumber kekayaan hukum pidana nasional. Hukum adat merupakan warisan dari para leluhur yang dalam penjabaran merupakan hukum yang tidak tertulis, sementara, hukum negara adalah aturan yang di buat oleh lembaga yang berwenang mengeluarkan produk hukum dimana, dalam proses pembuatannya bernuansa politis. Tesis tersebut juga menjelaskan bagaimana sistem hukum pidana adat sering terabaikan dalam kebijakan formulasi peraturan perundang-undangan pidana. Sanksi pidana adat yang selama ini hidup dan berkembang tidak menjadi salah satu faktor penentu dalam mengenakan atau menjatuhkan sanksi pidana, memang kita juga harus menyadari sebagai konsekuensi dari negara hukum yang lebih mengedepankan asas legalitas sehingga segala sesuatunya itu harus di atur terlebih dalam produk peraturan yang tertulis, namun hal tersebut tidaklah menjadi alasan terhadap pengakuan hukum adat tersebut yaitu dengan lahir Undang-undang Nomor 14 Tahun Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (1) bahwa: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Tugas hakim tidaklah hanya menjatuhkan putusan di pengadilan melainkan juga mencari dan menggali keadilan yang sejati dapat terwujud.
Bagaimana Dengan Kita?
Besar harapannya Tesis yang ditulis oleh Bapak MHR Tampubolon tersebut dapat memberikan sumbangsih terhadap pembaharuan hukum pidana Indonesia yang mana kita ketahui bersama bahwa semangat untuk melakukan pembaharuan, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1960-an. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai ke Indonesiaan merupakan keharusan. Seperti yang terungkap dalam Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar hukum Nasional I Tahun 1963 yang termuat dalam Resolusi Butir IV.
Indonesia negara besar memiliki hukum yang hidup dalam masyarakat yang sangat plural antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, contohnya masyarakat Tau Taa Wana yang juga memiliki aturan-aturan adatnya sendiri, namun hal tersebut belum mendapat tempat yang strategis dalam peraturan tidak bertentang dengan Undang-undang yang berada di atasnya (lex superior derogot legi inferiori) serta harus mendapatkan pengakuan terlebih dahulu.
Kita sudah seharusnya menghormati nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat adat, sebab nilai kepatutan terhadap hukum di dalam masyarakat adat akan lebih tinggi kepatutan terhadap nilai-nilai adatnya, yang pada hukum positif yang dibuat oleh negara. Proses pembuatan tesis tersebut bukanlah pekerjaan gampang sebab lokasi penelitian harus menelusuri sungai Bongka dan melewati gunung yang terjal, bahkan penulis sendiri sempat sakit Demam maklum di daerah tersebut terkenal dengan nyamuknya namun itu tidak menjadi halangan untuk melakukan penelitiannya.
Tulisan ini, seluruhnya bersumber dari Majalah Silo Edisi 25 Tahun 2007. (Yayasan Merah Putih)
Kita akan tertarik ketika membaca Tesis, “Sanksi Pidana Adat Masyarakat Tau Taa Wana Dan Kontribusinya Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,” yang ditulis oleh salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako, MHR. Tampubolon. Tesis ini, diharapkan akan menjadi kontribusi dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia dimana semangat tersebut telah lama di cita-citakan agar kita bisa memiliki peraturan hukum yang bernuansa ke Indonesiaan serta sesuai dengan nilai-nilai dan budaya kita sendiri. Sebagai negara yang pernah di jajah maka kita masih mewarisi hukum yang berasal dari penjajah tersebut termasuk dalam hukum pidana (W,v,S). Hukum yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum kolonial. Sementara itu, Ilmu hukum (sistem hukum) di dalam masyarakat Indonesia mengandung karakteristik yang berbeda karena berdasarkan pada konsep/ide-ide/wawasan yang berbeda juga.
Hukum Adat Sebagai Penyeimbang Terhadap Perilaku Menyimpang
“Ubi Societas, Ibi Lus” (di mana ada masyarakat, disana ada hukum), sepintas mungkin kita akan percaya dengan kata-kata itu bahwa dalam hidup bermasyarakat akan menjamin keadilan dan kepastian hukum, maka dalam masyarakat itu perlu ada aturan-aturan yang sifatnya mengikat yang juga di lengkapi sanksi guna pencapaian tujuan tersebut. Dalam masyarakat yang masih mempraktekkan adat dan tradisinya, biasanya aturan atau hukum yang berlaku ialah hukum adat. Salah satu komunitas yang masih mempraktekkan hukum adat adalah komunitas Tau Taa Wana.
Adapun yang dimaksud dengan aturan adat adalah, seperangkat aturan yang tidak tertulis atau yang biasa di bahasakan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law). Hukum yang hidup atau juga yang dikenal dengan hukum kebiasaan tersebut sebagaimana yang tertuang dalam Laporan Seminar Hukum Nasional ke VI Tahun 1994 bahwa: Hukum kebiasaan mengandung arti yakni:
a. Dalam arti identik dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat:
b. Dalam arti kebiasaan yang diakui masyarakat dan mengambil keputusan (decision maker) sehingga lambat laun menjadi hukum (gewoonte recht/costomory law). Hukum kebiasaan ini bersifat nasional dimulai sejak proklamasi kemerdekaan, terutama dalam bidang hukum tata negara, hukum kontrak hukum ekonomui dan sebagainya.
Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang penting dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya menjadi aturan semata yang ada dalam masyarakat akan tetapi juga menjadi penyeimbang terhadap perbuatan-perbuatan atau perilaku yang dianggap menganggu keseimbangannya. Dalam komunitas masyarakat adat Tau Taa Wana yang secara internal hukum adatnya masih sangat kuat berlaku dan dipatuhi juga memiliki aturan-aturan sebagai penyeimbang tersebut dan apabila ada yang melakukan pelanggaran norma adat tadi maka, orang tersebut akan diberikan sanksi atau Givu. Givu di yakini oleh masyarakat adat Tau Taa Wana sebagai sarana untuk mengembalikan ketenteraman magis antara alam lahir dan alam gaib, sekaligus meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial (kapali atau pamali). Atau hal lain yang dilakukan adalah upacara tulak bala atau yang dikenal oleh masyarakat adat Tau Taa Wana dengan ritual Pala-mpa yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dari kekuatan magis yang dirasakan telah terganggu.
Eksistensi Pidana Adat Masyarakat Tau Taa Wana Dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Seperti yang diuraikan dalam Tesis tersebut, bahwa masyarakat Tau Taa Wana adalah masyarakat yang masih memiliki dan mematuhi nilai-nilai adat serta menjunjung nilai tersebut terjadi pelanggar adat, maka yang berperan adalah perangkat adatnya (Ketua Adat) di mana sanksi atau Givu adat diberikan lewat peradilan adatnya. Masyarakat adat Tau Taa Wana, juga mempersepsikan bahwa perbuatan melanggar hukum adat sebagai aturan (ada) yang diwariskan oleh para leluhur mereka adalah perbuatan tidak menghormati atau menghargai nenek moyang (ntau tua) dalam bahasa Taa disebut Kapali. Sebagai perbuatan yang memalukan atau pantang. Perbuatan yang bermakna kapali, merupakan perbuatan yang jahat dan sangat tercela, (mangingka pogusa) karena dapat mengganggu keseimbangan (ketertiban) sosial, sehingga selayaknya diberi sanksi pidana adat atau givu. Eksistensi hukum adat tersebut menjadi faktor penentu untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan bersama dalam masyarakat Tau Taa Wana yaitu hidup tentram dan damai.
Sanksi/Givu sebagai Faktor Penentu Tegaknya Hukum Adat
Sanksi pidana adat mempunyai peranan penting dalam masyarakat adat, yang tidak saja tindak pidana (delic) adat yang menganggu kehidupan masyarakat yang diberi sanksi, akan tetapi pelanggaran (delic) adat yang menganggu kehidupan perorangpun juga dikenakan. Penerapan sanksi pidana adat berdasarkan konspesi hukum adat, bertujuan untuk mengembalikan dan menjamin keseimbangan kosmis, dimana keseimbangan di fokuskan pada dunia lahir dan gaib, guna mendatangkan rasa damai antara sesama warga masyarakat adat dan masyarakat lainnya. Selain itu tujuan pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum, korban dan masyarakat, sehingga dengan demikian maka gangguan, ketidakseimbangan atau konflik akibat pelanggaran adat akan kembali normal dalam keseimbangan. Pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai adat pada komunitas masyarakat Tau Taa Wana sering kali terjadi, namun, dengan diterapkannya hukum adat serta pemberian Sanksi/Givu kepada pelanggar tersebut keseimbangan dapat di capai dengan mengedepankan rasa keadilan yang memang bersumber dari masyarakat tersebut. Sanksi pidana adat yang dikenal di masyarakat adat Tau Taa Wana seperti Givu ada bayar (denda), Vintasi (ganti rugi), mawali watua (kerja sukarela/kerja). Dalam penegakan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, peranan Ketua Adat (ketua ada) sangatlah penting, sebab, yang akan menjatuhkan sanksi/Givu tersebut adalah ketua adat.
Hukum Adat di Antara Belenggu Hukum Negara
Keberanian masyarakat hukum adat Tau Taa Wana, adalah salah satu lingkungan hukum yang ada di pulau Sulawesi, tepatnya Propinsi Sulawesi Tengah yang secara internal hukum adatnya masih sangat kuat berlaku dan dipatuhi, dan juga merupakan sumber kekayaan hukum pidana nasional. Hukum adat merupakan warisan dari para leluhur yang dalam penjabaran merupakan hukum yang tidak tertulis, sementara, hukum negara adalah aturan yang di buat oleh lembaga yang berwenang mengeluarkan produk hukum dimana, dalam proses pembuatannya bernuansa politis. Tesis tersebut juga menjelaskan bagaimana sistem hukum pidana adat sering terabaikan dalam kebijakan formulasi peraturan perundang-undangan pidana. Sanksi pidana adat yang selama ini hidup dan berkembang tidak menjadi salah satu faktor penentu dalam mengenakan atau menjatuhkan sanksi pidana, memang kita juga harus menyadari sebagai konsekuensi dari negara hukum yang lebih mengedepankan asas legalitas sehingga segala sesuatunya itu harus di atur terlebih dalam produk peraturan yang tertulis, namun hal tersebut tidaklah menjadi alasan terhadap pengakuan hukum adat tersebut yaitu dengan lahir Undang-undang Nomor 14 Tahun Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (1) bahwa: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Tugas hakim tidaklah hanya menjatuhkan putusan di pengadilan melainkan juga mencari dan menggali keadilan yang sejati dapat terwujud.
Bagaimana Dengan Kita?
Besar harapannya Tesis yang ditulis oleh Bapak MHR Tampubolon tersebut dapat memberikan sumbangsih terhadap pembaharuan hukum pidana Indonesia yang mana kita ketahui bersama bahwa semangat untuk melakukan pembaharuan, sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1960-an. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai ke Indonesiaan merupakan keharusan. Seperti yang terungkap dalam Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar hukum Nasional I Tahun 1963 yang termuat dalam Resolusi Butir IV.
Indonesia negara besar memiliki hukum yang hidup dalam masyarakat yang sangat plural antara daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, contohnya masyarakat Tau Taa Wana yang juga memiliki aturan-aturan adatnya sendiri, namun hal tersebut belum mendapat tempat yang strategis dalam peraturan tidak bertentang dengan Undang-undang yang berada di atasnya (lex superior derogot legi inferiori) serta harus mendapatkan pengakuan terlebih dahulu.
Kita sudah seharusnya menghormati nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat adat, sebab nilai kepatutan terhadap hukum di dalam masyarakat adat akan lebih tinggi kepatutan terhadap nilai-nilai adatnya, yang pada hukum positif yang dibuat oleh negara. Proses pembuatan tesis tersebut bukanlah pekerjaan gampang sebab lokasi penelitian harus menelusuri sungai Bongka dan melewati gunung yang terjal, bahkan penulis sendiri sempat sakit Demam maklum di daerah tersebut terkenal dengan nyamuknya namun itu tidak menjadi halangan untuk melakukan penelitiannya.
Tulisan ini, seluruhnya bersumber dari Majalah Silo Edisi 25 Tahun 2007. (Yayasan Merah Putih)
Membebat Mitologi Pahlawan Megalit
TIDAK banyak orang tahu situs-situs megalitikum di nusantara, apalagi yang letaknya di timur Indonesia tepatnya di Desa Doda, Dataran Tinggi Behoa Kabupaten Poso Sulawesi Tengah ini. Bahkan Wiyono Yudoseputro, seorang ahli seni rupa purba menyatakan bahwa salah satu patokan masa Megalitikum tertua di Indonesia adalah peninggalan benda temuan yang terdapat di Lembah Bada Sulawesi Tengah. Struktur batunya masih kelihatan jelas dengan garis pahatan yang sederhana dan kasar. Bila dibandingkan dengan peninggalan Megalitik di Sumatera yang lebih maju, dilihat dari pahatan yang lebih halus dan bentuknya lebih dinamis.
Dari sekian banyak hasil peninggalan masa Megalitik ada sebuah patung peninggalan purba yang menunjukkan patung manusia tegak lurus dengan langit, tingginya 2 meter. Patung itu memiliki energi secara kultural dan filosofi bagi etnis Kaili, Kulavi, Napu, Behoa, Bada, Mori dan Pamona di Sulawesi Tengah. Secara arkeologi dan antropologi dari peninggalan Megalitik tersebut menjadikan penelusuran awal untuk memahami asal-usul istilah Tadulako yang menjadi legenda. Bagi masyarakat, Tadulako melambangkan pemimpin perang yang penuh kharisma, ksatria, perkasa, adil, dan bijaksana. Di sekitar patung Tadulako terdapat dua buah Kalamba yang berukuran besar, satu terbuka dan satunya tertutup.
Kalamba yang terbuka berisi air hujan, sedang yang tertutup tidak diketahui isi dalamnya karena materi batu yang sangat berat hingga tidak pernah dibuka. Sehingga semakin menambah misteri apa yang terdapat di dalamnya, kecuali beberapa kalamba tanpa penutup di ekitar Lembah Behoa sudah diketahui, diantaranya berupa tulang-tulang manusia yang pada tahun 2000 tulang-tulang tersebut di bawa ke Jakarta oleh tim peneliti kepurbakalaan.
Ekspedisi Tadulako
Sulitnya menguak tabir Megalitik di Lembah Besoa disebabkan oleh medan perbukitan yang terjal. Hingga penulis dan sejumlah rekannya melaksanakan Ekspedisi Tadulako yang ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 157 km. Di area tersebut, belum ada angkutan atau kendaraan yang mampu melewatinya, mengingat lokasi yang ekstrem.
Inilah awal kesaksian penulis, pembuktian dari era Megalitikum sampai generasinya berpindah ke zaman migrasi dan zaman sejarah, dimana terdapat dua paduan klasik dan saverigading.
Tadulako adalah ksatria yang jasa-jasanya menyatukan suku-suku yang dulunya bertikai kini menjalin kekerabatan. Oleh masyarakat Behoa dibuatlah Patung Megalit Tadulako di bukit Bulili, Desa Doda Kecamatan Lore Tengah.
Legenda Tadulako
Tadulako adalah gelar yang diberikan kepada pemimpin karena keberanian dan kepahlawanan membela tanahnya.
Alkisah, di Desa Doda Lembah Behoa hidup suami istri yang cukup lama belum dianugrahi anak, dengan doa dan takdir cinta mereka dikaruniai seorang putra. Mereka memberinya nama Lengkatuwo. Lengka artinya purnama dan tuwo artinya hidup. Bila dipadankan dua kata tersebut bermakna hidup sempurna. Lengkatuwo ini adalah nama lain dari Tadulako.
Waktu demi aktu berlalu Tadulako beranjak dewasa berbagai ilmu kanuragan, beladiri, menombak dan memanah ia kuasai dengan detil. Keahliannya itu cepat tersebar ke berbagai kampung. Suatu waktu, ia diundang untuk membantu suku Bada menghadapi serangan orang-orang Waebonta di wilayah Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sebelum berangkat ke medan perang, ibunya berpesan bila selesai tugas cepat pulang, sebab tunangannya sudah menunggu di tanah kelahiran.
Tadulako melawan musuhnnya diakhiri dengan kemenangan demi kemenangan. Bahkan perdamaianpun terjalin, sehingga orang Bada merasa berhutang budi padanya. Ia diminta untuk menikahi putri raja yang jelita dan menetap di Bada. Dilema terjadi dalam diri Tadulako. Namun ia putuskan untuk menerima pinangan itu.
Suatu hari tadulako bersama istrinya yang hamil pulang ke Behoa. Kedatangannya dijemput dengan upacara kebesaran sebagai ksatria perang, meski demikian orangtuanya kecewa terlebih sang kekasih yang sudah lama menunggu. Beberapa waktu kemudian, Tadulako bertandang ke rumah kekasih lama yang saat itu sedang asik menumbuk padi dengan lesung. Tiba-tiba saja, kekasih yang murka menghujamkan alu ke kepala Tadulako. Tak ayal, Tadulako yang terkenal sakti tersungkur ke tanah. Pendudukpun gempar, ahli perang yang tak mudah ditaklukan musuh-musuhnya tewas di tangan seorang wanita.
Selasa, 09 Oktober 2012
Mengintip Pipikoro, Negeri di Pinggir Awan
Kehidupan Pipikoro tak jauh berbeda dengan kondisi jalanannya, berada di pinggiran sulit.
Kami tiba di Watukilo, Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi pukul 23.00 kamis malam, (24/5). Setelah menempuh dua jam lebih perjalanan dari Kota Palu. Malam itu kami menumpang nginap di rumah Pak Marten, kenalan seorang rekan yang waktu itu ikut mengantar. Hawa dingin menyeruak hingga ke ruang tengah rumah persegi itu, membuat kami bersungut-sungut di hadapan secangkir kopi.
Kopi tumbuk khas Kulawi itu saya teguk berulang-ulang, sepertinya cukup ampuh menghilangkan rasa mual dalam perjalanan. Bagaimana tidak, jalanan berkelok-kelok, dan tubuh saya memang lelah dalam seharian itu. Tapi, kelelahan dan dinginnya malam tak membuat pikiran saya berhenti untuk merancang rute perjalanan jumat hingga minggu lusa. Soalnya, dalam tiga hari itu saya dan Pak Muhammad Subarkah (wartawan Bisnis Indonesia) harus memotret perjalanan sistem layanan hak-hak dasar berupa pendidikan dan kesehatan di tiga desa Kecamatan Pipikoro, yaitu di Porelea, Lonebasa, dan Lawe.
Untung malam itu sinyal handphone cukup kuat di Watukilo, segera saya mengontak Satrianto, yang tak lain direktur Perkumpulan Karsa untuk menggali informasi mengenai rute dan tokoh-tokoh penting yang akan ditemui. Padahal, pemahaman mengenai informasi geografis, kondisi medan, jumlah desa sasaran, sebelumnya begitu gelap. Pak Subarkah, yang merupakan teman jalan dalam tiga hari itu pun terlihat minim informasi mengenai kondisi lapangan. Dari percakapan singkat dengan Satrianto, kami pun memutuskan untuk ke Desa Porelea esok paginya.
Kami bangun tak pagi betul, Subarkah malah bangun pada pukul delapan lewat. Dinginnya pagi membuat kami berleyeh-leyeh. Pukul 09.00, Enos, supir ojek datang, sontak menyadarkan kami untuk segera menyiapkan diri berangkat ke Pipikoro. Ia membawa kabar baik, katanya Kepala Desa Porelea ada di rumah pak Sekretaris Camat Pipikoro, yang letaknya hanya satu kilometer dari rumah Pak Marten. Mendengar itu, dewi fortuna terasa begitu dekat.
Kami menyambangi kediaman Sekcam Pipikoro untuk bertemu Kepala Desa, Abed Nego, 55 tahun. Kami pun berbincang tentang gambaran kondisi di Desa Porelea. “Kondisi jalan parah Mas, disana PLN belum masuk, masih menggunakan tenaga diesel, rencananya nanti mau gunakan tenaga air,” ungkap Smar, Sekcam Pipikoro. Porelea merupakan desa baru, pemekaran dari Desa Onu pada tahun 2008. Kata Pak Abed nego, ia sudah mempersiapkan para kader di desanya, untuk kami wawancarai. Alhamdulillah.
Sekembali dari kediaman Sekcam, kami berangkat ke pipikoro, yang awalnya menumpangi mobil hingga ke perbatasan Gimpu, akhir jalan aspal yang bisa dilalui mobil. Yang dilanjutkan dengan menumpang ojek motor menuju Porelea yang menghabiskan waktu 1,5 jam. Dalam perjalanan kami ditemani Pak desa, kami beberapa kali berhenti di jalan untuk melihat di kejauhan posisi Porelea, yang letaknya di atap gunung.
Perjalanan ke desa itu cukup sulit, medan berupa pendakian di lereng-lereng gunung, kadang menuruni lembah dengan kemiringan curam. Membuat tukang ojek memodifikasi motornya dengan gir yang dirancang khusus, juga memaksanya untuk mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Ongkos ke sana pun tak sedikit, bayangkan, hanya berjarak 24 kilometer ke Porelea kita harus merogoh kocek Rp. 150 ribu/perorang.
Konon, jalan pendakian ini dulu hanya bisa dilalui oleh kuda dengan perjalanan setengah hari. Kendaraan motor ojek mulai masuk ke desa-desa Pipikoro pada tahun 2001 – 2002. Pembukaan jalan motor awalnya dinisiasi oleh seorang Komandan Babinsa (Bintara Pembina Desa), yang bernama Wempi Gesa Dombu ( ). Pada tahun 1999 Wempi bertugas sebagai Babinsa di Kec. Pipikoro, pada 2001 ia menghadirkan 12 buah ojek. “Modal sebesar Rp. 80 juta saya kerahkan untuk memasukkan motor ojek ke Pipikoro, dua tahun beroperasi, motor saya banyak yang rusak. Sayangnya, banyak juga warga pipikoro yang terkena tipu oleh tukang ojek, karena barang tumpangan yang diangkut oleh tukang ojek ke Gimpu banyak yang tidak kembali. Pristiwa itu membuat warga Pipikoro berpikir untuk memiliki motor sendiri,” ujar Wempi. Sejak itu, warga mulai ramai-ramai menukar kudanya dengan motor, biasa satu motor ditukar dengan empat ekor kuda, seekor kuda umumnya dihargai Rp. 1,5 juta.
Desa Porelea
Menginjak Porelea, kita seperti menjejak sebuah negeri yang ditemukan. Negeri yang tersembul di atas pasak bumi. Padahal, jaraknya tak jauh dari pangkal keramaian, 24 kilometer dari Gimpu. Lantaran sulitnya medan untuk menemukan porelea, desa ini belum bisa menikmati modernitas sepenuhnya. Di desa seluas 6,59 Km2 itu, manusia masih mengandalkan teknik perkebunan sederhana, mempersiapkan kebutuhan pangan dari ladang berpindah dan bersifat subsistem atau bukan untuk diperjualbelikan.
Dalam perjalanan kami sudah menemui beberapa warga Porelea, ada yang sementara memperbaiki jalan setapak dan ada yang lagi membersihkan kebun cokelatnya. Desa ini ditemui setelah kita melewati lorong-lorong kebun cokelat, lalu jalan setapak berwarnah kemerahan itu menghantarkan kita pada pagar-pagar bambu halaman rumah warga. Yang di dalamnya ditanaminya jagung, beberapa pohon cokelat, kopi, dan tanaman jenis obat-obatan, seperti kumis kucing. Rumah warga terbuat dari papan kayu, berjendela anyaman bambu, ada juga rumah yang sudah berupa rumah batu. Yang mentereng adalah bangunan gereja yang berdiri kokoh di ketinggian. Warnanya cerah, memancarkan semangat perjuangan warga Porelea.
Kami istirahat di teras halaman rumah Kepala Desa/Abed nego, meminum kopi, mengambil gambar, dan menikmati suasana desa. petani lalu lalang di jalan depan rumah, di punggung mereka melengket bakul dari anyaman bambu, mereka menyebutnya Kapipi. Bakul inilah menjadi tas seribu ummat di Pipikoro, digunakan untuk menampung hasil petikan kopi. Rumah Abed tidak besar, tapi cukup sebagai tempat berteduh tiga keluarga di dalamnya. Kami pun memulai perbincangan dengan Abed yang saat itu lagi menggendong cucunya yang termuda.
Saat ini Porelea diterangi dengan bantuan tenaga diesel yang menggunakan genset. “Pengadaan Solar kami ambil dari iuran warga yang dibayar perminggu. Kami menghabiskan 35 liter setiap minggu. Biaya perliter sebesar Rp. 6 ribu dengan ongkos angkut per-jerigen sebesar RP. 35 ribu,” terang Abed. Sekarang terdapat 78 kepala keluarga (KK) yang menggunakan listrik ini, dalam satu rumah terdapat tiga KK. jumlah keseluruhan KK di desa ini yaitu 203 KK, dengan jumlah penduduk 984 jiwa.
Abed yang dibantu Sekcam telah menyusun proposal untuk pembangunan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) yang ditujukan ke Dinas Pertambangan. “Dulu pernah kami membuat proposal untuk penyediaan 160 unit pembangkit listrik tenaga surya, tapi setelah mempertimbangkan bahwa untuk memenuhi 240 Kepala Keluarga rasa-rasanya tidak cukup. Makanya kami alihkan ke PLTMH,” kata Abed. di pertengahan jalan menuju Porelea, Abed memperlihatkan dua model tenaga mikrohidro, satu milik pribadi, satu lagi dari program PNPM Mandiri Pedesaan, yang pengerjaannya belum rampung. Tampaknya, melihat potensi arus sungai yang deras, desa ini cocok untuk menggunakan tenaga mikrohidro. Tinggal bagaimana meningkatkan daya energi, sehingga kebutuhan desa listrik mencukupi.
Di Porelea, cokelat menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat. Meski sebenarnya produksi kopi masih terdengar seksi. Beberapa tahun lalu, orang ramai-ramai menebang sebagian kopinya untuk menanam cokelat di kebun. Rata-rata harga cokelat perkilo sekitar Rp. 17.000, sementara kopi robusta seharga Rp 20.000 perkilo. Meski harga kopi lebih tinggi, cokelat tetap menjadi idola, lantaran proses pemanenannya dapat dilakukan tiap hari, dan penjualan ke Gimpu dapat dilakukan setiap pekan. Kopi jangka panennya sangat lama, yaitu 5 – 6 bulan, bahkan ada yang cuma satu kali dalam setahun. “Ada warga menanami sawah ladangnya dengan cokelat, harga satu kilo cokelat sebanding dengan tiga kilo beras. Perawatan sawah juga susah, harus pakai pupuk urea satu sak dengan harga Rp. 50.000. Kalau cokelat, satu kali tanam bisa panen terus,” terang Smar, Sekcam Pipikoro.
Sebelum cokelat masuk dan meyebar pada 1988, warga masih memanfaatkan hewan ternak yang dipelihara dengan membiarkannya bebas berkeliaran di desa. cokelat sudah dikenal, namun keberadaan hewan ternak cukup menganggu penanaman dan pemeliharaan cokelat. “Selama enam bulan kami menangkap sapi, sapi terkumpul sampai 87 ekor,” ungkap Abed nego, yang waktu itu masih sebagai kepala dusun di Desa Onu. Sapi yang sudah tertangkap diikat satu persatu dihalaman rumah. Orang pun ramai-ramai menjual sapinya yang saat itu dihargai Rp. 250.000 persapi. Namun, banyak pula sapi yang mati percuma, lantaran warga waktu itu fokus untuk pembukaan lahan kebun cokelat.
Di rumah Abed, waktu terasa begitu ringkas, tak terasa sudah pukul 15.30, waktu itu kami sudah wawancara dengan dua kader kesehatan, yaitu Selestin (41) yang merupakan dukun bayi dan Alficanus (41) yang menangani kesehatan anak yang juga merangkap sebagai sekretaris desa. tak terasa pula, ternyata kami belum makan dan lupa shalat jumat. Hari itu, keyakinan begitu melempem. Tanda-tanda kesalehan tiba-tiba lenyap, yang dibangkitkan mungkin adalah kesalehan sosial. Berupa menyerap penderitaan dan perjuangan warga Pipikoro. Saya, subarkah dan mereka pun melebur dalam bumi manusia, tak terbedakan oleh keyakinan dan eskatologi. Hidangan indomie rebus dan telur dadar kami santap. Dan ternyata cukup nikmat.
**
Sorenya kami menghabiskan waktu untuk mengambil gambar/memotret. Kami ditemani anak Pak Abed ke kebun kopi. Kebun kopi dan cokelat berdekatan. Waktu itu kebun jaraknya tidak jauh, dan terletak di pinggir jalan. Di Pipikoro ternyata ada kopi yang melalui fermentasi kalelawar, yang disebut Kopi Toratima. Aroma dan rasa kopi ini tidak kalah dahsyat dengan Kopi Luwak, asal Gayo Region, Takengon, Aceh itu. Kopi Toratima biasa dipersembahkan bagi para tamu adat dan menjadi hidangan utama dalam upacara-upacara adat. Saya belum mencoba jenis kopi ini, dan waktu itu terlambat tahu mengenai jenis kopi ini, sehingga kurang dieksplorasi.
Menjelang magrib, kami bergerak ke lapangan bola. lapangan ini aneh bin ajaib, bermain di sini harus mengeluarkan tenaga ekstra, karena pada kedua ujungnya berupa gundukan dan di tengah berupa lembah. Sehingga pemain kesulitan membawa bola ke gawang, tapi harus mengangkatnya ke atas lewat tendangan melambung. Hebatnya, para pemuda Porelea ini seperti tidak kehabisan tenaga membawa bola. Inilah hiburan utama mereka sehabis memetik kopi atau menggarap ladang.
Malam harinya, keluarga besar Pak Abed berkumpul di depan tivi, hiburan malam mereka menjelang istirahat. Beruntung mereka masih bisa menonton tivi dengan bantuan paket genset dan parabola. tampaknya, mungkin masih banyak rumah-rumah di Porelea tidak mampu mencicipi televisi. Sebab yang memiliki parabola hanya beberapa halaman saja. Ruangan tengah rumah pun Bertambah ramai ketika tokoh adat dan dua kepala dusun datang bertandang.
Tokoh Adat Desa Porelea bernama Marten Ego, malam itu ia melingkarkan kain menutupi rambut kepalanya. Kami tak begitu larut dalam perbincangan. Cuma membahas sekilas hukum adat Di Porelea. Hukum adat masih sangat ketat, di sana tidak ada polisi dan hakim, jadi yang memutuskan perkara kebanyakan adalah para tetua adat.
Pertemuan adat dilakukan setiap ada persoalan, yang lazim terjadi adalah kasus hubungan pria dan wanita. Jika ditemukan pasangan yang bermesraan tapi bukan muhrim, kalau dia hanya berpegangan tangan akan dikenai denda satu ekor ayam, namun jika sudah berhubungan layaknya suami istri langsung dinikahkan dan didenda sebesar 30 kilo babi, 30 parang dan satu balak kain. Jika ditemukan selingkuh dengan istri atau suami orang lain, maka dendanya adalah satu ekor sapi. “Jarang ditemukan pelaku yang tidak membayar denda. Di sini kekeluargaan sangat tinggi, sehingga jika ada yang bermasalah, seluruh keluarga turut membantu,” ujar Marten.
Seni tradisional juga cukup subur di Porelea, seperti seni Raigo, Pabunca (ucapan syukur), dan tari cakalele. Tarian cakalele biasa diperagakan jika ada tamu istimewa yang datang. Porelea sendiri berarti tempat pertama kali ditemukannya seni Rego. Tempat itu situsnya masih ada, berupa batu besar berbentuk meja. Namun sekarang sudah tidak tampak seperti meja lagi, karena badannya tertimbun oleh erosi.
Konon, waktu zaman belanda, para penghuni desa Porelea diminta untuk mengungsi ke daerah yang lebih rendah. Namun dalam perkembangannya, tiga rumah masih bertahan dan tidak mau turun, bahkan membangun lobo (tempat pertemuan adat) di situ. Lama ke lamaan, orang Porelea di kawasan ungsian banyak yang kembali, diperkirakan waktu itu daerah bawah sering terjadi bencana longsor, sehingga mereka kembali. Sejak saat itu Belanda menganjurkan mereka menanam kopi. Mungkin sejak itu kopi berkembang di Porelea.
Esok pagi (26/05/2012), kami ingin merekam kesibukan masyarakat pagi hari. Kami berkeliling dan ternyata pagi itu adalah hari doa perempuan. Beramai-ramai ibu satu desa berkumpul di gereja bala keselematan. kidung bergetar di gereja tua, Bersahut-sahutan. Sayang, saya tak bisa menikmatinya lebih lama, pagi itu kami harus berangkat ke Lonebasa.
Lonebasa
Pukul 09.00 kami menuju Lonebasa. jalanan ke Lonebasa lebih menegangkan, lebar jalan Porelea masih ada dua meter, tapi jalan ke lonebasa ada yang setengah meter, itu pun dengan jurang menganga di sampingnya. beberapa kali kami turun dari ojek untuk mengurangi kecepatan pada tikungan tajam. Pada titik yang lain kami menjaga keseimbangan pada jalanan berbatu yang sempit dan licin, kalau tukang ojek kurang lincah dan kehilangan keseimbangan barang sedikit, tidak tahu nasib apa yang akan menimpa. Saat itu, nyawaku sepenuhnya dalam kendali tukang ojek. hehee..
Di perjalanan, saya mengamati banyak punggung pegunungan yang gundul. Kata tukang ojek, itu bekas ladang berpindah. Pikir-pikir, parah juga akibat dari ladang berpindah ini, sepotong gunung ia bisa gunduli. Sistem ini disebut sistem berah, petani menerapkan siklus penanaman untuk menunggu meningkatnya unsur hara tanah bekas tanam, siklus sekitar 3 sampai 5 tahun. Bagaimana mengefektifkan ladang-ladang ini, mungkin alumnus pertanian bisa mencari jalan keluar kondisi seperti ini? Pasti ada jalan keluar. Mungkin lahan gundul itu ditanami daun lamtoro untuk meningkatkan unsur hara atau menerapkan tanaman agroforestry?
Padi ladang di Porelea maupun di Lonebasa tahun 2011 kemarin mengalami kegagalan. Gagal panen lebih disebabkan karena musim kemarau panjang dan salah jadwal tanam. Sehingga kebutuhan pangan mereka untuk tahun ini banyak dibantu dengan beras dari Gimpu. “Tahun ini kami harap tidak terjadi gagal panen lagi. Semoga bisa panen pada bulan sepuluh nanti,” ujar Oktavianus, kader PNPM Peduli yang juga petani padi ladang. Petani ladang rata-rata memiliki lahan satu hingga dua hektar, namun yang berhasil rata-rata cuma satu hektar.
Untuk komoditas cokelat, kegagalan biasanya karena diserang penyakit, dengan buah yang menciut dan berwarna hitam. Solusi yang pernah ditawarkan dengan sering-sering melakukan pemangkasan dahan, agar sinar matahari masuk dan mengenai seluruh tubuh pohon.
Kegagalan atau kesuksesan petani di Pipikoro bukan hanya menyangkut teknik budidayanya. Tapi juga manajeman dan pelimpahan tanggungjawab. Ini diakui Wempi, mantan Babinsa tahun 2000-an di Pipikoro, menurutnya masing-masing keluarga petani memiliki banyak lahan di banyak tempat, sehingga mereka kerepotan untuk memelihara satu-satu lahan yang letaknya saling berjauhan itu. “Peranan orang tua (ayah) masih sangat kuat di Pipikoro, mereka susah memberi tanggungjawab kepada anak-anaknya untuk mengolah lahan keluarga. sehingga, orang tua itu kerepotan sendiri mengolah lahan keluarga,” ungkap Wempi. Para pemuda desa-desa di Pipikoro tampaknya harus mengambil peran untuk mengembangkan perkebunan di Pipikoro, dan orang tua mesti legowo dengan pembagian jatah kebun.
**
Kami tiba di Desa Lonebasa pukul 10.30, disambut Amir (29) fasilitator PNPM Peduli, yang tinggal di rumah Pak Desa, terletak dekat lapangan sepak bola. saat itu, pak desa tak ada di rumah. Ia ikut rapat di Peana, pusat Kecamatan Pipikoro. Lagi-lagi, kami disajikan kopi Pipikoro. Waktu itu datang satu satu kader pendidikan, yaitu Oktavianus dan Komedi.
Kami berleyeh-leyeh barang satu jam, memanfaatkan waktu untuk ngobrol dengan Oktavianus (43) dan Komedi (47), yang ternyata penuh humor. Oktavianus dan Komedi adalah kader pendidikan yang direkrut program PNPM Peduli, sehari-hari ia bekerja sebagai petani cokelat, guru tidak tetap di SD Bala Keselamatan, dan sejak Januari lalu menambah aktivitas sebagai guru untuk para warga buta aksara di Lonebasa. “kami ini sejak dulu menjadi GTT (Guru Tetap Tani), dan GTY (Guru Tetap Yayasan),” ucap Oktavianus, diikuti tawa terbahak-bahak. Oktavianus menertawakan nasibnya sendiri.
Sejak 1989 ia mengabdi sebagai salah satu dari empat guru di SD Bala Keselamatan. Pada 1992 – 1999 ia ditunjuk sebagai kepala dusun, waktu itu ia jarang ke sekolah karena banyaknya kesibukan di administrasi dusun. Baru pada 1999 sampai 2012 Oktavianus kembali mengajar. Ia mengajar tiap hari untuk kelas satu sampai enam. Yang unik adalah metode mengajarnya, Oktavianus begitu pula dengan Komedi, selalu mengajarkan anak-anak Lonebasa untuk dekat dengan alam. “Saya ajak anak-anak menanam cengkeh di halaman sekolah, tanaman itu dipelihara oleh anak-anak, sekarang cengkehnya ada yang mati dan banyak pula yang hidup subur,” ungkap guru yang mendapat gaji Rp. 500 ribu pertiga bulan dan dana Yayasan Rp. 90 ribu perbulan itu.
Komedi adalah rekan Oktavianus dalam mengajar warga/anak putus sekolah, ia juga guru di Bala Keselamatan. Bersama Pak Oktav ia mengejar warga belajar ke kebun-kebun warga, “kami kejar-kejar mereka untuk diajar. Kami juga ajarkan cara-cara bertani ladang dan cokelat, cara membuat sarung parang dan membuat bakul,” tutur Komedi.
Tengah hari, Oktavianus, Komedi, dan Amir (Fasilitator) mengajak kami untuk ke kebun. Memang waktu itu saya penasaran bagaimana cara mereka mengajar. Ya tuhan, kebunnya minta ampun jauhnya, sekitar dua kilometer lebih. Kita melalui jalan setapak, turun landai ke kebun, masuk ke semak-semak hingga menemukan beberapa orang yang lagi memangkas dan membersihkan rumput di lereng kebun kopi. Berjalan lagi, akhirnya kita menemukan lima orang yang sementara memanen kopi. Mereka-lah murid Oktavianus.
Oktavianus pun beraksi, ia tidak mengeluarkan buku maupun pulpen, ia hanya memegang kopi dan mengajak seorang berbincang. Saya tak tahu apa yang mereka bincangkan, soalnya mereka menggunakan bahasa Uma (dialek lokal). “Kalau kita pakai bahasa indonesia itu sudah dianggap melanggar, apalagi kalau warga belajar melihat buku dan pulpen!” tegas Oktav. Dengan bahasa lokal itu, mereka melatih mengeja benda-benda itu untuk mengenal jenis-jenis huruf.
Ia mengajar barang 20 menit, saya meluangkan waktu untuk mengambil gambar. Subarkah, Amir dan Komedi menyeruput kopi yang dibuat istri petani itu. Sepertinya, mengajar orang dewasa, apalagi di daerah terpencil seperti ini sangatlah sulit. Tapi, setelah melihat kobaran semangat Oktavianus dan Komedi, saya yakin masih ada harapan untuk keluar dari kegelapan informasi itu. Saya kembali mengingat kata-kata Komedi, “Kita ini akar, bukan rotan. Apa yang didapat, itulah yang diajarkan”.
Dalam perjalanan, Komedi menunjuk gunung tempat warga belajarnya berkebun dan berladang. Saya bilang, untuk ini saya lebih baik mendengar saja, tidak usah menyaksikan.. hehe..
Kami balik ke rumah pak desa dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama, muncul rasa kantuk dan membuat kami terbaring untuk menghilangkan lelah. Amir keluar untuk mencari ojek ke Lawe. Saat berbaring, saya membayangkan bagaimana tradisi gotongroyong di kalangan masyarakat pipikoro, tadi pemilik kebun dibantu oleh petani lain untuk membersihkan dan memangkas batang-batang pohon kopi. Tradisi ini disebut Mapalus atau sambung tangan. Ini tak lain efek dari masih kuatnya hukum adat tadi.
Di Lonebasa telah ada sanggar yang telah didirikan oleh Perkumpulan Karsa bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat di sana, dengan bantuan program PNPM Peduli dari SCF dan Kemitraan. Sementara ini, sanggar lebih banyak dimanfaatkan untuk aktivitas PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang jumlah anak yang dibimbing ada 30 orang. selain sanggar, telah berdiri juga ‘rumah kesehatan’, tapi karena rumah itu terlalu kecil, sehingga aktivitas kesehatan banyak dilakukan di rumah pak desa, seperti aktivitas penimbangan bayi serta pemeriksaan ibu hamil.
Pukul 15.20, kami pun berangkat ke Lawe, dengan sejuta rasa penasaran.
Lawe
Lawe adalah desa persinggahan kami yang terakhir, juga desa penerima manfaat PNPM Peduli yang terjauh dan tersulit dijangkau. Boleh dikata orang luar yang pernah menginjak Lawe bisa dihitung jari. Sehingga ketika kami datang, bisa dibayangkan bahagianya mereka.
Setiba di rumah Kepala Desa Lawe, hujan mengguyur tiba-tiba, dalam hati bergumam, tuhan masih berkeinginan menolong. Jika kami telat berangkat dari Lonebasa, mungkin kami sudah kehujanan di perjalanan dan harus berbecek-becek melintasi jalan setapak yang licin.
Niksen Lumba, fasilitator PNPM Peduli sejak pagi tadi menunggu kami. Niksen sudah saya kenal, ia salah satu peserta pelatihan fasilitator untuk CBFM (Community Based Forest manajement) di Makassar April lalu. Kami pun istirahat di ruang tamu sembari menikmati suguhan Kopi Pipikoro, menatap punggung gunung yang tersampiri awan lewat jendela. Desa ini betul-betul di pinggir langit.
Subarckah membuka pembicaraan tentang komoditas kopi di Pipikoro. Katanya kopi di pipikoro sangat khas, dan persoalan rasa tak kalah dengan kopi toraja. Hanya saja kopi pipikoro kurang diperjuangkan nasibnya lantaran akses yang sulit (transportasi dan komunikasi), pembinaan budidaya kopi yang kurang, serta rantai pasar yang panjang. Di Pipikoro juga belum terdapat semacam asosiasi yang mewadahi para petani kopi untuk sama-sama berjuang dalam peningkatan nilai kopi dan akses pasarnya. Masing-masing petani masih memperjuangkan nasibnya sendiri.
Menemukan solusi terhadap peningkatan nilai kopi di daerah terpencil dan terisolasi sepertinya membutuhkan jalan panjang. Ini diakui Yaury Tetanel (34), Staff Ahli kementerian Kesejahteraan Rakyat, “untuk membenahi perkebunan di Pipikoro harus ada orang atau kelompok yang menginisiasi perubahan. Mereka terlebih dahulu memberi contoh keberhasilan dalam budidaya dan pasca budidaya. Setelah warga menyaksikan sendiri peningkatan produksi dengan cara-cara tertentu yang sudah dicontohkan, mereka pasti akan mengikutinya,” ungkap Yauri, yang baru saya ketemui pada sebuah acara di Hotel Jazz beberapa hari kemudian.
Menurut Yauri, masyarakat tidak gampang dipaksa untuk berubah, ia akan berubah dengan adanya teladan dan contoh. Masyarakat Pipikoro juga tidak perlu dipaksa dalam pembentukan asosiasi. Asosiasi petani harus lahir dari kalangan mereka sendiri, mungkin dengan proses yang perlahan. Setelah mereka terbiasa mengorganisasi diri, apalagi sudah ada basis berupa modal sosial yang kuat seperti sambut tangan dan Mapalus, tahap berikutnya yaitu perancangan Peraturan Desa yang mengikat warga dalam pembenahan sistem perkebunan dan pertanian.
Muhammad Rifai, Seorang aktivis LSM turut menyumbang pendapat, “Tentang komoditas kopi dan cokelat ini. Warga tidak mencoba untuk menjual kopinya tidak di Gimpu, tapi langsung ke Palu. Pasti harganya bisa lebih bagus,” ujar Rifai, yang saya temui beberapa hari kemudian di Kota Palu.
**
Saya mencoba arahkan pembicaraan ke energi listrik, waktu itu lampu rumah milik pak desa kedap-kedip, sebentar-sebentar menyala, sebentar-sebentar mati. Perjumpaan dan perbincangan kami pun dibantu dengan penerangan lilin. “Energi listrik di sini menggunakan tenaga kincir/mikrohidro, diperoleh dari arus sungai yang kita lewati tadi. Tapi, energinya tidak cukup untuk seluruh rumah,” ungkap Niksen.
Saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dikelola secara swasta oleh sebuah keluarga pedagang di Lawe. Ketersediaan listrik sangat bergantung pada tenaga arus yang memutar turbin/kincir. Memang, kapasitas energi yang bisa ditampung tidak besar, saat ini saya belum mengerti hitung-hitungannya. Biasanya dari ketinggian air 2,5 meter dapat dihasilkan listrik 400 watt. Kalau tidak salah, baru beberapa rumah tangga yang bisa menikmati listrik. Pemakai listrik pun dibebani Rp. 10 ribu perbulan untuk satu mata lampu yang digunakan. “koslet sering terjadi karena ada warga yang memasang sembunyi-sembunyi sambungan listrik,” ujar Isaiah Koleb, Kepala Desa lawe.
Ketika mengamati rumah pembangkit/generator mikrohidro di tepi sungai esok harinya, saya menjadi yakin bahwa sistem ini bisa ditingkatkan teknologinya. Waktu itu, debit air naik turun. Air yang ditampung di bendungan tidak lancar dan tidak menentu, sehingga putaran kincir kadang pelan kadang cepat, menyebabkan perubahan energi mekanik ke energi listrik melalui generator melambat.
Malam itu, dengan hanya disertai sebuah lilin, saya inisiatif untuk memperlihatkan film dokumenter tentang pembangunan PLTMH oleh masyarakat di dataran tinggi Batang Uru, Mamasa, Sulawesi Barat. Cukup inspiratif, film ini menggambarkan bagaimana usaha Ir. Linggi mengajak masyarakat untuk bekerjasama membangun pembangkit listrik dengan memanfaatkan arus sungai. Sebelumnya, desa itu belum menikmati listrik, sekarang disana sudah surplus listrik, bahkan PLN membeli sebagian cadangan listrik desa itu. Telah terdapat pula bengkel yang memanfaatkan listrik, sekolahnya pun sudah mengoperasikan komputer.
Yang membedakan Batang Uru dengan Lawe hanyalah pada teknologi yang digunakan. Di batang uru, air deras sungai betul-betul diarahkan untuk jatuh ke turbin, kemudian ditambah fasilitas panel kontrol untuk menstabilkan tegangan serta sebagai alat pengalihan beban ketika beban konsumen mengalami penurunan. Sehingga, dengan mengandalkan modal sosial yang ada di masyarakat, saya pikir dengan kemauan keras, problem energi listrik di Desa Lawe ini bisa dipecahkan.
**
Malam itu berdatangan satu persatu warga desa, diantaranya Pak Habel dan Ibu Elsye Kahania (54) yang merupakan kader Kesehatan PNPM Peduli, serta Pak Alfius (40) kader pendidikan dan Oktavianus, kader kesempatan berusaha.
Habel adalah laki-laki yang senang mengerjakan tugas yang biasanya dilakoni perempuan, yaitu sebagai dukun bayi. “Kelihatannya saya ini lak-laki, tapi jiwa saya adalah perempuan,” ujar Habel yang saat itu suasana masih remang-remang cahaya lilin. Habel mengaku, kemampuannya dalam mengobati orang sakit sudah terberi atau bakat alami. Ia biasanya mengandalkan ramuan herbal dalam pengobatan dan disertai doa dari Yang Maha Kuasa. “Saya pernah mengobati orang yang tangannya tertusuk parang, darah muncrat membasahi tubuh orang itu. Saya pegang dan bacakan doa, syukur karena darahnya tiba-tiba berhenti,” terang Habel.
Di Lawe, Habel dikenal sebagai dukun ‘sakti’, ia punya metode tersendiri untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu. Pertama-tama ia mengusap perut ibu dengan ramuan khusus, lalu dibacakan mantra, tak lama kemudian sang bayi dengan mudah keluar dari jabang ibunya. “doa-nya menggunakan bahasa Kaili, yang kalau diartikan kurang lebih : putar-putar kesana kemari, pasti akan keluar juga,” ucapnya disertai senyum simpul. Habel membocorkan salah lagi rahasianya, katanya jika ada anak lahir yang pada hari Jumat, tali pusarnya diiris dan disimpan. Kalau anak itu demam, tali pusar itu bisa membantu untuk menyembuhkan si anak. Dalam enam bulan ini, Habel dengan setia membantu Dukun Elsye dalam persalinan. Maklum, di Lawe tidak ada bidan, pun bidan datang tiga bulan sekali, biasanya hanya untuk sosialisasi Keluarga Berencana (KB).
Dukun Elsye Kahania adalah lokomotif kesehatan di Lawe. Ia pun direkrut sebagai kader kesehatan dalam program PNPM Peduli. Umurnya sudah 54 tahun, dan ia sudah mengabdikan diri sebagai dukun bayi sejak 21 tahun yang lalu. Sepanjang perjalanan kariernya sebagai dukun, baru dalam enam bulan ini ia mendapat apresiasi pihak luar dan mendapat bantuan alat-alat persalinan. “Sejak ada bantuan PNPM, kita tidak perlu lagi ke Koja (desa tempat beradanya Pustu). Kita sudah tidak ragu lagi menangani persalinan, karena sudah dilatih dan dilengkapi dengan peralatan,” ucapnya lirih.
Masuknya program ‘PNPM Peduli’ sangat berarti bagi Elsye. Ia merasakannya sejak membantu proses persalinan Piniel (21) beberapa bulan lalu. “Ibu hamil sudah tidak rewel lagi, lukanya kita bersihkan menggunakan betadin dan refanol (bantuan PNPM Peduli), dua malam ibu itu sudah bisa berjalan. Dulu tidak diobati dan sembuhnya lama,” ungkap Elsye. Waktu itu ia juga sudah menggunakan sarung tangan yang bersih dan gunting plasenta yang steril. Sebelumnya, Elsye menggunakan sarung tangan yang tak pernah diganti, guntingnya yang sudah kurang bagus, dan tidak pernah mengikuti pelatihan pesalinan aman.
Langganan:
Postingan (Atom)