Suku Bobongko, adalah suku yang secara turun-temurun telah
mendiami desa Lembanato di daerah kepulauan Togean di kabupaten Poso provinsi
Sulawesi Tengah, sejak ratusan tahun yang lampau. Populasi suku Bobongko
diperkirakan sebesar 1.057 orang.
Pemukiman suku Bobongko ini berada dekat dengan hutan Bakau
yang kelestariannya tetap dijaga masyarakat suku Bobongko ini sejak beberapa
abad yang lalu. Nama desa suku Bobongko ini, yaitu Lembanato berasal dari kata
"malombanakon", dari bahasa Bobongko, yang berarti menggusur tanah.
Asal-usul orang Bobongkko diduga berasal dari Balanggala
(Balingara sekarang) sekitar 1.000 tahun yang lampau.
Kawasan hutan bakau bagi masyarakat suku Bobongko dianggap
penting untuk tetap dijaga kelestariannya, selain itu mereka juga menjaga
kehidupan binatang-binatang, termasuk burung yang banyak hidup di sekitar hutan
bakau ini. Sehingga bagi siapapun yang melintas di hutan bakau ini tidak boleh
berisik, tidak boleh mengagetkan binatang apa pun yang dijumpai, tidak boleh
merokok, sebab asap rokok akan mengusik hewan-hewan. Di kawasan hutan bakau
ini, juga banyak babirusa (Babysousa babirussa) yang hidup di tempat ini. Orang
Bobongko menyebut Babirusa ini sebagai Dongitan.
Dahulu dongitan (babirusa), adalah makanan utama orang
Bobongko, sebelum mereka mengenal agama Islam. Saat ini mayoritas orang
Bobongko adalah pemeluk agama Islam. Perburuan dongitan tidak pernah lagi
dilakukan. Kecuali apabila dongitan ini memasuki wilayah perkampungan dan
mengganggu kebun dan ladang mereka. Sebagian ada yang membunuhnya dengan tombak
atau perangkat jerat tali kaki, namun
biasanya dongitan hanya diusir sejauh mungkin dari kebun
hingga masuk kembali ke dalam hutan.
Suku Bobongko berbicara dalam bahasa Bobong, yang merupakan
bahasa utama bagi masyarakat Bobongko dalam berkomunikasi di antara sesama
orang Bobongko. Selain bahasa Bobongko, mereka juga bisa berbicara dalam bahasa
Melayu Sulawesi Tengah yang mirip dengan bahasa Melayu Manado.
Suku Bobongko di kepulauan Togean ini hidup berdampingan
dengan suku Bajo, yang juga telah lama bermukim di wilayah ini. Di antara
mereka terjadi hubungan yang baik, dalam melakukan berbagai kegiatan termasuk
dalam hal mencari ikan di laut. Hanya saja mereka menggunakan teknik illegal
dalam menangkap ikan.
Masyarakat suku Bobongko mengelola hutan-hutan sagu yang
disebut gonggan pogaluman. Gonggan berarti sekumpulan pohon (termasuk sagu),
sedangkan pogaluman berarti kebersamaan,
asal kata mogalom atau bersama. Gonggan pogaluman dikelola dan dimanfaatkan
secara bersama oleh beberapa orang Bobongko. Tiap kelompok Bobongko, baik yang tinggal di Teluk Kilat,
Tumbulawa, maupun desa Baulu masing-masing memiliki satu atau lebih areal
gonggan pogaluman yang dikelola secara terpisah.
Sagu masih menjadi sumber pangan utama penduduk, meski pun
saat ini beras jauh lebih disukai. Sebagian dari mereka menganggap memakan sagu hanya membuat
perut kenyang beberapa saat saja, dibanding jika makan nasi.
Masyarakat suku Bobongko memanfaatkan berbagai jenis
sumberdaya alam yang terdapat di laut dan hutan mangrove, yang menjadi sumber
ekonomi bagi penduduk Bobongko. Berbagai jenis ikan, kerang, udang dan biota
laut lainnya diambil penduduk sebagai komoditas perdagangan maupun untuk
memenuhi kebutuhan pangan mereka. Penangkapan hasil laut melibatkan pula
penggunaan teknik penangkapan, mulai dari pancing, jala, rompong, bagang,
panah, hingga penggunaan bahan peledak dan potasium sianida.
sumber bacaan:
nasrualam: mengintip babirusa di lembanato
lontar: alam dan penduduk kepulauan togean