Ditulis oleh Rahmat Azis
Wilayah terpencil di Kabupaten Donggala itu memang lebih
dikenal dengan nama Lalundu ketimbang Rio Pakava. Padahal, Lalundu adalah nama
lama dari kawasan yang kini menjadi Kecamatan Rio Pakava. Dulu, areal
penempatan transmigran asal Jawa, Bali dan Lombok ini disebut Lalundu, yang
terdiri dari enam UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi). Wilayah yang berbatasan
langsung dengan Sulbar ini merupakan wilayah Kecamatan Dolo, Kabupaten
Donggala. Namun, pada tahun 2000, dimekarkan menjadi Kecamatan Rio Pakava.
Selain transmigran asal luar Sulawesi, wilayah seluas 17.014,14 kilometer
persegi ini juga dihuni oleh etnis Bugis dari Sulawesi Selatan dan juga
sebagian kecil etnis Kaili yang tersebar di 14 desa dengan ibukotanya di Desa
Lalundu Utama.
Wilayah berpenduduk 22.228 jiwa yang terdiri dari 5.324 KK
(kepala keluarga) ini memang terpencil. Berada di pedalaman, Rio Pakava
terkepung wilayah Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulbar di sebelah barat,
selatan, dan tenggara. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Pasangkayu,
Kecamatan Tike dan Kecamatan Baras di Sulbar. Sementara kecamatan di wilayah
Sulteng yang berbatasan dengan Rio Pakava adalah Kecamatan Dolo Selatan,
Kecamatan Pinambani, Kecamatan Pipikoro dan Kecamatan Kulawi yang masuk
Kabupaten Sigi.
Sepanjang perjalanan, tapal batas antara kedua provinsi ini
tidak begitu diketahui karena tidak adanya gerbang yang menandakannya. Untuk
mengenali wilayah Sulteng atau Sulbar, hanya berdasarkan pengamatan pada baliho
caleg peserta Pemilu 2009 yang mencantumkan daerah pemilihan (dapil). Di dalam
areal sawit di Kecamatan Pasangkayu yang dekat dengan Rio Pakava, wilayah
Sulteng dan Sulbar justru tidak bisa dipastikan.
Keadaan alam yang tidak menguntungkan inilah yang membuat
akses penduduk Rio Pakava ke ibukota Kabupaten Donggala di Banawa memang
menjadi sulit. Keterpencilan itu disebabkan tidak ada jalan lain yang bisa
dilalui untuk bisa langsung ke kecamatan lain di Kabupaten Donggala. Pasalnya,
wilayah ini dibentengi rangkaian Pegunungan Gawalise yang menjulang tinggi.
Padahal, penduduk Rio Pakava dan empat kecamatan di
Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulbar tersebut lebih memilih membawa hasil
buminya seperti kakao, beras, jagung dan sayuran ke Donggala di Kecamatan
Banawa yang lebih dekat. Untuk mencapai Donggala, penduduk Rio Pakava selain
harus melintasi empat kecamatan di Provinsi Sulbar, juga harus melintasi
Kecamatan Banawa Selatan dan Banawa Tengah.
Karena harus melintasi Provinsi Sulbar, maka penduduk Rio Pakava
sering terkena tarikan retribusi di jalan raya yang biayanya tinggi. Agar bebas
dari pungutan, masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor harus mengantongi
surat jalan terlebih dulu dari Rio Pakava. Surat ini hanya berlaku untuk satu
kali perjalanan. Jika tidak, mereka harus membayar pungutan sebesar Rp 50 ribu
di perbatasan wilayah yang dilakukan oleh petugas dari Sulbar. Dan saat kembali
ke Rio Pakava pun mereka harus mengantongi surat jalan dari Donggala jika tidak
ingin dikenai pungutan lagi karena perbedaan pelat nomor kendaraan.
Karena terpencil di pedalaman itulah yang menyebabkan
wilayah ini kurang mendapat perhatian Pemerintah. Akibatnya, kecamatan ini
minim fasilitas. Jangankan jaringan telekomunikasi, listrik dari PT. PLN pun
belum masuk ke Rio Pakava.
Untuk listrik, saat ini penduduk hanya mengandalkan genset
dengan daya 3 kilowatt yang hanya dinyalakan sejak pukul 18.00 sampai pukul
23.00. Satu mesin genset ini rata-rata mampu menerangi 10 rumah tangga dengan
menghabiskan solar hingga 5 liter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar