Balingara. 52 Kilometer dari ibukota kecamatan ini, perjalanan ke ujung barat kabupaten Banggai. Pantai yang terlihat memanjang, juga tebing-tebing curam di Batu Hitam. Raksasa batu di sisi kiri, begitu kokoh dan angkuh. Gunung Lontio, patahan raksasa yang menyimpan misteri. Puncak JuluTompu. Tanjung Kopinyo yang ramai dengan rumah nelayan dibesut rawa bakau. Hingga tugu bertuliskan “selamat Jalan Kabupaten Banggai”. Tugu yang dilepas dengan patung penari Umapos dan Mangonyop. Batas itu adalah kuala Balingara.
Dari jalan poros Luwuk-Palu KM 180, kendaraan kami haluan ke
kiri. Melewati tepi kuala, menuju pegunungan Balingara. Jalan berbatu yang sering
dibelah oleh sungai-sungai kering. Hutan-hutan yang lebat, jalanan yang berliku
tajam penuh tanjakan sepanjang 42 KM. Dari 0 mdpl Balingara menuju desa
transisi 180 mdpl. Sampai di desa yang baru saja mekar, bernama Obo.
Obo,26-27 April 2013
Obo, nama seorang pengembara yang singgah di tempat ini
puluhan tahun yang lalu. Nama itu digunakan untuk menyebut sebuah daerah yang
ada dalam transisi saat ini. Desa transisi antara Balingara (Banggai) dan desa
Bulan (Ampana). Desa Transisi antara suku Saluan Loinang dan Suku Ta. Desa
Transisi antara Petani tetap dan Petani Ladang berpindah. Desa transisi
kehidupan manusia Maden dan Nomaden. Desa Transisi antara ajaran Haripuru ke
agama Samawi.
Desa ini memiliki 60 KK, hanya 10 KK yang rumahnya berkumpul
dalam jarak dekat. Selebihnya jarak antar rumah 2-5 kilometer antar rumah. Desa
yang dikelilingi bukit Batu Tanda, bukit yang menyimpan folklore pertemuan
orang-orang yang singgah di pertemuan dua kuala.
Kabut-kabut yang pekat mengelilingi lembah ini. Pagi-pagi
kabut yang mengantar anak-anak ke sekolah dengan kaki telanjang. Mereka
berjalan berjalan lebih dari 3 mil, mencapai sebuah sekolah yang halamannya
penuh rumput. Halaman yang hanya ditumbuhi satu pohon kelapa dan satu tiang
bendera yang terbuat dari sebatang ranting lurus. SD yang diampu oleh 2 guru,
hanya ada satu unit kelas.SD yang tidak bisa meluluskan siswanya karena banyak
syarat yang belum dipenuhi. Tidak ada SD inti yang menampung siswa yang lepas
dari kelas 5. Kami datang mengenalkan Indonesia di tanah ini, Indonesia. Papan
tulis yang tua, debu-debu kapur yang kami goreskan membentuk tatanan kepulauan.
“ kita sekarang berada di pulau K, pulau Sulawesi “
Keakraban ditambah dengan perkenalan, hampir semua yang
berkenalan mengungkapkan cita-cita mereka sebagai Tentara dan Guru. Apa yang
mereka lihat pagi itu, itulah cita-cita mereka. Hingga ada satu anak yang maju
ke depan kelas, rambutnya ikal kulitnya coklat pekat.
“ perkenalkan nama saya Alferd, saya kelas tiga. Cita-cita
saya ingin naik kelas empat “
Semua tertawa, lahir kami tertawa tetapi hati berkata lain.
Semangat untuk naik kelas yang begitu hebat, kurangnya pengajar, kurangnya
fasilitas dan tuntutan ujian yang setara dengan keberadaan anak-anak di tanah
Jawa. Tanda tanya
“Depe desa singada poskesdes, Polindes ato Juru Rawat.”
Pelayanan kesehatan begitu jauh dan sulit didapatkan. Kalau harus turun
membutuhkan 28 KM kalau naik ke Longgek 18 KM, jalannya hanya susunan batu
kuala.
Desa tanpa listrik, tanpa sinyal layanan selluler. Rumah
Sekdes menjadi sentral pertemuan masyarakat, karena hanya ditempat itu ada
Genset untuk pembangkit listrik. Masyarakat sekedar berkumpul, bersendau gurau
sampai membicarakan hal penting.
Keterbatasan di perbatasan Balingara.
Sebuah danau yang mereka sebut “ Rano” dalam bahasa Ta.
Mirip dengan bahasa sansekerta yang menyebut “ Ranu” yang berarti telaga. Rano
yang dipenuhi dengan teratai, dikelilingi ingerhous, ilalang, Pinus udang dan
tumbuhan hutan. Rano yang menyajikan ikan Mujair dan Gabus bagi masyarakat Obo,
sekedar sebagai lauk makanan. Ada lagi tentang sebuah danau yang disebut Rano
Sembilan Tanjung, lekukan yang menjorok ke danau sebagai hulu sungai Balingara.
Kisah mistik akan adanya buaya air tawar yang ada disana, konon mencapai 5
depa.
Kisah Batu Putih, sebuah batu yang diceritakan sebagai kapal
yang terdampar di atas gunung seperti epos Gilgamesh dan Nabi Nuh. Goa yang ada
di dalamnya menyimpan kerangka manusia.Dari Bulutui dan Rotan hutan mereka
hidup. Jagung di sekitar delta tampak rimbun dan subur. Ladang-ladang yang baru
dibuka.
Saluan-Loinang yang kehilangan Family
Desa perbatasan yang ditempati oleh masyarakat Loinang
Simpang, yang tersebar karena serangan Belanda. Politik monopoli manusia,
Belanda mengharapkan agar semua orang pedalaman turun ke tepian pantai.
Penolakan terjadi hingga Belanda mengirimkan satu peleton pasukan untuk
menyerang Benteng Baloa-Doda. Masyarakat Loinang kocar-kacir menyebar keseluruh
penjuru pegunungan, ada pula yang hadir di perbatasan ini.
Mereka kehilangan fams, saat ini nama mereka diambil dari
apa yang mereka dengar. Nama Gergaji, Tank, Jepang, Pulpen, Suharto dll.
Seorang tetua adat bernama Gergaji mengantarkan kami kepada pengetahuan ajaran
bernama Haripuru.
Pendidikan melalui ajaran leluhur
Haripuru adalah ajaran kuno masyarakat pedalaman dimana
mereka percaya bahwa :
kekuatan tertinggi ada pada Tuhan Yang Maha Esa atau Tompu
atau Anui-Langga. Di bawah Tompu mereka percaya pada Nabi (tanpa mereka tahu
nama nabi), lalu percaya kepada arwah leluhur atau Tominuat. Lalu kepada
manusia yang kerasukan Tominuat yang disebut Buhake. Masyarakat Saluan di Desa
Obo mempercayai adanya tanda alam atau Hambolo. Tanda-tanda ini yang esensinya
masih terjaga sampai sekarang adalah mendengarkan tanda-tanda dari kicauan
burung atau mongkoek. Burung yang menjadi tanda adalah burung Kukau (tekukur malam).
Mohondahabit adalah proses doa yang mereka naikkan kepada
Tominuat dengan Pomangan (sesaji) berupa ; Popos (pinang), hampak (sirih),
talon (kapur) dan sosop (rokok). Mereka percaya bahwa doa yang disampaikan
kepada Tominuat akan diteruskan kepada Nabi lalu kepada Tompu. lalu Tompu
memberi jawaban melalui suara burung. Proses mendengar jawaban itu disebut
Pihongo. Berikut ini tafsir suara kicau berdasarkan jumlah :
1 kali : ada tamu pejabat (utus daka)
2 kali : ada tamu
3 kali : aba-aba musibah / bahaya
4 kali : baik
5 kali : ada rejeki
6 kali : ada tamu
7 kali : umur panjang / kesembuhan jika sedang berobat
8 kali : pejabat besar datang
Pengecualian
7 kali lalu disusul suara “kiii..” : pertanda buruk, terjadi
pertumpahan darah.
“Burung Totoidi juga berbunyi sebagai tanda menjelang pagi
dan petang. Bahkan sebelum Utus Daka datang ke sini, kami sudah diberitahu
beberapa hari sebelumnya. Kami mendengar suara burung berbunyi delapan kali”
ucap seorang translator mengulangi kata-kata pak Gergaji.
Kehidupan Nomaden masih melekat di dalam kehidupan mereka.
Setiap ada anggota keluarga yang meninggal mereka selalu berpindah tempat.
Mayat dibungkus dengan kulit kayu Andolia (Cempaka) baru dikuburkan. Untuk
penanda di atas kuburnya diletakkan sebuah kayu berbentuk silinder (di Lobu
berbentuk perahu, dimungkinkan perbedaan budaya gunung dan pantai).
“ Dahulu kami selalu meninggalkan rumah dan pekarangan jika
ada salah satu dari anggota keluarga yang meninggal. Karena kami takut, jika
arwah yang mati mengajak kami menemaninya di alam kubur “
Angin lembah berhembus di celah-celah Laigan Pangkat, di
balik embun pagi yang menetes lentik di ujung daun Enau. Daun yang digunakan
untuk membungkus tembakau sosop, mereka menyebutnya Gau. Etika anak tangga yang
terbuat dari kayu gelondongan dipecak sebagai simbol ada tidaknya tuan rumah.
Desa tinggal orang Loinang pedalaman yang sangat taat dan
santun. Pelajaran yang menarik tentang kesetiaan suami-istri orang Loinang.
Ketika hukum adat berkata “mati” bagi setiap orang yang bertindak serong.
Monogami sampai mati.
Madu murni menjadi sebuah kenikmatan hasil hutan. Pengembara
yang menuju peradaban.
Sistem berpindah ladang setelah tiga kali tanam, mereka
membuka hutan baru. Lima sampai sepuluh tahun kemudian, mereka kembali ke tanah
semula.
Permainan Pili-pili (baling-baling) dan Patengkang (egrang)
begitu lekat di hati.
“Humatok kami menyebutnya sebagai sebuah sistem gotong
royong. Dalam membuka lahan, pesta perkawinan atau orang meninggal. “
Mereka berkumpul bakubantu. Kerukunan yang tertanam sejak
jaman dahulu masih terjaga hingga kini.
Inilah Indonesia.
http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/02/pendidikan-di-pedalaman-balingara-kabluwuk-sulteng-556828.html
http://sosbud.kompasiana.com/2013/05/02/pendidikan-di-pedalaman-balingara-kabluwuk-sulteng-556828.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar