Minggu, 09 Juni 2013
Menjelajah Awal Peradaban Manusia di Sulteng
Ini bukan sekadar konon, tapi fakta yang juga berdasarkan berbagai hasil penelitian. Katanya, untuk melihat awal peradaban manusia di Sulawesi Tengah, datanglah ke tiga lembah, yakni Lembah Besoa, Bada, dan Napu yang ada di Kabupaten Poso.
Tiga lembah ini meliputi enam kecamatan, yakni Lore Utara, Lore Tengah, Lore Selatan, Lore Barat, Lore Timur, dan Lore Peore. Wilayah ini berada di sekitar Taman Nasional Lore Lindu.
Apa yang disebut sebagai awal peradaban ini adalah peninggalan purbakala berupa situs megalitik. Setidaknya ada lebih dari 30 situs megalitik di tiga lembah ini, di mana setiap situs berisi satu sampai 30-an arca. Data Dinas Pariwisata Sulteng mencatat, sebanyak 1.451 arca dengan berbagai bentuk dan ukuran ada di tiga lembah ini.
Di tiga lembah itu arca-arca ini terletak secara alami di sekitar persawahan, dataran tinggi, hutan, permukiman warga, dan padang rumput. Letaknya di alam terbuka dengan pemandangan sekeliling yang indah, seperti gunung, hutan, maupun lembah, atau di antara persawahan penduduk, membuat situs megalitik ini selalu menarik dikunjungi tak hanya wisatawan, tapi juga peneliti.
Sebagai contoh adalah situs Pokekea di Desa Hangira, Kecamatan Lore Tengah, yang berada di lembah Besoa. Dari Doda, ibu kota Kecamatan Lore Tengah, Situs Pokekea berjarak sekitar 8 kilometer. Situs Pokekea berada di lembah yang dikelilingi pegunungan. Di Situs ini sedikitnya ada 30 arca. Ada patung manusia berbentuk pipih dengan bagian depan berukir bentuk wajah dan bagian tubuh yang menunjuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Ukurannya beragam, dengan tinggi 100 cm-160 cm dan lebar 25 cm-50 cm.
Banyak pula benda berbentuk loyang raksasa atau sebutan setempat kalamba, dengan ukuran beragam, mulai dari tinggi satu meter-dua meter dengan diameter 100-250 cm. Benda-benda ini lengkap dengan penutupnya yang juga terbuat dari batu, tapi umumnya terletak di tanah. Bentuknya seperti penutup panci dengan tonjolan di tengah-tengah, tebalnya 30 cm-50 cm dan diameter 100-200 cm. Sebagian pinggirannya ada yang dihiasi patung monyet dalam posisi telapak tangan, lutut, dan telapak kaki bagian depan menyentuh bagian atas penutup.
Ada lagi yang berbentuk seperti dulang, batu datar dengan ukiran dan simbol-simbol di bagian atasnya yang menyerupai tempat penyembahan, lesung, serta bentuk lain. Letak antara satu benda dan benda lain di Situs Pokekea adalah 100-300 meter. Tapi, jarak antara satu situs dan situs lainnya dalam satu kecamatan adalah 1 kilometer hingga lebih dari 10 kilometer. Umumnya harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Atau coba ke Desa Bariri, tempat arca batu Tadulako berada. Sebuah patung batu berbentuk lonjong berukuran tinggi sekitar 2 meter dengan diameter 1 meter. Melihat ukiran wajah dan tubuhnya, patung ini berjenis kelamin laki-laki. Terletak di ketinggian, menghadap ke arah barat. Jauh di sekitar lembah adalah hamparan pegunungan dan sawah bak permadani.
Simbol peradaban
Berbagai penelitian menyebutkan, situs megalitik di tiga lembah ini diperkirakan sudah berusia ribuan tahun atau sejak 2.000-2.500 tahun sebelum Masehi, tepatnya pada permulaan zaman megalitik—masuknya zaman bercocok tanam. Keberadaan situs-situs ini adalah simbol masuknya manusia pertama ke Sulteng, sekaligus awal peradaban di wilayah ini.
Tanwir La Maming, arkeolog Sulteng yang cukup lama melakukan penelitian pada situs-situs di tiga lembah ini, mengatakan, di Indonesia bahkan di dunia, situs megalitik di tiga lembah ini punya keunikan dan ciri khas yang tidak dimiliki situs di tempat lain.
”Keunikan dan ciri khasnya antara lain setiap situs merupakan satu kesatuan yang melambangkan kepercayaan, rumpun etnis atau tempat tinggal, serta pola hidup masyarakat setempat pada masa itu. Misalnya, dalam satu situs ada tempat pemujaannya, tempat mandi, arca manusia yang jadi simbol nenek moyang, alat bermain, kuburan, alat bercocok tanam, dan lainnya. Arah hadap mata angin arca-arca dalam setiap situs yang berbeda antara satu situs dengan situs lainnya melambangkan adanya kepercayaan yang berbeda-beda pada setiap rumpun,” kata Tanwir.
Menurut dia, keberadaan situs ini juga menunjukkan bahwa lembah Napu, Bada, dan Besoa bukan hanya sebagai tempat awal keberadaan manusia atau peradaban di Sulteng, tapi juga menunjukkan bahwa dahulu wilayah ini adalah pusat peradaban besar.
”Soal mengapa situs-situs ini berada di lembah, Tanwir mengatakan, berdasarkan penelitian, dahulu semua wilayah ini adalah hutan. Datangnya manusia dalam jumlah besar pada masa itu membuat kawasan hutan dan gunung ini kemudian dijadikan tempat tinggal, areal sawah dan kebun. Karena itulah semua situs berada dan tersebar di tiga lembah besar.
Adapun Desa Bariri dan Hanggira di Kecamatan Lore Tengah diduga adalah pusat pembuatan arca. ”Jadi masyarakat di wilayah ini dulunya adalah pembuat arca. Ini bisa dilihat dari banyaknya arca di dua desa ini dengan beragam bentuk serta ukuran besar-besar dibanding yang ada di situs-situs lainnya. Arca-arca ini diperkirakan ada yang belum diambil oleh pemesannya, atau tertinggal, hingga peradaban pada masa itu berakhir,” jelasnya.
Siapa pun yang pernah berkunjung ke tiga lembah ini tak memungkiri keindahan panorama dan kekayaan peninggalan bersejarah tersebut. Situs megalitik di Sulteng diperkirakan adalah yang terluas di Indonesia. Situs megalitik besar dengan jumlah banyak, selain di Lembah Besoa, Napu, dan Bada, juga bisa disaksikan di Marquies Island, Amerika Latin.
”Kami senang perjalanan ke tempat ini. Situsnya, kehidupan masyarakatnya, berjalan kaki, dan tidur di hutan. Semuanya menjadi perjalanan yang menyenangkan dan menantang,” ujar Hobnier, wisatawan asal Belanda.
Memang, berada di antara hutan, lembah, dan pegunungan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu membuat wisatawan atau peneliti lebih memilih menjelajah situs dengan berjalan kaki dan menginap di tenda-tenda di hutan atau lembah. Apalagi di sekitar hutan Taman Nasional Lore Lindu pengunjung juga bisa menikmati suara burung dari beragam spesies yang menghuni hutan. Di permukiman-permukiman warga di sekitar situs sebenarnya tersedia penginapan, bahkan rumah warga juga bisa dipakai untuk menginap. Tapi nyatanya, menginap di tenda-tenda lebih dipilih wisatawan dan peneliti.
Kehidupan warga sekitar yang masih kental dengan budaya juga menjadi salah satu yang membuat pengunjung tertarik. Menari dero, mendengarkan musik khas dataran tinggi, yakni musik bambu, melihat pembuatan pakaian dari kulit kayu, adalah sebagian kekayaan budaya masyarakat yang melengkapi penjelajahan peradaban ini.
Untuk sampai ke Lembah Napu, Besoa, dan Bada, ada beberapa rute. Misalnya untuk ke Bada, bisa melalui Palu-Poso-Tentena dan melanjutkan ke Lembah Bada. Biasanya wisatawan dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan, melanjutkan perjalanan ke Tentena dan berkunjung ke Lembah Bada.
Untuk ke Lembah Besoa dan Napu, pengunjung bisa mengambil rute Palu-Palolo (Sigi) dan terus ke Lembah Napu dan Besoa. Sebenarnya tiga lembah ini berdekatan walaupun akses masuknya bisa dari Poso maupun Sigi. Biasanya wisatawan dan peneliti yang masuk ke Lembah Napu dan Besoa via Sigi akan mengambil jalur jalan kaki melanjutkan ke Lembah Bada, begitu juga sebaliknya. Umumnya kendaraan roda empat menjangkau hingga wilayah ibu kota kecamatan. Selanjutnya ada yang tetap bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat, ada yang harus dengan kendaraan roda dua, sebagian lagi dengan jalan kaki.
Untuk urusan makan, di permukiman warga banyak terdapat warung makan dengan menu dan harga bervariasi. Jadi, jika ingin berwisata sejarah, melihat awal peradaban manusia yang langka di dunia, sekaligus menikmati panorama alam, silakan berkunjung ke Sulawesi Tengah.
Bagaimana menjangkau Lembah Bada, Lembah Besoa, dan Lembah Napu? Tiket Jakarta-Palu Rp 800.000-Rp 1.500.000, Palu-Poso-Tentena via darat bisa menggunakan angkutan umum Rp 130.000. Dari Tentena ke Bada via darat dengan mobil angkutan khusus (gardan ganda) Rp 150.000.
Dari Palu, Palolo, menuju Napu lewat darat dengan kendaraan roda empat Rp 80.000. Selanjutnya ke Lembah Besoa, tepatnya di Dado, ibu kota Kecamatan Lore Tengah, Rp 50.000. Penginapan beragam tarif, berkisar Rp 150.000-Rp 250.000. Tersedia ojek untuk menjangkau sejumlah situs. Ongkosnya bervariasi tergantung jauh dekat, berkisar Rp 20.000-Rp 50.000.(Reny Sri Ayu)
http://nasional.kompas.com/read/2011/08/16/02380377/Menjelajah.Awal.Peradaban.Manusia.di.Sulteng
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
nice info... love central sulawesi
BalasHapus