Jumat, 21 Juni 2013
GUNUNG LUMUT
Mendengar kata "lumut", pasti yang terlintas adalah sekelompok vegetasi kecil yang tumbuh pada tempat lembab atau perairan dan biasanya tumbuh meluas menutupi permukaan. Di perairan lumut dapat menutupi dasar atau dinding sungai atau danau.
Tapi berbeda lumut yang satu ini. Lumut ini berupa gunung yang memiliki pesona panorama alam dan kehidupan masyarakat lokal (tau Taa Wanba) yang masih sangat kental dalam menjalankan tradisi dan kearifan leluhur mereka , adalah Gunung Lumut atau dalam bahasa masyarakat setempat dinamai Tongku Barenge.
Meski memiliki Beragampotensi alam yang menakjubkan, kawasan gunung ini masih sangat jarang dieksplorasi para penggemar kegiatan petualangan khususnya pendaki gunung.
Salah satu faktor penyebab adalah minimnya informasi yang tersedia mengenai Gunung ini. Selain itu terbatasnya akses untuk lokasi pendakian yang ideal merupakan faktor penyebab lainnya.
Gunung ini secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Morowali, akan tetapi akses termudah untuk memulai titik start pendakian dari wilayah kabupaten Tojo Una-una.
Selain keindahan alam rimba belantara yang masih jarang tersentuh serta kekayaan aneka ragam satwa merupakan daya pikat yang dimiliki gunung lumut ditambah tantangan jalur pendakian yang belum pernah dibuka, merupakan tantangan yang sangat mengasyikan bagi para pengemar olahraga dan kegiatan pendakian gunung.
http://arsiptravel.blogspot.com/2013/06/keindahan-objek-wisata-alam-hutan.html
Kamis, 13 Juni 2013
Goa Vatu Ndalepa
Vatu Ndalepa
merupakan nama goa dan tebing alam yang
yang terletak di desa Galuga denga lokasi absolute berada pada S O10 26’ 47”
dan E 1200 57’ 23”. Vatu Ndalepa berasal dari bahasa Kaili Bare'e yang berarti
'batu terkelupas/lepas'. Masyarakat memberikan nama tersebut karena jenis
batuannya yang mudah terkelupas dan lepas. Desa Galuga merupakan desa yang
terletak dikecamatan Tojo Barat Kabupaten Tojo Una-Una dengan mayoritas
penduduk yang bercocok tanam berkat kesuburan tanah di tempat tersebut.
Hasil survey
& pengambilan data yang dilakukan oleh Mapala Lalimpala FKIP UNTAD bahwa
kawasan karst tersebut dapat dikembangkan sebagai objek wisata alam bebas dan
pusat studi wisata yang didukung dengan sumber air yang melimpah karena
hutannya yang masih terjaga. Selain air terjun, kebudayaan berupa padungku
(pesta panen) dan kayori (tarian daerah) di desa tersebut masih terjaga yang
dapat disaksikan setiap musim panen tiba. Tebing alam yang terdapat di desa
tersebut memilki tinggi sekitar 200-300 meter dengan jalur pemanjatan yang
sangat variatif yang belum dikembangkan dan beberapa goa yang berlorong Fosil,
Vadose dan Fhreatik. Salah satu goa yang telah di explor oleh team dari Mapala
Lalimpala berada dibagian tengah dasar tebing yang dilalui sungai yang masuk
melalui entrance goa dengan kedalaman vertical kurang lebih 94 meter.
Vaucluse goa tersebut berada pada koordinat S O10 25’ 58”
dan E 1200 55’ 57” yang dikenal sebagai Sungai Bambalo yang pada saat ini baru
dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Jarak antara ponor
dengan vaucluse sekitar 4,5 Km. Goa ini baru dipetakan kurang lebih 308 meter,
sedangkan bagian yang belum dipetakan yakni pada lorong fhreatik.
Sumber : Team Explorasi Vatu Ndalepa 2012 dan 2013
GUNUNG SIDOLE
Gunung Sidole terletak pada perbatasan dua wilayah Kabupaten
yaitu Donggala dan Parimo (Parigi-Mautong) tepatnya antara Kecamatan Sindue dan
Kecamatan Ampibabo. Adapun lokasi Gunung Sidole masih kontroversial, hal ini
disebabkan pada lembaran peta Tavaili oleh Bakosurtanal edisi I tahun 1991
lembar 2015-34, menerangkan bahwa puncak tertinggi adalah ‘Bulu’ Sinio (Gunung
Sinio dalam bahasa Kaili), akan tetapi pada kenyataannya masyarakat setempat
menyebutkan bahwa puncak tersebut adalah Bulu Semen, karena pada puncaknya
terdapat tugu/triangulasi buatan tangan para pendahulu kita yang hidup pada
masa kolonial Belanda di bumi Tadulako. Namun pada peta, Gunung Semen terletak
tiga karvak ke arah selatan dari puncak Gunung Sinio, sedangkan yang kami kenal
puncak tertinggi tersebut bernama Bulu Sidole atau Gunung Sidole dan bukanlah
Gunung Sinio. Dalam beberapa kali Expedisi Buka Jalur yang berhasil dilakukan
oleh tim dari Mapala Lalimpala, diperoleh bahwa lokasi titik koordinat puncak
tersebut berada tepat di Gunung Sidole. Mengenai masalah identitas
puncak-puncak kontroversial tersebut, menurut hemat kami hal tersebut terjadi
dikarenakan kesalahan penempatan beberapa nama puncak pada lembar peta Tavaili
khususnya antara puncak Sidole, Sinio, dan Semen. Hal tersebut diatas kami
simpulkan dengan memperhatikan beberapa nama jalan di Kota Palu yang
menggunakan nama dari sebagian puncak tertinggi di Sulawesi Tengah dan salah
satunya ialah Gunung Sidole. Oleh karena itu, maka tim kali ini sepakat,
menamakan Daki Wajib Gunung Sidole 2009 sesuai dengan program Mapala Lalimpala
periode 2008/2009.
Dalam pendakian sebelumnya Tim dari Mapala Lalimpala telah
beberapa kali merintis jalur pendakian yang berhasil menggapai puncak, yakni
pertama pada tahun 1997, dari Desa Sidole (Pantai Timur) – Puncak yang memakan
waktu 5 hari perjalanan. Kedua pada tahun 1998 yang start dan berakhir di
lokasi yang sama. Ketiga pada tahun 2003 dari Desa Wani (Pantai Barat) – Puncak
– Desa Towera (Pantai Timur) yang menggunakan sistem Himalayan Style dengan
total 7 hari perjalanan. Keempat pada 11 Februari 2007 untuk melaksanakan
kegiatan Buka Jalur Tetap Gunung Sidole menempuh rute Taripa – Puncak Sidole–
Taripa (Alpine Style).
traking dimulai dengan menyusuri Binangga Toaya (Sungai
Toaya dalam bahasa Kaili) yang mengalir di wilayah desa Taripa dan tim juga
melintasi perkebunan penduduk dengan tujuan Bulu Toposo. Tanaman khas pertanian
masyarakat banyak dijumpai, utamanya durian yang sedang berbunga lebat pada
bulan tersebut. Tim juga sempat mengisi kantong- kantong airnya di Sumur Lesung
untuk persiapan kebutuhan makan malam di pos I. Keunikan yang dimilikinya ialah
memiliki air yang sangat jernih dan berasal dari tanaman bambu yang banyak
tumbuh disekitarnya, ukuran diameternya mencapai 50 X 50 Cm dengan kedalaman 60
Cm. Suhu terasa beku kabut masih sibuk
meletakan butir-butir embun pada dedaunan dan lumut. tim melanjutkan perjalanan
ke puncak. Perjalanan dimulai pukul 08.00 WITA menyusuri hutan basah dengan
vegetasi pepohonan damar. Tim mencapai puncak pada pukul 17.00 WITA. Sorak
kegembiraan, tawa dan tangis kebahagiaan serta kebanggaan mencapai puncak
terlihat pada wajah seluruh anggota tim, setelah seorang tim yang berjalan di
depan melihat Triangulasi (tugu yang menandakan puncak gunung sidole) dan
berteriak “ woy puncak, ayo cepat sudah”. Semua personil tim bergegas menyusul merayakan
keberhasilan dan kebanggaan sebagai Perempuan-perempuan Pertama yang Mencapai
Puncak Gunung Sidole
(MAPALA LALIMPALA)
Minggu, 09 Juni 2013
Suku Besoa (Behoa)
Suku Besoa, adalah salah satu suku yang bermukim di kecamatan Lore Tengah kabupaten Poso di provinsi Sulawesi Tengah. Suku Besoa mendiami 8 desa yang tersebar di desa Doda, Bariri, Lempe, Hanggira, Katu, Torire, Rompo dan Talabosa.
Suku Besoa berbicara dalam bahasa Besoa. Suku Besoa memiliki beberapa ragam sub-suku dan dialek bahasa yang tersebar di beberapa kecamatan di kabupaten Poso. Bahasa Besoa walaupun berbeda dengan bahasa suku-suku lain di wilayah ini, seperti suku Napu, tapi masih bisa berkomunikasi dengan suku Napu, dan dengan mudah saling mengerti apa yang dimaksud dalam pembicaraan masing-masing. Tapi apabila berkomunikasi dengan suku-suku lain yang jauh berbeda bahasanya, maka suku Besoa akan menggunakan bahasa Melayu Sulawesi Tengah (bahasa yang mirip dengan bahasa Melayu Manado).
Masyarakat suku Besoa pada umumnya adalah penganut agama Kristen Protestan. Menurut penuturan beberapa pemuka masyarakat Besoa, sejak tahun 1929. Pada tahun 1909, P.Ten Kate, seorang zending ditempatkan di Napu (Kruyt), 1975 :184. Kristen pertama dibabtis di Watutau (Napu) dan Doda (Besoa), dan tahun 1913, seorang pemuda menjadi orang Kristen Pertama di Baptis di Napu (Aditjondro, 1979).
Wilayah suku Besoa ini yang terletak di lembah Besoa sudah lama dikenal sebagai situs purbakala zaman megalithicum. Di kompleks megalith lembah Besoa dapat dijumpai arca, batu dakon, menhir, lumpang batu, palung batu, dolmen dan yang paling terkenal adalah kalamba. Kalamba berfungsi sebagai wadah kubur yang tidak hanya digunakan oleh satu individu saja, tapi juga satu keluarga. Kalamba terdiri dari wadah dan tutup yang terbuat dari batu alam.
Kehidupan suku Besoa adalah rata-rata sebagai petani pada tanaman padi di sawah yang terhampar luas. Produksi beras lokal suku Besoa ini sudah terkenal dengan nama Beras Kamba. Mereka juga membuka perkebunan pada tanaman coklat dan kopi.
sumber:
toikatuiwanuakakau: sistem land tenure orang katu
wikipedia
sumber lain dan foto:
inamuse.wordpress.com
Menjelajah Awal Peradaban Manusia di Sulteng
Ini bukan sekadar konon, tapi fakta yang juga berdasarkan berbagai hasil penelitian. Katanya, untuk melihat awal peradaban manusia di Sulawesi Tengah, datanglah ke tiga lembah, yakni Lembah Besoa, Bada, dan Napu yang ada di Kabupaten Poso.
Tiga lembah ini meliputi enam kecamatan, yakni Lore Utara, Lore Tengah, Lore Selatan, Lore Barat, Lore Timur, dan Lore Peore. Wilayah ini berada di sekitar Taman Nasional Lore Lindu.
Apa yang disebut sebagai awal peradaban ini adalah peninggalan purbakala berupa situs megalitik. Setidaknya ada lebih dari 30 situs megalitik di tiga lembah ini, di mana setiap situs berisi satu sampai 30-an arca. Data Dinas Pariwisata Sulteng mencatat, sebanyak 1.451 arca dengan berbagai bentuk dan ukuran ada di tiga lembah ini.
Di tiga lembah itu arca-arca ini terletak secara alami di sekitar persawahan, dataran tinggi, hutan, permukiman warga, dan padang rumput. Letaknya di alam terbuka dengan pemandangan sekeliling yang indah, seperti gunung, hutan, maupun lembah, atau di antara persawahan penduduk, membuat situs megalitik ini selalu menarik dikunjungi tak hanya wisatawan, tapi juga peneliti.
Sebagai contoh adalah situs Pokekea di Desa Hangira, Kecamatan Lore Tengah, yang berada di lembah Besoa. Dari Doda, ibu kota Kecamatan Lore Tengah, Situs Pokekea berjarak sekitar 8 kilometer. Situs Pokekea berada di lembah yang dikelilingi pegunungan. Di Situs ini sedikitnya ada 30 arca. Ada patung manusia berbentuk pipih dengan bagian depan berukir bentuk wajah dan bagian tubuh yang menunjuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Ukurannya beragam, dengan tinggi 100 cm-160 cm dan lebar 25 cm-50 cm.
Banyak pula benda berbentuk loyang raksasa atau sebutan setempat kalamba, dengan ukuran beragam, mulai dari tinggi satu meter-dua meter dengan diameter 100-250 cm. Benda-benda ini lengkap dengan penutupnya yang juga terbuat dari batu, tapi umumnya terletak di tanah. Bentuknya seperti penutup panci dengan tonjolan di tengah-tengah, tebalnya 30 cm-50 cm dan diameter 100-200 cm. Sebagian pinggirannya ada yang dihiasi patung monyet dalam posisi telapak tangan, lutut, dan telapak kaki bagian depan menyentuh bagian atas penutup.
Ada lagi yang berbentuk seperti dulang, batu datar dengan ukiran dan simbol-simbol di bagian atasnya yang menyerupai tempat penyembahan, lesung, serta bentuk lain. Letak antara satu benda dan benda lain di Situs Pokekea adalah 100-300 meter. Tapi, jarak antara satu situs dan situs lainnya dalam satu kecamatan adalah 1 kilometer hingga lebih dari 10 kilometer. Umumnya harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Atau coba ke Desa Bariri, tempat arca batu Tadulako berada. Sebuah patung batu berbentuk lonjong berukuran tinggi sekitar 2 meter dengan diameter 1 meter. Melihat ukiran wajah dan tubuhnya, patung ini berjenis kelamin laki-laki. Terletak di ketinggian, menghadap ke arah barat. Jauh di sekitar lembah adalah hamparan pegunungan dan sawah bak permadani.
Simbol peradaban
Berbagai penelitian menyebutkan, situs megalitik di tiga lembah ini diperkirakan sudah berusia ribuan tahun atau sejak 2.000-2.500 tahun sebelum Masehi, tepatnya pada permulaan zaman megalitik—masuknya zaman bercocok tanam. Keberadaan situs-situs ini adalah simbol masuknya manusia pertama ke Sulteng, sekaligus awal peradaban di wilayah ini.
Tanwir La Maming, arkeolog Sulteng yang cukup lama melakukan penelitian pada situs-situs di tiga lembah ini, mengatakan, di Indonesia bahkan di dunia, situs megalitik di tiga lembah ini punya keunikan dan ciri khas yang tidak dimiliki situs di tempat lain.
”Keunikan dan ciri khasnya antara lain setiap situs merupakan satu kesatuan yang melambangkan kepercayaan, rumpun etnis atau tempat tinggal, serta pola hidup masyarakat setempat pada masa itu. Misalnya, dalam satu situs ada tempat pemujaannya, tempat mandi, arca manusia yang jadi simbol nenek moyang, alat bermain, kuburan, alat bercocok tanam, dan lainnya. Arah hadap mata angin arca-arca dalam setiap situs yang berbeda antara satu situs dengan situs lainnya melambangkan adanya kepercayaan yang berbeda-beda pada setiap rumpun,” kata Tanwir.
Menurut dia, keberadaan situs ini juga menunjukkan bahwa lembah Napu, Bada, dan Besoa bukan hanya sebagai tempat awal keberadaan manusia atau peradaban di Sulteng, tapi juga menunjukkan bahwa dahulu wilayah ini adalah pusat peradaban besar.
”Soal mengapa situs-situs ini berada di lembah, Tanwir mengatakan, berdasarkan penelitian, dahulu semua wilayah ini adalah hutan. Datangnya manusia dalam jumlah besar pada masa itu membuat kawasan hutan dan gunung ini kemudian dijadikan tempat tinggal, areal sawah dan kebun. Karena itulah semua situs berada dan tersebar di tiga lembah besar.
Adapun Desa Bariri dan Hanggira di Kecamatan Lore Tengah diduga adalah pusat pembuatan arca. ”Jadi masyarakat di wilayah ini dulunya adalah pembuat arca. Ini bisa dilihat dari banyaknya arca di dua desa ini dengan beragam bentuk serta ukuran besar-besar dibanding yang ada di situs-situs lainnya. Arca-arca ini diperkirakan ada yang belum diambil oleh pemesannya, atau tertinggal, hingga peradaban pada masa itu berakhir,” jelasnya.
Siapa pun yang pernah berkunjung ke tiga lembah ini tak memungkiri keindahan panorama dan kekayaan peninggalan bersejarah tersebut. Situs megalitik di Sulteng diperkirakan adalah yang terluas di Indonesia. Situs megalitik besar dengan jumlah banyak, selain di Lembah Besoa, Napu, dan Bada, juga bisa disaksikan di Marquies Island, Amerika Latin.
”Kami senang perjalanan ke tempat ini. Situsnya, kehidupan masyarakatnya, berjalan kaki, dan tidur di hutan. Semuanya menjadi perjalanan yang menyenangkan dan menantang,” ujar Hobnier, wisatawan asal Belanda.
Memang, berada di antara hutan, lembah, dan pegunungan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu membuat wisatawan atau peneliti lebih memilih menjelajah situs dengan berjalan kaki dan menginap di tenda-tenda di hutan atau lembah. Apalagi di sekitar hutan Taman Nasional Lore Lindu pengunjung juga bisa menikmati suara burung dari beragam spesies yang menghuni hutan. Di permukiman-permukiman warga di sekitar situs sebenarnya tersedia penginapan, bahkan rumah warga juga bisa dipakai untuk menginap. Tapi nyatanya, menginap di tenda-tenda lebih dipilih wisatawan dan peneliti.
Kehidupan warga sekitar yang masih kental dengan budaya juga menjadi salah satu yang membuat pengunjung tertarik. Menari dero, mendengarkan musik khas dataran tinggi, yakni musik bambu, melihat pembuatan pakaian dari kulit kayu, adalah sebagian kekayaan budaya masyarakat yang melengkapi penjelajahan peradaban ini.
Untuk sampai ke Lembah Napu, Besoa, dan Bada, ada beberapa rute. Misalnya untuk ke Bada, bisa melalui Palu-Poso-Tentena dan melanjutkan ke Lembah Bada. Biasanya wisatawan dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan, melanjutkan perjalanan ke Tentena dan berkunjung ke Lembah Bada.
Untuk ke Lembah Besoa dan Napu, pengunjung bisa mengambil rute Palu-Palolo (Sigi) dan terus ke Lembah Napu dan Besoa. Sebenarnya tiga lembah ini berdekatan walaupun akses masuknya bisa dari Poso maupun Sigi. Biasanya wisatawan dan peneliti yang masuk ke Lembah Napu dan Besoa via Sigi akan mengambil jalur jalan kaki melanjutkan ke Lembah Bada, begitu juga sebaliknya. Umumnya kendaraan roda empat menjangkau hingga wilayah ibu kota kecamatan. Selanjutnya ada yang tetap bisa dijangkau dengan kendaraan roda empat, ada yang harus dengan kendaraan roda dua, sebagian lagi dengan jalan kaki.
Untuk urusan makan, di permukiman warga banyak terdapat warung makan dengan menu dan harga bervariasi. Jadi, jika ingin berwisata sejarah, melihat awal peradaban manusia yang langka di dunia, sekaligus menikmati panorama alam, silakan berkunjung ke Sulawesi Tengah.
Bagaimana menjangkau Lembah Bada, Lembah Besoa, dan Lembah Napu? Tiket Jakarta-Palu Rp 800.000-Rp 1.500.000, Palu-Poso-Tentena via darat bisa menggunakan angkutan umum Rp 130.000. Dari Tentena ke Bada via darat dengan mobil angkutan khusus (gardan ganda) Rp 150.000.
Dari Palu, Palolo, menuju Napu lewat darat dengan kendaraan roda empat Rp 80.000. Selanjutnya ke Lembah Besoa, tepatnya di Dado, ibu kota Kecamatan Lore Tengah, Rp 50.000. Penginapan beragam tarif, berkisar Rp 150.000-Rp 250.000. Tersedia ojek untuk menjangkau sejumlah situs. Ongkosnya bervariasi tergantung jauh dekat, berkisar Rp 20.000-Rp 50.000.(Reny Sri Ayu)
http://nasional.kompas.com/read/2011/08/16/02380377/Menjelajah.Awal.Peradaban.Manusia.di.Sulteng
Sabtu, 08 Juni 2013
Penyelamatan dan Konservasi Teluk Tomini
Seperti kita ketahui diteluk tomini terdapat kehidupan terumbu karang yang eksotis.Terumbu karang merupakan habitat biota laut yang sangat penting bagi kehidupan ekosistem laut, terumbu karang bukan hanya sebagai tempat berlindung ikan, tetapi juga sebagai tempat ikan mencari makan dan bertelur. Kalau terumbu karang rusak,maka akan terjadi ketidak seimbangan ekosistem laut,layaknya seperti manusia yang kehilangan rumah. Dengan penyelamatan terumbu karang, maka produksi ekosistem laut akan terjaga dan melimpah.
Berdasarkan hasil riset selama ini, Teluk Tomini merupakan perairan teluk terluas di Indonesia serta memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Secara umum ekosistem terumbu karang di Gorontalo masih terbilang cukup baik, tetapi di sejumlah lokasi terlihat adanya kerusakan yang parah. Ini tak lain akibat penggunaan bom dan sianida yang dilakukan para nelayan saat menangkap ikan. Keadaan terumbu karang di kawasan pulau-pulau juga lebih baik dibandingkan dengan karang-karang di dekat pesisir pantai. Kondisi karang di daerah slope umumnya masih baik, sedangkan daerah reef flat mengalami kerusakan yang ditengarai akibat pengeboman dan penambangan batu karang.
Sebagai daerah tropis yang dilalui garis khatulistiwa, Indonesia subur akan kekayaan sumberdaya alam hayati yang terbentang sepanjang 81.791 KM di berbagai perairan nusantara. Karena itu pula, tidak heran bila ekosistem sumber daya hayati seperti Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang berkembang begitu pesat khususnya di wilayah pesisir dan deretan lautan tropis nusantara.
Aktifitas pembangunan yang tidak ramah lingkungan diduga kuat menjadi faktor penyebab timbulnya kerusakan ekosistem sumberdaya hayati. Aktifitas pembangunan yang tanpa terkendali menyebabkan kawasan daratan dan pantai menjadi tercemar.
ekosistem Mangrove (Hutan Bakau) yang terdapat dalam wilayah pesisir teluk tomini mengalami penurunan drastis tingkat produksinya akibat penebangan hutan liar, pemakaian bahan kimia seperti pestisida, penggunaan zat-zat radioaktif, pembuangan sampah yang tidak teratur, pertambangan dan lain-lainnya. Sementara ekosistem Mangrove yang terdapat di wilayah pesisir, memiliki potensi besar bagi pemberdayaan masyarakat setempat. Salah satu potensi tersebut adalah sebagai tempat pemijahan beragam spesies ikan dan tumbuh-tumbuhan (Spawning Ground), pengasuhan (Nursery Ground) dan pembesaran ikan (Feeding Ground).
ekosistem Padang Lamun yang memiliki produktifitas besar karena habitat bagi tumbuh kembangnya berbagai mikroorganisme seperti plankton, phytoplankton, kerang-kerangan (molusca), kepiting dan ikan juga terancam punah akibat pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Ekosistem padang lamun banyak bermanfaat untuk; penyaring limbah, sebagai bahan kertas, bahan makanan, dan bahan pakan ternak.
ekosistem terumbu karang yang semestinya menjadi habibat biota ikan, kerang, lobster, penyu, dan berbagai organisme lainnya karena berbagai ulah manusia seperti pemakaian bahan peledak (dinamit), pembuangan limbah dan sampah industri dari pabrik maupun rumah tangga, membuat ekosistem terumbu karang terancam punah. Kepunahan ekosistem terumbu karang tentu akan menghilangkan sejumlah manfaat yang dimilikinya. ,faktor tambahan yang merusak kehidupan terumbu karang adalah overfishing,bom ikan dan sianida menambah kerusakan lingkungan di daerah teluk tomini.[]/dbs. Selamatkan laut kita…Untuk kehidupan yang lebih baik..
Wahab Tirtawinata
Desa Wahyu Penghasil Kemiri
Palu, (antarasulteng.com) - Desa Wahyu, salah satu dari
sejumlah desa yang berada di Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, Sulawesi
Tengah, kini sebagai daerah penghasil komoditi kemiri.
"Warga di sini dalam beberapa tahun terakhir ini
menggantungkan hidup mereka dari hasil komoditi itu," kata Deden, salah
seorang petani asal Desa Wahyu, Sabtu.
Ia mengatakan hampir 95 persen warga desa tersebut sebagai
petani kemiri.
Selain kemiri, petani di desa yang terletak di Pegunungan
Matantimali juga mengembangkan komoditas perkebunan lain seperti kakao dan
cengkeh.
"Tapi yang terbesar adalah tanaman kemiri," kata
ayah tiga putera itu.
Menurut dia, kondisi tanah dan juga iklim yang ada di
Pegunungan Matantimali sangat cocok bagi pengembangan kemiri.
Kemiri yang dikembangkan terdiri atas kemiri lokal dan juga
bogor. Kedua jenis kemiri itu sangat cocok dikembangkan di daerah itu.
Kemiri dalam jangka lima tahun sudah berproduksi dengan
lebat.
Hasil produksi petani selama ini banyak dijual di
pasar-pasar tradisional yang ada di Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah.
Harga biji kemiri dijual petani kepada pedagang saat ini
berkisar Rp15.000,00 per kilogram. Harga kemiri pernah naik mencapai
Rp30.000,00 per kilogram.
Petani selain menjual ke Palu, juga banyak pedagang yang
datang membeli langsung di kebun petani, sehingga pemasaran komoditi tidak
susah.
Untuk menjangkau Desa Wahyu, bisa naik kendaraan sepada
motor atau mobil. Jarak dari Kota Palu sekitar 30 kilometer dengan kondisi
jalan sudah beraspal.
Desa Wahyu berada pada ketinggian sekitar 800 meter dari
permukaan laut dan selama ini menjadi lokasi terbang olah raga paralayang atau
paragliding.Tingkat kesejahteraan masyarakat yang ada di desa itu cukup
bagus.(SKD)
PULAU RAJA
pulo raja adalah salah satu pulau di Kabupaten Buol terletak di kecamatan paleleh barat, pulau raja juga memiliki sejarah dimana pulau raja ini dulu adalah salah satu tempat yang sering di kunjuingi oleh raja Buol sehingga pulau ini disebut dengan pulo raja. pulau raja ini memiliki berbagai jenis biota laut. salah satunya bintang laut yang memiliki ragam jenis bintang laut. selain itu di pulau raja juga banyak terdapat berbagai jenis Lobster, Parit,Bulu Babi, berbagai jenis kerang, rumput laut, Bia kima, dan berbagai jenis ikan laut yang sangat mengagumkan, selain itu di pulau raja sangat cocok untuk jadi salah satu wisata bahari. selain keindahan biota lautnya di pulau raja juga memiliki pemandangan Sunset dan pemandang bukit-bukit yang terlihat dari laut begitu menjulang tinggi. pantai dengan pasir putih menambah keindahan saat munculnya sunrise dari timur.
pulo raja bukan hanya satu-satunya pulau di kecamatan paleleh barat, selain pulau raja juga terdapat pulo boki yaitu pula yang terdapat juga di desa lunguto letaknya tidak begitu jauh dari pulau raja jaraknya mungkin sekitar 15 menit perjalanan laut
Mangrove Sausu Peore
Terik matahari yang memanggang pasir pantai, cukup memaksa kami untuk menggunakan alas kaki saat ingin berjalan dengan nyaman. Namun tidak cukup menurunkan rasa kekaguman kami terhadap pesona keindahan mangrove di sekitar pantai ini. Mangrove yang oleh masyarakat setempat lebih populer disebut dengan hutan bakau, menjadi daerah pelindung daratan dari erosi oleh ombak. Hutan bakau ini juga menjadi tempat pembesaran anakan ikan dan udang serta menjadi tempat hidup kepiting, kerang, ular dan buaya.
Hutan bakau yang sedang dikembangkan oleh masyarakat menjadi lokasi ekowisata ini terletak di Desa Sausu Peore. Desa yang termasuk dalam kawasan perairan teluk tomini ini memiliki topografi pantai datar berair dan sedikit perbukitan. Dengan ekosistem hutan sekunder, mangrove, karang, padang Lamun. Sumberdaya alam di desa ini juga menyimpan potensi satwa endemik berupa burung maleo dan penyu hijau – satwa-satwa yang dilindungi.
Berawal dari potensi alam yang keberadaannya dilestarikan ini pulalah, pada tahun 1994 sempat mengantarkan Bahuddin Hi Pabbite (Almarhum) – salah seorang putera desa Sausu Peore – mendapatkan Penghargaan Kalpataru. Kegigihan dalam melestarikan burung maleo dan habitatnya yang dilakukannya juga, sehingga pada tahun 1996, UNEP (United Nations Environment Programme) memberikan penghargaan serupa kepada beliau.
Desa Sausu Peore termasuk dalam wilayah Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Berkendaraan apa saja tidak akan sulit untuk sampai ke desa ini. Jalan yang beraspal melewati tanjakan berkelok yang tidak seberapa. Perjalanan dapat ditempuh kurang lebih selama tiga jam lamanya dari Kota Palu, atau kurang lebih satu jam dari Kota Parigi. Mencari desa ini pun tidak akan susah. Beberapa tanda sebagai penunjuk arah dipasang di persimpangan antara jalan poros trans Sulawesi dengan ujung jalan yang mau menuju ke desa ini. Tanda yang menonjol diantaranya beberapa papan nama yang berukuran cukup besar, dan Tugu Kalpataru yang menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Desa Sausu Peore.
Pantai merupakan salah satu wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi dengan tingkat endemismenya. Beberapa tipe ekosistem tersebut antara lain hutan mangrove dan ekosistemnya. Apabila tidak ada kepedulian dari masyarakat serta para pihak, ekosistem hutan mangrove akan mengalami ancaman berupa penebangan, fragmentasi dan konversi menjadi bentuk pemanfaatan lain. Penebangan/penggundulan hutan mangrove dapat mengganggu sumberdaya alam yang lain. Jika penggundulan hutan mangrove terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam species flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat.
Semoga kita semua dapat mengambil peran dalam mengurangi laju kerusakan hutan mangrove beserta ekosistemnya.
Langganan:
Postingan (Atom)